Rabu, 12 Januari 2011

Moralitas dan Rasionalitas Hukum



Berbagai kasus hukum masih belum terselesaikan sampai saat ini dan tidak sedikit kasus hukum yang menyisakan persoalan besar. Tidak terbatas hanya pada kasus hukum yang besar atau kelas kakap, tetapi kasus hukum yang kecil sekalipun juga tidak terlepas dari ketidakadilan maupun keputusan yang tidak adil. Tentu saja definisi adil dan tidak adil sangat relatif, bergantung dari sisi mana kita melihatnya. Jika ditinjau dari sisi pemenang, putusan hukum selalu adil, sedangkan sebaliknya, dari sisi yang kalah, putusan hukum selalu tidak adil. Negara kita dicanangkan sebagai negara hukum dengan hukum adalah panglima dan masyarakat seluruhnya harus menjunjung tinggi supremasi hukum.


Ketidakadilan hukum

Dalam era demokrasi saat ini masyarakat sudah jauh lebih sadar hukum jika dibandingkan dengan era sebelumnya. Kita cermati di masyarakat bahwa hampir setiap perselisihan yang tidak bisa didamaikan biasanya dibawa ke pengadilan dengan harapan bahwa akan ada putusan hukum yang dapat diterima pihak-pihak yang berselisih. Namun, pada kenyataannya hampir setiap putusan hukum oleh pengadilan akan didemonstrasi atau diprotes sekelompok masyarakat karena dirasakan tidak adil. Karena banyak kasus yang demikian, masyarakat umum akan mengalami kebingungan mengenai norma-norma mana yang seharusnya mereka anuti. Kebingungan terus terjadi di masyarakat karena mereka tidak mengetahui mana putusan yang adil dan oleh karena itu, norma-norma mengenai keadilan, kepatutan, dan bahkan kebenaran pun semakin kabur dan sulit dipahami para pelakunya. Sebagai contoh nyata adalah banyaknya penggelap uang negara yang sampai saat ini belum bisa divonis, tetapi sebaliknya, pelaku pencurian kecil-kecilan kelas teri langsung divonis hukum. Padahal para pencuri kecil tersebut mencuri karena terpaksa untuk menyambung hidup, sedangkan penggelap uang negara kelas kakap melakukannya karena alasan lain yang kelihatannya tidak rasional.

Proses hukum di berbagai tingkatan, termasuk di mahkamah, akan melibatkan sejumlah hakim atau ahli hukum sehingga telaah hukumnya pasti benar adanya. Seandainya telaah hukumnya benar secara hukum, seharusnya putusan yang diterbitkan adalah yang benar secara hukum dan memenuhi kaidah keadilan yang hakiki. Oleh karena itu, yang menjadi dasar putusan hukum yang adil adalah adanya kebenaran yang hakiki dan rasional. Di pengadilan, antara jaksa penuntut dan pembela selalu terjadi perdebatan dan argumentasi yang sengit dan tajam karena tiap pihak bertahan untuk klien masing-masing. Dalam hal ini yang dijunjung tinggi adalah kepentingan klien dan bukan kebenaran hakiki sehingga putusan yang diambil akan tidak adil karena tidak rasional.



Reformasi pendidikan hukum

Masyarakat sekarang ini sudah makin kritis dan demokratis serta lebih rasional sehingga mereka akan sangat mudah merasakan dan menduga apakah suatu putusan hukum itu adil atau tidak, apakah dilandasi kebenaran yang hakiki atau tidak, apakah masuk akal sehat atau tidak. Kalau masyarakat merasa kecewa karena melihat ketidakadilan dan tidak ada wadah untuk minta penjelasan atau klarifikasi, terjadilah demonstrasi ataupun protes dengan berbagai cara. Jadi, persoalan sebenarnya di negara ini adalah bagaimana hukum dan proses hukum kita menjadi rasional dan bermoral. Setelah itu, barulah keadilan dapat terwujud dan supremasi hukum menjadi berwibawa. Untuk mewujudkan moralitas dan rasionalitas hukum, pendidikan hukum di Indonesia harus direformasi lebih dahulu agar nantinya para lulusan bidang hukum sudah mempunyai kemampuan untuk rasionalisasi hukum secara bermoral.

Mahasiswa fakultas hukum seharusnya mempunyai kemampuan analisis dan logika yang tinggi sehingga mampu melakukan kajian dengan tajam dan akhirnya mampu mengambil keputusan yang terbaik karena dilandasi fakta, data, dan temuan lainnya. Kemampuan analisis dan logika dapat diketahui, salah satunya, melalui kemampuan matematikanya. Oleh karena itu, akan sangat ideal apabila mahasiswa hukum mempunyai nilai matematika yang tinggi. Kriteria seleksi mahasiswa fakultas hukum perlu ditinjau kembali dengan memasukkan kemampuan matematika sebagai salah satu kriteria kunci. Mitos bahwa pendidikan di fakultas hukum hanya mengandalkan kemampuan menghafal harus dihapus. Justru kemampuan analisis dan logika lebih diperlukan untuk mampu membuat keputusan.

Pada kenyataannya, proses hukum kita masih didasarkan kepada permainan kata-kata secara harfiah dengan multiinterpretasi tanpa dilandasi moralitas atau pesan moral yang terkandung di dalamnya. Artinya penggunaan kata-kata dalam hukum seharusnya merupakan pesan moral dan bukan sebaliknya, untuk menghilangkan atau mengaburkan kebenaran yang hakiki. Seperti halnya proses politik, ekonomi, dan pembangunan, proses hukum pun seharusnya untuk kepentingan publik, untuk melindungi kepentingan publik, dan sudah saatnya hukum kita ini bermoral dan rasional.

Oleh Satryo Soemantri Brodjonegoro
Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

Sumber: mediaindonesia.com 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar