Sabtu, 22 Januari 2011
Relasi (Tokoh) Agama dan Politik
Sejumlah tokoh agama belum lama ini melakukan tekanan politik ke pemerintah melalui gerakan menolak kebohongan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kebohongan dimaksud merujuk sejumlah program Presiden yang belum sepenuhnya terealisasi hingga saat ini. Diantaranya pengurangan angka kemiskinan, pengangguran, jaminan keamanan nasional dan perlindungan kebebasan beragama.
Reaksi cepat diberikan Presiden dengan mengundang tokoh-tokoh tersebut untuk berdialog dan menjelaskan "kebohongan" versi mereka. Pro-kontra langsung muncul ke ranah publik pasca manuver para tokoh agama (plus beberapa aktivis LSM tersebut). Ada yang setuju, banyak pula yang menyangsikan kemurnian gerakan ini.
Penulis tidak akan menyoroti isu-isu yang mendasari tafsir 'kebohongan' versi gerakan tokoh agama, mengingat perdebatan tentang itu sudah terlalu riuh. Yang justru dilupakan dari momen ini, relasi antara agama dan politik, termasuk batas-batas yang dianggap patut.
Meminjam analisa Prof Ahmad Mubarok, politisi senior Partai Demokrat (PD), apa yang dilakukan tokoh-tokoh agama tersebut sangat disayangkan dan merendahkan tokoh agama sendiri. Ia meyakini bahwa tak seharusnya para tokoh agama yang posisinya tinggi di masyarakat, terlibat secara langsung dalam politik praktis. Selain memang bukan wilayahnya, masyarakat kini sejatinya lebih merindukan keteduhan dan pengayoman dari tokoh-tokoh agama, sehingga ummat merasa tokoh agama hadir dalam hidup mereka sehari-hari —tentu saja hadir sebagai spirit dan pembawa cahaya kebenaran.
Cahaya Moral
Agak berbeda dengan Mubarok, penulis melihat kritik tokoh agama kepada pemerintah bukanlah sesuatu yang dilarang. Bagaimana pun juga, tokoh agama juga adalah warga negara yang memiliki hak menyampaikan pendapat, dan itu dilindungi undang-undang. Hanya saja, semua itu sebaiknya dilakukan atas nama pribadi atau organisasi sosial-politik, dan bukan sebagai tokoh agama. Pasalnya, terlalu riskan jika melabelkan agama untuk gerakan politik tertentu. Sebab, walaupun hubungan agama dan politik dalam banyak keyakinan terkait, namun posisinya sama sekali berbeda.
Kaitan dimaksud adalah, agama sebagai cahaya moral berada di atas politik (praktis), dan mempengaruhi nilai-nilai individu dalam berpolitik. Posisi mulia agama ini tentu kurang tepat jika langsung dimasukkan ke politik sebagai gerakan mengatasnamakan (tokoh) agama. Tokoh-tokoh agama akan kehilangan kekuatan 'sucinya' jika harus berkubang dalam satu kolam politik bersama politisi yang mengusung kepentingan masing-masing.
Dan di sinilah mungkin kaitan gerakan menolak kebohongan Presiden SBY di atas, dimana sebagian tokoh agama yang aktif di gerakan tersebut juga sekaligus seorang politisi. Ada yang pernah mencalokan sebagai cawapres, ada pula sempat digadang-gadang akan maju para pilpres 2009 lalu. Itulah politik, di mana nilai benar-salah menjadi sangat relatif. Ini juga yang menjadi batasan antara agama dan politik, yang mana kebenaran agama adalah absolut.
Di luar itu, penulis melihat gerakan tokoh-tokoh agama ini kemungkinan (bisa benar atau salah) juga ditunggangi oleh kekuatan politik tertentu yang tidak mengharapkan pemerintahan SBY berjalan dengan lancar.
Tidak ada yang tidak mungkin dalam politik, begitu satu idiom populer di dunia politik. Artinya, tunggang-menunggangi itu adalah hal biasa dan menjadi warna alami dalam politik. Yang mencemaskan adalah jika sampai tokoh-tokoh agama tertunggangi (baik sadar atau tidak), oleh kekuatan politik tertentu —baik kekuatan politik formal maupun non formal.
Benturan nilai kembali terjadi di sini, dimana agama merupakan milik seluruh umat —lintas aspirasi dan afiliasi politik— sementara politik adalah institusi yang ruangnya sangat kecil dan pengap dengan interests.
Kembali soal isu kebohongan sebuah pemerintahan, tema ini selalu menjadi perdebatan klasik yang tak pernah usai. Namun tak semua setuju dengan kata kebohongan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kebohongan diterjemahkan sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Atau mengatakan sesuatu yang tidak sebenarnya.
Sebalinya, dalam sejumlah kesempatan Presiden SBY kerap mengulang-ulang pentingnya tell the truth, mengatakan kebenaran. Ini yang harus dipahami, bahwa tentu sangat tidak logis jika Presiden melakukan kebohongan kepada rakyatnya sendiri. Yang terjadi adalah, sejumlah program yang diklaim tokoh-tokoh itu adalah sesuatu yang belum berhasil atau dalam bahasa ekstrim, menemui kegagalan. Kegagalan ini juga tak serta-merta dapat dikatakan sebagai kebohongan, mengingat sebagai eksekutif, pemerintah telah berupaya, namun hasilnya memang belum sesuai harapan awal.
Jika semua program yang belum atau tidak berhasil dikatakan sebagai kebohongan, maka semua pemimpin di negeri ini telah melakukan kebohongan. Pada era Orde Baru, Presiden Suharto menetapkan era tinggal landas pembangunan, di mana saat itu diklaim fondasi ekonomi kita kokoh untuk menuju the new Asian tiger. Namun beberapa tahun kemudian, 1998, semua amblas tersapu angin krisis. Apakah Presiden Suharto melakukan kebohongan?
Lalu pada era Presiden BJ Habibie, kita dan pemerintah saat itu yakin opsi Otonomi Khusus akan menang dan rakyat Timor akan memilih Indonesia. Faktanya, Timor Timur lepas pada 1999. Apakah pemerintah saat itu melakukan kebohongan?
Presiden Gus Dur yang terpilih melalui pemilu 1999 awalnya digadang-gadang sebagai pemimpin transisi Indonesia yang kuat. Namun nasib berkata lain. Ia dituduh melakukan kebohongan dengan korupsi Bulog Gate, yang hingga kini juga tak terbukti. Siapa yang berbohong? Lalu Presiden Megawati yang melakukan banyak privatisasi BUMN dianggap melakukan kebohongan, karena itu semua sama sekali berbeda dengan ideologi partainya yang kerap dianggap nasionalis. Apakah Mega melakukan kebohongan juga?
Menyamakan Persepsi
Di sinilah kita harus menyamakan persepsi mengenai kebohongan dalam terminologi politik. Seperti pada kasus tewasnya aktivis HAM Munir, 2004 lalu, yang hingga kini masih gelap.
Negara sebesar Amerika Serikat (AS) juga menghadapi hal serupa saat Presiden JF Kennedy tertembak mati. Sampai saat ini kematian JFK belum bisa diungkap? Apakah Presiden Reagan, Bush hingga Obama melakukan kebohongan? Tentu yang pas, pemimpin-pemimpin itu gagal dalam mengungkap teror tersebut.
Ini juga yang terjadi di Indonesia saat ini, di mana beberapa program pemerintah belum sesuai target dan ini diakui Presiden SBY dalam sejumlah kesempatan. Namun demikian, kita harus adil mengatakan bahwa di antara beberapa catatan ketidakberhasilan, banyak juga capaian-capaian yang yang telah dicapai pemerintahan SBY.
Di antaranya, iklim demokrasi dan kebebasan yang kian bersemi. Tak ada yang meragukan hal tersebut, termasuk para pengkritik pemerintah dan masyarakat internasional.
Kedua, perdamaian Aceh juga prestasi yang patut diberikan apresiasi, mengingat daerah yang dilanda konflik puluhan tahun tersebut nyaris kehilangan trust terhadap Jakarta. SBY mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat Aceh sehingga NKRI tetap utuh.
Yang terbaru volume investasi di tanah air pada 2010 lalu mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah kita. Hal tersebut didasarkan realisasi penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) yang hampir menyentuh Rp 180 triliun.
Investasi tentu akan berdampak pada makin banyaknya lapangan kerja dan meningkatnya ekonomi. Bukankah ini merupakan keberhasilan pemerintah yang tidak selalu harus dilihat secara sinis?
Tapi itulah tantangan kita, dimana demokrasi yang terbuka sejak dua belas tahun lalu belum mengarah kepada tertib politik. Padahal, sebagaimana tesis Samuel P Huntington, transisi yang terkonsolidasi dan produktif, hanya bisa dicapai jika tertib politik tercipta. Dimana salah satunya adanya dukungan kepada pemerintah sehingga pembangunan dapat berjalan.
Tentu yang dimaksud dukungan dalam alam demokrasi adalah seluruh input (tuntutan, dukungan dan kritik). Hanya saja semua itu berada pada satu jalur dan menuju satu tujuan bersama: kepentingan nasional.
Semoga gerakan tokoh agama di atas masih termasuk ke dalam gerbong ini, demi Indonesia yang lebih baik di masa depan, wallahu a'lam.
Zaenal A Budiyono
Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Publikasi
Sumber: detiknews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar