Selasa, 08 Maret 2011

Desa di Sumba Timur




Pagi menyambut saya dengan hentakan kaget. Saya lirik jam, ternyata masih pukul 06.40 WITA. Kembali saya peluk guling dan tarik selimut merapat. Semalam tampaknya saya tidur bak orang mati. Lelap sekali. Kelelahan akibat jadwal yang padat sudah berdampak pada tubuh. Agak susah membangkitkan semangat di pagi ini (18/10/10).

Cuaca tidak terlalu cerah seperti kemarin. Awan menggantung selama perjalanan menuju Desa Rende yang masih dalam wilayah Sumba Timur. Namun jika lihat pada peta, kami mengemudi ke selatan. Partner saya sudah terlelap padahal baru 30 menit kami melaju. Pemandangan berupa tanah tanduh dan gersang mulai terlihat. Pak Yoakhim bilang, tanah di sekitar Sumba Timur memang seperti ini - warna kuning dan cokelat mendominasi. Saya melihat banyak kandang ternak yang dibuat secara tradisonal dari batang pohon atau bebatuan yang disusun sedemikian rupa hingga membentuk seolah sebuah kotak yang besar.

Melaju lebih jauh, sawah dan pepohonan memunculkan batang hidungnya. Rumah-rumah pun terlihat. Tidak seperti perjalanan sebelumnya, kali ini lebih 'hidup'. Hanya memerlukan waktu kurang lebih 90 menit, kami sudah memasuki Desa Prawiyangan, Rende atau yang lebih dikenal dengan Desa Rende saja. Desa ini memiliki akses yang cukup baik. Letaknya tidak jauh dair jalan utama. Terlihat dengan adanya aspal di depan desa. Lapangan luas pun sudah menyambut kami. Mobil diparkirkan dan kami berjalan masuk.

Umbu Makambombu menyambut kami di sebuah rumah yang memang sengaja dibuat untuk menerima tamu. Desa ini sudah menjadi tujuan wisata yang kebanyakan adalah mancanegara, sehingga sudah terbiasa menerima pendatang. Kami disuguhi nampan yang berisi siih pinang. Berikan donasi seikhlasnya di dalam nampan tersebut dan Anda tidak perlu memakan sirih pinangnya. Sirih pinang adalah cara penyambutan mereka terhadap tamu. Desa Rende adalah desa tradisional terbesar di Sumba yang masih memegang adat istiadat leluhur. Rumah Adatnya terawat dengan baik. Selain itu mereka juga masih melangsungkan Upacara Adat dan yang terbesar adalah Upacara Pemakaman. Karena mereka merayakannya secara besar-besaran di banding upacara lainnya. Jadi waktu yang tepat untuk berkunjung adalah pada saat upacara tersebut dilangsungkan. Biasanya jika ada orang yang meninggal, jenazahnya tidak langsung dikuburkan namun didiamkan selama beberapa waktu - waktu penguburan tergantung pada keputusan dari pihak keluarga.

Penduduk di sini menganut kepercayaan Merapu. Sebagian sudah memeluk agama, tapi mereka masih menjalankan adat istiadat seperti biasanya. Status kekayaan pun diukur dari banyak hewan ternak yang dimiliki. Seorang lebih dihargai jika dia memiliki banyak hewan ternak dibandingkan orang yang memiliki uang banyak dengan sedikit ternak, itu papar beliau secara garis besar.

Oleh: Christina Sugihwati

Sumber: travel.detik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar