Sabtu, 22 Januari 2011

Menunggu Kegaduhan Politik dari DPR

 


Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)  di awal tahun mendapat kejutan surprise dari Mahkamah Konstitusi (MK). MK telah mengabulkan gugatan terhadap Pasal 184 ayat (4) Undang-Undang Nomor 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

MK memutuskan Pasal 184 ayat (4) UU Nomor 27/2009 bertentangan dengan konstitusi. Dalam pasal 184 ayat (4) UU Nomor 27/2009 disebutkan bahwa usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak menyatakan pendapat DPR apabila mendapat persetujuan dari Rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga perempat) anggota DPR dengan persetujuan paling sedikit 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota yang hadir. Dengan adanya putusan MK ini maka memudahkan anggota dewan dalam memgawasi jalannya pemerintahan.

Tahun 2011 yang diramalkan banyak pihak sebagai tahun panasnya suhu politik nasional seakan mendapat legitimasi dengan adanya putusan MK itu. Bisa dipastikan kegaduhan politik akan mudah tersulut terutama dari parlemen. Jadi siapa pun anggota dewan yang ingin menyatakan pendapat berupa kritik, saran ataupun masukan kepada pemerintah tidak perlu lagi harus menggalang dukungan 3/4 dari jumlah anggota dewan secara keseluruhan.

Partai Demokrat sebagai partai pemenang pemilu dengan jumlah kursi DPR terbesar akan kehilangan power politiknya. Tidak hanya itu saja, Partai Demokrat yang selama ini menjadi bulan-bulanan partai-partai politik yang ada DPR nampaknya harus bekerja ekstra lebih keras dalam melakukan lobby maupun bargaining politik. Mengaca pada pengalaman, banyak anggota Fraksi Demokrat yang masih kalah jam terbang bila harus meladeni pertarungan politik dengan anggota Fraksi Partai Golkar maupun Fraksi PDI Perjuangan.
Kekalahan politik dalam kasus bank century di mana Fraksi Demokrat harus menelan pil pahit karena ada beberapa fraksi yang seharusnya mendukung tapi pada saat keputusan berbalik arah dan terang-terangan berseberangan dengan Fraksi Demokrat.

Kasus Century serta kasus Gayus Tambunan dan Mafia Pajak agaknya menjadi awal dimulainya kegaduhan politik nasional. Mengingat selama ini hak menyatakan pendapat sering dipakai oleh partai politik untuk melakukan barter maupun bargaining kepentingan politik segelintir elit politik saja. Selain itu, Presiden saat ini tengah melakukan evaluasi kinerja para menterinya. Di sisi lain, beberapa menteri merupakan ketua umum partai politik. Jadi dengan adanya putusan MK itu rasanya agak sulit bagi presiden untuk mereshuffle menteri yang juga ketua umum partai politik.

Untuk internal DPR, pembangunan gedung baru yang sudah menyulut kegaduhan politik antar sesama fraksi, akan membuat posisi Partai Demokrat semakin terjepit. Bila selama ini Fraksi Demokrat bisa memandang sebelah mata bagi Fraksi Gerindra dan Fraksi Hanura  maka untuk kedepannya bila tidak ingin ada kegaduhan politik yang merongrong pemerintah, Fraksi Demokrat mau tidak mau harus mampu ngemong fraksi-fraksi kecil.

Selain itu, di tengah ketidakbecusan para anggota dewan dalam menyelesaikan sejumlah undang-undang sesuai dengan fungsi legislasinya, maka dalam kegaduhan politik yang sebentar lagi akan terjadi dalam parlemen, bisa dipastikan target DPR dalam menyelesaikan sejumlah undang-undang pasti akan terbengkalai lagi.

Namun terlepas dari itu semua, putusan MK terkait pengapusan pasal Pasal 184 ayat (4) Undang-Undang Nomor 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, justru mengembalikan khittah DPR itu sendiri. Di mana dalam mengawasi serta mengkritisi jalannya pemerintahan tidak perlu harus melalui mekanisme rumit.
Dalam konteks inilah, masyarakat luas pasti akan lebih terbuka matanya dalam menilai kinerja dan keberpihakan wakil rakyatnya. Bila putusan MK hanya dipakai oleh para anggota dewan untuk barter dan bargaining kepentingan politik sesaat serta melupakan kepentingan rakyat maka akan semakin memperjelas bahwa anggota dewan adalah wakil partai dan bukan wakil rakyat. Dan jika itu terjadi sudah saatnya rakyat turun ke jalan membuat parlemen jalanan.

Sumber: petapolitik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar