Rabu, 12 Januari 2011
China Uji Coba Pesawat Siluman
China melangsungkan uji coba pesawat tempur siluman seri J-20, kemarin. Uji coba itu dilakukan di sebuah lapangan terbang di Kota Chengdu yang terletak pada bagian barat daya China atau sekitar 1.516 kilometer dari ibu kota Beijing.
Selama 15 menit pesawat itu mengudara di angkasa. Beberapa foto pesawat saat mengudara dipublikasikan di laman militer China. Uji coba tersebut bertepatan dengan hari kedua kunjungan Menteri Pertahanan Amerika Serikat Robert Gates di China. Menurut pengamat pertahanan dan militer China, waktu uji coba yang bersamaan dengan kunjungan Gates sengaja dilakukan oleh pemerintah 'Negeri Tirai Bambu' untuk menunjukkan komitmen mereka terhadap AS dan negara-negara lain di dunia.
Pemerintah China mengirimkan pesan bahwa mereka mampu melakukan modernisasi pertahanan dan militer di masa depan dengan lebih transparan. Selain itu, China diduga ingin menunjukkan penguatan pertahanannya di bidang militer.
Sumber: matanews.com
BlackBerry (RIM) Mengeruk Uang Rakyat Rp 2,3 Triliun per Tahun
Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring membeberkan poni-poin krusial terkait peringatan pemerintahan kepada Research in Motion (RIM) yang mengoperasikan BlackBerry di Indonesia.
Penjelasan terbaru disampaikan politikus Partai Keadilan Sejahtera itu lewat Twitter-nya, @tifsembiring, Selasa (11/1).
Tifatul menjelaskan, menurut data para pakar teknologi informasi, ada tiga juta pelanggan RIM di Indonesia. Dari jumlah itu, dua juta pelanggaran resmi dan satu juta pelanggaran pasar gelap.
Dengan rata-rata menagih US$7 per orang per bulan, RIM menangguk pemasukan bersih Rp189 miliar per bulan atau Rp2,268 triliun per tahun. "Itu uang rakyat Indonesia untuk RIM," tulis Tifatul.
Menurut Tifatul, RIM selama ini tidak membayar pajak sepeserpun kepada Indonesia. Bahkan, RIM juga tidak membangun infrastruktur jaringan apapun di Indonesia. Seluruh jaringan adalah milik enam operator di Indonesia.
"Salahkah kita meminta "JATAH" buat NKRI seperti itu. Tenaga Kerja, konten lokal, hormati dan patuhi ketentuan Hukum dan UU di RI yg berdaulat ini," tulis Tifatul.
"Saya sudah baca komentar-komentar, haruskah kita selalu merunduk kepada asing? Arogankah kalau mengingatkan asing agar menghormati hukum dan UU di Indonesia."
Tifatul juga menegaskan, apa yang dilakukannya semata-mata untuk kepentingan yang lebih luas.
"Diberi sepotong "kue kecil" lantas mati-matian bela asing. Minta hak yang besar untuk bangsa yang terhormat ini," ujar Tifatul.
DPR: BlackBerry (RIM) Peras Indonesia
Upaya untuk memblokir BlackBerry (BB) terus memanas. Sikap-sikap yang kontra dengan Menkominfo Tiffatul Sembiring muncul dari masyarakat Indonesia yang sebagian besar menggunakan BlackBerry sebagai alat komunikasi.
Di sisi lain, pemblokiran RIM mendapat persetujuan dari anggota-anggota DPR. Ketua Komisi I Mahfudz Siddiq setuju dengan pemblokiran RIM jika mereka tidak mematuhi aturan di Indonesia.
Menurut Mahfudz, pengguna BB di Indonesia saat ini mencapai 2,5 juta dengan revenue sebesar US$7 per user per bulan.
"Artinya setiap bulan ada revenue US$17,5 juta masuk ke Kanada. RIM (Research in Motion) beroperasi di Kanada mengeruk US$122 juta per tahun dari pasar Indonesia, tanpa pajak karena bukan obyek pajak di Indonesia," kata Mahfudz di gedung DPR, Selasa, (11/1).
Bagi Mahfudz, kasus blokir BB tersebut bukan hanya jatuh pada masalah filtering pornografi tetapi juga keadilan usaha yang dianggap telah memeras Indonesia.
Tidak adanya manfaat ekonomi bagi Indonesia dan masalah jumlah tenaga kerja yang diserap, disebut Wasekjen PKS tersebut menjadi beberapa pertimbangan pemblokiran RIM.
Mahfudz Siddiq juga menegaskan tuntutan pemerintah kepada RIM bukan tanpa tujuan yang jelas atau hanya untuk memblokir pornografi.
"Tuntutan pemerintah seperti agar RIM menjalankan peraturan perundang-undangan adalah untuk kepentingan nasional dan agar tidak terjadi diskriminasi dengan provider telekomunikasi di Indonesia," tutupnya.
Sumber: matanews.com
Misteri BHD di Balik Kasus Gayus
“Kasus Gayus akan jadi misteri berkepanjangan jika rahasia ini terus disimpan BHD. Karenanya, Komisi III DPR wajib memanggil BHD untuk membuka misteri itu,” kata Wakil Ketua DPR Pramono Anung di Gedung DPR Jakarta, 12 Januari 2011.
Menurut Pramono, kalau apa yang dituturkan Benny K Harman tentang cerita BHD itu benar harus segera diungkapkan agar penegakan hukum tidak tersumbat seperti sekarang.
“Ini perlu segera dibuka di forum resmi Komisi III agar hukum kita tidak terus dipermainkan,” sebut Pramono Anung.
Kepada wartawan di Gedung DP Jakarta, Senin 10 Januari lalu, Benny menuturkan, “Dulu, awal kasus ini saya bicara dengan BHD. Saya tanya kenapa tidak berani mengungkap lebih jauh kasus Gayus? Pada waktu itu, kata BHD, kalau diungkap bisa menggoyang republik ini, kurang lebih begitulah.”
Politisi PDIP itu melihat selama fakta-fakta hukum terus dijadikan rahasia oleh aparat penegak hukum maka selama itu pula hukum di Tanah Air tidak akan pernah tegak.
“Itu juga membuktikan bahwa Gayus benar-benar tidak sendiri dalam menjalankan praktik mafia pajak dan hukum. Benar kata Gayus, dia hanyalah ikan kecil. Masih ada ikan besar lainnya yang Satgas dan SBY tahu,” ungkap Pramono Anung.
Sinyalemen itu, sebut Pramono, juga sangat mendekati kemungkinan kalau melihat kekuatan uang Gayus sehingga bisa membeli fasilitas keluar masuk Rutan Mako Brimob dan bepergian ke luar negeri dalam staatus tahanan.
Karena adanya big fish itu pula, duga Pramono, Gayus bisa menggunakan jalur yang biasa digunakan diplomat dan pejabat VVIP di Bandara Soekarno-Hatta Tangerang untuk bepergian ke luar negeri.
“Kalau kata Gayus SBY tahu big fish itu, semestinya SBY bicara mengungkapkan ikan besar itu,” katanya.
Kalau SBY dan BHD terus bungkam atas rahasia kasus Gayus maka selama itu pula hukum akan bersujud di kaki Gayus.
Sumber: matanews.com
"Menghargai Jasa Koruptor"
Sejak saya mampu membaca berita di media massa maupun dengan melihat fenomena yang tak sempat tertulis oleh para penulis atau jurnalis, berita dan realita yang selalu muncul di media adalah prilaku sebagian aparatur negara yang seakan tidak pernah jera untuk terus-menerus menghancurkan negeri ini. Hidup di negeri ini sepertinya sudah tidak ada lagi keberkahannya, penuh dengan kedustaan, kebohongan, kepalsuan, penipuan, dan segela bentuk kejahatan dan perilaku yang menyimpang bagai sudah menjadi ‘aqidah baru’ yang dianut oleh aparatur negara pelaksana kepemerintahan negeri ini. Padahal, kemerdekaan negeri ini hampir mencapai usianya yang ke enam puluh enam tahun, jangka waktu yang terlalu lama membuat negeri ini makmur dan maju sebagaimana Negara-negara tetangga semacam Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura. Akibat situasi ini pula, sebagian pengamat meyakini beberapa dasawarsa ke depan, Timor Timur yang notabenenya merupakan mantan Propinsi Indonesia yang baru lepas beberapa tahun silam diprediksi akan menyaingi kemajuan Indonesia dalam banyak aspek kategori kemajuan.
Negeri para mafia, mungkin itulah ilustrasi yang tepat untuk menggambarkan wajah suram Indonesia yang dihuni oleh para koruptor pengkhianat bangsa ini. Wajah angker ini tidak jarang membuat perasaan bangga kita sebagai warga Negara (nasionalisme) menjadi luntur atau bahkan sirna karena rasa malu, teriris dan tersayat akibat menyaksikan sajian pemandangan yang menyebalkan oleh para aparatur pelaksanan pemerintahan negeri ini di berbagai lini.
Mereka para mafia ini semakin tamak ketika diberi kepercyaan mengemban amanah rakyat untuk mengelola negeri ini. Budaya korupsi, kolusi maupun nepotisme yang jelas-jelas menjadi sebab terbesar kehancuran negeri ini dengan sengaja terus terus dilestarikan. Bahkan yang lebih ironis, ternyata pelestarian budaya tersebut dilakukan secara sistematis dan terstruktur dan serta juga dilindungi oleh hukum yang direkayasa oleh para mafia berbaju pejabat Negara. Adanya ‘simbiosis-mutualisme’ antara pengusaha dan penguasa sudah mengakar sangat dalam dan menjadi rahasia yang diketahui khalayak ramai.
Para mafia ini bergaya hidup seperti ‘raja-raja’, penuh dengan kemewahan. Harta, seperti rumah pribadi yang mewah, dan jumlahnya tidak hanya satu, mobil yang mewah, yang jumlahnya tidak hanya satu, barang-barang berharga, seperti emas dan berlian yang jumlahnya tak ternilai, deposito yang bermilyar, anak-anak yang sekolahnya di luar negeri, mereka berlibur di tempat-tempat yang eksklusif di luar negeri. Terkadang mereka masih melengkapi kehidupan pribadi mereka dengan ‘gundik’, yang disimpan, guna menyempurnakan kehidupan mereka. Ironisnya semua itu tarjadi di tengah realita kondisi perekonomian rakyat yang sangat morat-marit, namun sudah tak terhitung jumlah kasus korupsi dengan jumlah bilangan yang fantastis yang tercatat dengan tinta hitam dalam buku hati sanubari rakyat.
Dalam konteks Nasional, belum tuntas penyelesaian mega kasus Bank Century yang merugikan rakyat triliunan rupiah yang sampai sekarang belum ada tindak lanjutnya, dan mungkin dibiarkan, tanpa ada langkah-langkah konkrit, khususnya terhadap para penanggung jawab yang telah menggelontorkan dana bailout kepada Bank Century Rp 6,7 triliun, kini kita kembali menyaksikan mega kasus lainnya yang dipelopori Gayus Tambunan sebagai pion-nya, seorang pegawai Dirjen Pajak dengan golongan pegawainya III A yang menjadi seorang milyarder dengan kekayaannya yang sangat fantastis, dan yang diungkap dari hasil korupsi/sogokan mencapai Rp 25 miliar. (Republika,30/3/2009, jumlahnya Rp 28 miliar). Dari kasus Gayus Tambunan ini terungkap seluruh aparat penegak hukum terlibat, polisi, jaksa, aparat pajak, dan aparat penegak hukum lainnya, secara sistemik terlibat dalam terlibat dalam kasus ini. Ini hanyalah salah satu kasus telah merembet ke semua institusi penegak hukum, dan lembaga lainnya.
Dan anehnya, orang yang sudah melakukan kejahatan korupsi, menerima sogok dan suap dalam skala yang sangat besar dan massif, justru mendapatkan perlakuan istimewa di negeri ini. Tidak seperti ‘teroris’, yang langsung dimatikan, ditembak, dan tidak ada yang berani membela. Justru Gayus Tambunan, saat sekarang ini menjadi orang penting, serta mendapatkan perlakuan sebagai ‘VVIP’.
Begitu juga beberapa waktu lalu kasus pemilihan deputi senior Gubernur Bank Indonesia (BI), Miranda Gultom, yang sangat menyesakkan dada, ada anggota dewan dari PDIP, Golkar, PPP, dan Fraksi TNI/Polri, yang menerima uang ‘balas budi’ nilainya bermilyar-milyar, dan dijelaskan dengan gamblang dan terang benderang. Tapi, sampai sekarang yang ditekuk di pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) hanya yang menerima travel cheque, tapi yang menyogok, masih dapat tertawa-tawa di rumahnya. Buktinya tak akan ada pengadilan yang menjatuhkan hukuman berat bagi mereka yang telah melakukan kejahatan, yang berkaitan dengan korupsi, sogok, suap, dan maling uang negara. Kasus yang paling spektakuler dalam sejarah bangsa ini, yaitu kasus BLBI yang menghabiskan Rp 650 triliun, dan tidak ada yang dihukum berat, dan hanya beberapa gelintir orang. Disusul kasus bail out Bank Century Rp 6,7 triliun, sepertinya kasus ini akan berlalu bersamaan dengan waktu seperti kasus-kasus lain sebelumnya.
Dalam konteks lokal, Belum tuntas pengusutan kasus pencurian uang rakyat sebesar 220 Milyar di Aceh Utara beberapa waktu lalu, esoknya kita kembali mendengar kasus korupsi di Dinas Pendidikan dalam proyek pengadaan sertifikat mampu baca Al Quran (Sumber MaTA, Serambi, 5/12/2009). Kasus-kasus lain seperti penjualan besi jembatan yang disinyalir melibatkan salah seorang petinggi provinsi Aceh. Begitu juga kasus-kasus yang belum tuntas lainnya yang tidak muat untuk disebutkan disini Bahkan, beberapa waktu yang lalu kembali muncul berita terbaru perihal telah digelapkannya uang pajak negara sebesar 20 Milyar oleh salah satu bendahara Pemda Aceh (Serambi, 3/12/2009).
Apa sebenarnya yang menghadang laju kemajuan negeri yang bernama Indonesia ini dan terus terbukanya kran korupsi?, ternyata jawabanya adalah semangat untuk berubah menjadi lebih baik tidak pernah mampu tertanam dan subur dalam jiwa aparatur pelaksana pemerintahan negeri ini. Selain itu, tak bisa dipungkiri bahwa salah satu faktor yang menyebabkan korupsi tumbuh-subur di negeri ini adalah lemahnya penegakan hukum. Hingga hari ini, belum pernah ada koruptor yang dihukum setimpal dengan perbuatannya, bahkan ada yang mendapat perlakuan begitu istimewa seperti Artalyta Suryani beberapa waktu lalu. Saya kira solusi terbaik untuk membendung dan membersihkan para mafia pelaku korupsi ini adalah dengan mengagas kembali hukuman mati, atau minimal “potong tangan” seperti yang diperintahkan oleh Allah dalam Alquran dalam bab pencurian (KKN).
Tak bisa dibantah bahwa koruptor adalah pencuri dari kalangan pejabat yang telah sangat menyengsarakan rakyat. Untuk itu kita harapkan kepada lembaga wakil rakyat/ DPRA untuk segera merancang Qanun kusus yang menghukumi para pencuri/koruptor ini. Jadi, hukuman mati tidak memada hanya Qanun Jinayat saja seperti yang dipesoalkan oleh banyak penulis di harian ini. Kita tunggu apakah wakil rakyat di DPRA punya nyali! Siapa yang berani saya yakin akan mendapat simpati tinggi dari rakyat.
Saya yakin, apabila hukuman mati betul-betul dilaksanakan dengan konsisten dan konsekwen, maka insya Allah prilaku korupsi para pejabat kita akan bisa dibendung. Kita tidak usah mendengarkan atau menggubris omongan-omongan orang yang sok humanistis yang menganggap hukuman mati atau hukuman potong tangan itu tidak manusiawi seperti tuduhan mereka terhadap hukuman rajam. Sementara mereka tidak berfikir bahwa akibat perlakuan koruptor justru sangat luar biasa dampaknya, ribuan dan bahkan jutaan rakyat yang pada prinsipnya mereka bunuh dengan cara-cara yang tidak manusiawi, dengan diambil serta dirampas hak-hak mereka sehingga kenestapaan terus menerus berkelanjutan menerpa rakyat negeri ini.
Sumber: jibril22.blogspot.com
Moralitas dan Rasionalitas Hukum
Berbagai kasus hukum masih belum terselesaikan sampai saat ini dan tidak sedikit kasus hukum yang menyisakan persoalan besar. Tidak terbatas hanya pada kasus hukum yang besar atau kelas kakap, tetapi kasus hukum yang kecil sekalipun juga tidak terlepas dari ketidakadilan maupun keputusan yang tidak adil. Tentu saja definisi adil dan tidak adil sangat relatif, bergantung dari sisi mana kita melihatnya. Jika ditinjau dari sisi pemenang, putusan hukum selalu adil, sedangkan sebaliknya, dari sisi yang kalah, putusan hukum selalu tidak adil. Negara kita dicanangkan sebagai negara hukum dengan hukum adalah panglima dan masyarakat seluruhnya harus menjunjung tinggi supremasi hukum.
Ketidakadilan hukum
Dalam era demokrasi saat ini masyarakat sudah jauh lebih sadar hukum jika dibandingkan dengan era sebelumnya. Kita cermati di masyarakat bahwa hampir setiap perselisihan yang tidak bisa didamaikan biasanya dibawa ke pengadilan dengan harapan bahwa akan ada putusan hukum yang dapat diterima pihak-pihak yang berselisih. Namun, pada kenyataannya hampir setiap putusan hukum oleh pengadilan akan didemonstrasi atau diprotes sekelompok masyarakat karena dirasakan tidak adil. Karena banyak kasus yang demikian, masyarakat umum akan mengalami kebingungan mengenai norma-norma mana yang seharusnya mereka anuti. Kebingungan terus terjadi di masyarakat karena mereka tidak mengetahui mana putusan yang adil dan oleh karena itu, norma-norma mengenai keadilan, kepatutan, dan bahkan kebenaran pun semakin kabur dan sulit dipahami para pelakunya. Sebagai contoh nyata adalah banyaknya penggelap uang negara yang sampai saat ini belum bisa divonis, tetapi sebaliknya, pelaku pencurian kecil-kecilan kelas teri langsung divonis hukum. Padahal para pencuri kecil tersebut mencuri karena terpaksa untuk menyambung hidup, sedangkan penggelap uang negara kelas kakap melakukannya karena alasan lain yang kelihatannya tidak rasional.
Proses hukum di berbagai tingkatan, termasuk di mahkamah, akan melibatkan sejumlah hakim atau ahli hukum sehingga telaah hukumnya pasti benar adanya. Seandainya telaah hukumnya benar secara hukum, seharusnya putusan yang diterbitkan adalah yang benar secara hukum dan memenuhi kaidah keadilan yang hakiki. Oleh karena itu, yang menjadi dasar putusan hukum yang adil adalah adanya kebenaran yang hakiki dan rasional. Di pengadilan, antara jaksa penuntut dan pembela selalu terjadi perdebatan dan argumentasi yang sengit dan tajam karena tiap pihak bertahan untuk klien masing-masing. Dalam hal ini yang dijunjung tinggi adalah kepentingan klien dan bukan kebenaran hakiki sehingga putusan yang diambil akan tidak adil karena tidak rasional.
Reformasi pendidikan hukum
Masyarakat sekarang ini sudah makin kritis dan demokratis serta lebih rasional sehingga mereka akan sangat mudah merasakan dan menduga apakah suatu putusan hukum itu adil atau tidak, apakah dilandasi kebenaran yang hakiki atau tidak, apakah masuk akal sehat atau tidak. Kalau masyarakat merasa kecewa karena melihat ketidakadilan dan tidak ada wadah untuk minta penjelasan atau klarifikasi, terjadilah demonstrasi ataupun protes dengan berbagai cara. Jadi, persoalan sebenarnya di negara ini adalah bagaimana hukum dan proses hukum kita menjadi rasional dan bermoral. Setelah itu, barulah keadilan dapat terwujud dan supremasi hukum menjadi berwibawa. Untuk mewujudkan moralitas dan rasionalitas hukum, pendidikan hukum di Indonesia harus direformasi lebih dahulu agar nantinya para lulusan bidang hukum sudah mempunyai kemampuan untuk rasionalisasi hukum secara bermoral.
Mahasiswa fakultas hukum seharusnya mempunyai kemampuan analisis dan logika yang tinggi sehingga mampu melakukan kajian dengan tajam dan akhirnya mampu mengambil keputusan yang terbaik karena dilandasi fakta, data, dan temuan lainnya. Kemampuan analisis dan logika dapat diketahui, salah satunya, melalui kemampuan matematikanya. Oleh karena itu, akan sangat ideal apabila mahasiswa hukum mempunyai nilai matematika yang tinggi. Kriteria seleksi mahasiswa fakultas hukum perlu ditinjau kembali dengan memasukkan kemampuan matematika sebagai salah satu kriteria kunci. Mitos bahwa pendidikan di fakultas hukum hanya mengandalkan kemampuan menghafal harus dihapus. Justru kemampuan analisis dan logika lebih diperlukan untuk mampu membuat keputusan.
Pada kenyataannya, proses hukum kita masih didasarkan kepada permainan kata-kata secara harfiah dengan multiinterpretasi tanpa dilandasi moralitas atau pesan moral yang terkandung di dalamnya. Artinya penggunaan kata-kata dalam hukum seharusnya merupakan pesan moral dan bukan sebaliknya, untuk menghilangkan atau mengaburkan kebenaran yang hakiki. Seperti halnya proses politik, ekonomi, dan pembangunan, proses hukum pun seharusnya untuk kepentingan publik, untuk melindungi kepentingan publik, dan sudah saatnya hukum kita ini bermoral dan rasional.
Oleh Satryo Soemantri Brodjonegoro
Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Sumber: mediaindonesia.com
Sudah Saatnya Hukuman Mati untuk Koruptor
Penyakit korupsi makin hari makin merajarela, dari jenderal hingga pengawai kecil sekarang melakukan korupsi, kasus korupsi terakhir yang membuat heboh Republik Indonesia adalah kasus Gayus H.Tambunan pegawai Dirjen Pajak golongan 3 A senilai Rp 25 Milyar.
Sekarang telah berkembang wacana hukuman mati bagi para koruptor yang melakukan korupsi. Berbicara hukuman mati hingga saat ini, ada 50 napi yang menunggu eksekusi mati di LP Nusakambangan. Sementara itu, 52 napi masih menjalani hukuman seumur hidup karena berbagai kasus, seperti narkoba hingga terorisme, di kota Jakarta saja ada 1.900 napi yang belum mendapat ekstra vonis.
Banyak juga kalangan sebagai pendukung hukuman mati, salah satunya adalah Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mendukung hukuman mati bagi koruptor kelas kakap. Mahfud menilai hukuman ini tidak melanggar undang-undang. "Coba dalam waktu dekat ini ada koruptor yang dihukum mati," ujar ketua MK "Saya setuju."
Hukuman mati dimungkinan karena sudah diatur dalam undang-undang. Seharusnya, pidana mati bagi korupsi itu bisa diterapkan dengan pertimbangan tertentu. Sekarang ini butuh keberanian dari penegak hukum. Keberanian hakim dan jaksanya untuk memutus dan menuntut bagi para koruptor tersebut. Kita ketahui kasus pidana mati baru siap dilaksanakan pada terpidana narkoba dan teroris.
Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hukuman mati ini diatur dalam 2 pasal, yakni Pasal 2 ayat (2). Pasal itu berbunyi "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan."
Dalam penjelasannya, yang dimaksud dengan keadaan tertentu dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
Pelaku tindak pidana korupsi memang dapat saja dijatuhi hukuman mati. Namun pelaksanaannya harus selektif sebab tidak semua koruptor layak diganjar dengan hukuman maksimal tersebut. "Tetap ada kriterianya. Kalau terpenuhi, maka pantas dia dihukum mati," kata Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas.
Ada 3 kriteria utama yang membuat seorang pelaku tindak pidana korupsi layak dijatuhi hukuman mati;
(1) Nilai uang negara yang dikorupsi lebih dari Rp 100 miliar dan secara massif telah merugikan rakyat;
(2) Pelaku tindak pidana korupsi tersebut adalah pejabat negara;
(3) Pelaku korupsi sudah berulang-ulang kali melakukan korupsi.
Undang-Undang yang berlaku yaitu UU NO. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dinyatakan hukuman mati dapat dijatuhkan pada pelaku korupsi. Kriterianya korupsi uang negara dilakukan saat negara sedang dilanda krisis, bencana alam, atau dalam keadaan tertentu. Pelaku tindak pidana korupsi belum ada yang dijatuhi hukuman mati. Baik yang diputus perkaranya oleh Majelis Hakim Tipikor maupun pengadilan umum.
Hukuman mati mengancam koruptor. Hukuman maksimal itu bisa jatuh bila korupsi terjadi saat negara tengah dilanda krisis dan bencana alam. "Orang lagi susah, dia masih mengkorupsi negara," kata Menkum dan HAM Patrialis Akbar.
Ada 4 jenis kejahatan yang bisa dipidana hukuman mati;
(1) kejahatan terkait bencana;
(2) kejahatan teroris;
(3) kejahatan narkotika;
(4) kejahatan korupsi.
Hukuman mati diberlakukan bila koruptor melaksanakan korupsi dalam keadaan negara krisis dan bencana alam. Hukuman mati yang berjalan di Indonesia sudah sesuai dengan Undang-Undang. Patrialis mencontohkan banyak yang sudah dieksekusi mati seperti kasus narkoba dan teroris. "Korupsi hingga hari ini belum ada unsur bahwa dalam keadaan krisis dan bencana alam," ujar Patrialis.
Sumber: annisasiibuwcahciligg.blogspot.com
Einstein dan Koruptor
"Kita telah melafalkan hukum utama. Mari kita sekarang menerapkannya dalam hidup ini," demikian ajakan Edwin Markham yang ditujukan kepada setiap pengemban amanat negara untuk menyejarahkan produk hukum dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan. Pengemban merupakan sosok manusia yang sudah pintar melafalkan hukum, namun belum tentu militan dalam mengimplementasikannya. Mereka bisa hafal pasal-pasal di luar kepalanya, tetapi belum tentu bernyali besar dalam memperjuangkan penegakannya.
FAKTA di tahun 2010 ini, sosok pintar yang hafal hukum di Indonesia, masih sulit diajak menerapkan dalam tugas dan kewenangannya, terutama saat hukum dihadapkan pada elemen penjahat berkategori extra ordinary crime seperti koruptor. Tidak sedikit dari mereka yang berpendidikan strata-2 dan strata-3 serta mengikuti berbagai pelatihan melawan koruptor. Namun, ternyata gagal mengedukasikan dirinya jadi pemberantas, dan sebaliknya jadi objek yang diberantas.
Terhadap kasus korupsi di negeri ini, siapa pun yang diangkat sebagai lembaga penanggulangan korupsi semacam KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetaplah wajib diposisikan menjadi lembaga yang layak dikontrol. Tidak boleh dibiarkan punya hak imunitas, atau dipraduga sebagai institusi paling bersih yang tidak mungkin ternoda atau tergoda oleh limbah korupsi.
Institusi jadi kumpulan manusia penghafal tatanan (hukum), namun belum tentu 'bernyawa' saat menghadapi superioritas mafioso kekuasaan di negeri ini. Mengapa demikian?
Sejarah telah mengajarkan, sekurang-kurangnya sejak zaman Orde Baru, bahwa lembaga-lembaga yang dibentuk pemerintah atau mendapatkan amanat untuk mengawasi kinerja birokrasi dan aparat penegak hukum, ternyata tidak cukup tangguh dalam mengawasi perilaku birokrat dan aparat strategis negara, termasuk aparat penegak hukum yang bermental kleptokrat.
Memang seperti kata Tanuwijaya (2009), kalau diposisikan secara riil, teroris sejati di negeri ini adalah koruptor, karena koruptor merupakan penjahat kerah putih atau istilah Edwind Sutherland pelaku 'white collar crime', yang punya kemampuan istimewa di bidang intelektualitas, pengolahan kekuasaan atau manajemen birokrasi, jaringan yang memadai, dan target-target yang jauh hari sudah dikalkulasi secara sistemik.
Apa yang dilakukan koruptor selama ini jelas bukan disebabkan kesulitan ekonomi, tetapi dominan oleh keserakahan dalam mengumpulkan pundi-pundi kekayaan sebanyak-banyaknya tanpa mempertimbangkan dampaknya pada rakyat dan negara. Koruptor tidak mau tahu kalau akibat perbuatannya ini, rakyat bisa hidup sekarat. Ekonomi bangsa karut-marut, daya beli rakyat menurun, merangsang booming kejahatan lain seperti bersemainya, meminjam kata Jeffri Winters 'utang najis' atau utang jahat (criminal dept), dan jatuhnya citra bangsa di mata negara-negara lain.
Keistimewaan koruptor itulah yang membuat tidak gampangnya kekuatan lain yang berdiri di garis kebenaran dan keadilan, serta pembelaan hak-hak rakyat untuk memberantasnya. Begitu mencuat keinginan moral, politik, dan hukum untuk berjihad melawan koruptor, maka koruptornya juga menyiapkan berbagai jurus yang bisa diandalkan untuk berkelit dan memenangi pertarungan.
Gejalanya belakangan ini, syahwat negara (pemerintah) untuk memerangi korupsi juga menghadapi kepiawaian koruptor itu. Bahkan kepiawaian ini terasa lebih kuat atau 'digdaya' daripada kemampuan aparat. Aparat yang seharusnya bisa mengerahkan segala bentuk senjatanya dalam memaksimalkan bekerjanya sistem peradilan pidana (criminal justice system) perkara korupsi, sepertinya sedang menghadapi tembok besar yang membuatnya kehilangan keberdayaannya.
Ketika institusi peradilan itu kurang bergairah atau 'lemah syahwat' di dalam menangani perkara korupsi, gugatan yang patut diajukan adalah ke mana institusi-institusi yang selama ini dibentuk atau mendeklarasikan dirinya sebagai pengawas korupsi? Masihkah mereka ini menjalankan amanatnya sebagai lembaga pengawas korupsi ataukah sebagai lembaga yang sedang atau telah terdistorsi oleh korupsi, sehingga di dalam dirinya juga melekat penyakit lemah mental?
Merasionalitaskan sudut kegagalan aparat penegak hukum dalam berjihad melawan korupsi, dapat terbaca dari indikasinya yang menunjukkan bahwa lembaga pengawas selama ini masih belum cukup progresif dan pola 'law enformenet'-nya tak berbasis yuridis, egalitarian, dan akuntabilitas. Aparat penegak hukum masih terkondisikan berkompetisi dalam menjaring koruptor secara transparan dan egalitarian jika institusi pengawasnya mampu menjalankan fungsi kontrolnya secara penuh.
Pemerintah yang membentuk berbagai lembaga pengawas seperti Komisi Pengawas Kejaksaan dan Komisi Pengawas Kepolisian, Kehakiman, dan lainnya sejatinya merupakan bentuk 'sindiran' atau apresiasi kekecewaan, distorsi kredibilitas terhadap kinerja aparat penegak hukum dan lembaga-lembaga yang mendapatkan mandat sebagai pengawas dan pemberantas korupsi.
SBY barangkali sudah mengevaluasi kalau lembaga pengawas yang selama ini diberi kepercayaan menangani korupsi belum maksimal 'jemput bola' dan hanya menunggu datangnya laporan kasus korupsi. Dengan dibentuknya lembaga pendatang baru seperti satgas antimafia hukum, SBY membuat semacam lembaga pengawas tandingan yang ditargetkan bisa mempercepat laju penanganan korupsi di negeri ini.
Dalam perjalanan KPK saja misalnya, masih terkesan kuat kalau lembaga ini belum maksimal, objektif, jujur, dan adil dalam menangani sejumlah kasus yang diduga berdasarkan bukti permulaan layak dikategorikan korupsi. Tidak sedikit kasus korupsi yang tipenya 'korupsi kelas gurita', yang tidak atau belum disentuh oleh KPK.
Semestinya KPK tidak perlu membeda-bedakan besar kecilnya kasus dan mengandung muatan politik tidaknya kasus, karena kinerjanya sudah disumpah untuk menjalankan profesinya ini dengan prinsip jujur, adil, dan egaliter.
Dalam kasus tersebut, kita layak memperhatikan apa yang diingatkan oleh Albert Einstein, bahwa: "kejahatan terbesar bukanlah dilakukan oleh pelakunya, tetapi oleh kita yang mendiamkan kejahatan itu terjadi". Artinya, meskipun SBY telah membentuk lembaga baru untuk mengawasi penanganan kasus korupsi, kita juga wajib memberdayakan kontrol, selalu membuka mata, dan memasang telinga terhadap kinerja lembaga baru ini dan kinerja lembaga-lembaga lama yang mengemban amanat menangani dan mengawasi jalannya sistem peradilan pidana kasus korupsi.
Kalau peran itu tidak dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, kitalah yang layak menanggung dosa, karena kita sama artinya dengan membuka kran bersemainya kasus korupsi di negeri ini.
Dalam kasus korupsi di Indonesia ini, kita layak menjatuhkan sikap praduga lebih dulu terhadap setiap bentuk politik penanggulangan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah. Pasalnya, apa yang dilakukan pemerintah ini layaknya dokter yang sedang sakit yang berusaha menyembuhkan penyakitnya sendiri, padahal kalau penyakitnya itu di dalam dan sedang menghegemoni dirinya, maka ini jelas berat sekali.
Selain itu, hingga sekarang berbagai kasus korupsi besar di beberapa waktu lalu seperti Century masih belum jelas politik penanggulangan, khususnya pengawasan terhadap penegakan hukumnya. Masyarakat hanya diseret untuk menyikapi kasus-kasus yang baru seumur jagung, sementara tersangka korupsi yang nilainya ratusan triliun rupiah dibiarkan menikmati udara segar kebebasan.
Dalam tataran itu, jelas penanganan korupsi masih di kisaran 'memanaskan' target tertentu, sedangkan yang lainnya dibiarkan lenyap ditelan sejarah mencuatnya peristiwa-peristiwa besar di Tanah Air. Hukum masih digerakkan oleh mesin yang mengarahkan untuk 'memihak' yang kuat.
Oleh Bambang Satriya
Guru besar dan dosen luar biasa Universitas Ma-Chung dan UIN Malang
Sumber: mediaindonesia.com
Republik KORUPTOR
Hari-hari ini Indonesia terus berkabung di sebuah lorong kebatilan. Bencana demi bencana hadir meruyaki negeri ini. Sepertinya kian memperluas samudra kesengsaraan anak bangsa yang terus mengalirkan air mata kesedihan di tengah gersangnya kejujuran, keadilan, dan kesehatian. Tangisan 200 juta lebih rakyat meledak dan memecah keheningan lantaran mulainya matinya nurani para petinggi negeri ini.
Kasus KPK vs Polri dan sejumlah indikasi kriminalisasi institusi yang terjadi akhir-akhir ini mungkin dapat disebut sebagai sebuah apologi nasionalisasi korupsi yang tengah berdentang keras dari Sabang sampai Merauke, hingga memekikkan kemiskinan dan ketidakadilan masif (Rosse Ackerman,1999).
Kerakusan, mental menerabas, dan teatrikal kebohongan penguasa tumpah ruah di persada. Sebuah proses 'pemerdekaan' narsisisme kolektif tengah mencelat. Tesis yang terajukan saat ini, negara telah gagal menggaransikan keterjaminan kepada bangsa akan hak-hak mengenyam sumber daya secara kooperatif dan adil. Kotak pandora sosial: bunuh diri rakyat, letupan emosi dan kristalisasi kemurkaan, vandalisme, dan hobi jalan pintas, yang berakhir pada tabiat destruktif oleh rakyat, dewasa ini, secara seragam dan tunggal hanya dapat dibaca dan dicarikan kuncinya pada ketidakkonsistenan pemimpin menegakkan aturan kekuasaan sebagai sebuah supremasi moral.
Negara selalu melibas berbagai penyimpangan kemerdekaan bersikap di depan cermin kemartabatan dengan alibi-alibi yang inkonstitusional. Maka tak dapat disangkal lagi bahwa harga diri sebagai bangsa berada di laras kematian nurani. Sebuah realitas buruk yang menjadikan kita terus tersuruk dalam kepahitan arus dekadensi moral bernegara tanpa sedikit pun mau menyadarinya.
Sayatan otoriterisme
Para politikus (free rider), yang menyergap gerbong reformasi dengan mengubah mantel kekuasaannya, sekejap mengintonasi diri sebagai demokrat. Padahal, setiap zaman (kerajaan, penjajahan Belanda, Jepang, era Orde Lama, Orde Baru, bahkan sampai kini) pemerintahan kita selalu dinihilisasi ketiadaan pengalaman sahih berdemokrasi. Berdemokrasi kita cuma hadir pasca-1945-1955, sebelum berakhir dengan hadirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Setelah itu, para politikus cuma layak disebut sebagai pemerkosa demokrasi yang lihai memainkan pesona kekuasaan di lingkaran para cukung dan kerumunan mafioso jahat.
Insting keperilakuan elite-elite bangsa selalu tak terselami rasio-moralitas. Orientasinya hanya bisa dimengerti dalam kaca mata kekuasaan. Semangat kekuasaan itu semata-mata menonjolkan privatisasi politik yang membekukan kebersamaan dan solidaritas sosial. Kata Nietzche, sejatinya manusia harus terus-menerus menceburkan dirinya dalam konflik/peperangan untuk mengaktualisasi dan menjernihkan kekuatannya.
Lima pergantian presiden dalam 10 tahun reformasi, rakyat dibiasakan tidak menggugat dan menagih janji-janji pemimpinnya sehingga instabilitas politik, sosial, budaya, dan ekonomi terjun bebas dalam kerangkeng amnesiaisme publik. Kepercayaan diri politik rakyat untuk menghakimi dosa politik pemimpin masih ditorehi luka sayat otoriterisme Orba yang belum sembuh benar. Ini dimanfaatkan para penggila kekuasaan sekarang sebagai pasar politik empuk mendestinasikan kepentingannya dengan propaganda lipstikal. Selepas pergantian kepemimpinan, selalu yang terjadi adalah permainan dimulai dari titik nol, zero sum game. Maka setiap preseden pemerintahan tidak pernah berpreferensi politik untuk mengevaluasi sekaligus menghukum berbagai keputusan politik yang menyimpangi kehendak rakyat.
Warisan soal yang memuat kekalahan wong cilik tak pula menggugah sukma meski terbelakangnya republik ini tak lain karena dosa pemimpinnya. Itu sebabnya Bung Karno dalam otobiografinya tentang anaknya--yang ditujukan untuk Guruh Soekarnoputra--berharap, 'apa pun dia jadinya kelak, terserah kepada hari depannya, cuma satu doaku untuknya, semoga dia tak terpilih menjadi presiden, kehidupan itu sungguh berat'. Imbauan ini pun bisa dideretkan secara representatif pada jabatan di bawahnya, seperti bupati/wali kota atau gubernur.
Hal terberat menjadi presiden--atau bupati/wali kota/gubernur--bagi bangsa sepluralis dan seluas Indonesia ini adalah bagaimana memadukan komitmen dan perilaku dengan indikator pengorbanan. Bukan political will semata, melainkan political commitment yang mewujud dalam aksionalisasi kepemimpinan representatif-populis. Artinya, yang dirujuk dan dilakukan pemimpin, merupakan cerminan kebutuhan rakyat-bangsa bukan duta sebuah prosmikuitas politik-pasar yang merenggut nyawa pembangunan pro-poor (prorakyat miskin) seperti yang diperlihatkan dengan telanjang, saat ini. Pornografi politik paling santer adalah ketika dramatisasi pemberantasan korupsi tidak tuntas diselesaikan sampai kini. Mereka yang memiliki julukan sebagai panglima hukum di negeri ini malah sebaliknya ramai-ramai menzalimi kristalitas ayat hukum itu sendiri di depan rakyat.
Rakyat kian tidak percaya lagi pada negara ini karena nyaris dihuni komplotan penjahat kakap yang mengaduk-aduk rasionalitas rakyat dengan justifikasi menyesatkan. Lihatlah sumpah demi sumpah dengan dalil akhirat dan kematian berlomba diucapkan mereka. Tetapi perilaku mereka sudah jauh lebih dahulu menelanjangi perilaku amoralnya. Rakyat tahu, jabatan dan kedudukan politis telah memperbudak para pejabat untuk semampu mungkin melakukan penjarahan sumber daya bangsa ini tanpa menyisakan tekanan yang berarti.
Saya teringat fabel klasik, Karel Frederic Winter dalam Lajang Dongenging Sato Kewan, berhuruf Jawa (1850). Fabel itu mengisahkan seekor tikus yang bermain di dekat singa yang tidur pulas. Singa merasa terganggu. Sekali gebuk, tikus itu sudah dalam cengkeramannya, hanya tinggal dicaplok. Tapi, rupanya sang singa sadar, dirinya terlalu tinggi dan tangguh untuk membunuh cuma seekor tikus. Membunuh binatang lemah akan mengurangi wibawanya. Tikus itu pun dilepasnya. Saat singa jalan-jalan mencari angin ia seketika terjebak jerat pemburu. Ia meraung-raung, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Giliran tikus menjadi dewa penyelamat. Tikus mengerat serat-serat jaring hingga singa berhasil lepas. Ironisnya, kita setelah jadi singa tak mampu berjiwa besar dan setelah jadi tikus tidak tahu membalas budi.
Korupsi memang harus dibasmi untuk menghadirkan atmosfer pemerintahan yang lebih bersahabat dengan rakyat, terutama lewat pengadilan konstitusional yang bermartabat (bdk Heru Leluno, 2008). Di tengah berkeliarannya 'tikus-tikus' (koruptor) pengerat aset republik, kita butuh negarawan asketisisme yang menjunjung tinggi kesederhanaan, kejujuran, dan kerelaan berkorban untuk menegakkan hukum dan keadilan setegak-tegaknya seperti teladan Socrates. Bukan sosok elite/pemimpin kerdil yang bermental singa, tapi berjiwa tikus yang sukanya nyolong, takut dilihat orang.
Sumber: mediaindonesia.com
Parah, 6 dari 10 Sekolah Tilap Dana BOS!
Korupsi Dana Pendidikan
Tingginya penyimpangan dana bantuan operasional sekolah (BOS) di tingkat sekolah disebabkan rendahnya transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi warga atas pengelolaannya.
Jauh sebelum Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK Perwakilan Jakarta menemukan indikasi penyimpangan dan kerugian negara senilai Rp 5,7 miliar dalam pengelolaan dana BOS, BOP, dan block grant di enam SMPN dan satu SD di Jakarta pada 2009, pada 2007 BPK juga menemukan penyelewengan dana BOS yang lebih parah. Data BPK menyebutkan, terjadi penyimpangan pada 2.054 sekolah dari 3.237 sampel sekolah yang diperiksa dengan nilai penyimpangan lebih kurang Rp 28,1 miliar.
Artinya, enam dari sepuluh sekolah melakukan penyimpangan pengelolaan dana BOS pada tahun 2007 dengan rata-rata penyimpangan sebesar Rp 13,6 juta.
Diberitakan sebelumnya, ICW dan Koalisi Anti Korupsi Pendidikan (KAKP), Senin (6/12/2010), mendatangi kantor Kementerian Pendidikan Nasional untuk menyerahkan salinan putusan Komisioner Informasi Pusat (KIP) dan audit dari BPK Perwakilan Jakarta. Kedatangan itu untuk menyerahkan salinan putusan KIP dan temuan BPK terhadap enam SMPN dan SDN berupa kerugian sebesar Rp 5,7 miliar karena penyelewengan pengelolaan dana Biaya Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Operasional Pendidikan (BOP), serta block grant Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI).
Febri mengatakan, penyimpangan dana BOS di tingkat sekolah disebabkan oleh rendahnya transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi warga atas pengelolaannya.
"Pengelolaan dana BOS selama ini cenderung tertutup dan tidak mengikuti panduan pengelolaan dana BOS yang telah dibuat Kemdiknas," papar Febri.
Sumber: edukasi.kompas.com
Sulitnya Tekan Penyelewengan Dana BOS
Korupsi Dana Pendidikan
Penyusunan APBS terutama pengelolaan dana bersumber dari BOS kurang melibatkan partisipasi orang tua murid. Akhirnya, kebocoran dana BOS di tingkat sekolah tidak dapat dihindari.
Pengelolaannya selama ini cenderung tertutup dan tidak mengikuti panduan pengelolaan dana BOS sebagaimana yang telah dibuat oleh Kemdiknas.
Kebijakan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) terbukti kurang mampu menekan penyelewengan dalam pengelolaannya. Temuan hasil pemeriksaan BPK Perwakilan Jakarta atas 6 SMPN dan SDN di Jakarta tentang kerugian negara/daerah sebesar Rp 5,7 miliar merupakan bukti adanya penyelewengan pengelolaan dana BOS di tingkat sekolah.
Peneliti senior Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri kepad Kompas.com, Senin (6/12/2010), mengungkapkan, penyimpangan dana BOS di tingkat sekolah kini telah menjadi fenomena umum. Salah satu faktor penyebabnya adalah rendahnya transparansi, akuntabilitas dan partisipasi warga atas pengelolaannya.
"Pengelolaannya selama ini cenderung tertutup dan tidak mengikuti panduan pengelolaan dana BOS sebagaimana yang telah dibuat oleh Kemdiknas. Sebagai contoh adalah kewajiban mengumumkan APBS (Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah) pada papan pengumuman sekolah yang ternyata tidak diikuti oleh sebagian besar sekolah," papar Febri.
Selain itu, penyusunan APBS terutama pengelolaan dana bersumber dari BOS kurang melibatkan partisipasi orang tua murid. Akhirnya, kebocoran dana BOS di tingkat sekolah tidak dapat dihindari.
Putusan KIP
Majelis Komisioner KIP (Komisi Informasi Pusat) telah memutuskan bahwa dokumen SPJ (Surat Pertanggung Jawaban) dana BOS sebagai dokumen terbuka. Artinya, publik dapat mengakses dokumen tersebut jika ada kebutuhan informasi atau kejanggalan dalam pengelolaan dana BOS. Sekolah pun berkewajiban membuka dokumen tersebut.
Febri menilai, putusan KIP tersebut menjadi faktor penting untuk mendorong transparansi pengelolaan dana BOS. Selain itu, putusan ini diharapkan dapat memicu partisipasi orang tua murid lebih besar guna mengawasi pengelolaan dana BOS.
"Putusan ini diharapkan menjadi dasar hukum bagi orang tua murid untuk menelisik kejanggalan dalam pengelolaan seluruh dana publik disekolah. Oleh karena itu, guna menguatkan putusan KIP pada sekolah di seluruh Indonesia, ICW bersama KAKP menyerahkan salinan putusan KIP pada Kemdiknas," ujarnya.
Komite Sekolah, lanjut Febri, harus diberi kewenangan dan pengaruh dalam penetapan kebijakan strategis sekolah terutama dalam tiga aspek tersebut.
"Selama ini, kewenangan Komite Sekolah hanya pada penanda tanganan laporan keuangan sekolah sebagai syarat dalam pencairan dana BOS setiap triwulan," tambah Febri.
Sumber: edukasi.kompas.com
Membongkar Jejak Sejarah Budaya Korupsi Di Indonesia
“Korupsi yang semakin subur dan seakan tak pernah ada habisnya, baik ditingkat pusat sampai daerah ; merupakan bukti nyata betapa bobroknya moralitas para pejabat pemerintahan kita. Namun apakah korupsi hanya diakibatkan oleh persoalan moralitas belaka?. Kita akan tahu dengan belajar dari sejarah”.
Ungkapan tersebut di atas terasa sangat keliru meski ada kebenarannnya yang dikandung di dalamnya. Kita tidak boleh serta merta melihat segi moral sebagai aspek tunggal dari praktek korupsi di Indonesia. Moralitas seseorang sangat ditentukan oleh lingkungan dan pergaulan sosialnya. Tinggi rendahnya moralitas yang terbangun dalam diri seseorang, tergantung seberapa besar dia menyerap nilai (pervade value) yang diproduksi oleh lingkungannya. Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, moralitas masyarakat direduksi oleh kepentingan politik dominan ketika itu. Negara melalui pemerintah telah secara sengaja membangun stigma dan prilaku yang menyimpang (abuse of power), dengan melegalkan praktek korupsi dikalangan pejabat-pejabat pemerintahan. Hal tersebut dikarenakan oleh bentuk serta pola praktek kekuasaan yang cenderung menindas sehingga secara terang-terangan telah melegalkan praktek korupsi, meski di depan mata masyarakat kita sendiri.
Zaman itu, mungkin saja semua orang tahu (bahkan tak jarang yang pura-pura tak tahu), bahwa telah terjadi penyimpangan dan penyelewengan penggunaan uang rakyat dalam bentuk korupsi yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru dan kroni-kroninya. Akan tetapi, budaya politik bisu yang dihegemonisasi oleh pemerintah, membuat masyarakat terkesan diam dan acuh akibat ketakutan-ketakutan mereka yang oleh pemerintah sengaja diproduksi secara sistematis ketika itu. Bersuara berarti berhadapan dengan kekuasaan, yang tentu akan berujung tekanan dan represi bagi yang berani menyuaraknnya.
Moralitas vs Sentralisme Kekuasaan
Korupsi merupakan sebuah masalah ekonomi yang berakar pada struktur sosial-politik masyarakat Indonesia. Korupsi bukanlah sebuah masalah moral semata, seperti yang dikatakan oleh sebagian besar orang yang meyakininya. Sekalipun tentu saja masalah moral memiliki peran penting dalam menyuburkan praktek korupsi di Negara kita, akan tetapi peran tersebut tidak tidak terlepas dari struktur politik kekuasaan yang memberikan ruang untuk munculnya masalah korupsi ini. Belakangan ini, begitu banyak terdengar upaya kampanye sederhana (soft campaigne), baik pemerintah, tokoh masyarakat, NGO/LSM, hingga tokoh-toko agama tentang seruan serta imbauan kepada masyarakat untuk terus memperbaiki akhlak dan nilai-nilai moral yang selama ini dianggap biang terjadinya korupsi di Indonesia. Media yang digunakan beragam, mulai dari iklan TV, Koran, Majalah, Tabloid hingga pamflet dan selebaran, yang intinya adalah menekankan kepada masyarakat bahwa, “jika ingin korupsi dibasmi, maka perbaikilah moral dan akhlak dasar kita, sebab moral yang bobrok merupakan akar penyebab korupsi di Indonesia”. Upaya tersebut bukan salah, namun keliru memandang persoalan secara objektif dan komprehensif. Bahkan kekhawatiran terbesar masyarakat adalah, “jangan sampai upaya kampanye anti korupsi yang terus menerus menyudutkan masalah moral sebagai biang keladi menjamurnya korupsi, hanya dijadikan sebagai upaya “cuci tangan” dan “pengalihan isu” dari para pejabat korup, sehingga dengan demikian, masyarakat kian lupa dengan faktor utama yang mendorong lahirnya praktek korupsi tersebut, yakni ; Bangunan kekuasan yang otoriter, menindas dan terpusat kepada segelintir orang saja”. Rendahnya moralitas seseorang, memang menjadi salah satu varian penyebab korupsi, namun masih ada hal yang lebih penting dari akar persoalan membudayanya praktek korupsi, yang tentu lebih substansial dari sekedar alasan moralitas.
Salah satu di antara banyak faktor yang berperan menyuburkan korupsi adalah “sentralisme kekuasaan”, atau struktur pemerintahan yang memusatkan kekuasaan di tangan segelintir elit saja. Bayangkan, jika kekuasaan dijalankan dengan tangan besi, betapa mudahnya praktek korupsi ini dilakukan atas nama kepentingan bersama. Sama persis dengan praktek kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintahan Orde Baru Soeharto, dimana pemerintah dengan begitu mudahnya menghisap pajak dan uang rakyat atas nama dan untuk pembangunan. Siapa yang menghalang-halangi, dicap sebagai anti pemerintah, membahayakan stabilitas Negara, hingga tuduhan komunis gaya baru dan lain sebagainya. Hakekatnya, kekuasaan Negara yang terpusat kepada segelintir orang saja, tentu akan mengakibatkan dominasi dan hegemoni yang kuat terhadap mayoritas rakyat Indonesia. Hal inilah yang menjadi factor penting mengapa korupsi begitu sangat mudahnya tumbuh subur dan berkembang di Indonesia.
Pada sisi lain, secara sosiologis dapat kita analisis bahwa kecenderungan korupsi yang menyebar dan menjamur dikalangan masyarakat umum, juga tidak lepas dari bangunan kekuasaan yang dipraktekkan oleh Orde Baru Soeharto. Pemikiran masyarakat telah secara otomatis terhegemoni dan tercekcoki oleh lingkungan social yang terbentuk dari bangunan kekuasaan yang sentralistik dan otoriter tersebut. Wajar kemudian ketika sebahagian besar pejabat-pejabat pemerintahan hingga tingkat daerah (Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, Lurah hingga kepala dusun sekalipun), juga ikut bertindak sama dengan prilaku yang diterapkan oleh kekuasaan Orde Baru yang otoriter dan sewenang-wenang. Pejabat lokal pemerintahan inipun, tak segan untuk menggunakan otoritasnya demi memperkaya diri sendiri dengan menghisap serta menindas masyarakat. Toh pada akhirnya, masyarakat terkesan diam dan tak berani bertanya apalagi melakukan protes akibat dominannya kekuasaan yang terjadi. Akibatnya, budaya politik yang terbangun ditengah masyarakat cenderung prematur dan prakmatis. Semisal, banyaknya masyarakat yang berlomba-lomba untuk menjadi Bupati atau Camat meski harus menghabiskan biaya yag tak sedikit dalam pemilihannya dengan satu pemikiran, “Bukankah biaya yang saya keluarkan ini tak seberapa jika dibandingkan dana yang akan saya dapatkan di pemerintahan jika berkuasa nanti? Bahkan bisa berlipat-lipat jumlahnya”. Sungguh situasi yang sangat menyedihkan ditengah kondisi dan kehidupan masyarakat yang semakin terpuruk.
Warisan Masa Lalu
Dalam konteks perjalanan bangsa Indonesia, persoalan korupsi memang telah mengakar dan membudaya. Bahkan dikalangan mayoritas pejabat publik, tak jarang yang menganggap korupsi sebagi sesuatu yang “lumrah dan Wajar”. Ibarat candu, korupsi telah menjadi barang bergengsi, yang jika tidak dilakukan, maka akan membuat “stress” para penikmatnya. Korupsi berawal dari proses pembiasan, akhirnya menjadi kebiasaan dan berujung kepada sesuatu yang sudah terbiasa untuk dikerjakan oleh pejabat-pejabat Negara.
Tak urung kemudian, banyak masyarakat yang begitu pesimis dan putus asa terhadap upaya penegakan hukum untuk menumpas koruptor di Negara kita. Jika dikatakan telah membudaya dalam kehidupan, lantas darimana awal praktek korupsi ini muncul dan berkembang?. Tulisan ini akan sedikit memberikan pemaparan mengenai asal-asul budaya korupsi di Indonesia yang pada hakekatnya telah ada sejak dulu ketika daerah-daerah di Nusantara masih mengenal system pemerintah feodal (Oligarkhi Absolut), atau sederhanya dapat dikatakan, pemerintahan disaat daerah-daerah yang ada di Nusantara masih terdiri dari kerajaan-kerajaan yang dipimpin oleh kaum bangsawan (Raja, Sultan dll).
Secara garis besar, budaya korupsi di Indonesia tumbuh dan berkembang melalu 3 (tiga) fase sejarah, yakni ; zaman kerajaan, zaman penjajahan hingga zaman modern seperti sekarang ini. Mari kita coba bedah satu-persatu pada setiap fase tersebut. Pertama, Fase Zaman Kerajaan. Budaya korupsi di Indonesia pada prinsipnya, dilatar belakangi oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan. Literatur sejarah masyarakat Indonesia, terutama pada zaman kerajaan-kerajaan kuno, seperti kerajaan Mataram, Majapahit, Singosari, Demak, Banten dll, mengajarkan kepada kita bahwa konflik kekuasan yang disertai dengan motif untuk memperkaya diri (sebagian kecil karena wanita), telah menjadi faktor utama kehancuran kerajaan-kerajaan tersebut. Coba saja kita lihat bagaimana Kerajaan Singosari yang memelihara perang antar saudara bahkan hingga tujuh turunan saling membalas dendam berebut kekuasaan, mulai dari Prabu Anusopati, Prabu Ranggawuni, hingga Prabu Mahesa Wongateleng dan seterusnya. Hal yang sama juga terjadi di Kerajaan Majapahit yang menyebabkan terjadinya beberapa kali konflik yang berujung kepada pemberontakan Kuti, Nambi, Suro dan lain-lain. Bahkan kita ketahui, kerajaan Majapahit hancur akibat perang saudara yang kita kenal dengan “Perang Paregreg” yang terjadi sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Lalu, kerajaan Demak yang memperlihatkan persaingan antara Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang, ada juga Kerajaan Banten yang memicu Sultan Haji merebut tahta dan kekuasaan dengan ayahnya sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtoyoso (Amien Rahayu SS, Jejak Sejarah Korupsi Indonesia-Analis Informasi LIPI). Hal menarik lainnya pada fase zaman kerajaan ini adalah, mulai terbangunnya watak opurtunisme bangsa Indonesia. Salah satu contohnya adalah posisi orang suruhan dalam kerajaan, atau yang lebih dikenal dengan “abdi dalem”. Abdi dalem dalam sisi kekuasaan zaman ini, cenderung selalu bersikap manis untuk menarik simpati raja atau sultan. Hal tersebut pula yang menjadi embrio lahirnya kalangan opurtunis yang pada akhirnya juga memiliki potensi jiwa yang korup yang begitu besar dalam tatanan pemerintahan kita dikmudian hari.
Kedua, Fase Zaman Penjajahan. Pada zaman penjajahan, praktek korupsi telah mulai masuk dan meluas ke dalam sistem budaya sosial-politik bangsa kita. Budaya korupsi telah dibangun oleh para penjajah colonial (terutama oleh Belanda) selama 350 tahun. Budaya korupsi ini berkembang dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan badut politik oleh penjajah, untuk menjalankan daerah adiministratif tertentu, semisal demang (lurah), tumenggung (setingkat kabupaten atau provinsi), dan pejabat-pejabat lainnya yang notabene merupakan orang-orang suruhan penjajah Belanda untuk menjaga dan mengawasi daerah territorial tertentu.
Mereka yang diangkat dan dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari rakyat, digunakan oleh penjajah Belanda untuk memperkaya diri dengan menghisap hak dan kehidupan rakyat Indonesia. Sepintas, cerita-cerita film semisal Si Pitung, Jaka Sembung, Samson & Delila, dll, sangat cocok untuk menggambarkan situasi masyarakat Indonesia ketika itu. Para cukong-cukong suruhan penjajah Belanda (atau lebih akrab degan sebutan “Kompeni”) tersebut, dengan tanpa mengenal saudara serumpun sendiri, telah menghisap dan menindas bangsa sendiri hanya untuk memuaskan kepentingan si penjajah. Ibarat anjing piaraan, suruhan panjajah Belanda ini telah rela diperbudak oleh bangsa asing hanya untuk mencari perhatian dengan harapan mendapatkan posisi dan kedudukan yang layak dalam pemerintahan yang dibangun oleh para penjajah. Secara eksplisit, sesungguhnya budaya penjajah yang mempraktekkan hegemoni dan dominasi ini, menjadikankan orang Indonesia juga tak segan menindas bangsanya sendiri lewat perilaku dan praktek korupsi-nya. Tak ubahnya seperti drakula penghisap darah yang terkadang memangsa kaumnya sendiri demi bertahan hidup (Survival).
Ketiga, Fase Zaman Modern. Fase perkembangan praktek korupsi di zaman modern seperti sekarang ini sebenarnya dimulai saat lepasnya bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan. Akan tetapi budaya yang ditinggalkan oleh penjajah kolonial, tidak serta merta lenyap begitu saja. salah satu warisan yang tertinggal adalah budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal tersebut tercermin dari prilaku pejabat-pejabat pemerintahan yang bahkan telah dimulai di era Orde lama Soekarno, yang akhirnya semakin berkembang dan tumbuh subur di pemerintahan Orde Baru Soeharto hingga saat ini. Sekali lagi, pola kepemimpinan yang cenderung otoriter, anti-demokrasi dan anti-kritik, membuat jalan bagi terjadi praktek korupsi dimana-mana semakin terbuka. Indonesia tak ayal pernah menduduki peringkat 5 (besar) Negara yang pejabatnya paling korup, bahkan hingga saat ini.
Korupsi ; Kekerasan Struktural Terhadap Rakyat
Secara hakiki, korupsi merupakan bentuk kekerasan struktural yang dilakukan oleh Negara dan pejabat pemerintahan terhadap masyarakat. Betapa tidak, korupsi yang kian subur akan semakin membuat beban devisit anggaran Negara semakin bertambah. Hal ini kemudian akan mengakibatkan sistem ekonomi menjadi “colaps” dan berujung kepada semakin tingginya inflasi yang membuat harga-harga kebutuhan masyarakt kian melambung tinggi. Eknomi biaya tinggi ini berakibat terjadinya ketidakseimbangan antara daya beli masyarakat dengan tingkat harga komoditas terutama komoditas bahan pokok. Masyarakat cenderung dipaksa untuk menerima keadaan ini, meski ambruknya sistem ekonomi kita ini, adalah akibat dari ulah para pejabat yang mengkorupsi uang Negara demi kepentingan pribadi, kelompok dan golongan masing-masing.
Intinya, masyarakat dipakda untuk menanggung beban yang tidak dilakukannya. Kita tentu masih ingat dengan “krisis moneter” yang terjadi antara tahun 1997/1998 lalu!!!. Penyebab utama dari terjadinya krisis yang melanda Indonesia ketika itu adalah beban keuangan Negara yang semakin menipis akibat ulah pemerintahan Orde Baru Soeharto yang sangat korup.
Korupsi dikatakan sebaga bentuk kekerasan struktural, sebab korupsi yang dilakukan oleh para pejabat merupakan bentuk penyelewengan terhadap kekuasaan Negara, dimana korupsi lahir dari penggunaan otoritas kekuasaan untuk menindas, merampok dan menghisap uang rakyat demi kepentingan pribadi. Akibatnya, fungsi Negara untuk melayani kepentingan rakyatnya, berubah menjadi mesin penghisap bagi rakyatnya sendiri. Relasi politik yang terbangun antara masyarakat dan Negara melalui pemerintah sungguh tidak seimbang. Hal ini berakibat kepada munculnya aristokrasi baru dalam bangunan pemerintahan kita. Negara dituding telah dengan sengaja menciptakan ketimpangan sosial dalam kehidupan masyarakat.
Kemiskinan yang semakin meluas, antrian panjang barisan pengangguran, tidak memadainya gaji dan upah buruh, anggaran social yang semakin kecil akibat pencabutan subsidi (Pendidikan, kesehatan, listril, BBM, telepon dll), adalah deretan panjang persoalan yang menghimpit masyarakat sehingga membuat beban hidup masyarakat semakin sulit. Bukankah ini akibat dari praktek kongkalikong (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah kita yang korup?. Salah satu fakta penitng yang bisa kita saksikan adalah bagaimana pemerintah dengan lapang dada telah suka rela melunasi hutang-hutang Negara yang telah dikorup oleh pemerintah Orde Baru dulu. Di dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), pemerintah mengalokasi anggaran kurang lebih 40 (empat puluh) persen untuk mebayar utang-utang luar negeri melalui IMF, Bank Dunia, Paris Club, CGI, serta lembaga donor lainnya. Belum lagi dana penggunaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang harus ditanggung oleh Negara. Alokasi pemabayaran utang-utang Negara akibat korupsi ini, akan menuai konsekuensi, yakni ; membebankan pembayaran utang tersebut kepada rakyat indoensia yang sama sekali tidak pernah menikmati utang-utang tersebut. Membebankan dengan memilih mencabut anggaran dan subsidi social bagi masyarakat.
Membebankan dengan semakin terpuruknya nasib dan kehidupan masyarakat. Sungguh tidak adil, “Koruptor yang menikmati, rakyat yang dikorbankan”!!!. Dari pemaparan tersebut, maka sangatlah wajar jika dikatakan bahwa praktek korupsi merupakan sebuah bentuk tindakan kekerasan secara sistemik, yang telah sengaja dibangun dan diciptakan oleh struktur kekuasaan negara terhadap masyarakat sendiri.
Mengembalikan Kepercayaan Masyarakat
Tidak bisa kita pungkiri bahwa tingkat praktek korupsi dikalangan pejabat-pejabat Negara, menjadikan masyarakat menarik dukungannya terhadap pemerintah. Kepercayaan serta harapan masyarakat (expectation) terhadap pemerintah bisa dikatakan semakin menurun, bahkan senderung apatis terhadap pemerintah beserta aparatur-aparatur hukumnya (polisi, jaksa, hakim, dan lain sebagainya). Selama ini, pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah terkesan berjalan dengan lamban. Berbelit-belit dan sangat birokratisnya upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan, menjadi salah satu factor mendasar penyelesaiaan sebuah kasus. Semisal, pemeriksaan seorang pejabat legislatif (anggota DPRD) yang harus menunggu izin dan keputusan dari Menteri Dalam Negeri, atau pejabat pemerintahan daerah yang harus menunggu persetujuan presiden, dll, menjadi salah satu kendala utama yang harus mampu pemerintah carikan solusi yang tepat. Pemerintah dalam hal ini dituntut untuk membuat kebijakan (policy) yang bertujuan untuk mempelancar proses pemberantasan korupsi sehingga daapt berjalan cepat, efisien dan efektif tanpa harus dihalangi oleh aturan-aturan yang telampau birokratis.
Sejak periode kepemimpinan Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla, program pemberantasan korupsi menjadi prioritas utama dalam program kerja pemerintahannya. Upaya ini harus kita apresiasi dengan memberikan bentuk penghargaan yang tinggi atas upaya yang dilakukan tersebut. Namun patut kita catat bahwa, meskipun pemerintahan SBY-JK telah berhasil mengungkap kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat-pejabat Negara (semisal kasus KPU, kasus Bulog, kasus Abdullah Puteh di Aceh, serta kasus-kasus yang melibatkan pejabat pemerintah di beberapa daerah), namun upaya pemberantasan korupsi ini belum mampu menyentuh para koruptor-koruptor kakap (dari era Soeharto sampai sekarang) yang hingga saat ini masih bebas berkeliaran tanpa pernah sedikitpun tersentuh oleh hukum. Jika pemerintah mampu memberikan bukti nyata dari komitmen pemberantasan korupsi, maka kpercayaan masyarakatpun akan kembali pulih, bahkan lebih partisipatif dalam setiap masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh bangsa dan Negara.
Namun sebaliknya, jika pemerintah lamban dan gagal dalam menunaikan kewajiban dan tanggung jawabnya untuk menuntaskan kasus-kasus korupsi yang ada, maka rakyat akan jauh semakin jauh meninggalkannya. Apa jadinya sebuah pemrintahan tanpa dukungan dari masyarakatnya?
Upaya Hukum Pemberantasan Korupsi ; Antara Mitos dan Realitas
Upaya yang harus dilakukan untuk memberantas dan membasmi korupsi ini bukan hanya sekedar menggiatkan pemeriksaan, penyelidikan, dan penangkapan koruptor. Upaya pemberantasan korupsi juga bukan hanya sekedar dengan menggiatkan kampanye peningkatan nilai-nilai moral seseorang. Namun upaya korupsi harus secara mendalam menutup akar peneybabnya melalui ;
Pertama, Negara melalui pemerintah harus melakukan perbaikan kondisi hidup masyarakat secara menyeluruh, terutama dalam konteks perbaikan ekonomi. Negara dalam hal ini bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup masyarakat, baik secara bathin maupun lahiriah, primer maupun sekunder, fisik dan non-fisik secara seimbang. Jika kehidupan masyarakat terus menerus didera dengan kemiskinan, maka keinginan untuk mencari jalan pintas demi memperkaya diri, akan terus muncul dan berkembang dalam pikiran masyarakat kita. Sebab masalah korupsi bukan hanya masalah penegakan dan kepastian hukum saja, namun masalah korupsi juga integral dengan masalah sosial, ekonomi dan politik.
Kedua, Membangun sistem kekuasaan yang demokratis. Seperti yang telah ditegaskan pada bagian awal tulisan ini, bahwa prilaku korup juga turut ditopang oleh sistem yang mendorongnya. Jika kekuasaan berwujud sentralistik, otoriter dan menindas, maka bukan tidak mungkin korupsi akan terus menerus terjadi. Kita memerlukan sebuah sistem pemerintahan yang demokratis, transparan, tidak anti kritik, serta meemiliki wujud penghormatan yang tinggi terhadap masyarakat sipil (civil society).
Ketiga, Membangun akses control dan pengawasan masyarakat terhadap pemerintah. Penanganan masalah korupsi ini tidak bisa dilakukan dengan cara memusatkan kendali pada satu badan atau menyerahkan penanganannya pada pemerintah saja. Sebab hal tersebut cenderung berjalan linear dan non-sturktural. Dalam arti, apakah mungkin pemerintah akan efektif memeriksa pejabatnya sendiri. Masalah klasik yang kemudian muncul adalah, “siapa yang akan bertanggung jawab untuk mengawasi pengawas?”. Persoalan ini hanya akan terakomodasi dalam konteks kekuasan otoritarian. Dalam sebuah struktur kekuasaan Negara yang egaliter, masyarakat dberikan akses control terhadap kekuasaan, sehingga fungsi pengawasan secara horisontal antar struktur yang sejajar, maupun pengawasan akan berjalan seimbang dengan control yang tajam terhadap penyelewengan.
Keempat, Penguatan institusi-institusi aparatur penegak hukum. Kejujuran penegak hukum (fair trial), harus mulai dibangun secara kuat. Hal ini dimaksudkan agar proses penanganan korupsi dapat berjalan secara efisien. Kredibilitas aparatur hukum kita dituntut untuk lebih berlaku adil, objektif dan tidak berpihak dalam memandang serta memilih-milih kasus. Kasus seorang koruptor harus diproses dan dapat diselesaikan secara cepat, layaknya penyelesaiaan kasus seorang pencuri ayam yang relative tidak membutuhkan waktu yang lama. Disinilah dituntut keprofesionalan para penegak hukum kita, jika pemerintah menginginkan penyelesaiaan kasus korupsi secara efektif.
Kelima, Perbaikan sistem dan mutu pendidikan. Hal ini memungkinkan untuk menamankan prilaku yang bersih, jujur dan bertanggung jawab bagi siswa-siswa sekolah sedari dini. Prilaku pengajar para (dosen, guru, dll) juga harus ikut diperbaiki. Selama ini, tak jarang dari para pengajar tersebut memberikan contoh yang buruk kepada anak didiknya yang bisa jadi kelak akan diadopsinya dalam kehidupan sehari-hari. Semisal jual ijazah dan nilai, bisnis buku/modul pelajaran, pungutan liar hingga cara mengajar yang kaku, otoriter dan cenderung menekan anak-anak didiknya. Jika hal tersebut di atas tidak mampu kita praktekkan secara serius, maka tidak ada jaminan bahwa prilaku korup masyarakat Indonesia akan hilang dengan sendirinya. Bisa jadi justru akan semakin subur tanpa dapat kita hentikan bersama-sama.
Oleh: Herdiansyah Hamzah
Sumber: belanegarari.wordpress.com
Solusi Masalah Korupsi di Indonesia: Gayus for President!
Ya!
Saya serius. 100%.
Tidak, tidak… bahkan 1.000%!
Korupsi di negeri ini sudah menahun, berakar sangat mendalam, sukar diberantas. Uang hasil korupsi di Indonesia kalau dibelikan kerupuk semua, dan krupuknya ditumpuk, barangkali sudah lebih tinggi dari Monas. Bukan, setinggi Merapi. Bukan, mungkin sudah sampai ke bulan. Bayangkan, bangsa ini sebetulnya punya kemampuan mendaratkan krupuk pertama di bulan. Tapi prestasi antariksa apa yang kita punya?
Kasus korupsi begitu telanjang terjadi di depan mata, semuanya hanya dibawa ke panggung sandiwara pengadilan. Lalu jadi bahan omongan dan bahan guyonan di warung-warung kopi.
Rakyat tak berdaya. Tahu bahwa mereka dirampok habis-habisan. Sumber daya alamnya, juga keras kerasnya, termasuk pajak yang dengan setia mereka bayarkannya. Tapi bisa apa kita, rakyat jelata?
Para pelaku dan pendukung korupsi, atasannya dan bawahannya, seringkali lebih baik terlihat tolol di depan publik, daripada ketahuan korupsi. “Lupa, Pak.” “Tidak ingat, Pak.” “Tidak tahu, Pak.” Dan kita pun terheran-heran dan terbahak-bahak, bagaimana orang yang sedemikian pikun dan tololnya bisa jadi pejabat. Kaya raya pula.
Di Indonesia, orang lebih baik terlihat tolol dan tidak punya kehormatan asalkan punya duit. Bukan sekadar punya duit, tapi punya duit banyak. Rumah harus setidaknya tiga buah, masing-masing minimal 7 kamar, dua tingkat, dengan garasi muat 5 mobil, masing-masing anak harus punya satu. Untuk apa? Padahal satu rumah dengan 3 atau 4 kamar saja cukup. Mobil satu asal perawatannya baik juga sebetulnya cukup. Dipakai bergantian, cukupkah?
Entah kenapa orang harus punya mobil, rumah, uang, deposito banyak-banyak. Kalau cuma buat punya-punyaan, mau diapakan kepunyaannya itu? Mau dipamerkan? Apa tidak takut dipertanyakan orang? Pegawai negeri kelas coro kok mobilnya 6? Rumahnya kok tiga? Jangan-jangan korupsi.
Tapi, lagi-lagi, pejabat Indonesia korup lebih suka terlihat tolol, pikun, dan tidak punya kehormatan daripada tidak punya uang segunung. Pokoknya uangnya segunung. Tujuan hidupnya punya uang segunung. Buat apa, dia sendiri tidak tahu. Pokoknya. Yang menuduh, yang tidak suka, pasti iri. Bukannya benci ketidakadilan dan kesewenang-wenangan.
Korupsi mulai dari kecil sampai besar ada di mana-mana. Sehari-hari terjadi, di depan mata kita. Sedemikian sering dan ‘biasa’nya, sehingga kita lupa bahwa itu adalah korupsi. Rutin kasih uang setoran kepada preman setempat, kirim bingkisan kepada pejabat, ‘titip’ bikin SIM kepada aparat, memberi pelicin, komisi, atau kick back, atau apalah namanya demi kelancaran bisnis, dan seterusnya dan seterusnya.
Kita sungguh-sungguh merasa bahwa penegakan keadilan tidak bergigi. Pengacara berbisnis dengan makelar kasus bisa mengatur bagaimana isi berita acara pemeriksaan dari polisi. Bayar. Lalu memuntir tuntutan jaksa. Bayar. Lalu memilih hakim yang bisa diajak komporomi lewat panitera pengadilan. Bayar. Lalu mengilik hakim untuk mengurangi hukuman, atau bahkan memutus bebas. Bayar. Kalaupun sampai masuk penjara, bisa keluar. Ke luar negeri lagi, tidak tanggung-tanggung. Bayar. Lalu penjara juga bisa dibikin jadi bungalow berfasilitas bintang lima. Penjara apa wisata? Bayar. Ada pengurangan hukuman, bisa dapat banyak pengurangan, putusan 8 tahun bisa dijalani cuma 4 tahun. Bayar.
Penegakan hukum jadi bisnis. Itu perasaan kita. Lalu kalau ditanya, mana buktinya, toh nyatanya saya tidak bisa membuktikan. Tidak punya bukti. Kalau saya tidak bisa membuktikan, maka koruptor lantang bersuara, kamu memfitnah. Pencemaran nama baik. Maka sayalah yang akhirnya masuk penjara. Dan karena tidak bayar, maka saya kena tuntutan jaksa yang berat, hukuman berat, tiada remisi, di sel penjara yang paling buruk pula.
Tapi itu semua barangkali hanya perasaan saya belaka. Nyatanya saya tidak bisa menunjukkan satu pun bukti adanya korupsi. Gayus mengakui bahwa ia menyuap pejabat tahanan supaya bisa keluar dan ke luar negeri. Tapi itu hanya kata-kata Gayus saja. Kata-kata tukang bohong, tukang tipu, tukang tilep yang sukses merampok uang negara milyaran rupiah tanpa pistol. Kata pihak kepolisian, Gayus membohongi kepala rumah tahanan, karena Gayus bilangnya hanya mau pulang menengok keluarga di Kelapa Gading, eeeh, tahunya malah ke luar negeri. Dan kita serempak terhenyak, “Lha???” Kok bisa seorang pejabat tinggi dengan kewenangan tinggi sebegitu tololnya, kok bisa-bisanya melanggar peraturan, menyalahgunakan wewenangnya secara melanggar hukum karena ditipu oleh orang yang jelas-jelas tukang tipu yang seharusnya dikurungnya?
Nah, kan, benar kata saya, pejabat korup lebih suka terlihat tolol.
Tapi lagi-lagi ini ‘kan dugaan saya. Mana buktinya kalau kepala rutan menerima uang dari Gayus? Saya tidak punya bukti. Polisi tidak punya, jaksa tidak punya, hakim tidak punya, media tidak punya, bahkan Gayus sendiri tidak punya bukti. Yang ada cuma kata-kata. Kata-kata dari mulut seorang pembohong.
Makanya, besok-besok, kalau mau menyuap pejabat, jangan lupa minta kuitansi. Lakukan penyuapan di depan notaris dan saksi. Jadi kalau dimintai hakim kita punya bukti, bukan cuma modal ludah.
Nah, cukup cerewet saya mengeluh dan merepet soal korupsi. Kini saya tawarkan solusi.
Tidak main-main. Solusi untuk memberantas korupsi di Indonesia, dari yang paling besar sampai yang paling kecil, untuk selamanya.
Langkah pertama, kita calonkan dan kita pilih Gayus sebagai Presiden. Ini langkah simbolik yang teramat penting.
Lalu sesudah itu kita ganti korupsi, penyalahgunaan jabatan, penyuapan, pelicin, dan lain-lain dengan kata-kata yang berkonotasi positif seperti ’saling pengertian’, ‘kerja sama’, atau ‘kekeluargaan.’
Selanjutnya korupsi dikeluarkan dari hukum pidana. Korupsi perlu segera di-dekriminalisasi. Tidak bisa orang ditangkap, diadili, atau dipenjara karena korupsi. Karena korupsi tidak lagi menjadi kejahatan.
Selanjutnya, korupsi, dalam bahasa yang baru, seperti saling pengertian, kerja sama, dan kekeluargaan digalakkan. Dianjurkan, kalau perlu diwajibkan. Bikin KTP, SIM, atau paspor, harus menyuap, sekalipun Anda tidak minta servis istimewa. Tidak minta cepat jadi, tidak minta paspor palsu atas nama Sony Laksono, tetap wajib menyuap… eh maksud saya ‘kerja sama’ dengan aparat atau pejabat.
Karena ‘kerja sama’ ini diwajibkan, otomatis harus ada tarif yang jelas. Untuk servis ini, suapnya… eh, salah lagi, maksudnya saya, tarif kerja samanya harus jelas berapa. Kepada pejabat kelas teri berapa, kepada pejabat kelas coro berapa, kepada pejabat kelas kakap berapa, kepada yang bukan pejabat berapa. Distribusi korupsi ini harus jelas, dan harus diundangkan. Dan seterusnya, demi kepraktisan, maka perlu, ya kuitansi itu tadi.
Sesudah itu, korupsi harus diperluas. Korupsi atau sogok menyogok, atau dalam bahasa yang baru disebut sebagai ‘kerja sama’ harus–bukan merembes atau menetes, tapi–membanjir ke luar lingkungan pejabat, aparat negara, dan preman saja. Korupsi harus melanda dan dilakukan oleh semua orang di Indonesia. Gelandangan, anak jalanan, petani tanpa tanah, maling, pedagang sayur keliling, tukang kredit, petugas kebersihan, ibu rumah tangga, pengangguran, pelajar, mahasiswa, guru, ustad, kadi, semua saja warga negara Indonesia tanpa terkecuali.
Semua orang harus korupsi di Indonesia. Maksud saya semua orang harus saling ‘bekerja sama’ di mana saja, kapan saja, kepada siapa saja, tidak perduli tua muda, miskin kaya, laki perempuan, atau desa kota. Semuanya dan saling.
Pertanyaan. Lalu bagaimana jika dalam suasana saling korupsi ini ada yang mengkorupsi korupsi? Maksudnya korupsinya yang dikorupsi. Sudah dilegalkan, sudah saling mengkorupsi, sudah disebut kerja sama eh, masih dikorupsi juga korupsinya. Ini yang disebut korupsi atas korupsi. Sudah terima setoran tak resmi, masih juga ditilep setoran ke atasannya. Tentu saja hal ini akan sukar dilakukan kalau Gayus yang jadi presidennya. Ini pentingnya simbol. Kalau pucuk pimpinannya saja Super Koruptor, atau dia yang bergelar Yang Dipertuan Korupsi, atau Yang Maha Korup, tentu aparat di bawahnya, para pejabat pengawas, juga terus sampai ke rakyat biasa yang semakin hari semakin menjadi pakar dalam praktik korupsi–learning by doing–karena matang dan sarat pengalaman, melakukan korupsi kuadrat atau double corruption seperti ini akan sulit. Bahkan, praktis tidak mungkin dilakukan.
Dalam waktu kurang dari satu tahun, saya kira, ketika semua orang sudah korupsi semua, saling mengkorupsi satu sama lain, dan korupsi sudah lebih dari menggejala, tapi benar-benar menyebar rata ke segala lapisan, saya yakin masalah korupsi akan hilang.
Persoalan dengan korupsi, saya kira, selama ini bukan karena korupsi itu ada, banyak, luas, dan menjamur. Tapi karena yang banyak dan menjamur itu tidak rata. Cuma pejabat tertentu saja yang bisa korupsi. Dan semakin tinggi atau semakin ‘basah’ jabatannya, maka korupsinya punya peluang menghasilkan lebih banyak uang. Kalau semua warga negara Indonesia korupsi–maksud saya kerjasama dalam saling pengertian–dan saling mengkorupsi satu sama lain, saya kira tidak akan ada masalah. Pejabat –setinggi atau serendah apapun– juga harus bayar uang suap kepada petani kalau mau beli beras. Petani juga harus bayar sogokan kepada tukang tambal ban sepeda. Jadi jangan cuma supir angkot saja yang rutin menyelipkan uang salam tempel kepada polisi kalau pas ketahuan melanggar rambu S coret demi ‘kejar setoran’ dan ‘ambil sewa’ seperti selama ini.
Semua harus dibongkar. Korupsi bahkan harus difatwa halal, bahkan sunah, mungkin wajib.
Ini semua saya usulkan karena saya sungguh mencintai negeri tolol yang super korup ini.
Oleh karenanya, marilah kita rapatkan barisan, satukan suara: “Gayus for President!”
Nyaringkan slogan kampanye kita, “Koruptor Bersatu Tak Bisa Dikalahkan!”
Rainny Drupadi
Sumber: kompasiana.com
Sistem Pendidikan Buruk Picu Korupsi
Pengamat pendidikan IAIN Ar Raniry Darussalam Banda Aceh Fuad Mardhatillah menilai, merajalelanya korupsi di Indonesia selama ini tidak terlepas dari buruknya sistem pendidikan formal dari SD hingga SMA/sederajat.
“Pendidikan kita bagai penjara bagi anak. Membudayanya korupsi saat ini tidak lepas dari sistem pendidikan yang tidak terarah,” katanya, di Banda Aceh, Selasa (21/12).
Menurutnya, pendidikan formal diterapkan dihampir semua sekolah selama ini sama sekali tidak membentuk karakter siswa, sebagaimana tujuan pendidikan sesungguhnya.
Sistem pendidikan dianut selama ini hanya mendorong siswa mengejar nilai, sehingga timbullah bermacam praktek kecurangan yang “membudaya” sejak di bangku sekolah.
“Maka tidak heran sekarang kalau kejujuran sudah menjadi barang langka, karena pendidikan kita tidak mendidik anak untuk berlaku jujur,” kata dosen ilmu filsafat IAIN Ar Raniry itu.
Sistem dianut sekolah formal saat ini juga tidak memberi ruang kritis, demokrasi serta kreativitas bagi anak didik, sehingga jika ada siswa yang berseberang pendapat dengan guru langsung disalahkan.
Menurut Fuad tidak terbentuknya karakter siswa selama menempuh pendidikan di sekolah berpengaruh kepada kehidupannya, sehingga mereka sering salah arah akibat labilnya moral.
Oleh karena itu, sekolah formal dinilai perlu mereformasi sistemnya pendidikannya, agar sesuai dengan titah sesungguhnya yakni membentuk karakter dan moral anak bangsa.
Sementara itu, sosiolog dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh Saifuddin Bantasyam, SH, MA, menyatakan, untuk memberantas korupsi di Indonesia, selain dibutuhkan reformasi birokrasi juga perlu mereformasi kultur masyarakat agar anti-korupsi.
“Ada tiga hal yang harus diperhatikan untuk melihat suksesnya hukum, satu Undang-Undang, dua sistem pemerintahan, tiga kultur masyarakat. Jadi sistem pemerintahan harus direformasi, begitu juga dengan kultur masyarakat harus diubah,” katanya.
Kultur masyarakat sekarang yang ingin semua masalah jadi instan, kerap menempuh jalan pintas bahkan dengan korupsi, seperti menyogok dan memberi suap untuk memuluskan setiap masalah.
Sumber: dukotimur.wordpress.com
Sejarah Korupsi di Indonesia
Korupsi di Indonesia sudah 'membudaya' sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari api.
Sejarawan di Indonesia umumnya kurang tertarik memfokuskan kajiannya pada sejarah ekonomi, khususnya seputar korupsi yang berkaitan dengan kekuasaan yang dilakukan oleh para bangsawan kerajaan, kesultanan, pegawai Belanda (Amtenaren dan Binenland Bestuur) maupun pemerintah Hindia Belanda sendiri. Sejarawan lebih tertarik pada pengkajian sejarah politik dan sosial, padahal dampak yang ditimbulkan dari aspek sejarah ekonomi itu, khususnya dalam "budaya korupsi" yang sudah mendarah daging mampu mempengaruhi bahkan merubah peta perpolitikan, baik dalam skala lokal yaitu lingkup kerajaan yang bersangkutan maupun skala besar yaitu sistem dan pola pemerintahan di Nusantara ini. Sistem dan pola itu dengan kuat mengajarkan "perilaku curang, culas, uncivilian, amoral, oportunis dan lain-lain" dan banyak menimbulkan tragedi yang teramat dahsyat.
Era Sebelum Indonesia Merdeka
Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh "budaya-tradisi korupsi" yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi berjalin berkelin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan: Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda dan seterusnya sampai terjadfnya beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di Indonesia.
Umumnya para Sejarawan Indonesia belum mengkaji sebab ekonomi mengapa mereka saling berebut kekuasaan. Secara politik memang telah lebih luas dibahas, namun motif ekonomi - memperkaya pribadi dan keluarga diantara kaum bangsawan - belum nampak di permukaan "Wajah Sejarah Indonesia".
Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya. Sriwijaya diketahui berakhir karena tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan sepeninggal Bala-putra Dewa. Majapahit diketahui hancur karena adanya perang saudara (perang paregreg) sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Sedangkan Mataram lemah dan semakin tidak punya gigi karena dipecah belah dan dipreteli gigi taringnya oleh Belanda.
Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC rnemecah Mataram menjadi dua kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kemudian tahun 1757/1758 VOC memecah Kasunanan Surakarta menjadi dua daerah kekuasaan yaitu Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran. Baru pada beberapa tahun kemudian Kasultanan Yogyakarta juga dibagi dua menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman.
Benar bahwa penyebab pecah dan lemahnya Mataram lebih dikenal karena faktor intervensi dari luar, yaitu campur tangan VOC di lingkungan Kerajaan Mataram. Namun apakah sudah adayang meneliti bahwa penyebab utama mudahnya bangsa asing (Belanda) mampu menjajah Indonesia sekitar 350 tahun (versi Sejarah Nasional?), lebih karena perilaku elit bangsawan yang korup, lebih suka memperkaya pribadi dan keluarga, kurang mengutamakan aspek pendidikan moral, kurang memperhatikan "character building", mengabaikan hukum apalagi demokrasi Terlebih lagi sebagian besar penduduk di Nusantara tergolong miskin, mudah dihasut provokasi atau mudah termakan isu dan yang lebih parah mudah diadu domba.
Belanda memahami betul akar "budaya korup" yang tumbuh subur pada bangsa Indonesia, maka melalui politik "Devide et Impera" mereka dengan mudah menaklukkan Nusantara! Namun, bagaimanapun juga Sejarah Nusantara dengan adanya intervensi dan penetrasi Barat, rupanya tidak jauh lebih parah dan penuh tindak kecurangan, perebutan kekuasaan yang tiada berakhir, serta "berintegrasi' seperti sekarang. Gelaja korupsi dan penyimpangan kekusaan pada waktu itu masih didominasi oleh kalangan bangsawan, sultan dan raja, sedangkan rakyat kecil nyaris "belum mengenal" atau belum memahaminya.
Perilaku "korup" bukan hanya didominasi oleh masyarakat Nusantara saja, rupanya orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda pun gemar "mengkorup" harta-harta Korpsnya, institusi atau pemerintahannya. Kita pun tahu kalau penyebab hancur dan runtuhnya VOC juga karena korupsi. Lebih dari 200 orang pengumpul Liverantie dan Contingenten di Batavia kedapatan korup dan dipulangkan ke negeri Belanda. Lebih dari ratusan bahkan kalau diperkirakan termasuk yang belum diketahui oleh pimpinan Belanda hampir mencapai ribuan orang Belanda juga gemar korup.
Dalam buku History of Java karya Thomas Stanford Raffles (Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816), terbit pertama tahun 1816 mendapat sambutan yang "luar biasa" baik di kalangan bangsawan lokal atau pribumi Jawa maupun bangsa Barat. Buku tersebut sangat luas memaparkan aspek budaya meliputi situasi geografi, nama-nama daerah, pelabuhan, gunung, sungai, danau, iklim, kandungan mineral, flora dan fauna, karakter dan komposisi penduduk, pengaruh budaya asing dan lain-lain.
Hal menarik dalam buku itu adalah pembahasan seputar karakter penduduk Jawa. Penduduk Jawa digambarkan sangat "nrimo" atau pasrah terhadap keadaan. Namun, di pihak lain, mempunyai keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain. Tidak terus terang, suka menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil sesuatu keuntungan atau kesempatan di kala orang lain tidak mengetahui.
Hal rnenarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar menumpuk harta, memelihara sanak (abdi dalem) yang pada umumnya abdi dalem lebih suka mendapat atau mencari perhatian majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka atau berperilaku oportunis. Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih suka disanjung, dihorrnati, dihargai dan tidak suka menerima kritik dan saran. Kritik dan saran yang disarnpaikan di muka umum lebih dipandang sebagai tantangan atau perlawanan terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu budaya kekuasaan di Nusantara (khususnya Jawa) cenderung otoriter. Daiam aspek ekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya "dibiarkan" miskin, tertindas, tunduk dan harus menuruti apa kata, kemauan atau kehendak "penguasa".
Budaya yang sangat tertutup dan penuh "keculasan" itu turut menyuburkan "budaya korupsi" di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan "korup" dalam mengambil "upeti" (pajak) dari rakyat yang akan diserahkan kepada Demang (Lurah) selanjutnya oleh Demang akan diserahkan kepada Turnenggung. Abdidalem di Katemenggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga mengkorup (walaupun sedikit) harta yang akan diserahkan kepada Raja atau Sultan.
Alasan mereka dapat mengkorup, karena satuan hitung belum ada yang standar, di samping rincian barang-barang yang pantas dikenai pajak juga masih kabur. Sebagai contoh, upeti dikenakan untuk hasil-hasil pertanian seperti Kelapa, Padi, dn Kopi. Namun ukuran dan standar upeti di beberapa daerah juga berbeda-beda baik satuan barang, volume dan beratnya, apalagi harganya. Beberapa alasan itulah yang mendorong atau menye-babkan para pengumpul pajak cenderung berperilaku "memaksa" rakyat kecil, di pihak lain menambah "beban" kewajiban rakyat terhadap jenis atau volume komoditi yang harus diserahkan.
Kebiasaan mengambil "upeti" dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 - 1942) minus Zaman Inggris (1811 - 1816), Akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda. Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro (1825 -1830), Imam Bonjol (1821 - 1837), Aceh (1873 - 1904) dan lain-lain. Namun, yang lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi (rakyat Indonesia yang terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem "Cuituur Stelsel (CS)" yang secara harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sistem itu adalah membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat memprihatinkan.
Isi peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS sebenarnya sangat "manusiawi" dan sangat "beradab", namun pelaksanaan atau praktiknyalah yang sangat tidak manusiawi, mirip Dwang Stelsel (DS), yang artinya "Sistem Pemaksaan". Itu sebabnya mengapa sebagian besar pengajar, guru atau dosen sejarah di Indonesia mengganti sebutan CS menjadi DS. mengganti ungkapan "Sistem Pembudayaan" menjadi "Tanam Paksa".
Umumnya para Sejarawan Indonesia belum mengkaji sebab ekonomi mengapa mereka saling berebut kekuasaan. Secara politik memang telah lebih luas dibahas, namun motif ekonomi - memperkaya pribadi dan keluarga diantara kaum bangsawan - belum nampak di permukaan "Wajah Sejarah Indonesia".
Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya. Sriwijaya diketahui berakhir karena tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan sepeninggal Bala-putra Dewa. Majapahit diketahui hancur karena adanya perang saudara (perang paregreg) sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Sedangkan Mataram lemah dan semakin tidak punya gigi karena dipecah belah dan dipreteli gigi taringnya oleh Belanda.
Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC rnemecah Mataram menjadi dua kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kemudian tahun 1757/1758 VOC memecah Kasunanan Surakarta menjadi dua daerah kekuasaan yaitu Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran. Baru pada beberapa tahun kemudian Kasultanan Yogyakarta juga dibagi dua menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman.
Benar bahwa penyebab pecah dan lemahnya Mataram lebih dikenal karena faktor intervensi dari luar, yaitu campur tangan VOC di lingkungan Kerajaan Mataram. Namun apakah sudah adayang meneliti bahwa penyebab utama mudahnya bangsa asing (Belanda) mampu menjajah Indonesia sekitar 350 tahun (versi Sejarah Nasional?), lebih karena perilaku elit bangsawan yang korup, lebih suka memperkaya pribadi dan keluarga, kurang mengutamakan aspek pendidikan moral, kurang memperhatikan "character building", mengabaikan hukum apalagi demokrasi Terlebih lagi sebagian besar penduduk di Nusantara tergolong miskin, mudah dihasut provokasi atau mudah termakan isu dan yang lebih parah mudah diadu domba.
Belanda memahami betul akar "budaya korup" yang tumbuh subur pada bangsa Indonesia, maka melalui politik "Devide et Impera" mereka dengan mudah menaklukkan Nusantara! Namun, bagaimanapun juga Sejarah Nusantara dengan adanya intervensi dan penetrasi Barat, rupanya tidak jauh lebih parah dan penuh tindak kecurangan, perebutan kekuasaan yang tiada berakhir, serta "berintegrasi' seperti sekarang. Gelaja korupsi dan penyimpangan kekusaan pada waktu itu masih didominasi oleh kalangan bangsawan, sultan dan raja, sedangkan rakyat kecil nyaris "belum mengenal" atau belum memahaminya.
Perilaku "korup" bukan hanya didominasi oleh masyarakat Nusantara saja, rupanya orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda pun gemar "mengkorup" harta-harta Korpsnya, institusi atau pemerintahannya. Kita pun tahu kalau penyebab hancur dan runtuhnya VOC juga karena korupsi. Lebih dari 200 orang pengumpul Liverantie dan Contingenten di Batavia kedapatan korup dan dipulangkan ke negeri Belanda. Lebih dari ratusan bahkan kalau diperkirakan termasuk yang belum diketahui oleh pimpinan Belanda hampir mencapai ribuan orang Belanda juga gemar korup.
Dalam buku History of Java karya Thomas Stanford Raffles (Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816), terbit pertama tahun 1816 mendapat sambutan yang "luar biasa" baik di kalangan bangsawan lokal atau pribumi Jawa maupun bangsa Barat. Buku tersebut sangat luas memaparkan aspek budaya meliputi situasi geografi, nama-nama daerah, pelabuhan, gunung, sungai, danau, iklim, kandungan mineral, flora dan fauna, karakter dan komposisi penduduk, pengaruh budaya asing dan lain-lain.
Hal menarik dalam buku itu adalah pembahasan seputar karakter penduduk Jawa. Penduduk Jawa digambarkan sangat "nrimo" atau pasrah terhadap keadaan. Namun, di pihak lain, mempunyai keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain. Tidak terus terang, suka menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil sesuatu keuntungan atau kesempatan di kala orang lain tidak mengetahui.
Hal rnenarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar menumpuk harta, memelihara sanak (abdi dalem) yang pada umumnya abdi dalem lebih suka mendapat atau mencari perhatian majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka atau berperilaku oportunis. Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih suka disanjung, dihorrnati, dihargai dan tidak suka menerima kritik dan saran. Kritik dan saran yang disarnpaikan di muka umum lebih dipandang sebagai tantangan atau perlawanan terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu budaya kekuasaan di Nusantara (khususnya Jawa) cenderung otoriter. Daiam aspek ekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya "dibiarkan" miskin, tertindas, tunduk dan harus menuruti apa kata, kemauan atau kehendak "penguasa".
Budaya yang sangat tertutup dan penuh "keculasan" itu turut menyuburkan "budaya korupsi" di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan "korup" dalam mengambil "upeti" (pajak) dari rakyat yang akan diserahkan kepada Demang (Lurah) selanjutnya oleh Demang akan diserahkan kepada Turnenggung. Abdidalem di Katemenggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga mengkorup (walaupun sedikit) harta yang akan diserahkan kepada Raja atau Sultan.
Alasan mereka dapat mengkorup, karena satuan hitung belum ada yang standar, di samping rincian barang-barang yang pantas dikenai pajak juga masih kabur. Sebagai contoh, upeti dikenakan untuk hasil-hasil pertanian seperti Kelapa, Padi, dn Kopi. Namun ukuran dan standar upeti di beberapa daerah juga berbeda-beda baik satuan barang, volume dan beratnya, apalagi harganya. Beberapa alasan itulah yang mendorong atau menye-babkan para pengumpul pajak cenderung berperilaku "memaksa" rakyat kecil, di pihak lain menambah "beban" kewajiban rakyat terhadap jenis atau volume komoditi yang harus diserahkan.
Kebiasaan mengambil "upeti" dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 - 1942) minus Zaman Inggris (1811 - 1816), Akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda. Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro (1825 -1830), Imam Bonjol (1821 - 1837), Aceh (1873 - 1904) dan lain-lain. Namun, yang lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi (rakyat Indonesia yang terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem "Cuituur Stelsel (CS)" yang secara harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sistem itu adalah membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat memprihatinkan.
Isi peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS sebenarnya sangat "manusiawi" dan sangat "beradab", namun pelaksanaan atau praktiknyalah yang sangat tidak manusiawi, mirip Dwang Stelsel (DS), yang artinya "Sistem Pemaksaan". Itu sebabnya mengapa sebagian besar pengajar, guru atau dosen sejarah di Indonesia mengganti sebutan CS menjadi DS. mengganti ungkapan "Sistem Pembudayaan" menjadi "Tanam Paksa".
Seperti apakah bentuk-bentuk pelang-garan CS tersebut? Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Penduduk diwajibkan menanam 1/5 dari tanah miliknya dengan tanaman yang laku dijual di pasar internasional (Kopi, Tembakau, Cengkeh, Kina, Tebu dan boleh juga Padi, bukan seperti sebelumnya yang lebih suka ditanam penduduk yaitu pete, jengkol, sayur-sayuran, padi dan lain-lain). Namun praktiknya ada yang dipaksa oleh "Belanda Item" (orang Indonesia yang bekerja untuk Belanda) menjdi 2/5, 4/5 dan ada yang seluruh lahan ditanami dengan tanaman kesukaan Belanda.
2. Tanah yang ditanami tersebut (1/5) tidak dipungut pajak, namun dalam praktiknya penduduk tetap diwajibkan membayar (meskipun yang sering meng-korup belum tentu Belanda)
3. Penduduk yang tidak rnempunyai tanah diwajibkan bekerja di perkebunan atau perusahaan Belanda selama umur padi (3,5 bulan). Namun, praktiknya ada yang sampai 1 tahun, 5 tahun, 10 tahun dan bahkan ada yang sampai mati. Jika ada yang tertangkap karena berani melarikan diri maka akan mendapat hukuman cambuk (poenali sanksi).
4. Jika panen gagal akibat bencana alam (banjir, tanah longsor, gempa bumi) maka segala kerugian akan ditanggung pemerintah. Namun praktik di lapangan, penduduk tetap menanggung beban itu yang diperhitungkan pada tahun berikutnya.
5. Jika terjadi kelebihan hasil produksi (over product) dan melebihi kuota, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada penduduk. Namun praktiknya dimakan oleh "Belanda Item" atau para pengumpul.
6. Pelaksanaan CS akan diawasi langsung oleh Belanda. Namun pelaksanaannya justru lebih banyak dilakukan oleh "Belanda Item" yang karakternya kadang-kadang jauh lebih kejam, bengis dan tidak
mengenal kornpromi.
2. Tanah yang ditanami tersebut (1/5) tidak dipungut pajak, namun dalam praktiknya penduduk tetap diwajibkan membayar (meskipun yang sering meng-korup belum tentu Belanda)
3. Penduduk yang tidak rnempunyai tanah diwajibkan bekerja di perkebunan atau perusahaan Belanda selama umur padi (3,5 bulan). Namun, praktiknya ada yang sampai 1 tahun, 5 tahun, 10 tahun dan bahkan ada yang sampai mati. Jika ada yang tertangkap karena berani melarikan diri maka akan mendapat hukuman cambuk (poenali sanksi).
4. Jika panen gagal akibat bencana alam (banjir, tanah longsor, gempa bumi) maka segala kerugian akan ditanggung pemerintah. Namun praktik di lapangan, penduduk tetap menanggung beban itu yang diperhitungkan pada tahun berikutnya.
5. Jika terjadi kelebihan hasil produksi (over product) dan melebihi kuota, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada penduduk. Namun praktiknya dimakan oleh "Belanda Item" atau para pengumpul.
6. Pelaksanaan CS akan diawasi langsung oleh Belanda. Namun pelaksanaannya justru lebih banyak dilakukan oleh "Belanda Item" yang karakternya kadang-kadang jauh lebih kejam, bengis dan tidak
mengenal kornpromi.
Era Pasca Kemerdekaan
Bagaimana sejarah "budaya korupsi" khususnya bisa dijelaskan? Sebenarnya "Budaya korupsi" yang sudah mendarah daging sejak awal sejarah Indonesia dimulai seperti telah diuraikan di muka, rupanya kambuh lagi di Era Pasca Kemerdekaan Indonesia, baik di Era Orde Lama maupun di Era Orde Baru.
Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat masih belum melihat kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi. Ibarat penyakit, sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya, namun obat mujarab untuk penyembuhan belum bisa ditemukan.
Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi - Paran dan Operasi Budhi - namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan - istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.
Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah (Kabinet Juanda).
Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.
Lembaga ini di kemudian hah dikenal dengan istilah "Operasi Budhi". Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan.
Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor, "prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain".
Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.
Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat masih belum melihat kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi. Ibarat penyakit, sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya, namun obat mujarab untuk penyembuhan belum bisa ditemukan.
Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi - Paran dan Operasi Budhi - namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan - istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.
Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah (Kabinet Juanda).
Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.
Lembaga ini di kemudian hah dikenal dengan istilah "Operasi Budhi". Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan.
Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor, "prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain".
Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.
Era Orde Baru
Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Pj Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya "macan ompong" karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.
Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.
Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya "macan ompong" karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.
Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.
Era Reformasi
Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya "korupsi" lebih banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit "Virus Korupsi" yang sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara murni, kecuali secara "konkesuen" alias "kelamaan".
Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman, Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).
Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya. pemberantasan KKN.
Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat tinggi.
Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat Sofyan Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur lengser, Mega pun menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi politik. Laksamana Sukardi sebagai Menneg BUMN tak luput dari pembicaraan di masyarakat karena kebijaksanaannya menjual aset-aset negara.
Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi, Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era Reformasi.
Pelajaran apa yang bisa ditarik dari uraian ini? Ternyata upaya untuk memberantas korupsi tidak semudah memba-likkan tangan. Korupsi bukan hanya menghambat proses pembangunan negara ke arah yang lebih baik, yaitu peningkatan kesejahteraan serta pengentasan kemiskinan rakyat. Ketidakberdayaan hukum di hadapan orang kuat, ditambah minimnya komitmen dari elit pemerintahan rnenjadi faktor penyebab mengapa KKN masih tumbuh subur di Indonesia. Semua itu karena hukum tidak sama dengan keadilan, hukum datang dari otak manusia penguasa, sedangkan keadilan datang dari hati sanubari rakyat. (amanahonline)
Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman, Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).
Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya. pemberantasan KKN.
Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat tinggi.
Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat Sofyan Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur lengser, Mega pun menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi politik. Laksamana Sukardi sebagai Menneg BUMN tak luput dari pembicaraan di masyarakat karena kebijaksanaannya menjual aset-aset negara.
Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi, Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era Reformasi.
Pelajaran apa yang bisa ditarik dari uraian ini? Ternyata upaya untuk memberantas korupsi tidak semudah memba-likkan tangan. Korupsi bukan hanya menghambat proses pembangunan negara ke arah yang lebih baik, yaitu peningkatan kesejahteraan serta pengentasan kemiskinan rakyat. Ketidakberdayaan hukum di hadapan orang kuat, ditambah minimnya komitmen dari elit pemerintahan rnenjadi faktor penyebab mengapa KKN masih tumbuh subur di Indonesia. Semua itu karena hukum tidak sama dengan keadilan, hukum datang dari otak manusia penguasa, sedangkan keadilan datang dari hati sanubari rakyat. (amanahonline)
Oleh Amin Rahayu, SS
*Penulis adalah Analis informasi llmiah pada Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah - LIPI, Pengajar llmu Sejarah, Sosiologi dan Tata Negara.