Rabu, 05 Januari 2011

Penegak Hukum Kita Dikepung Mafia

Penegak Hukum Kita Dikepung Mafia














Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mendapat pesan singkat dari kerabat, bahwa di lembaga yang dipimpin terjadi praktik penyuapan. Kabar itu tertulis dalam artikel Refly Harun di sebuah Harian ibukota. Tidak ingin berlarut-larut dalam ketidakpastian, dia bersama Hakim Konstitusi membentuk tim investigasi yang diketuai Refly yang mengaku mengetahui penyuapan tersebut. Sebulan tim bekerja, ternyata tidak mampu membuktikan tudingan suap tersebut. Kepada Suara Merdeka, Mahfud membeberkan kembali perihal tudingan itu. Lalu bagaimana nasib penegakan hukum tahun depan? Berikut petikan wawancaranya.

Kali pertama membaca tulisan Refly Harun, apa yang Anda rasakan?
Saya membaca di atas pesawat dari Yogyakarta ke Jakarta. Saat membaca saya cukup kaget, shock, keluar keringat dingin, dan tidak enaklah. Saya lalu meminta teh hangat kepada pramugari untuk menenangkan diri.

Kenapa saya kaget, sebenarnya isu yang disampaikan Refly itu sudah banyak, dan sudah saya selidiki tetapi hasilnya selalu berujung pada ”katanya”. Misalnya, katanya seseorang mengeluarkan uang untuk perkara dan memberikan kepada X, tetapi ternyata X tidak ada. Di berbagai daerah, kasus pemilihan kepala daerah (pilkada) juga seperti itu. Bahkan sudah ada yang disebut di koran. Misalnya di salah satu koran di Manado  jelas disebutkan, Hakim MK mendapat Rp 20 miliar. Tetapi setelah dilacak sumbernya tidak tahu.

Terkait Refly, tiba-tiba dia mengaku melihat dan mendengar sendiri. Saya pikir, hebat ini, karena ini sebuah temuan. Sebab selama ini saya tidak dapat menemukan dugaan suap itu. Ini berarti saya kebobolan. Kemudian saya langsung panggil hakim konstitusi dan saya katakan kalau kasus ini tidak kita buka kita dianggap pura-pura tidak tahu. Jika kita buka hasilnya akan sama dengan yang sudah-sudah, tidak terbukti. Tetapi Refly mengaku melihat dan mendengar sendiri. Artinya seolah-olah sudah bertemu dengan orang yang memberi suap dalam tiga kasus.

Pertama, Refly mengaku telah bertemu dengan orang yang katanya berperkara habis Rp 10-12 miliar.. Kedua, Refly ketemu orang yang mendaftar perkara calon gubernur diminta uang.
Ketiga, Refly mengaku melihat uang Rp 1 miliar dalam bentuk dolar yang oleh pemiliknya akan diberikan kepada hakim konstitusi. Kalau begini seharusnya gampang, karena melihat sendiri dan mendengar sendiri.

Lalu ada yang mengusulkan segera kasus ini dilaporkan saja kepada  polisi, sementara pak Akil Mochtar mengusulkan, dilaporkan saja ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saya berpendapat, kalau langsung dilaporkan, kasus ini hilang karena tulisan Refly tidak menyebut nama. Hakimnya siapa,yang dituduh menerima uang, yang diperas siapa, kalau dilaporkan ke KPK akan menguap, karena tidak ada subjek yang dilaporkan.

Karena itu akhirnya kami sepakat membentuk tim investigasi yang dipimpin oleh Refly Harun. Agar tim tersebut objektif, saya persilakan Refly menunjuk orang sebagai anggota, siapa saja, metode apa saja silakan digunakan. Fasilitas investigasi akan dipenuhi MK sesuai dengan kewajaran dan peraturan. Refly menunjuk Adnan Buyung Nasution dan Bambang Harimutri. Agar independen, MK tidak menunjuk orang dalam, melainkan Bambang Widjojanto dan Saldi Isra. Sesudah tim bekerja sebulan sesuai tenggat yang disepakati, ternyata dugaan tiga kasus tersebut tidak ada.

Kasus di Papua yang katanya ada orang yang ditelepon agar menyerahkan itu tidak ada. Karena di Papua tidak ada pemilihan gubernur. Untuk uang Rp 1 miliar dalam bentuk dolar ternyata kliennya Refly sendiri. Ketika Refly berbicara soal honor pengacara, kliennya, Jofinus Saragih meminta diskon, karena diskon itu akan digunakan mau bayar hakim konstitusi. Katanya pembicaraan itu didengar oleh sekretaris Bupati, Jumawati. Dan uang diserahkan melalui Bupati. Tim mengejar, tetapi Jumawati mengaku tidak tahu menahu pembicaraan itu.

Hanya melihat uang, dan sopirnya malah tidak tahu menahu soal uang dan urusannya dengan hakim. Tetapi ada temuan di luar tiga perkara tadi. Ada seorang yang menyuap panitera pengganti untuk suatu perkara, tetapi karena putusan hakim konstitusi steril, penyuap tetap kalah dan uang suap dikembalikan. Tetap saja paniteranya kita pecat.

Apa pengaruh tulisan Refly terhadap hubungan antarhakim?
Tentu terjadi keguncangan. Saling curiga. Karena biasanya kami kompak. Karena itu, kami sepakat membentuk tim investigasi. Jadi, semua ini bukan keputusan seorang Ketua MK. Selalu ada rapatnya. Dan sulitlah di MK hakim main untuk memenangi satu perkara. Kami saling percaya. Kemudian, setiap fakta persidangan dibedah bersama. Tidak bisa ditangani sepihak oleh seorang hakim.

Apa tanggapan Anda pada hasil investigasi?
Tim berharap agar nama dan kasus dirahasiakan. Saya berpendapat, jika itu dirahasiakan, berarti MK diletakkan di dalam kotak teka-teki. Nanti masyarakat menduga suap itu ada tetapi disembunyikan. Meski tim tidak menyebut nama, maka saya yang sebut nama. Jika ada nama yang diperas, siapa hakimnya, kami akan langsung laporkan ke KPK. Tetapi ternyata hasil inevstigasi tidak menyebut itu.
Akhirnya tetap kami laporkan sesuai dengan kebenaran ini.

Lalu bagaimana mengenai dua laporan (percobaan suap dan penyuapan) yang dilaporkan ke KPK?

Dua laporan itu sama. Bahannya sama persis. Hanya, Refly mengaku melihat uang satu miliar yang katanya akan diberikan kepada hakim karena diperas. Dan itu Refly melihat itu sebagai penyuapan. Tetapi MK beranggapan itu sebagai percobaan penyuapan karena ada orang mau memberikan suap tetapi yang disuap itu tidak ada. Refly diam saja ketika mengetahui orang hendak penyuap, bisa dikatakan sebagai turut serta. Sebenarnya kedua laporan sama.

Saya katakan kepada KPK jika ditemukan pidana pemerasan, langsung saja ditindak. Meski MK laporannya percobaan penyuapan tetapi jika KPK menemukan fakta lain ya langsung aja ditindaklanjuti. KPK tidak perlu didikte soal ini. Mereka tahu apa yang harus dilakukan.

Terhadap pendapat pendapat yang menyebut Mahfud mengerdilkan perkara penyuapan, apa tanggapan Anda?
Yang bilang saya mengerdilkan perkara suap hanya Refly dan ICW (Indonesia Corruption Watch). Saya kurang tertarik mengomentari.

Apa komentar Anda mengenai pembentukan Majelis Kehormatan Hakim (MKH)?
Untuk apa membentuk Majelis Kehormatan? Toh tidak ada bukti. Majelis kehormatan itu harus ada orang mengadu, ada bukti terjadi pelanggaran. Masa ada orang yang mengaku-ngaku, misalnya memberi uang kepada saya, terus saya dibawa ke Majelis Kehormatan tanpa bukti. Tidak boleh gegabah membawa orang ke Majelis Kehormatan. Bisa saja orang kalah dalam perkara di MK lantas kecewa terus mengaku-ngaku memberi uang.

Ada keinginan dari sebagian pihak yang menggiring opini dengan sangat jahat yang seolah memaksakan bahwa Akil bersalah. Tetapi saya katakan, jika dulu MKH dibentuk jika hanya ada laporan dan bukti, maka saya buat terobosan, MKH dapat dibentuk atas permintaan hakim itu sendiri.

Dan MKH untuk Akil bukan karena ada bukti Akil bersalah, tetapi karena permintaan Akil sendiri. Untuk Arsyad, bukti awalnya sudah kuat. Aturannya hakim dan keluarga dilarang bertemu dengan orang yang sedang berperkara. Karena itu dibentuk panel etik kemudian membentuk MKH untuk menemukan apakah Pak Arsyad mengetahui tidak anaknya bertemu dengan pihak yang berperkara.

Jika tahu, itu pelanggaran etik luar biasa. Sanksi terberat adalah rekomendasi untuk diberhentikan. Saya ingin memberi contoh dan membuktikan MK tidak resisten dari usulan masyarakat.

Saat ini MK jadi satu-satunya lembaga pengadil yang dipercaya masyarakat, apakah Anda dapat memelihara kepercayaan tersebut?
Saya akan berusaha, sampai hari akhir masa jabatan akan menjaga kepercayaan itu. Kami akan berusaha. Kami juga akan membangun sistem pengaduan yang langsung masuk ke KPK. Tetapi lebih dari itu saya juga terus melakukan pendekatan hati nurani. Kalau ada hakim yang kurang baik, biasanya hati nurani juga berbisik.

Kami juga terus membangun transparansi. Untuk menghindari pemalsuan putusan, begitu diketuk, putusan langsung dapat diperoleh gratis. Tidak perlu menunggu hingga dua bulan seperti tempat lain. Sidang juga terbuka, sidang hari ini, sore sudah bisa dilihat risalahnya.

Apa pendapat Anda mengenai ancaman yang Anda alami saat akan memutus uji materi Undang-undang Kejaksaan?
Saya tidak mengembangkan kasus ini lagi. Awalnya saya hanya menyampaikannya  pada saat acara rapat koordinasi jajaran Polkam, Komisi III DPR, dan lembaga penegak hukum di Istana Bogor.

Semua mengatakan mafia hukum kaitannya hanya dengan uang. Saya punya perspektif tambahan. Mafia hukum tidak hanya soal uang, tetapi juga terkait politik dan intrik. Kadang kala tidak ada kaitan dengan uang tetapi juga politik. Misalnya, saat perkara yang diajukan Yusril (Uji Materi UU Kejaksaan), ada orang datang ke saya meminta Hendarman Supandji dinyatakan sah hingga akhir masa jabatan presiden atau hingga presiden memberhentikan, bukan diberhentikan MK. Mereka bilang, jika tidak dipenuhi MK akan diguncang. Dengan mengaku memiliki bukti hakim MK terima suap. Itu bukan ancaman fisik tetapi barter kasus.

Saya bilang, mana buktinya. Mereka tunjukan bukti penerimaan uang Rp 150 juta yang ditandatangani Akil dari sebuah kabupetn di Kalimantan. Kuitansi itu ditandatangi 2003, padahal Akil jadi hakim 2008. Saya tahu, perkara itu sudah diselesaikan di kejaksaan. Akil menandatangi itu atas nama rombongan anggota DPR. Saat jadi anggota pansus datang ke daerah pemekaran, dan aturannya memang dibiayai pemerintah daerah untuk akomodasi.

Tetapi saya tidak bermaksud mempersoalkan yang dilakukan orang itu. Saya hanya mengatakan, ada perspektif lain soal mafia hukum, jangan hanya dikaitkan dengan uang. Saya sudah bilang ke Jaksa Agung, sudahlah tidak perlu diperpanjang.

Sebenarnya, menurut Anda bagaimana prospek penegakan hukum kita?
Agak berat. Saya kira lembaga birokrasi penegak hukum kita dikepung oleh mafia dan politikus. Padahal Basyrif (Jaksa Agung) dan Jenderal Polisi Timur Pradopo (Kapolri) mungkin orangnya baik. Tetapi kepungan politiknya di luar jauh lebih kuat. Untuk mengapai tekanan tersebut mereka harus didukung presiden. Jika tidak, sangat sulit, sebab kekuatan politik itu terlalu menggurita. Apalagi mitra kerja Kejaksaan Agung dan Polri adalah DPR, nanti di DPR mereka bisa dikerjain. Dan itu yang bisa menghadapi hanya presiden. Bisa jadi Jaksa Agung dan Kapolri bagus tetapi tertutup oleh kepentingan politik sehingga tertutup bagusnya.

Jadi presiden harus ikut campur?
Presiden harus ikut campur dalam penegakan hukum. Yang tidak boleh, ikut campur peradilan. Sejauh masih di lingkup kejaksaan agung dan polisi, presiden boleh ikut campur.

Batasannya?
Mengarahkan saja. Tentu tidak sembarangan membuat arahan.

Tidak khawatir menjadi alat kekuasaan dua penegak hukum tersebut?
Tidak, memang kekuasaan hukum itu di presiden. kekuasaan hukum itu tiga, pembuat hukum/UU ada di DPR, pelaksana UU itu Presiden. Di situ ada kejaksaan agung dan Polri. Kekuasaan lainnya ada di peradilan. Jika disebut alat kekuasaan, itu memang bagian dari kekuasaan, siapa pun presidennya. Kalau dilepas, jutru jadi alat kekuasaan pihak lain. Tidak ada yang menyalahkan presiden melakukan intervensi untuk penegakan hukum. Justru akan disalahkan kalau melarang penegakan hukum.

Sumber: Jakartapress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar