Kamis, 09 Juni 2011

Bencana Tatanegara

Pembagian kekuasaan—berwujud tiga kelembagaan—dalam negara demokrasi modern, diikuti kesadaran bahwa setiap individu dalam setiap lembaga itu sama-sama bisa menyimpang, cenderung korup. Itu artinya, efektivitas pembagian tugas itu hanya bisa berjalan kalau-kalau secara rasional fungsi saling mengawasi, bahkan kerja sama di antara lembaga itu memadai. 

Pembagian tugas itu umum kita kenal dengan istilah fungsi legislatif (pembuat aturan), eksekutif (pelaksana aturan), dan yudikatif (pengawas pelaksanaan aturan). Andai ada satu atau dua di antara lembaga itu yang korup, maka satu di antaranya yang akan langsung mengoreksi, pun sebaliknya. 

Fungsi saling koreksi, saling mengingatkan menjadi penting bagi ketiganya dalam melaksanakan tugas kenegaraan. Maka, adalah bencana besar kalau-kalau ketiga lembaga ini di satu titik sama-sama mengalami degradasi. Karena sudah barang tentu tidak ada lagi sarana legal yang bisa diharapkan untuk memperbaiki, selain revolusi legal rakyat jelata

Konteks Indonesia, secara keseluruhan, hampir di semua lini ketiga lembaga itu korup. Ini haruslah dibaca sebagai tanda-tanda kita hendak menuju kiamat sebagai negara-bangsa. Kalaupun tidaklah runtuh, masa depan Indonesia akan terus terpuruk. Tidak akan ada perubahan mendasar menuju perbaikan, andai situasi buruk ini terus berjalan. Kita perlu melakukan sesuatu.

Mari kita cermati kondisi ketatanegaraan Indonesia, sebagai organisasi kelembagaan. Di area eksekutif, artinya sebagai pelaksana aturan, sudah tak terbantahkan lagi, bahwa area itu telah lama mengalami pembusukan. Mungkin di lembaga kepresidenan belum pernah ada satu kasus hukum yang mencederai lembaga itu. Tetapi, bagaimana dengan pelaksana tugas eksekutif lainnya, semisal Gubernur dan Bupati atau Wali Kota. Fakta yang ada, 16 Gubernur di Indonesia pada tahun 2010 dilaporkan terjerat kasus hukum. Malahan, Bupati atau Wali Kota, jumlahnya amat besar, 150-an tersangkut skandal korupsi. 

Legislatif juga tak lepas dari skandal suap, bahkan seks. Para pemangku jabatan yang merasa diri sebagai wakil rakyat itu kini didera isu calo anggaran pembangunan daerah. Mereka, utamanya yang menjadi Anggota Badan Anggaran, oleh Wa Ode Nurhayati, disebut-sebut kerap merampok uang pambangunan daerah 7% hingga mencapai 15%. Setiap daerah yang memperoleh Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID), wajib bagi daerah itu untuk dipotong atau menyetor sejumlah dana kepada anggota dewan tertentu. 

Akibat praktik percaloan itu, 120 kabupaten kota dan 10 provinsi yang seharusnya mendapat anggaran DPID akhirnya tidak kebagian. Bayangkan, 120 kabupaten kota dan 10 provinsi tak kebagian dana penyesuaian infrastruktur daerah 2011. Celakanya, tidak seorang pun anggota DPR dari daerah pemilihan di 120 kabupaten kota dan 10 provinsi itu yang protes. Aneh! 

Lain lagi dengan area yudikatif, tak kalah rusak. Hari-hari ini lembaga kehakiman lagi ditampar kasus hakim Syarifuddin Umar, yang tertangkap tangan menerima suap Rp250 juta di kediamannya. Kasus memalukan itu muncul di tengah kampanye pembersihan yang gencar dilakukan Mahkamah Agung (MA). MA selama 2010 telah menindak 107 hakim, sedangkan 2009 sebanyak 78 hakim. Dari 107 kasus itu, sebanyak 35 hakim mendapat sanksi berat, 12 hakim kena sanksi sedang dan 60 hakim kena sanksi ringan.

Dalam soal penegakan hukum, bukan saja hakim, namun semua lini lembaga penegak hukum kita, baik di Kepolisian, Kejaksaan, bahkan Pengacara secara nyata juga rusak dan mengalami pembusukan. Sebelumnya, kasus rekening gendut, milik sejumlah petinggi Polri sempat mencuat, namun kini tak jelas lagi rimbahnya. Pun, kasus Cirus Sinaga, sebagai Jaksa, telah mencoreng wajah Kejaksaan kita. Konteks Pengacara, Haposan Hutagalung, adalah bukti kecil saja betapa tak kalah berpotensi bobroknya sudut dunia hukum yang satu ini. 

Gambaran fakta buram penegakan hukum kita ini hanya kian membuktikan bahwa hukum di Indonesia untuk—mungkin bakal lama—waktu mendatang masih akan seperti ini: tak jelas dan hanya akan dipenuhi retorika penegakan hukum palsu. Hukum yang berkeadilan masih akan sekadar mimpi. Apalagi, kalau kerusakan sistem ketetatanegaraan kita, mulai dari legislatif, eksekutif, hingga yudikatif memang sangatlah buruk rupa!


Ambil momentum

Secara dramatis, Suara Pembaruan (SP), melalui Tajuk Rencana, Selasa (07/06/2011), menurunkan rasa keprihatinannya. Berjudul “Hakim Penjaja Hukum”, SP hendak mendorong agar lembaga yudikatif, khususnya MA, agar menjadikan kasus hakim—maaf—tidak punya malu itu, menjadi momentum pembersihan di dalam institusinya itu. Langkah MA me-nonaktifkan sementara hakim Syarifuddin Umar, demi kelancaran pemeriksaan, adalah tepat. Tapi itu saja tidaklah cukup. 

Kita perlu mengawasi agar proses hukum yang berjalan tidaklah menyimpang ke kiri dan ke kanan, harus tuntas. Kalaupun harus disangkutpautkan dengan kasus-kasus lain juga perlu, selama ada bukti yang cukup. Ini menjadi wajar, sebab hakim Syarifuddin ini, juga dikenal sebagai pengadil yang suka membebaskan tersangka kasus korupsi—terhitung sekitar 39-an terdakwa yang bebas di tangannya. Kasus bebasnya Gubernur Bengkulu Agusrin Najamudin, yang juga kader Partai Demokrat (PD), adalah satu diantara contoh kasus vonis bebas yang oleh banyak pihak dirasa vonis yang aneh dan ganjil. ICW mencatat ada 12 kejanggalan dalam vonis bebas itu (Lengkapnya lihat di sini). 

Adalah memungkinkan kalau-kalau vonis bebas itu juga perlu kita ragukan kebenarannya, dan disikapi secara serius, utamanya oleh Komisi Yudisial (KY), mengingat belum lama sesudah vonis bebas, fakta suap terhadap hakim Syarifuddin itu terkuak. Mungkinkan kalau vonis bebas Gubernur Bengkulu juga sarat dengan manipulasi putusan? Sangat mungkin!

Di bagian yang sama, bagi SP, “negeri ini tidak akan menjadi negara yang maju dengan rakyat yang secara sukarela mematuhi hukum apabila masih ada hakim yang justru menjajakan hukum dan memperdagangkan keadilan.” Benar, sebab walau adalah kewajiban warga negara untuk taat hukum, tetapi dalam kerangka ketatanegaraan ada lembaga resmi yang lebih dituntut terdepan dalam soal taat hukum, yakni lembaga yudikatif. 

Karena posisi penting itulah, maka menjadi kemestian bagi mereka yang diberi hak dan wewenang dalam soal-soal hukum untuk tampil menjadi teladan. Kalau pemegang hak menegakan hukum malah sering menjadi pelaku pelanggar hukum, maka jangan salahkan kalau-kalau publik suatu saat akan melakukan pelanggaran yang sama, bahkan itu dilakukan secara sengaja.
Tak ada solusi legal lain menuju perbaikan penegakan hukum, berujung kesejahteraan bangsa ini, selain melalui pembenahan kinerja dan pembersihan oknum-oknum busuk di ketiga lembaga negara demokrasi itu (legislatif, eksekutif, dan utamanya yudikatif). Karena tanpa pembenahan yang bersifat segera, proses demokratisasi kita akan jalan di tempat. Warga yang taat hukum akan juga kian jenuh, sebab merasa terus dipermainkan. 

Dan ini yang kita takutkan, bahwa koreksi publik dalam bentuk revolusi legal bisa mencuat dan akan dianggap sebagai solusi rugi sesaat. Dan lagi-lagi, kalau ini yang terjadi, maka kepentingan bangsa pula yang akan dirugikan. Tentu itu terlalu mahal, jadi mari kita menghindarinya, melalui wujudnyatakan komitem berbenah di semua lembaga negara itu. 

R Graal Taliawo

Sumber: kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar