Selasa, 22 Maret 2011

Perdagangan Air Maya (Virtual Water Trade)



Tulisan ini saya buat dalam rangka Hari Bumi kemarin dan Hari Air sedunia, yah walaupun telat tapi tak apa.
Apakah Anda sadar bahwa secangkir kopi yang anda teguk adalah hasil dari 140 liter air. Sehelai kemeja yang anda kenakan telah melahap 2700 liter air. Dalam keseharian kita tidak sadar betapa banyaknya air yang kita serap dari berbagai penjuru dunia

Air maya (virtual water) merupakan sebuah konsep yang dikenalkan oleh Professor John Anthony Allan dari King’s College London and the School of Oriental and African Studies.


Mengenai konsep ini ia memberikan perumpamaan, bila Anda mengonsumsi satu kilo gandum, sebenarnya Anda mempunyai andil dalam penggunaan satu ribu liter air yang diperlukan untuk menumbuhkan tanaman itu hingga panen. Begitu pula ketika Anda mengonsumsi satu kilo daging sapi, berarti Anda menggunakan pula 16.000 liter air yang diperlukan bagi peternakan sapi hingga menghasilkan daging tersebut.

Berikut beberapa kebutuhan air maya yang lain (per kg):
Gandum : 1.300 liter
Beras bersih : 3.400 liter
Daging Ayam : 3.918 liter
Telur : 3.340 liter
Pisang : 859 liter
Jagung : 909 liter
Kentang : 255 liter
Baju katun : 8.200 liter
Jeans : 10.850 liter
Diaper (75 gr) : 810 liter

Perbedaan yang jelas dalam penggunaan air dapat terlihat di beberapa benua. Di Asia, masyarakat menggunakan rata-rata 1.400 virtual water per harinya. Sementara di Eropa dan Amerika Utara, penduduknya mengonsumsi sekitar 4.000 virtual water per hari. Umumnya sebanyak 70 persen seluruh air itu tersalurkan untuk pertanian. “Namun orang umumnya tidak menyadari telah menggunakan terlalu banyak air bagi kehidupannya sehari-hari,” demikian dijelaskan Daniel Zimmer, Direktur Badan Air Dunia yang juga pembicara pada sesi yang membahas tentang Virtual Water Trade and Geopolitics, di Kyoto.

Besarnya variasi tersebut menunjukkan bahwa pola makan atau diet sangat penting bagi konsumsi air dunia. Bila seluruh dunia memanfaatkan air sebanyak penduduk di Amerika Utara, maka dunia akan memerlukan 75 persen lebih banyak air dibandingkan dengan yang digunakan saat ini untuk produksi pertanian.
Seperti diketahui, emisi lokal gas rumah kaca menyumbangkan perubahan pada iklim global sehingga mempengaruhi suhu, evaporasi, dan pola curah hujan di tempat lain. Di samping itu, ada mekanisme lain di mana suatu negara mempengaruhi sistem air negara lain.

Terdapat hubungan langsung antara suatu produk yang membutuhkan banyak air (terutama tanaman) di negara-negara seperti Indonesia dan Brasil, misalnya, serta air yang digunakan untuk memproduksi barang-barang ekspor di negara seperti Amerika dan Australia. Air yang digunakan untuk memproduksi barang ekspor secara nyata menyumbang perubahan sistem hidrologi skala regional dan lokal.

Sebuah artikel yang ditulis AY Hoekstra menerangkan bahwa para konsumen di Jepang telah mempengaruhi sumber air di Amerika, menyumbang pada pengeboran sumur artesis di Ogallala, mengurangi debit Sungai Colorado, dan meningkatkan evaporasi di Amerika Utara. Para konsumen di Belanda pun secara nyata telah menyumbangkan tingkat kebutuhan air di Brasil.

Bagaimana menjelaskan hubungan sistem air global ini melalui mekanisme perdagangan global? Penelitian terakhir menunjukkan bahwa pengaruh perdagangan global terhadap sistem air regional ternyata sama pentingnya dengan pengaruh perubahan iklim terhadap sistem air regional.

Bila perubahan iklim sampai saat ini belum terasa pada sistem air regional di seluruh bagian Bumi, maka pengaruh perdagangan global terhadap sistem hidrologi regional adalah betul-betul kasat dan sudah terjadi saat ini. Memproduksi barang dan jasa membutuhkan air.

Beberapa negara yang mengalami kelangkaan air saat ini mulai menerapkan konsep baru yang disebut “air maya” (virtual water)-sejumlah air yang diperlukan untuk menghasilkan suatu barang konsumsi dalam menyusun strategi produksi pertaniannya. Konsep tersebut hendaknya dikembangkan lebih lanjut ke seluruh dunia karena tingginya tingkat pemanfaatan air di sektor tersebut.

Sementara itu, Prof Arjen Hoekstra dari Badan Internasional untuk Teknik Lingkungan dan Infrastruktur Hidraulik (International Institute for Infrastructural Hydraulic and Environmental Engineering/IHE) membuat kalkulasi awal yang menggambarkan tentang perdagangan “air maya” sebagai bahan yang diperdebatkan selama forum tersebut.

Perhitungannya menunjukkan bahwa hampir 20 persen air yang digunakan oleh sektor pertanian diperdagangkan ke negara lain dalam bentuk pangan dan produk lain yang dihasilkannya. Ini merupakan jumlah yang sangat besar karena lima triliun meter kubik air per tahun digunakan untuk pertanian, dan di luar itu sebanyak satu triliun meter kubik air diperdagangkan antarnegara.

Di antara negara besar pengekspor murni “air maya” adalah Amerika Serikat, Kanada, Thailand, Argentina, India, Vietnam, Perancis, dan Brasil. “Amerika Serikat merupakan pengekspor utama virtual water karena ekspor pertaniannya,” lanjut Zimmer. Sedangkan beberapa negara pengimpor murni virtual water adalah Sri Lanka, Jepang, Belanda, Korea Selatan, Cina, Spanyol, Mesir, Jerman, dan Italia. Sebagai perbandingan, ekspor virtual water Amerika Serikat setiap tahunnya empat kali lipat dari seluruh air yang secara nyata digunakan untuk berbagai hal di Mesir.

Berkaitan dengan hal tersebut, William J Cosgrove, Wakil Presiden World Water Council, menambahkan, secara tidak sadar, dengan mengimpor makanan, banyak negara yang kekurangan air telah mengurangi masalah air mereka sehingga impor “air maya” telah memainkan peranannya. Karena itu disarankan untuk menerapkan konsep tersebut secara lebih sadar. “Para pemerintah harus mulai berpikir dengan cara berbeda, pada tingkat regional. Kita harus mulai berpikir bagaimana membagi keuntungan dari air, selain berbagi air,” ujarnya.

Forum ini akan membahas perbedaan antara keamanan pangan dan kedaulatan pangan, yaitu banyak negara dapat memperdagangkan virtual water untuk mencapai pasokan pangan yang mencukupi bagi masyarakatnya, tetapi banyak negara tidak ingin menjadi tergantung pada perdagangan global.

“Hal tersebut merupakan masalah yang rumit bagi India dan Cina,” lanjut Zimmer. Karena memiliki populasi yang sangat besar, mereka berpikir pasar dunia tidak mampu memasok kebutuhan pangan dalam kondisi krisis. Mereka ingin mengatasi kebutuhan pangannya sendiri.

Catatan penulis:
Menurut saya water-trading ini tidak berarti menjual sejumlah air ke Negara lain tetapi mencemari sejumlah air yang ada di negara penjual tersebut. Misal ketika sebuah negara mengimpor daging jadi dari negara lain berarti negara itu telah menghemat 16.000 liter air per kilogram air yang tidak mengalami penurunan kualitas di negara pengimpor tersebut.

Selain masalah pada kuantitas air –banjir waktu penghujan, kekeringan waktu kemarau-, sekarang pemerintah dihadapkan pada permasalahan kualitas air bersih yang mulai menurun. Penambahan lahan pertanian, intensifikasi yang berlebihan, pupuk dan pestisida yang menjadi bahan pencemar air sebagai hasil dari usaha pencukupan pangan bagi kita. Pengambilan air tanah yang berlebihan sehingga mengakibatkan merembesnya air laut pada sistem air tanah juga bukan masalah sepele.

Memang perlu political will yang kuat dari pemerintah mengenai konservasi air bersih di Indonesia, namun itu bukan hal yang mustahil jika semua pihak mau bekerja sama demi terwujudnya Indonesia yang mampu swasembada pangan namun tidak kehilangan ruh dari kearifan lokal yang menghargai lingkungan.
Semoga…
  
Sumber: akhirmalam.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar