Rabu, 05 Januari 2011

Remunerasi Untuk 6 Kementerian/Lembaga

DPR Setujui Pencairan Dana Remunerasi 6 Kementerian / Lembaga

  
Anggaran remunerasi : TNI Rp 3,3 triliun, Polri Rp  1,9 triliun,
Kemenhan Rp 36 miliar, Kemenpan  dan RB Rp 6,9 miliar,
Menkopolhukam Rp 6,7 miliar, dan Menkokesra Rp 5,8  miliar.

1.Mekanisme pemberiannya akan dilakukan dengan cara dirapel hingga
  enam bulan terakhir.
2.Pangkat yang lebih rendah nanti akan mendapat lebih tinggi.
3.Tinggal menunggu Keppres.
 
 
DPR RI sudah menyetujui dana sebesar Rp 5,6 triliun dari APBN yang dialokasikan untuk remunerasi dan reformasi birokrasi untuk prajurit TNI dan Polri.

Sebelumnya, Menteri Keuangan mengirimkan surat ke DPR RI pada tanggal 14 Desember 2010 untuk meminta dana APBN Rp 5,6 triliun. Intinya pengajuan dana tersebut untuk remunerasi dan reformasi birokrasi prajurit TNI dan Prajurit Polri selama enam bulan.

Bukan hanya prajurit TNI dan Polri yang mendapat anggaran tersebut, pegawai golongan bawah di Kementerian Pendayagunaan Apratur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB), Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kemenkokesra), Kementerian Pertahanan (Kemenhan), Kementerian Koordiantor Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam).

TNI mendapatkan anggaran remunerasi terbesar Rp 3,3 triliun, Polri Rp 1,9 triliun, Kemenhan Rp 36 miliar, Kemenpan dan RB Rp 6,9 miliar, Menkopolhukam Rp 6,7 miliar, dan Menkokesra Rp 5,8 miliar.
“Ini merupkan bentuk penghargaan terutama kepada prajurit TNI dan Polri selama yang bertugas di lapangan,” kata Wakil Ketua DPR RI, Priyo seusai mengetok palu persetujuan pengucuran dana tersebut, Rabu (15/12/2010).
Uang remunerasi itu akan diberikan kepada para prajurit dan pegawai yang berada di golongan bawah. “Remunerasi tidak berlaku untuk para pejabatnya,” imbuh Priyo.

Remunerasi ini sebenarnya sudah berjalan sejak 1 Juli 2010 lalu, tapi karena anggarannya baru diketok DPR maka pembayaran remunerasi itu akan dirapelkan dari bulan Juli sampai Desember 2010. “Anggaran Rp 5,6 triliun untuk remunerasi selama enam bulan,” imbuhnya.

Sebelum diketok DPR, dalam rapat yang dihadiri pimpinan DPR RI, pimpinan komisi I, II, dan III DPR serta kementerian terkait dan TNI-Polri di Gedung DPR, ada beberapa catatan dari Komisi I dan III. Kedua komisi itu meminta agar lembaga-lembaga yang mendapat remunerasi bisa memperbaiki kinerja.

“Pemberian remunerasi ini agar mereka tergerak untuk meningkatkan kinerjanya. Nanti kinerjanya tersebut akan menentukan besarnya remunerasi ke depannya, apakah itu bisa ditambah, tetap sama, berkurang, atau justru tidak mendapatkan sama sekali,” jelas Priyo.

 

Kenaikan Gaji TNI-Polri Rata-rata Rp 1 Juta


Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro menyatakan total kenaikan gaji rata-rata di enam instansi yang mendapat remunerasi adalah Rp 1 juta per orang.

Hari ini, DPR sudah menyetujui usulan pemerintah terkait anggaran untuk reformasi birokrasi, khususnya remunerasi di enam instansi negara. Yakni Kementerian Pendayagunaan Apratur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB), Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kemenkokesra), Kementerian Pertahanan (Kemenhan), Kementerian Koordiantor Politik, Hukum, dan HAM (Kemenkopolhukam).

Peningkatannya sekitar 40 persen untuk enam kementerian yang dinilai layak untuk melakukan reformasi. “Total kebutuhan kenaikan rata-rata dari enam instansi adalah Rp 1 juta per orang. Tapi, tentunya pangkat yang lebih rendah lebih tinggi,” kata Purnomo saat ditemui di Gedung Nusantara II DPR RI, Jakarta, Rabu (15/12/2010).

Pemberian uang remunerasi ini rencananya akan dirapelkan sejak 1 Juli 2010 sampai Desember tahun ini. “Remunerasi mulai berlaku 1 Juli 2010. Berlaku enam bulan pada tahun 2010,” imbuhnya.

Rencananya remunerasi tersebut akan cair pada tahun ini, karena tinggal memproses Keppres. “Saya kira beberapa hari selesai. Tahun ini akan cair karena tinggal satu langkah lagi dan Keppres sudah disiapkan. Tinggal persetujuan, jalan,” jelasnya.

Menurut Purnomo, uang remunerasi ini berbeda dengan tunjangan khusus untuk prajurit yang berada di perbatasan yang pemberiannya sudah berjalan. “Untuk prajurit yang bertugas di perbatasan, itu beda lagi. Ada tunjangan khusus. Itu sudah berjalan. Kemarin, Pak Wapres ke Sebatik, Kalimantan Timur, dan ditanya (soal tunjangan itu). Pasukan bilang sudah terima tunjangan khususnya. Itu tidak ada masalah,” jelas Purnomo.
Take home pay prajurit rata-rata yang diterima per bulan Rp 1.750 ribu per bulan. Dengan adanya tunjangan khusus, prajurit dapatnya kalau di pulau terluar yang tidak ada penduduknya peningkatannya 150 persen dan kalau yang ada penduduknya kenaikan mencapai 100 persen.

“Kalau di Sebatik kemarin, antara 50-100 persen karena ada daerah perbatasan yang ada penduduknya,” ungkapnya.

Menurut Menko Kesra Agung Laksono, dalam rapat hari ini dengan DPR RI sudah disepakati reformasi birokrasi yang menjadi program utama dan sudah disetujui untuk pemberian renumerasi di enam instasi, sistem goverment prosedur, dan retrukturisasi birokrsi. “Ke depan saya yakin ada peningktan kinerja,” imbuhnya.

 

Dengan Remunerasi, Tak Ada Alasan Polisi Terima Fee Liar


Anggota Kepolisian akan mendapat tunjangan kinerja/remunerasi mulai tahun 2011. Dengan remunisasi itu, Kepolisian harus terdorong meningkatkan kinerja.


“Dengan remunerasi, anggota Kepolisian  tidak memiliki alasan untuk menerima uang macam-macam,” ujar Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Iskandar Hasan di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Senin (20/12/2010).

Iskandar mengatakan, Kepolisian akan terdorong untuk meningkatkan kinerja dengan remunerasi tersebut. Hal ini sesuai dengan alasan utama pemberian remunerasi itu kepada korps Polri. “Kalau masih saja ada pelanggaran, harus ditindak tegas,” ujarnya.

Iskandar mengaku belum mengetahui secara terperinci seputar remunerasi tersebut, apakah merata bagi anggota Kepolisian di seluruh Indonesia atau nilainya berbeda sesuai dengan upah minimum regional daerah tertentu.

“Zaman saya bertugas di Aceh dulu, ada yang namanya tunjangan kemahalan, karena harga di satu daerah dengan daerah lain berbeda-beda. Nah, saya belum tahu di remunerasi ini seperti apa,” papar Iskandar.

DPR telah menyetujui pengucuran remunerasi bagi enam lembaga negara, seperti Kementerian Aparatur Negara dan Reforamsi Birokrasi (Kemenpan), Kementerian Pertahanan (Kemenhan), Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kemenkokesra), Kementerian Koordinasi Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam), termasuk TNI dan Polri.

Seluruh anggota Kepolisian akan mendapat tambahan tunjangan kinerja/remunerasi mulai tahun 2011. Remunerasi ini diberikan berdasarkan Perpres no 73 tahun 2010 tentang Tunjangan Kinerja Bagi Pegawai di Lingkungan Polri tertanggal 15 Desember 2010.

Kabagpenum Mabes Polri Kombes Pol Boy Rafly Amar, mengatakan dalam Perpres tersebut disebutkan jumlah tunjangan kinerja yang diterima berdasarkan tingkat jabatan di Polri. Remunerasi ini baru berlaku pada 1 Januari 2011.

Berikut jumlah tunjangan kinerja yang diberikan kepada setiap anggota Polri sesuai tingkat kelas jabatan:
1. Tunjangan kelas jabatan 18, Rp 21.305.000
2. Tunjangan kelas jabatan 17, Rp 16.212.000
3. Tunjangan kelas jabatan 16, Rp 11.790.000
4. Tunjangan kelas jabatan 15, Rp 8.575.000
5. Tunjangan kelas jabatan 14, Rp 6.236.000
6. Tunjangan kelas jabatan 13, Rp 4.797.000
7. Tunjangan kelas jabatan 12, Rp 3.690.000
8. Tunjangan kelas jabatan 11, Rp 2.839.000
9. Tunjangan kelas jabatan 10, Rp 2.271.000
10. Tunjangan kelas jabatan 9, Rp 1.817.000
11. Tunjangan kelas jabatan 8, Rp 1.453.000
12. Tunjangan kelas jabatan 7, Rp 1.211.000
13. Tunjangan kelas jabatan 6, Rp 1.010.000
14. Tunjangan kelas jabatan 5, Rp   841.000
15. Tunjangan kelas jabatan 4, Rp   731.000
16. Tunjangan kelas jabatan 3, Rp   636.000
17. Tunjangan kelas jabatan 2, Rp   553.000
18. Tunjangan kelas jabatan 1, Rp-


Impian Kinerja Polri


Standar baru tentang remunerasi personil Polri akhirnya ditetapkan. Dengan standar baru itu, Polri bertekad akan meningkatkan kualitas pelayanan mereka terhadap masya-rakat. Dan bagi para personil yang masih saja membandel dengan tetap melakukan kelakuan-kelakuan koruptif, Polri sesuai pernyataan Kadiv Humas Mabes Polri akan memberikan tindakan tegas. Mengapa Polri mendapat perlakuan yang sedemikian spesial? Apa lagi asumsinya kalau bukan pertama bekerja sebagai aparat polisi dan petugas pajak sama artinya dengan bekerja di medan yang penuh dengan cobaan.

Asumsi di atas pun diperkuat oleh pernyataan Transparency International (TI) pada tahun 2007, bahwa di banyak negara, kepolisian adalah institusi yang paling sering menjadi tempat berlangsungnya suap-menyuap (bribery). Asumsi kedua, tidak dapat diingkari; untuk profesi seberat personil Polri, penghasilan yang mereka terima pada waktu-waktu sebelumnya memang jauh dari cukup. Ketidakcukupan itu yang mendorong personil Polri untuk memanfaatkan otoritas yang mereka punya sebagai instrumen untuk memperoleh penghasilan sampingan, betapapun penghasilan itu ilegal sifatnya. Perbaikan standar remunerasi Polri, logikanya, akan memagari personil Polri dari godaan-godaan koruptif macam itu.

Personil Polri perlu punya taraf kesejahteraan yang lebih baik. Saya sepakat tentang itu. Tapi jika pembenahan remunerasi ditujukan bahkan diyakini untuk memangkas korupsi di tubuh kepolisian, saya tidak terlalu yakin akan efektivitasnya, betapapun Interpol Group of Experts on Corruption di dalam Global Standards To Combat Corruption in Police Forces/Services (2007) mencantumkan rekomendasi khusus tentang perlunya langkah-langkah praktis untuk menjaga agar remunerasi polisi dapat lebih sesuai dengan standar kehidupan petugas polisi berikut keluarga mereka. Persoalannya, barangkali ada satu argumentasi yang kerap terlupakan. Begini; logika mengatakan, gaji yang rendah adalah sesuatu yang tidak menarik, terlebih bagi pencari kerja dengan keterampilan kerja yang baik. Dari situ dapat dipahami, kantor yang menawarkan nominal gaji yang pas-pasan besar kemungkinan hanya mengundang perhatian para pencari kerja dengan kemampuan kerja yang pas-pasan pula.

Itulah yang sangat-sangat mengkhawatirkan. Para pencari kerja sebenarnya sudah tahu berapa besar gaji yang akan mereka terima, andaikan mereka bekerja sebagai aparat polisi. Tapi mengapa antrian pelamar di kantor polisi tetap panjang mengular?

Alasannya bisa jadi sangat pragmatis: pokoknya mempunyai pekerjaan, terlepas besar kecilnya potensi mereka (para calon personel Polri) untuk menggeluti pekerjaan itu. Yang lebih berabe adalah ketika para pencari kerja tahu persis peluang yang bisa mereka dapat setelah bekerja sebagai personil polisi. Pengetahuan akan celah memperoleh penghasilan ekstra itu sudah menjadi rahasia umum, seperti dikemukakan Transparency International di atas.


Dimensi Individu dan Organisasi

Korupsi yang telah begitu sistemik di lingkungan kepolisian, seperti disorot oleh banyak kalangan, menjelma sebagai sebuah gaya hidup. Manakala korupsi sudah menjadi gaya hidup, tindakan pemolisian yang memangsa (predatory policing) bukan lagi dilakukan sambil lalu, tetapi sudah menjadi cara berfikir, bahkan watak yang lekat pada diri personil polisi. Korupsi sebagai perwujudan watak atau gaya hidup niscaya tidak akan bisa diatasi hanya lewat nalar simplistis dengan memperbaiki standar remunerasi personil Polri semata. Lingkungan kerja Polri yang koruptif pada gilirannya tidak lagi sebatas menjadikan tindakan koruptif sebatas sebagai kenakalan yang bersifat insidental. Korupsi bukan lagi inisiatif-inisiatif individual, melainkan sebuah sub-kultur yang terprogram lewat mekanisme penyeliaan atau supervisi yang koruptif pula. Personil yang korup diduga kuat bukan hanya diketahui dan ditoleransi, tetapi bahkan didorong oleh pihak atasan. Alhasil, ada kesenjangan nalar di sini. Untuk menyetop reproduksi perilaku koruptif, perbaikan kesejahteraan sebagai program yang menyasar individu personil Polri tidak akan mencukupi, apabila tidak disertai dengan perombakan terhadap sistem pengaturan relasi antara atasan dan bawahan.

Keberadaan sistem tersebut kian penting, karena 88 persen dari total personil Polri saat ini berada pada level bintara. Mereka adalah pihak yang disebut-sebut akan menjadi sasaran utama penerapan standar baru remunerasi Polri. Jumlah yang besar tersebut berkonsekuensi bahwa bagi kebanyakan aparat Polri saat ini, profesionalitas kerja mereka memang sangat bergantung pada format hubungan penyeliaan antara mereka selaku bawahan dengan para atasan mereka.

Quah (1999) memperkuat argumentasi tersebut dengan mengatakan bahwa korupsi oleh personil polisi bukan semata-mata karena rendahnya penghasilan mereka, tetapi juga karena pada saat yang sama personil polisi mempersepsikan korupsi sebagai tindakan dengan risiko yang rendah bahkan justru ber-reward tinggi. Di samping bertali-temali dengan unsur otoritas, tindakan koruptif oleh personil polisi juga berkaitan dengan tingkat kompetensi kerja yang kurang memadai. Dengan demikian, di samping fokus pada pembenahan standar kesejahteraan, Polri juga seharusnya menaruh keseriusan yang sama pada area penguatan kompetensi kerja para personilnya.

Dinyatakan Transparency International (2009), rendahnya penghasilan karyawan pemerintahan di negara-negara sedang berkembang mengakibatkan menurunnya efisiensi dan produktivitas sektor publik. Penghasilan yang tidak memadai juga menciptakan insentif sekaligus kesempatan bagi berlangsungnya tindak korupsi dan penyalahgunaan wewenang lainnya. Kendati demikian, menaikkan upah bukan merupakan solusi jitu, jika tujuannya adalah untuk menekan ketidakpatutan perilaku (misconduct) semacam korupsi. Menaikkan upah tanpa disertai langkah meningkatkan sistem pengawasan serta penerapan sanksi yang tepat, tidak akan berefek besar bagi menurunnya tindak korupsi.

Di sinilah persoalan muncul. Marx (2007) menyatakan, kepolisian pada umumnya dikenal sebagai organisasi yang kurang memperhatikan secara serius aspek kesehatan organisasi. Hal ini dibuktikan lewat sangat jarangnya organisasi kepolisian melakukan evaluasi (termasuk audit terhadap segala ihwal yang berkaitan dengan sumber daya manusia). Evaluasi lazimnya dipraktikkan lewat pendekatan pemadam kebakaran, yakni diselenggarakan ketika organisasi digemparkan oleh skandal yang mengemuka ke publik.


Tolok Ukur

Hingga saat ini, justifikasi terkuat yang berulang kali digunakan Polri adalah bahwa standar baru remunerasi Polri akan meningkatkan kualitas pelayanan personil Polri. Dengan asumsi seperti itu, Polri sebenarnya menghadapkan dirinya sendiri dengan masalah pelik berupa tolok ukur keberhasilan yang ingin diraih. Apa sebenarnya makna pelayanan yang berkualitas, meningkat dari berapa ke berapakah kualitas pelayanan itu, serta bagaimana cara mencapai peningkatan itu? Inilah yang juga perlu dipikirkan sungguh-sungguh oleh korps Tribrata. Allahu a’lam.

Reza Indragiri Amriel,
Dosen Psikologi Forensik, Universitas Bina Nusantara, Jakarta



Sumber: remunerasipns.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar