Enaknya jadi koruptor di Indonesia, sudah kaya-raya terhormat pula. Lihatlah Gayus, resmi menjadi terpidana 20 Januari lalu. Sudah puluhan kali keluar masuk rutan dan membuat kepala rutan dicopot dari jabatan, sempat jalan-jalan pula ke Bali, China, Singapura, dan Malaysia (dan entah ke mana lagi, yang belum terungkap). Untuk bisa beranjangsana ke mancanegara, dia telah membuat paspor asli tapi palsu yang kini membuat sejumlah pihak terkait di negara ini seperti kebakaran jenggot. Dalam salah satu sidang di pengadilan, Gayus bahkan sempat menawarkan diri menjadi penasihat ahli di institusi pemberantasan korupsi negara ini. Tak lama setelah vonis hakim dibacakan, dia menyempatkan diri "bernyanyi" di depan pers seraya menyebut sejumlah pihak yang menurutnya ikut bersalah. Masih kayakah pria muda bernama palsu Soni Laksono itu? Mungkin, karena kita memang tak tahu seberapa besar harta yang masih dimiliki dan yang sudah disita atau dibekukan negara. Yang jelas, untuk semua kesalahan yang sudah diperbuat, dia hanya divonis tujuh tahun. Ringan betul. Terlalu jauh beda dibandingkan dengan 20 tahun yang dituntut jaksa. Padahal selain korupsi, Gayus sudah berkali-kali melukai rasa keadilan masyarakat. Tak pelak, pengacara senior Todung Mulya Lubis pun langsung berkomentar, bahwa ini potret suram penegakan hukum di Indonesia. Dia prihatin, karena vonis ringan membuat banyak orang tak akan takut dan akan korupsi berulang-ulang. Namun, kenikmatan menjadi koruptor seperti Gayus sebenarnya sudah didahului oleh kasus-kasus serupa. Inilah aneh bin ajaib negara hukum ini. Sebutlah contoh Jefferson Soleiman Montesqiue Rumajar, berstatus terdakwa korupsi dan ditahan di LP Cipinang, toh masih dilantik sebagai Wali Kota Tomohon di Kantor Menteri Dalam Negeri, 7 Januari lalu. Dari hotel prodeo itu, dia dengan wibawa melantik sejumlah staf ahli di instansi pemerintah daerah yang dipimpin. Sungguh kacau dan paradoks. Melantik abdi negara di tempat di mana negara justru menjebloskan orang-orang yang bersalah ke dalamnya. Saat ini Kementerian Dalam Negeri mencatat, terdapat 17 dari 33 pimpinan daerah tingkat I atau gubernur berstatus tersangka korupsi. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi mengatakan, sejumlah kasus yang melibatkan kepala daerah masih terus bergulir hingga kini. Kasus terakhir yang baru diselesaikan adalah rencana penonaktifan Gubernur Bengkulu Agusrin M Najamuddin, diduga terlibat korupsi dana bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Rp23 miliar. "Dua malam lalu saya sudah tandatangani surat (penonaktifan). Mudah-mudahan dua tiga hari ke depan dari Presiden bisa segera keluar surat untuk dinonaktifkan," katanya dalam rapat kerja dengan DPD RI, (17/1). "Sekarang 155 kepala daerah merupakan tersangka," kata Gamawan. "Tapi saya kira masih ada lagi. Saya setiap minggu menerima tersangka baru. Baru tiga bulan menjabat jadi kepala daerah, jadi tersangka. Itu prosesnya. Pengawasan di daerah kini juga berlapis-lapis. Bagaimana kita melihat itu hingga dengan begitu bisa menyiasati semua selamat dan pemerintahan ini bersih." Mungkin itulah ekses dari ketidaktegasan negara terhadap para koruptor selama ini. Hingga banyak pemimpin di pemerintahan cacat hukum dan cacat moral. Apa jadinya negeri ini ke depan jika roda pemerintahan digerakkan mereka yang tak dapat dipercaya? Atau mungkin semua ini terjadi karena sikap yang tak tepat sekaligus tak arif terhadap koruptor. Bayangkan, misal, di Medan pernah terjadi kepulangan mantan Wali Kota Medan Abdillah di Bandara Polonia, 2 Juni 2010, disambut secara meriah oleh ratusan orang yang sengaja menjemput. Selain rakyat biasa, pejabat dan wakil rakyat setempat pun terlihat dalam arak-arakan penyambutan (mantan) koruptor yang baru bebas dan keluar dari LP Sukamiskin, Bandung, sehari sebelum itu. Orang-orang terhormat itu, antara lain, adalah sejumlah camat dan lurah di lingkungan Pemkot Medan, serta anggota DPRD setempat. Di bandara, Abdillah saat itu langsung dielu-elukan warga. Beberapa dari mereka bahkan sempat mengupah-ngupah (memberikan semangat) kepada Abdillah. Antusiasme mereka dalam "upacara" itu bahkan sempat mengganggu para penumpang di terminal kedatangan bandara. Dari sana rombongan Abdillah yang mendapat pengawalan dari sejumlah organisasi kepemudaan menuju Masjid Raya Medan bertemu sejumlah alim ulama dan tokoh masyarakat Medan. Setelah itu, baru dia menuju rumah pribadi di Jalan Perak, Medan. Abdillah bebas bersyarat setelah menjalani dua pertiga dari masa hukuman. Dia berada di LP Sukamiskin Bandung sejak 28 Agustus 2009, setelah sempat ditahan di LP Cipinang. Abdillah divonis empat tahun penjara terkait kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran dan APBD Kota Medan. Negara ini terlalu bermurah hati kepada koruptor. Bayangkan, setiap menyambut hari raya keagamaan dan hari ulang tahun proklamasi, negara selalu memberikan remisi kepada mereka. Kalau "hadiah" potong masa tahanan itu begitu mudah diberikan, lantas apa artinya korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime)? Ironisnya tak cuma "hadiah", bahkan "anugerah" pun pernah diberikan kepada seorang koruptor. Adalah Syaukani Hasan Rais, mantan Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, yang sudah menikmati tahun 2010. Dia diberi grasi walau masa tahanan yang harus dijalani masih tiga tahun lagi. Alasannya, karena gurubesar ilmu ekonomi Universitas Kutai Kartanegara (Unikarta) itu menderita sakit parah. Setelah bebas, Syaukani langsung diterbangkan ke vila pribadi di sebuah perbukitan di Kalimantan Timur. Seterusnya dia akan beristirahat di sana, di rumah asri seluas 30 hektare dilengkapi istal kuda, area berkuda, landasan helikopter, dan kebun sawit. Ternyata Syaukani masih kaya-raya, meski pengadilan sudah dua kali menuntut membayar ganti rugi. Dari mana harta sebesar itu diperoleh? Hasil kerja-keras selama bertahun-tahun sebagai dosen hingga menjadi gurubesar? Tak mungkin. Dari kelihaian mendayagunakan jabatan selama menjadi bupati (2005-2008)? Kalau ini mungkin. Inilah yang membuat kita miris dan bertanya: kalau begitu mampukah korupsi diperangi sampai ke akar-akarnya? Ketua Eksekutif Economic and Financial Crimes Commission (EFCC) Nigeria, Mallam Nuhu Ribadu, pernah berkata: "Kita punya masalah sama: kita cenderung memberi hormat pada kepada orang yang justru tidak layak dihormati. Kamu melecehkan dirimu, kamu melecehkan kebijakanmu. Kamu punya kesempatan baik, tapi kamu membuat para pencuri itu tetap jadi pencuri karena kecenderungan itu. Ini masalah tentang manusia, jadi jangan ada toleransi bagi para koruptor itu. Bawa mereka ke depan hukum. Di Nigeria, kami menangkap para koruptor kakap dan ini membuat trickle down effect" (Tempo, 16/9/2007). Sementara Pascal Couchepin, Konsuler Federal sekaligus Menteri Dalam Negeri Swiss, memberi resep jangan memberi respek kepada koruptor. Swiss selama ini selalu dikategorikan Transparency International sebagai negara yang "bersih dari korupsi". Penulis: Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan www.harian-global.com |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar