Kamis, 09 Juni 2011
Pancasila Disekolahkan
Saya tidak tertarik untuk mencari tahu lebih lanjut apa maksud dari memasukkan pancasila ke dalam kurikulum itu. Saya hanya berharap seandainya hal itu telah menjadi kebijakan dan yang ditempuh adalah menyelipkannya pada mata pelajaran yang sudah kian ada, semoga saja diselipkannya bukan pada mata pelajaran matematika.
Saya sangat mengkhawatirkan, jika Pancasila diselipkan pada mata pelajaran Matematika maka beban para siswa akan sangatlah berat. Berdasarkan pengalaman saya menempuh sekolah dan pengamatan saya pada anak-anak saya serta generasi pada umumnya yang sedang menempuh sekolah sekarang ini, saya menyimpulkan bahwa matematika adalah pelajaran yang paling tidak disukai sekaligus mata pelajaran yang paling sulit.
Cobalah kawan kompasianer bayangkan…. Matematika yang sangat rasional itu saja sudah sulit, kalau ditambahkan dengan Pancasila yang sulit dilaksanakan sejak dicetuskan, maka akan terjadilah kesulitan kuadrat pada otak para siswa yang sedang belajar. Kesulitan saja sudah menjadi masalah, maka kalau sudah dikuadratkan tentunya akan menjadi masalah yang lebih besar. Benar-benar mengkhawatirkan.
Oh ya… beberapa waktu yang lalu saya juga baca berita bahwa Mahfud MD membuka acara Cerdas Cermat Pancasila tingkat sekolah dasar di pinggiran kota Jakarta. Nah, ini mungkin bagian dari uji coba mengasah keilmuan Pancasila pada anak sekolah dasar, sebelum akhirnya dijadikan kurikulum secara permanen dalam mata pelajaran.
Mungkin tahun ajaran baru yang tinggal beberapa bulan lagi menjadi tahun ajaran penting dalam dunia pendidikan. Barang kali mulai tahun ajaran ini, Pancasila secara resmi masuk sekolah. Ya, benar-benar masuk sekolah.
Sementara pancasila menjadi ramai di sekolah, lalu kapan Pancasila masuk istana? Kapan Pancasila masuk parlemen? Kapan pula Pancasila masuk Pengadilan?
Kelihatannya, memang beginilah cara para cendikiawan negeri ini menyikapi setiap masalah. Yakni, dengan cara melemparkannya pada generasi yang akan datang tanpa mau bersusah payah memulai tindakan konkrit. Sebagaimana kegagalan pemberantasan korupsi, lalu untuk menunjukkan komitmen maka sikap anti korupsi disisipkan pada kurikulum (masuk sekolah juga deh). Begitu juga saat terjadi kegagalan membenahi lingkungan hidup maka lingkungan hidup masuk dalam kurikulum. Pembenarannya adalah, agar generasi muda menyerap nilai-nilai — lingkungan hidup, anti korupsi, pancasila, dan lain-lain agenda isu – dan mempraktekkannya pada era mereka kelak.
Meng-kurikulum-kan setiap isu dan persoalan yang kita hadapi saat ini adalah gagasan yang kelihatannya sangat mulia. Tapi dibalik itu kita lupa bahwa anak-anak yang sedang belajar, justru lebih banyak belajar pada tindakan orang tua dan pemimpinnya dari pada belajar pada buku. Dibalik gagasan mulia itu pula, sesungguhnya kita menumpuk persoalan dan melemparkannya pada generasi yang akan datang. Dibalik gagasan mulia itu kita telah mengupayakan sebuah alibi cuci tangan yang manis dan indah.
Khusus dalam persoalan Pancasila, mengkurikulumkan dan mencerdas-cermatkan Pancasila sebagai bentuk implementasi komitmen para petinggi negara, adalah sebuah tindakan penyesatan. Penyesatan, karena Pancasila eksistensinya paling utama seharusnya ada pada lembaga negara dan pada kebijakan para penyelenggara negara, bukan di bangku sekolahan. Jika Pancasila memang dianggap sebagai nilai-nilai luhur yang telah hidup dan berkembang dan dianut oleh rakyat Indonesia, maka seharusnya ia tak perlu diajarkan melainkan tinggal dipraktekkan. Oleh karena Pancasila adalah dasar negara maka praktek tersebut hanya bisa dibuktikan dan diujikan dalam penyelenggaraan negara, bukan pada perilaku individu anak bangsa.
Penyesatan Pancasila melalui tindakan penyekolahan dan kurikulum pernah dilakukan oleh era Orde Baru. Saat itu Pancasila sempat menjadi mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Pancasila dibahas dan dihapalkan di sekolah-sekolah. Tetapi pada saat yang sama ketidakadilan dalam penyelenggaraan pemerintahan terjadi. Pada saat yang sama kritik dibungkam dan mufakat dilaksanakan tanpa musyawarah. Pada saat Pancasila dipelajari di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, pada saat yang sama kita dihantui pertikaian dengan dalih SARA (suku, agama, ras dan antara golongan). Begitu pun dengan keyakinan akan Tuhan sering kali dibatasi. Walhasil, pendidikan Pancasila itu akhirnya justru menegasi Pancasila itu sendiri karena adanya kesenjangan yang nyata antara dunia kelas dan dunia diluar kelas. Apakah SBY dan para pejabat negara ingin mengulangi modus yang gagal ini?
Wahai SBY, Wahai Mahfud, Wahai para pemimpin rakyat Indonesia… ketahuilah, bahkan Bung Karno Sang Penggali Pancasila itu tak memasukkan Pancasila sebagai kurikulum pelajaran sekolah. Beliau cuma mengingatkan kita untuk bekerja keras mewujudkan nilai-nilai Pancasila serta merumuskan formula Trisaksi untuk tercapainya Pancasila yakni: Berdaulat dibidang Politik, Berkepribadian di bidang kebudayaan, serta Berdikari di bidang ekonomi.
Fidel Gipati Diawa
Sumber: kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar