Rabu, 12 Januari 2011

Pemberantasan Korupsi Oleh Pemerintah Hanya Omdo

Pernyataan-pernyataan SBY dalam berbagai kesempatan sejak kampanye Pemilu tahun 2004 sampai dengan tahun ke-enam SBY menjadi Presiden RI saat ini, dia hanya omong doang (Omdo), atau NATO (No Action Talk Only). Kasus korupsi bukan berkurang, tapi semakin “menggila”. Kasus Bank Century hampir tak terdengar lagi, kalah oleh isue yang dilontarkan oleh SBY tentang Monarchi di Kesultanan Yogyakarta.

http://multiply.com/mu/kpkrrnadnias/image/2/photos/upload/300x300/SZzmFwoKCGMAAG7W-Fc1/SBY-dalam.jpg?et=yJH1lzCGbKw2Yeqw1rRzMA&nmid=205606681
Presiden SBY

 
Belum lagi masalah Gayus, Sirus, Asnun, Bahasyim, Kompol Arafat dll. Belum lagi semakin banyaknya Gubertnur, Bupati dan Walikota yang terlibat korupsi selama SBY jadi Presidem, hanya sedikit contoh saja dari kasus korupsi di Indonesia. Belum lagi masalah dugaan korupsi di beberapa sekolah dengan dana Bantuan Operasionl Sekolah (BOS) yang mencapai miliaran rupiah.


Pidato SBY pada Hari Anti Korupsi 2009

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato menyambut Hari Antikorupsi Sedunia pada 9 Desember 2009,.” Mengajak masyarakat luas untuk berpartisipasi aktif memberantas korupsi di segala bidang. Sementara kepada jajaran birokrasi dan pejabat negara, Presiden menekankan bahwa wajib hukumnya untuk ikut mewujudkan tata kelola yang baik, bersih dan berwibawa.


Presiden tahun lalu, menegaskan bahwa pemerintahannya tidak akan henti-hentinya untuk memukul genderang perang terhadap korupsi. Pasalnya, korupsi memang sudah menjadi musuh masyarakat di dunia. Karena itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menetapkan Hari Antikoruopsi Internasional, yakni pada 9 Desember. Presiden menegaskan dia dan jajarannya siap berada di garis depan untuk memerangi korupsi.

Setahun telah berlalu. Hari ini 9 Desember 2010, hampir semua omongan SBY tidak ada yang ditepatinya, malah terkesan tidak serius, dan mencoba mengalihkan perhatian masyarakat ke berbagai isue politik. Isue terakhir tentang Monarki di Kesultanan Yogya yang memancing berbagai reaksi.


Sikap Presiden SBY Tidak Jelas

Sikap pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia dinilai tidak jelas atau mendua. Hal tersebut terjadi karena dukungan dari Presiden SBY yang lemah. Pendapat tersebut disampaikan Ketua Dewan Pengurus Transparancy Internatsional Indonesia, Todung Mulya Lubis, terkait pemberantasan mafia pajak dan mafia hukum yang tidak juga kunjung tuntas hingga saat ini.

12920629981401210387
Todung Mulya Lubis

“Bersyukur Ketua KPK baru itu rekam jejaknya bagus. Tapi kita tidak melihat Presiden memberi dukungan yang cukup kuat dalam pemberantasan korupsi, kelihatan dari kasus pemberantasan mafia pajak yang tidak tuntas,” kata Todung di Gedung MK, Rabu, 8 Desember 2010.

Buktinya, kata Todung, Presiden SBY berulang kali dalam berbagai kesempatan mengatakan tidak boleh mencampuri atan intervensi proses hukum yang sedang berjalan, padahal menurutnya, SBY seharusnya bisa memberi dukungan yang positif dan kuat.

Pengacara senior itu berpendapat, sinyal tentang dukungan yang positif yang seharusnya kuat tersebut, sampai sejauh ini justru sangat lemah sehingga ini tidak berwujud menjadi dukungan yang baik untuk pemberantasan korupsi. Menurut Todung, siapapun yang ditempatkan sebagai pimpinan KPK, kalau tanpa dukungan pemerintah yang kuat, akan sulit melakukan tugasnya memberantas korupsi.

Dicontohkan Todung, dalam pengangkatan Ketua KPK baru Busyro Muqoddas, dimana saat menjelang uji kelayakan dan kepatutan, masa tugas menjadi perdebatan di kalangan anggota DPR apakah satu dan empat tahun. Todung berpendapat, dalam perdebatan itu, Presiden SBY seharusnya turun tangan dan menunjukkan sikap dengan memilih opsi masa jabatan 4 tahun. Tapi hal itu tidak dilakukan oleh SBY.“Kalau presiden tak sepenuhnya yakin, presiden kan bisa meminta Mahkamah Konstitusi untuk memberi penafsiran terhadap pergantian masa jabatan ini”
 

Presiden SBY Tidak Komit terhadap Pemberantasan Korupsi

Itulah kesimpulan yang dibuat oleh Indonesia Coruption Watch (ICW). Selama setahun pemerintahan periode kedua, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tercatat sebanyak 34 kali mengeluarkan pernyataan soal pemberantasan korupsi. Menurut ICW, dari 34 pernyataan itu, 17 Pernyataan SBY dikategorikan mendukung pemberantasan korupsi, tetapi realisasi dari pernyataan ini sangat minim, hanya 24%.

“Hanya 4 terealisasi (24%) sedangkan 13 pernyataan (76%) tidak teralisasi,” kata Peneliti Hukum ICW Donal Fariz kepada wartawan di kantornya, Jl Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu, 24 Oktober 2010. Misalnya, kata Donal, pernyataan yang indah di permukaan tetapi tidak teralisasi dengan baik seperti  kasus Century. Soal Century itu, SBY meminta agar diungkap setuntas-tuntasnya, namun kenyataannya, Partai Demokrat sangat defensif.

Selain itu, pernyataan Presiden SBY yang meminta agar mafia pajak dibongkar sampai tuntas juga tidak terealisasi.”Pernyataan yang disampaikan SBY hanya indah di permukaan dengan janji-janji manis,” kata Donal. Donal juga mengkritik SBY yang memilih bungkam dalam isu-isu krusial. Misalnya terkait kasus Gayus Tambunan, tidak terdengar ada tindakan tegas dari SBY.


KPK Harus Ambil-alih Kasus Gayus

Di tengah sorotan tajam publik, rekayasa guna melindungi sejumlah petinggi di jajaran Kepolisian berlangsung secara sistemik. Bukti yang sulit dibantah upaya melokalisasi keterlibatan polisi sampai perwira menengah saja. Padahal, Gayus pernah menyatakan pernah mengeluarkan 500.000 dollar AS untuk perwira tinggi polisi untuk membuka blokir rekening atas namanya.

1291911651145826588
Ketua KPK Busyro Muqoddas

Dengan kondisi itu, sulit mengharapkan peran Kepolisian menyelesaikan skandal Gayus. Bagaimanapun, sulit dibantah, banyak pihak berkepentingan skandal ini tetap diselesaikan Kepolisian. Namun, kehadiran Gayus menyaksikan kejuaraan tenis di Bali, polisi jadi kehilangan kegitimasi untuk menyelesaian skandal ini. 

Argumentasi kian terkikis habis karena semua fasilitas dan kemudahan yang didapat Gayus selama masa tahanan diperoleh dengan melakukan tindak pidana suap ke sejumlah polisi di rutan.

Dengan hilangnya kepercayaan terhadap Kepolisian,. maka untuk menuntaskan kasus Gayus, tak cukup apabila KPK hanya sebatas melakukan supervisi. Merujuk pada UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, langkah konkret yang harus dilakukan adalah mengambil alih penyelesaian skandal Gayus. Pasal 8 Ayat (2) UU No 30/2002 menegaskan ”KPK berwenang mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian”. Dengan dasar itu, siapa pun tak dapat mencegah KPK mengambil alih penyelesaian skandal pajak Gayus.

Melihat jaringan Gayus dengan polisi (termasuk jaksa) dan penyuapan yang dilakukan selama dalam masa tahanan, alasan yang dipersyaratkan dalam Pasal 9 UU No 30/3002 telah terpenuhi. Setidaknya, terdapat kecenderungan penanganan tindak pidana korupsi ditujukan guna melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya. Kecenderungan ini dapat dilacak dari adanya upaya mengalihkan dari rekening tak wajar Gayus yang mencapai Rp. 80 miliar, hanya “dikebiri” menjadi kasus PT Surya Alam Tunggal dengan jumlah kerugian negara “hanya” Rp 570.952.000.

Padahal potensi kerugian negara dari PT SAT tak sampai seujung kuku dari keseluruhan jumlah rekening dan safe deposit box Gayus. Oleh karena itu, patut diduga, strategi mengalihkan tindak pidana utama ke kasus PT SAT hampir pasti ditujukan untuk menutup upaya membongkar asal-muasal uang yang masuk ke rekening Gayus. Dengan logika sederhana, jika asal-usul uang Gayus didalami, pasti akan sampai ke perusahaan-perusahaan besar yang pernah menerima keahlian Gayus. Misalnya, ia mengaku menerima 3 juta dollar AS dari tiga perusahaan besar: Kaltim Prima Coal, Arutmin, dan Bumi Resources (Kompas, 29/9). Perusahaan-perusahaan tersebut adalah Milik Aburizal Bakrie, ketua Umum Golkar, sekaligus Ketua Harian Sekretariat Bersama.

12919118561560669738 
Kantor KPK

Sebagai sebuah keniscayaan, pengambil-alihan dapat diletakkan dalam skenario mempercepat penyelesaian skandal Gayus. Sebagaimana ditegaskan Pasal 8 Ayat (3) UU No 30/2002, dalam hal KPK mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan paling lama 14 hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan KPK.


10 Alasan KPK Layak Ambil Alih Kasus Gayus

Komisi Pemberantasan Korupsi kembali didesak mengambil alih kasus terdakwa mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan. Kali ini desakan datang dari pegiat antikorupsi Indonesia Corruption Watch.

Peneliti Hukum ICW Donal Fariz membeberkan, ada sepuluh kejanggalan di sekitar pengusutan Gayus:
1. 1. Gayus cuma dijerat dengan kasus PT SAT dengan kerugian negara Rp 570,95 juta, bukannya masalah utama, yakni kepemilikan rekening RP 28 miliar.
2. 2. Polisi sudah menyita safe deposit Gayus yang nilainya Rp 75 miliar, tetapi tak jelas pengusutannya hingga kini.
3. 3. Polisi belum juga memproses tiga perusahaan Bakrie, yakni Kaltim Prima Coal, Arutmin, dan Bumi Resources. Padahal dalam sidang dan Berita Acara Pemeriksaannya, Gayus telah mengakui menerima US$ 3 juta untuk mengurus masalah pajak tiga korporasi itu. “Alasan kepolisian terkesan mengada-ada, misalkan tentang belum cukupnya alat bukti. Mestinya kesaksian Gayus sudah menjadi alat bukti sah di mata hukum,” tuturnya.
4. 4. Polisi tampaknya melokalisir kasus hanya sampai perwira menengah, yakni Kompol Arafat dan AKP Sri Sumartini. “Aneh sekali, semakin kuat kita menyimpulkan bahwa oknum polisi terlibat, ada upaya melindungi petinggi polisi,” ujarnya.

http://unik13.info/wp-content/uploads/2010/10/Komisaris-Jendral-Timur-Pradopo-Calon-Tunggal-Kapolri-2.jpg
Kapolri Timur Pradopo

5. 5. Personil Direktorat Jenderal Pajak yang telah menjadi tersangka, yakni Humala Napitupulu dan Maruli Pandapotan Manulung. Seharusnya atasan mereka, setidaknya Kepala Sub Direktorat Pengurangan dan Keberatan Johny Marihot Tobing serta Direktur Keberatan dan Banding Bambang Heru Ismiarso, juga diusut keterlibatannya.
6. 6. Juni lalu Markas Besar Kepolisian menetapkan Jaksa Cyrus Sinaga dan Poltak Manulang sebagai tersangka kasus suap dalam penggelapan pajak, tetapi status Cyrus mendadak berubah menjadi saksi.
7. 7. Kejaksaan Agung malah melaporkan Cyrus ke kepolisian terakit bocornya rencana penuntutan, bukan karena dugaan suap dan penghilangan pasal korupsi plus pencucian uang dalam dakwaan. “Langkah ini diduga sebagai siasat melokalisir permasalahan dan mengorbankan Cyrus sendiri,” ucapnya.
8. 8. Direktorat Pajak terkesan enggan memeriksa ulang pajak perusahaan yang diduga menyuap Gayus. Alasannya, mereka menunggu novum alias bukti baru.
9. 9. Gayus bisa seenaknya keluar dari tahanan dan plesir ke Bali memakai identitas palsu. “Ini menunjukkan polisi tidak serius mengungkap kasus, dan Gayus memiliki posisi tawar kuat kepada pihak yang pernah menerima suap atau servisnya saat menjadi pegawai Pajak,” tutur Donal.
1010. Dan yang terakhir, polisi berkukuh menolak kasus Gayus diambil alih KPK.


Bentuk “Densus 99” Anti Korupsi

Bercermin dari kinerja Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Terorisme yang bekerja begitu cepat sehingga banyak mendapat pujian, Din Syamsuddin (ketua PP Muhammadiah), mengusulkan ada Densus yang sama dalam memberantas korupsi. “Saya ingin Kepolisian melakukan tindakan yang sama dalam korupsi, seperti saat memberantas teroris,”

12919121091498821654
Din Syamsudin Ketua PP Muhammadiyah

Din melihat selama ini, kinerja Polri dalam memberantas kasus korupsi terkesan sangat lamban. Ia berharap dalam penangan korupsi, polisi tidak main pendekatan yang berlama-lama. “Langsung tangkap dan jadikan tersangka,” kata Din.

Din mengatakan, penanganan kasus terorisme terkesan begitu cepat, sebaliknya dalam menangani kasus korupsi yang merajalela bahkan sudah terekspose luas oleh media, Kepolisian masih tidak sigap bertindak. Din melihat bahwa keberadaan Densus 88 itu hebat sekali, tapi pada proses lain tidak secepat itu. Karena itu menurutnya, maka akhirnya menimbulkan kecurigaan.

Agar peberantasan korupsi bisa secepat pemberantasan terorisme, Din mengusulkan agar dibentuk semacam Densus Antikorupsi. “Saya kira perlu Densus 77 atau Densus 99 Antikorupsi seperti Densus 88,” kata Din.
 

Peringatan Hari Anti Korupsi 2010 di KPK

Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis (9/12/2010) dikritik Indonesia Corruption Watch (ICW.) Maslahnya, peringatan ini menjadi bukti betapa tidak sensitifnya lembaga negara untuk turut berkampanye menyeruakan pemberantasan korupsi, karena hanya ada satu lembaga negara yang turut serta yakni Komisi Yudisial (KY).

Dalam peringatan Hari Antikorupsi Sedunia, KPK menggelar kegiatan Kampung Antikorupsi dan karnaval kampanye pemberantasan korupsi. Kegiatan ini diikuti lembaga swadaya masyarakat seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), Transparansi International Indonesia (TII) dan lembaga internasional seperti United Nation Convention Against Corruption (UNCAC), serta beberapa perguruan tinggi dan sekolah dasar.
 

Demo Anti Korupsi di Berbagai Daerah

Berbagai demo Anti Korupsi terjadi di berbagai hari ini Kamis, 9 Desember 2010 berlangsung di bernagai daerah, sperti di Jakarta, Makassar, Palu dan Smarinda. Di Jakarta terjadi demo di berbagai tempat yaitu, di depan Istana Negara, Bundaran Hotel Indonesia, kantor KPK, Kejaksaan Agung, Balaikota DKI Jakarta, dan kantor Kementerian Polhukam, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Sebanyak sepuluh aksi unjuk rasa berlangsung di KPK.

12920633841084854672
Demo Antikorupsi di Medan Sumatera Utara

Dalam berbagai demo tersebut terjadi kericuhan antara demonstran dengan pihak Kepolisian, bahkan, empat orang aktivis diamankan oleh aparat Kepolisian karena bertindak anarkis, dua orang berusaha menurunkan bendera namun belum sampai bawah sudah digagalkan aparat, dan satu aktivis hendak membakar ban bekas.


Tokoh Lintas Agama Mulai Beraksi Anti Korupsi

Sejumlah tokoh lintas agama sangat prihatin dengan ketimpangan sosial dan problem korupsi di Indonesia yang makin kronis. Mereka mendesak pemerintah untuk berbenah diri dalam mengatasi persoalan itu. Hal itu mengemuka dalam refleksi sejumlah tokoh agama memperingati Hari Antikorupsi dan Hak Asasi Manusia Sedunia di Gedung Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Jakarta, Rabu (8/12). Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Teten Masduki dan Ketua Institute for Ecosoc Rights Sri Palupi menjadi pembicara dalam refleksi itu.

Tokoh agama yang hadir meliputi Ketua KWI Mgr Martinus D Situmorang, Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Ketua Persekutuan Gereja Indonesia Andreas A Yewangoe, Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Salahuddin Wahid, mantan Ketua PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif, Ketua Komisi Hukum Nasional JE Sahetapy, dan Moeslim Abdurrahman. Selain itu hadir elemen masyarakat sipil Rizal Ramli, Soetrisno Bachir, Ray Rangkuti, Bondan Gunawan, dan Adhie Masardi.

Menurut Sri Palupi, kondisi pemiskinan di Indonesia berlangsung semakin brutal. Hal ini setidaknya terlihat dari 20-40 persen anak di 72 persen Kabupaten di Indonesia yang menderita kurang gizi dan 35,6 persen anak menderita gizi kronis. Setiap tahun sedikitnya 50.000 orang bunuh diri, di mana kemiskinan dan kesulitan ekonomi menjadi sebab. Selain itu, hampir setiap jam ada 24 balita dan dua ibu yang meninggal karena tidak mampu mengakses pelayanan dasar kesehatan.

Dalam perspektif pemberantasan korupsi, menurut Teten, problem politik menjadi hambatan utama. ”Kepentingan elite politik dan bisnis saat ini belum menghendaki pemberantasan korupsi secara radikal. Kondisi Indonesia makin terpuruk karena korupsi makin marak,” katanya. Dengan kondisi yang sudah sangat parah itu, Maarif mengajak tokoh agama untuk ”keluar dari tempat ibadah” dan bergerak untuk ikut menyelesaikan persoalan bangsa.

Sementara itu, Din menilai, tidak ada jalan lain untuk memperbaiki keadaan saat ini jika tidak ada ledakan dahsyat dari pemangku negeri ini. ”Tanpa itu, getar pemberantasan di aparat penegak hukum tidak ada apa-apanya. Kalau pemimpinnya tidak bisa, masyarakat sipil yang harus melakukan ledakan dahsyat itu,” katanya.


Rakyat Sudah Sangat Muak dengan Korupsi

Pemerintah tidak bisa lagi bermain-main dengan pemberantasan korupsi. SBY dan Kabinetnya serta semua institusi yang berwenang memberantas korupsi yaitu KPK, Kejaksaan Agung, Kepolisian, dan Pengadilan, tidak boleh lagi main-main dengan pemberantasan korupsi sampai ke-akar-akarnya.

12919122572048312193


Rakyat sudah sangat muak melihat kebohongan-kebohongan dan tindakan pura-pura para pemimpin dan petinggi negeri ini. Begitu juga DPR, jangan main-main lagi dengan usaha pemberantasan korupsi. Tidak ada lagi sandiwara, jangan ada lagi kepura-puraan. Jangan ada lagi kedustaan di antara kita.

Apabila Presiden SBY dan para pembantunya tetap tidak serius memberantas korupsi, maka jangan salahkan rakyat bila kami bergerak serentak di seluruh Indonesia untuk berdemo besar-besaran yang dapat berakibat terjadi kerussuhan masal sebagaimana saat Soeharto dirurunkan secara paksa. 

Kami rakyat Indonesia sudah sangat muak dengan tindak pidana korupsi termasuk rekening gendut para petinggi Polri.

Kami sangat benci melihat tampang-tampang koruptor seperti Gayus, Sirus dan Tikus-tikus berdasi
Kami sudah sangat benci dengan segala kebohongan Pemerintah untuk menutupi kasus Bank Century
Kami sudah sudah tak tahan lagi melihat rakyat yang menderita dan mati kelaparan, tidak bisa sekolah dan tidak bisa berobat karena ulah para koruptor yang menghisap darah rakyat sampai mati.

Selamat berjuang memberantas korupsi wahai bangsaku.
Lakukan sesuatu yang dapat anda lakukan di manapun dan di posisi apapun anda berada.
“Lakukan sekarang juga dimulai dari sendiri dari hal yang kecil” (Aa Gym)
Semoga ada manfaatnya

Bakaruddin Is
Sumber: kompasiana.com
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar