Kamis, 21 April 2011

Kutu Loncat Serbu Demokrat (1)

 Lupakan Ideologi, Cari Politisi Populer


Lupakan Ideologi, Cari Politisi Populer  


Akhir-akhir ini jagat politik kita diwarnai oleh perpindahan sejumlah politisi dari beberapa partai politik ke Partai Demokrat (PD). Sebetulnya, gejalanya sudah terlihat sejak beberapa pekan setelah berakhirnya Pemilu 2009. Namun sebulan belakangan ini perpindahan itu melibatkan sejumlah tokoh penting sehingga beritanya menguat.

Ketua DPD PBB NTB, yang juga Gubernur NTB, Zainul Majdi hengkang ke Partai Demokrat, dan langsung dipilih sebagai Ketua DPD Partai Demokrat NTB. Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusuf, yang dikenal sebagai kader PAN, undur diri dari partai matahari menuju partai bintang.

Sebelumnya ada gubernur Bengkulu, gubernur Sulawesi Utara dan tentu saja gubernur Sumatera Barat yang kini menjadi menteri dalam negeri. Sudah tidak terhitung berapa bupati/walikota yang berlabuh ke partai SBY itu.

Kutu loncat. Itulah julukan buat politisi yang suka pindah partai. Julukan itu muncul pada zaman Orde Baru. Ketika banyak politisi berpindah, dari PPP atau PDI ke Golkar. Kepindahan menjelang pemilu itu selalu bikin heboh. Partai yang ditinggalkan merasa dikhianati, partai yang didatangi berharap banyak akan limpahan suara yang dibawa sang politisi.

Zaman berganti, politik semakin terbuka. Namun kebiasaan ganti partai tetap berlanjut. Pada awal Orde Baru, giliran Golkar yang berubah nama menjadi Partai Golkar, ditinggalkan para kader handalnya. Sebagian besar pindah ke PDIP, sebagian lagi bikin partai baru. Pilihan para politisi Golkar pindah ke PDIP itu tepat, karena pada Pemilu 1999 PDIP menjadi pemenang dan banyak orang Golkar (yang di PDIP disebut sebagai kader kos-kosan) menduduki posisi strategis.

Partai Golkar berhasil memenangkan Pemilu 2004, namun kemenangan itu tidak signifikan. PDIP jatuh, demikian juga PPP, PKB dan PAN. Hadirnya PD ternyata menyedot kader dan massa partai-partai lama. Dengan tokoh sentral SBY, PD memang berhasil menarik kader-kader handal dari partai lain, yang kemudian terbukti membawa sukses PD, dan sukses SBY dalam memperebutkan kursi presiden.

Kini dengan status sebagai partai pemenang Pemilu 2009 dan partai pemegang kekuasaan, PD ibarat gula bagi semut-semut kader partai lain. Kharisma SBY dan semakin kuat cengkeraman kekuasan PD, membuat kader-kader partai lain yang terobsesi kekuasaan, ringan kaki untuk bergabung. Apalagi, sebagai partai baru, PD belum memiliki banyak kader handal untuk ditempatkan pada jabatan-jabatan politik.

Fenomena kutu loncat menyerbu PD, sebetulnya mulai menguat pasca-Pemilu 2004. Bergabungnya sejumlah menteri profesional pada zaman Megawati ke kabinet pemerintahan SBY-JK merupakan pertanda awal. Mereka memang tidak mendapat predikat kutu loncat, karena mereka bukan orang partai.

Namun prinsip loyalitas (hanya mengabdi kepada satu kekuasaan sebagaimana dijalani oleh Prof Dorodjatun Koentjaro-Jakti), mereka abaikan. Bahkan Boediono yang tadinya berkeras untuk menunjukkan kesetiaannya pada Mega pun tak kuasa menolak pinangan SBY untuk menjadi menteri koordinator perekonomian, dan lalu menjadi wakil presiden.

Setelah itu, satu per satu orang-orang profesional yang dijagokan PDIP hingga menjadi kepala daerah, menyeberang ke barisan SBY. Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto, terpilih menjadi menteri, disusul kemudian Gubernur Sumbar Gamawan Fauzi menjadi tim sukses SBY untuk Pemilu 2009. Pasca-Pemilu 2009 tercatat sejumlah gubernur yang lima tahun lalu dicalonkan PDIP, Partai Golar, PAN dan partai lain, kini bergabung ke PD demi melanjutkan kekuasaannya.

Demikianlah, PD kini menjadi sasaran para kutu loncat, baik para kader profesional maupun kader-kader partai tulen. Mereka berburu kekuasaan, dan PD bisa menjadi kendaraan yang efektif. Sementara bagi PD, kehadiran mereka tidak saja memenuhi kekosongan akan kader handal, tetapi juga berharap bisa menarik suara lebih banyak pada pemilu mendatang.

Demikianlah, di negeri ini, politik semata jadi arena berebut kekuasaan. Para politisi sibuk mencari kendaraan politik (baca partai politik) yang memungkinkan mereka menggapai dan mempertahankan kekuasaan; sedang oleh para pengurusnya partai hanya diposisikan sebagai event organizer untuk meraih suara dalam pemilu. Tak peduli apa yang terjadi dengan partai, yang penting partai memenangkan pertarungan pemilihan.

Konsep politik yang semestinya diabdikan buat kejayaan ideologi dan kesejahteraan rakyat, sudah lama diabaikan. Tidak ada perbincangan dan perdebatan ideologis di lingkungan partai, karena pendapat konsultan politik lebih menentukan. Tidak perlu melakukan kaderisasi yang membutuhkan waktu dan tenaga tidak sedikit, toh sudah ada figur populer yang siap diajukan partai untuk menduduki posisi-posisi politik.

Itulah yang terjadi pada PD, dan tentu saja juga partai-partai lain seandainya mereka berhasil meraup suara seperti PD. Kini memang sedang giliran PD, karena partai ini memiliki figur SBY yang laku dijual. Bagaimana nanti setelah pamor SBY turun, setelah strategi pencitraannya tidak efektif, setelah janji-janjinya hanya dianggap angin lalu oleh rakyat?

Optimisme menyelimuti partai lain, bukan karena mereka memberikan tawaran baru buat rakyat, tetapi semata rakyat sudah jenuh dengan PD. Mereka percaya, tidak selamanya rakyat mau dibohongi, apalagi oleh pembohong yang sama. Jadi pembohong baru tetap merupakan peluang politik. Dan jika berhasil, mereka pun menyediakan diri jadi sasaran kutu loncat baru. Demikian akan terus berputar.

Didik Supriyanto - detikNews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar