Senin, 07 Maret 2011

Lele Bakar Bu Tuniah Mojokerto


Jika Anda bepergian melewati Kota Mojokerto pada malam hari, atau menjelang pagi, tak ada salahnya jika menikmati hidangan Lele Bakar di warung milik Bu Tuniah di Jalan By Pass Sekarputih.

Jika pada umumnya pecel lele biasa dimasak dengan cara digoreng, namun berbeda dengan satu ini. Pecel lele Bu Tuniah (53) ini dimasak dengan cara dibakar di atas bara api. Sangat mantab sekali jika disantab malam hari sampai menjelang pagi.

Penyajian lele bakar ini tergolong sangatlah mudah, pertama siapkan lele yang sudah dibersihkan secukupnya, kemudian campur dengan ketumbar, kunyit, kemiri dan garam yang telah dicampur dengan halus.

Kemudian, lele ditaruh di atas bara api yang panas, tapi tidak sampai hangus. Kalau sudah matang, siapkan sambal bajak dengan bahan, trasi, tomat, bawang merah, garam, sedikit gula pasir, jangan lupa cabai merah dan cabai rawit secukupnya.

Hidangan lele bakar semakin mantab, dengan diberi timun, terong dan juga kemangi. Lele bakar siap disantap untuk mengisi perut yang berdering kelaparan.

Selain lele bakar, warung Tuniah juga meyajikan, es jahe, wedang sere, jus ciplukan dan beberapa minuman lainnya. Bedanya warung ini dengan yang lain adalah hiburannya.

Pelanggan akan selalu dimanjakan dengan musik keroncong yang dimainkan. Bahkan, pelanggan boleh merequest lagu keroncong kesukaannya. Memang makan di warung Tuniah serasa seperti raja.

"Harga satu porsi hanya 15 ribu, plus minuman sesuai pesanan tamu," kata Bu Tuniah, di warung miliknya, Minggu (6/3/2011) dini hari.

Anda penikmat kuliner?, tak ada salahnya jika mampir ke warung Tuniah.


Tamam Mubarok - detikSurabaya
sumber: detik.com

Menyelam di Waigeo, Raja Ampat? Pasti mengesankan!

detik_D01JPG-
Hiu dalam drum! Si Wobbegong memilih sebuah drum sebagai tempat tidurnya malam itu

detik_D02jpg-Manta Ray yang elegan selalu mengesankan untuk disaksikan. Tidak salah Raja Ampat memilihnya sebagai lambang maskot.
 

detik_D03JPG- 
Di atas padatnya warna-warni terumbu karang, ikan berseliweran sejauh mata memandang



PAPUA BARAT - Tidak lengkap tentunya berkunjung ke Raja Ampat dan tidak menyelami keindahan bawah lautnya. Meskipun pesona di atas permukaan air tidak kalah memukau, bagaimanapun juga Raja Ampat dikenal sampai mancanegara sebagai surga bawah laut.

Di divesite Myoskon kita dapat diving baik pada pagi hari maupun malam hari dan melihat perbedaan suasananya. Terumbu karang cantik dan padat mayoritas tidak berpindah namun pada malam hari lautan terlihat lebih lenggang dari ikan-ikan yang biasa berseliweran pada pagi hari. Gantinya beberapa terumbu karang yang tidak tampak pada siang hari mulai muncul di waktu gelap seperti Orange Tube Coral yang tampak mencolok di malam hari dengan warna oranye, atau si Sea Pen yang berbentuk seperti daun berbulu berwarna cokelat.

Pada dive pertama saya di Raja Ampat, tanggal 16 Oktober 2010, saya langsung berjumpa dengan hiu Wobbegong di Myoskon. Mungkin mendengar kata hiu akan membuat sebagian besar orang merasa tegang tapi kalau melihatnya seperti saya waktu itu pasti akan berkomentar sama, lucu! Mulutnya yang pipih dengan aksen seperti rumbai-rumbai akar disandarkannya di atas batu, dan tampak sedang tidur malas. Tampak sangat imut dan tidak berdaya. Memang si Wobbegong yang berbentuk pipih ini senang melipir di dasar lautan dan bermotif mirip karpet pula makanya disebut sebagai carpet shark (hiu karpet).

Bila kita melihatnya tidak perlu takut, sama seperti kebanyakan satwa laut lain, mereka tidak akan menggigit kecuali merasa terganggu seperti misalnya terinjak oleh kita. Sedikit paradoks mengingat sebutannya adalah hiu karpet. Setelah pertemuan pertama itu, 2x dive berikut saya berjumpa lagi dengan Wobbegong yang lain. 3x bertemu Wobbegong dalam 3x dive! Tetapi tetap tidak membosankan.

Di divesite Manta Slope, sesuai dengan namanya, kita dapat bertemu si elegan Manta Ray. Gerakannya yang anggun seperti terbang dalam slow motion selalu mengagumkan untuk disaksikan. Banyak yang mengatakan bahwa pada musim tertentu, yaitu antara Oktober sampai Desember, kita akan dapat melihat 30 Manta Ray sekaligus di site ini. Mungkin karena itu juga si Manta menjadi maskot Raja Ampat sampai dibuatkan gedung pertemuan berbentuk pari di Waisai, ibukota Raja Ampat.

Bila senang melihat ikan dalam jumlah yang banyak, cobalah Cape Kri. Tidak lama setelah menyelam masuk ke air, kami disambut sekelompok barakuda sementara di sekitar kami penuh dengan ikan lain lalu lalang. Kebetulan saat itu sudah sedikit siang sehingga mungkin memang saatnya para ikan makan. Yang mengherankan, ikan-ikan tampak begitu tak acuh dengan kehadiran mahluk asing di antara mereka, kami para diver. Mereka cuek berenang sangat dekat dengan kami, melintas tepat di depan mata, kadang malah tampak seperti ingin menabrak saya. Kadang juga sedikit mengganggu karena tiba-tiba melintas tepat depan kamera padahal saya sedang berusaha mengambil obyek lain. Tapi sangat menyenangkan karena saya bukan dianggap sebagai manusia yang membuat mereka merasa terganggu. Bagi mereka saya hanyalah mahluk laut lain yang tidak mengancam. Rasanya seperti kehadiran saya diterima oleh para ikan. Menyenangkan.

Tiap penyelaman adalah pengalaman menarik yang berbeda satu sama lain. Namun satu kesimpulan yang saya yakini dari beberapa dive yang saya lakukan, tidak ada yang namanya diving buruk di Raja Ampat. Apakah diving dalam atau dangkal, pagi atau malam, air tenang atau berarus, di antara terumbu karang atau pasir yang diam-diam dihuni banyak satwa

Tidak lengkap tentunya berkunjung ke Raja Ampat dan tidak menyelami keindahan bawah lautnya. Meskipun pesona di atas permukaan air tidak kalah memukau, bagaimanapun juga Raja Ampat dikenal sampai mancanegara sebagai surga bawah laut.

Di divesite Myoskon kita dapat diving baik pada pagi hari maupun malam hari dan melihat perbedaan suasananya. Terumbu karang cantik dan padat mayoritas tidak berpindah namun pada malam hari lautan terlihat lebih lenggang dari ikan-ikan yang biasa berseliweran pada pagi hari. Gantinya beberapa terumbu karang yang tidak tampak pada siang hari mulai muncul di waktu gelap seperti Orange Tube Coral yang tampak mencolok di malam hari dengan warna oranye, atau si Sea Pen yang berbentuk seperti daun berbulu berwarna cokelat.

Pada dive pertama saya di Raja Ampat, tanggal 16 Oktober 2010, saya langsung berjumpa dengan hiu Wobbegong di Myoskon. Mungkin mendengar kata hiu akan membuat sebagian besar orang merasa tegang tapi kalau melihatnya seperti saya waktu itu pasti akan berkomentar sama, lucu! Mulutnya yang pipih dengan aksen seperti rumbai-rumbai akar disandarkannya di atas batu, dan tampak sedang tidur malas. Tampak sangat imut dan tidak berdaya. Memang si Wobbegong yang berbentuk pipih ini senang melipir di dasar lautan dan bermotif mirip karpet pula makanya disebut sebagai carpet shark (hiu karpet).

Bila kita melihatnya tidak perlu takut, sama seperti kebanyakan satwa laut lain, mereka tidak akan menggigit kecuali merasa terganggu seperti misalnya terinjak oleh kita. Sedikit paradoks mengingat sebutannya adalah hiu karpet. Setelah pertemuan pertama itu, 2x dive berikut saya berjumpa lagi dengan Wobbegong yang lain. 3x bertemu Wobbegong dalam 3x dive! Tetapi tetap tidak membosankan.

Di divesite Manta Slope, sesuai dengan namanya, kita dapat bertemu si elegan Manta Ray. Gerakannya yang anggun seperti terbang dalam slow motion selalu mengagumkan untuk disaksikan. Banyak yang mengatakan bahwa pada musim tertentu, yaitu antara Oktober sampai Desember, kita akan dapat melihat 30 Manta Ray sekaligus di site ini. Mungkin karena itu juga si Manta menjadi maskot Raja Ampat sampai dibuatkan gedung pertemuan berbentuk pari di Waisai, ibukota Raja Ampat.

Bila senang melihat ikan dalam jumlah yang banyak, cobalah Cape Kri. Tidak lama setelah menyelam masuk ke air, kami disambut sekelompok barakuda sementara di sekitar kami penuh dengan ikan lain lalu lalang. Kebetulan saat itu sudah sedikit siang sehingga mungkin memang saatnya para ikan makan. Yang mengherankan, ikan-ikan tampak begitu tak acuh dengan kehadiran mahluk asing di antara mereka, kami para diver. Mereka cuek berenang sangat dekat dengan kami, melintas tepat di depan mata, kadang malah tampak seperti ingin menabrak saya. Kadang juga sedikit mengganggu karena tiba-tiba melintas tepat depan kamera padahal saya sedang berusaha mengambil obyek lain. Tapi sangat menyenangkan karena saya bukan dianggap sebagai manusia yang membuat mereka merasa terganggu. Bagi mereka saya hanyalah mahluk laut lain yang tidak mengancam. Rasanya seperti kehadiran saya diterima oleh para ikan. Menyenangkan.

Tiap penyelaman adalah pengalaman menarik yang berbeda satu sama lain. Namun satu kesimpulan yang saya yakini dari beberapa dive yang saya lakukan, tidak ada yang namanya diving buruk di Raja Ampat. Apakah diving dalam atau dangkal, pagi atau malam, air tenang atau berarus, di antara terumbu karang atau pasir yang diam-diam dihuni banyak satwa unik. Pasti akan menemukan sesuatu yang mengesankan di setiap penyelunik.

(Kusumorini Susanto / gst)

Sumber: travel.detik.com

Peneliti NASA Temukan Bukti Alien di Meteor

 
Fosil bakteri di meteorit


Ilmuwan NASA (Badan Antariksa Amerika Serikat), Richard B Hoover, menunjukkan bukti adanya makhluk hidup dalam meteorit. Peneliti dari Pusat Penerbangan Marshall NASA itu mengklaim  bahwa ia dan timnya menemukan bukti makhluk hidup berupa fosil bakteri langka, yang hidup di dalam bongkahan batu dari luar angkasa itu.

Seperti dilansir CBSNews.com, Minggu 6 Maret 2011, Hoover menuliskan bukti itu dalam jurnal terbaru, Journal of Cosmogoly edisi Maret 2011. Hoover berpendapat bahwa hasil uji pada koleksi sembilan meteorit yang dinamakan CI1 Meteorit Carbonaceous, itu menunjukkan bahwa ada bakteri yang berasal dari daerah asal meteor.

"Filamen kompleks yang ditemukan di dalam meteorit CI1 Carbonaceous menunjukkan ada mikrofosil bakteri 'pribumi' dari cyanobacteria," kata Hoover dalam tulisannya.

Cyanobacteria merupakan bakteri biru-hijau yang masuk golongan bakteri autotrof fotosintetik. Dia dapat menghasilkan makanan sendiri dengan bantuan sinar matahari secara kimia.

Menurut Hoover, materi yang ditemukan yang dideteksi sebagai cyanobacteria itu kemungkinan besar menunjukkan adanya kehidupan mahkluk hidup di luar bumi. Dan Hoover tidak menampik bahwa itu adalah kesimpulan akhir dari penelitiannya.

AP/Smithsonian Institution's National Museum of Natural History, Chip Clark



Sontak saja kesimpulan ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan ilmuwan. Tetapi, kesimpulan Hoover ini memperkuat bukti adanya kehidupan di luar bumi. Setelah sebelumnya sejumlah ahli menegaskan bahwa ada unsur air dalam meteorit.

Sementara, News.com.au menulis, penelitian yang dilakukan Hoover ini hanya melalui proses yang sangat sederhana. Batu meteor itu disimpan dalam tempat yang steril sebelum diuji. Pengujian dilakukan dengan alat-alat standar peneliti: mikroskop elektron dan emisi elektron mikroskop.

Hasilnya, Hoover menemukan mikroogranisme yang jenisnya tidak jauh berbeda dengan salah satu jenis bakteri biasa yang ada di bumi. "Hal yang menarik adalah, fosil-fosil itu bentuknya mudah dikenali dan jenisnya sangat dekat dengan yang ada di bumi," kata Hoover.

Sumber: id.news.yahoo.com

Kekayaam Budaya Sumba

people.jpg






















Pulau Sumba didiami oleh suku Sumba dan terbagi atas dua kabupaten, Sumba Barat dan Sumba Timur. Masyarakat Sumba cukup mampu mempertahankan kebudayaan aslinya ditengah-tengah arus pengaruh asing yang telah singgah di kepulauan Nusa Tenggara Timur sejak dahulu kala. Kepercayaan khas daerah Marapu, setengah leluhur, setengah dewa, masih amat hidup ditengah-tengah masyarakat Sumba ash. Marapu menjadi falsafah dasar bagi berbagai ungkapan budaya Sumba mulai dari upacara-upacara adat, rumahrumah ibadat (umaratu) rumah-rumah adat dan tata cara rancang bangunnya, ragam-ragam hias ukiran-ukiran dan tekstil sampai dengan pembuatan perangkat busana seperti kain-kain hinggi dan lau serta perlengkapan perhiasan dan senjata.

Di Sumba Timur strata sosial antara kaum bangsawan (maramba), pemuka agama (kabisu) dan rakyat jelata (ata) masih berlaku, walaupun tidak setajam dimasa lalu dan jelas juga tidak pula tampak lagi secara nyata pada tata rias dan busananya. Dewasa ini perbedaan pada busana lebih ditunjukkan oleh tingkat kepentingan peristiwa seperti pada pesta-pesta adat, upacara-upacara perkawinan dan kematian dimana komponen-komponen busana yang dipakai adalah buatan baru. Sedangkan busana lama atau usang biasanya dipakai di rumah atau untuk bekerja sehari-hari.

weaving.jpg 





















Bagian terpenting dari perangkat pakaian adat Sumba terletak pada penutup badan berupa lembar-lembar besar kain hinggi untuk pria dan lau untuk wanita. Dari kain-kain hinggi dan lau tersebut, yang terbuat dalam teknik tenun ikat dan pahikung serta aplikasi muti dan hada terungkap berbagai perlambangan dalam konteks sosial, ekonomi serta religi suku sumba.


Busana pria

Sebagaimana telah disebutkan busana masyarakat Sumba dewasa mi cenderung lebih ditekankan pada tingkat kepentingan serta suasana lingkungan suatu kejadian daripada hirarki status sosial. Namun masih ada perbedaan-perbedaan kecil. Misalnya busana pria bangsawan biasanya terbuat dari kain-kain dan aksesoris yang lebih halus daripada kepunyaan rakyat jelata, tetapi komponen serta tampak keseluruhannya sama. Menilik hal-hal tersebut maka pembahasan busana pria sumba ditujukan pada pakaian tradisional yang dikenakan pada peristiwa besar, upacara, pesta-pesta dan sejenisnya. Karena pada saat-saat seperti itulah ia tampil dalam keadaan terbaiknya. Busana pria Sumba terdiri atas bagianbagian penutup kepala, penutup badan dan sejumlah penunjangnya berupa perhiasan dan senjata tajam.

Sebagai penutup badan digunakan dua lembar hinggi yaitu hinggi kombu dan hinggi kaworu. Hinggi kombu dipakai pada pinggul dan diperkuat letaknya dengan sebuah ikat pinggang kulit yang lebar. Hinggi kaworu atau terkadang juga hinggi raukadama digunakan sebagai pelengkap. Di kepala dililitkan tiara patang, sejenis penutup kepala dengan lilitan dan ikatan tertentu yang menampilkan jambul. Jambul inilah dapat diletakkan di depan, samping kiri atau samping kanan sesuai dengan maksud perlambang yang ingin dikemukakan. Jambul di depan misalnya melambangkan kebijaksanaan dan kemandirian. Hinggi dan tiara terbuat dari tenunan dalam teknik ikat dan pahikung. Khususnya yang terbuat dengan teknik pahikung disebut tiara pahudu.

rituals.jpg 














Ragam-ragam hias yang terdapat pada hinggi dan tiara terutama berkaitan dengan alam lingkungan mahluk hidup seperti abstraksi manusia (tengkorak), udang, ayam, ular, naga, buaya, kuda, ikan, penyu, cumi-cumi, rusa, burung, kerbau sampai dengan corak-corak yang dipengaruhi oleh kebudayaan asing (Cina dan Belanda) yakni naga, bendera tiga warna, mahkota dan singa. Kesemuanya memiliki arti serta perlambang yang berangkat dari mitologi, alam pikiran serta kepercayaan mendalam terhadap marapu. Warna hinggi juga mencerminkan nilai estetis dan status sosial. Hinggi terbaik adalah hinggi kombu kemudian hinggi kawaru lalu hinggi raukadana dan terakhir adalah hinggi panda paingu.

Selanjutnya busana pria Sumba dilengkapi dengan sebilah kabiala yang disisipkan pada sebelah kiri ikat pinggang. Sedangkan pergelangan tangan kiri dipakai kanatar dan mutisalak. Secara tradisional busana pria tidak menggunakan alas kaki, namun dewasa ini perlengkapan tersebut semakin banyak digunakan khususnya didearah perkotaan. Kabiala adalah lambang kejantanan, muti salak menyatakan kemampuan ekonomi serta tingkat sosial. Demikian pula halnya perhiasan-perhiasan lainnya. Secara menyeluruh hiasan dan penunjang busana ini merupakan simbol kearifan, keperkasaan serta budi baik seseorang.


Busana Adat Wanita
ikats2.jpg 
















Pakaian pesta dan upacara wanita Sumba Timur selalu melibatkan pilihan beberapa kain yang diberi nama sesuai dengan teknik pembuatannya seperti lau kaworu, lau pahudu, lau mutikau dan lau pahudu kiku. Kain-kain tersebut dikenakan sebagai sarung setinggi dada (lau pahudu kiku) dengan bagian bahu tertutup taba huku yang sewarna dengan sarung.

Di kepala terikat tiara berwarna polos yang dilengkapi dengan hiduhai atau hai kara. Pada dahi disematkan perhiasan logam (emas atau sepuhan) yaitu maraga, sedangkan di telinga tergantung mamuli perhiasan berupa kalung-kalung keemasan juga digunakan pada sekitar leher, menjurai ke bagian dada.

===================================

Sumba has a unique culture and their social life. Sumbanese are traditionally divided into three level of social life : (Raja/King) – Maramba, Customary Official – Kabihu, and Slaves – Ata. Sumbanese are living from farming, cattle breeding, rice-field farming and trading. Ones owns cattle will contribute to their social status such as if they had more cattle giving them a higher social status. Most Sumbanese are Christian (Catholic and Protestant), however, and part of them are still strongly keep their native and original religion called Marapu. Most cultural objects are related to the Marapu religion such as the shape of traditional houses, ceremonies, or kings’ graves and tombs.

The island of Sumba is well known of its sandlewood, horses, impressive megalithic tombs, typical hand woven textile (“ikat”), and still untouched beautiful beaches. There are two entering point in to Sumba island from anywhere in the Lesser Waingapu & Waikabubak (Tambolaka). These are the people could enter Sumba for either by flight or boat.

Three main geodynamic models for Sumba have been reviewed by Chamalaun et al. (1982) and Wensink (1994) as follows : (i) Sumba was originally a part of the Australian Continent which was detached afterwards when the Wharton basin was formed, drifted northwards and subsequently trapped behind the eastern Java Trench (Audley-Charles, 1975 ; Otofuji et al., 1981), (ii) Sumba was once part of Sundaland which was drifted southwards during the opening of the Flores Basin (Hamilton,1979, Von der Borch et al., 1983 ; Rangin et al., 1990) and (iii) Sumba was either a microcontinent or part of a larger continent within the Tethys, which later was fragmented (Chamalaun and Sunata, 1982).

Three distinct calc-alkaline magmatic episodes have been recorded during Cretaceous – Paleogene, all of them characterized by nearly similar rock assemblages (i.e pyroclastic rocks, basaltic – andesitic lava flows and granodioritic intrusions). They are respectively (i) the Santonian – Campanian episode (86-77 Ma) represented by volcanic and plutonic rock exposures in the Masu Complex from Eastern Sumba, (ii) the Maastrichtian-Thanetian episode (71-56 Ma) represented by the volcanic and plutonic units of Sendikari Bay, Tengairi Bay and the Tanadaro Complex in Central Sumba and finally (iii) the Lutetian – Rupelian episode (42-31 Ma) of which the products are exposed at Lamboya and Jawila in western part of Sumba. No evidence of Neogene magmatic activity has been recorded so far.

sumba5.jpg






















The island of Sumba is well known of its sandlewood, horses, impressive megalithic tombs, typical hand woven textile (“ikat”), and still untouched beautiful beaches. There are two entering point in to Sumba island from anywhere in the Lesser Waingapu & Waikabubak (Tambolaka). These are the people could enter Sumba for either by flight or boat.

Waikabubak
A neat little town in West part of Sumba island, full of old graves carved in motifs of buffalo horns, man heads, horses, nude men or women symbolizing social status or wealth of the people. West Sumba is the regency whose capital is Waikabubak. It can be reached by plane from Kupang via Waingapu and Denpasar via Bima.

In Waikabubak, you can see find the megalithic tombs of Kadung Tana, Watu Karagata, and Bulu Peka Mila. Tarung Village is an important ceremonial center, located on hill top west of Waikabubak.


TRADITIONS

Sumba has a unique culture and social life.
Sumbanese are traditionally divided into three level of social life: Raja/King=Maramba, Customary Official=Kabihu,and Slaves = Ata.
Sumbanese live from farming, cattle breeding, rice-field farming and trading. Owning cattle contributes to their social status such that if they have more cattle this gives them a higher social status. A few muslim and hindu are found here, most Sumbanese are officially Christian (Catholic and Protestant), however a large part of them still strongly keep their native and original religion called Marapu. Most cultural objects are related to the Marapu religion such as traditional houses, megalithic carved tombs, ritual handicraft, patterns of textiles.

Ikat:
The spectacular and very famous ikat of Sumba is made of cotton hand spun, traditionally dyed with local plants (Kombu – Indigo) and minerals.
Thread is spun from July to October, then bound for patterns until December. After the rainy season, they collect indigo plants and kombu tree leaves for dying. In Summer, after harvest, women began to weave and it can take one year for one piece of textile. On some kind of ikat, cowrie shells and colourful beads are intricately apply in keeping with old artistic tradition.
Patterns of ikat combine animals, plants, geometric motifs and ethnographic symbolism.
Ikat textiles are used for exchange at important ceremonies and show one’s social status. At funerals, the most exquisite textiles are placed in the grave for use in the afterworld.

Handicraft:
Aside from ikat you can get others artifacts of primitive art in Sumba: Wood carvings, sculptured stones, lime containers, traditional jewellery (Mamuli,Marengo,Tabelo), basket work, long knifes( Parang), traditional bag(Kalieku), primitive musical instrument, household items and artefact for fishing or hunting.
There are 45 different clans (Suku) in Sumba and each one has their own Marapu and their own invisible spirits.
In a traditional Sumbanese house (Uma), you can find wood or stone carvings which are images of Marapu even human or animal representation.
In such house the are four pillars: one for men, one for Marapu (ancestor ) one for women and the last one for articles of value (spears, long knives, weawings, jewelry) and special plates, special earthen waterjar for Marapu. In some villages, you can still see skull trees dating from the time they were headhunters.

MARAPU:
The essence of Marapu religion is the belief in spirituals forces including God, spirits and ancestors. Dead people can influence the world of the living and the living perform rituals in order to satisfy ancestors and sometimes ask to them for help or agreement .Humans cannot appeal to God the creator so Ancestors are placed on earth mediated through people who get special powers (concentrated in certain places or objects) . Those people are “Rato” (priests) , Dodo and Tahuli who are able to speak the spiritual language (Bahasa adat) of Ancestors. Wula Podu, Topeng, Magowo, Pajura, Pasola, Yawu are some of main Marapu ceremonies (details in Events)


EVENT :
WULA PODU – Holy month for Marapu.
From full moon of October to full moon of November there are many prohibitions; if infringed ancestor spirits will strongly punish the infringer. At the end of Wula podu month, many ceremonies take place:
°Topeng:
In several villages of Lamboya, Patiala, Loli drums are beating all night long and the day after occurs the ceremony. Marapu rituals are performed by a rato, women dance and a kind of sorcerer wearing a mask amuse or frighten the audience.

°Magowo:
A big crowd gather at the delta of a river (Lamboya) for Marapu rituals and collective
traditional fishing.

°Pajura:
ritual boxing for men. It seems like they get up to all that was forbidden during the holy period!
During this period, rato of Sodan village decide of the date for Pasola Lamboya.

PASOLA:
Pasola is the name of a war game tournament played by two groups of Sumbanese men (ones performing for coastal villages, others for inland villages). Entrants must be brave and skilled enough to provoke opponents flinging wooden spears.
Pasola is a traditional ceremony of the Sumbanese held in the way of uniquely and sympethically traditional norms, every year in February and March and has become the focus of attention of the people since it is a part of the sacred homage to the Marapu.
The ceremony occurs during February in Lamboya and Kodi and during March in WanuKaKa and Gaura. The main activity starts several days after the full-moon and rituals take place before Pasola, mostly the night before Pasola coinciding with the yearly arrival to the shore of strange and multicolored sea worms-nyale. The precise date of the event decided by the Rato during the Wula Podu.
So the event celebrate the arrival of nyale, a goddess believed to be the symbol of divinity and fertility blessing on plants and cattle. Colorful horsemen riding decorated horses give rise to this unique tournament: the dashing horsemen gallop around the area challenging their opponents to spearthrowing contests. Government regulation now require the use of blunt spears but injury and death are accepted as possible consequences of playing the game and there is not any prosecution. The athmosphere in this arena grows increasily excited and cries and screams of the public heighten the feeling of keen competition.

YAWU:
Yawu is ritual ceremony that take place at night to get help from the ancestors.
Women dance around a fire in the middle of graveyard, drums beat, and the mysterious dialogue with ancestors begin :” Tahuli” speaks as advocate for humans, ancestors speak through the voice of “Dodo”, all the dialogue is in a spiritual language(Bahasa adat) .
When somebody is ill, they think ancestors are angry with this person. So they want to know why and they ask to ancestors what to do to calm down the wrath of Marapu – sometimes it works! Also when they want to built a new traditional house, Humans have to ask for agreement to Marapu.

WEDDING
First the men have to “knock at the door”: go to the girl’s village and bring animals to her father. He must comes two times again, giving much buffalos and horses at each time. Finally, he is obliged to offer a huge number of cattle and horses to be allowed to take away the girl. If it is not enough, the girl stay in her family; that’s a great deal and a lot of money (or debts) to get a wife in Sumba!
Men have to bring horses, buffalos, gold and metalwork; bride have to bring pigs, dogs, ivory
and textiles. Weddings are absolutely impossible between some clan which are in bad terms, even in modern times.

BURIAL
Death is the more important event for Sumbanese and the dead men must enter in the afterworld with all he needs.
The body is dressed with several textiles and the wake last some days. During this time relatives have gathered and brought gifts (mostly animals).
The last day relatives have an endless talk to determinate the value of gifts: they are bound to a system of swaps and debts all their life.
Then they slaughter some of animals one of which is a horse that the dead man’s spirit will ride in the afterworld. The body is buried with things needed and symbols of wealth.
At 19th century, slaves were still sacrificed to follow and serve the king in the afterworld.

PACUAN
horse races began in July and final take place in August. Those races are important for
personal prestige and a good way to get money (bets are high).

FESTIVAL
A jamboree of traditional dances, costumes, music and songs occurs every year in
September. You will see Kataga dance (a war dance that men perform with long knives and
shields) and Negu dance performed by women.

megalithic1.jpg


megalithic2.jpg


megalithic3.jpg
Sumber: sumbaisland.com

Tradisi Pasola dari Sumba

 


Pasola : Ini adalah bagian dari serangkaian upacara tradisionil yang dilakukan oleh orang Sumba yang masih menganut agama asli yang disebut Marapu. Setiap tahun pada bulan Februari atau Maret serangkaian upacara adat dilakukan dalam rangka memohon restu para dewa agar supaya panen tahun tersebut berhasil dengan baik. Puncak dari serangkaian upacara adat yang dilakukan beberapa hari sebelumnya adalah apa yang disebut pasola. Pasola adalah ‘perang-perangan’ yang dilakukan oleh dua kelompok berkuda. Setiap kelompok teridiri atas lebih dari 100 pemuda bersenjakan tombak yang dibuat dari kayu berdiameter kira-kira1,5 cm yang ujungnya dibiarkan tumpul. Walaupun tombak tersebut tumpul, pasola kadang-kadang memakan korban bahkan korban jiwa. Tapi tidak ada dendam dalam pasola, kalau masih penasaran silakan tunggu sampai pasola tahun depannya. Kalau ada korban dalam pasola, menurut kepercayaan Marapu, korban tersebut mendapat hukuman dari para dewa karena telah telah melakukan suatu pelanggaran atau kesalahan.


Pasola, Tragedi Asmara di Padang Savana

 


Membedah pulau Sumba terbesit pesan Sumba adalah pulaunya para arwah. Di setiap sudut kota dan kampungnya tersimpan persembahan dan pujian para abdi. Nama Sumba atau Humba berasal dari nama ibu model Rambu Humba, istri kekasih hati Umbu Mandoku, salah satu peletak landasan suku-suku atas kabisu-kabisu Sumba.

Dua pertiga penduduknya adalah pemeluk yang khusuk berbakti kepada arwah para leluhurnya, khususnya kepada bapak besar bersama, sang pengasal semua suku. Marapu menurut petunjuk dan perhitungan para Rato, Pemimpin Suku dan Imam agung para Merapu. Altar megalik dan batu kuburan keramat yang menghias setiap jantung kampung dan dusun (paraingu) adalah bukti pasti akan kepercayaan animisme itu.

Sumba, pulau padang savana yang dipergagah kuda-kuda liar yang kuat yang tak kenal lelah menjelajah lorong, lembah dan pulau berbatu warisan leluhur. Binatang unggulan tingkatan mondial itu semakin merambah maraknya perang akbar pasola, perang melempar lembing kayu sambil memacu kuda, untuk menyambut putri nyale, si putri cantik yang menjelma diri dalam ujud cacing laut yang nikmat gurih.

 


Pasola berasal dari kata `sola’ atau `hola’, yang berarti sejenis lembing kayu yang dipakai untuk saling melempar dari atas kuda yang sedang dipacu kencang oleh dua kelompok yang berlawanan. Setelah mendapat imbuhan `pa’ (pa-sola, pa-hola), artinya menjadi permainan. Jadi pasola atau pahola berarti permainan ketangkasan saling melempar lembing kayu dari atas punggung kuda yang sedang dipacu kencang antara dua kelompok yang berlawanan. Pasola diselenggarakan di Sumba Barat setahun sekali pada bulan Februari di Kodi dan Lamboya. Sedangkan bulan Maret di Wanokaka. Pasola dilaksanakan di bentangan padang luas, disaksikan oleh segenap warga Kabisu dan Paraingu dari kedua kelompok yang bertanding dan oleh masyarakat umum.

 


Sedangkan peserta permainan adalah pria pilih tanding dari kedua Kabius yang harus menguasai dua keterampilan sekaligus yakni memacu kuda dan melempar lembing (hola). Pasola biasanya menjadi klimaks dari seluruh rangkaian kegiatan dalam rangka pesta nyale.


Skandal Janda Cantik

Menelurusi asal-usulnya, pasola berasal dari skandal janda cantik jelita, Rabu Kaba sebagaimana dikisahkan dalam hikayat orang Waiwuang. Alkisah ada tiga bersaudara: Ngongo Tau Masusu, Yagi Waikareri dan Umbu Dula memberitahu warga Waiwuang bahwa mereka hendak melaut. Tapi nyatanya mereka pergi ke selatan pantai Sumba Timur untuk mengambil padi. Setelah dinanti sekian lama dan dicari kian ke mari tidak membuahkan hasil, warga Waiwuang merasa yakin bahwa tiga bersaudara pemimpin mereka itu telah tiada. Mereka pun mengadakan perkabungan dengan belasungkawa atas kepergian kematian para pemimpin mereka.

Dalam kedukaan mahadahsyat itu, janda cantik jelita `almarhum’ Umbu Dulla, Rabu Kaba mendapat lapangan hati Rda Gaiparona, si gatotkaca asal Kampung Kodi. Mereka terjerat dalam asmara dan saling berjanji menjadi kekasih.

 

Namun adat tidak menghendaki perkawinan mereka. Karena itu sepasang anak manusia yang tak mampu memendam rindu asmara ini nekat melakukan kawin lari. Janda cantik jelita Rabu Kaba diboyong sang gatot kaca Teda Gaiparona ke kampung halamannya. Sementara ketiga pemimpin warga Waiwuang kembali ke kampung. Warga Waiwuang menyambutnya dengan penuh sukacita.

Namun mendung duka tak dapat dibendung tatkala Umbu Dulla menanyakan perihal istrinya. ‘Yang mulia Sri Ratu telah dilarikan Teda Gaiparona ke Kampung Kodi,’ jawab warga Waiwulang pilu. Lalu seluruh warga Waiwulang dikerahkan untuk mencari dua sejoli yang mabuk kepayang itu. Keduanya ditemukan di kaki gunung Bodu Hula.

Walaupun berhasil ditemukan warga Waiwuang di kaki gunung Bodu Hula namun Rabu Kaba yang telah meneguk madu asmara Teda Gaiparona dan tidak ingin kembali. Ia meminta pertanggungjawaban Teda Gaiparona untuk mengganti belis yang diterima dari keluarga Umbu Dulla. Teda Gaiparona lalu menyanggupinya dan membayar belis pengganti. Setelah seluruh belis dilunasi diadakanlah upacara perkawinan pasangan Rabu Kaba dengan Teda Gaiparona.

 

Pada akhir pesta pernikahan keluarga, Teda Gaiparona berpesan kepada warga Waiwuang agar mengadakan pesta nyale dalam wujud pasola untuk melupakan kesedihan mereka karena kehilangan janda cantik Rabu Kaba. Atas dasar hikayat ini, setiap tahun warga kampung Waiwuang, Kodi dan Wanokaka Sumba Barat mengadakan bulan (wula) nyale dan pesta pasola.

Akar pasola yang tertanam jauh dalam budaya masyarakat Sumba Barat menjadikan pasola tidak sekadar keramaian insani dan menjadi terminal pengasong keseharian penduduk. Tetapi menjadi satu bentuk pengabdian dan aklamasi ketaatan kepada sang leluhur. Pasola adalah perintah para leluhur untuk dijadikan penduduk pemeluk Marapu. Karena itu pasola pada tempat yang pertama adalah kultus religius yang mengungkapkan inti religiositas agama Marapu. Hal ini sangat jelas pada pelaksanaan pasola, pasola diawali dengan doa semadhi dan Lakutapa (puasa) para Rato, foturolog dan pemimpin religius dari setiap kabisu terutama yang terlibat dalam pasola.

Sedangkan sebulan sebelum hari H pelaksanaan pasola sudah dimaklumkan bulan pentahiran bagi setiap warga Paraingu dan pada saat pelaksanaan pasola, darah yang tercucur sangat berkhasiat untuk kesuburan tanah dan kesuksesan panenan. Bila terjadi kematian yang disebabkan oleh permainan pasola, dipandang sebagai bukti pelanggaran atas norma adat yang berlaku, termasuk bulan pentahiran menjelang pasola.

 

Pada tempat kedua, pasola merupakan satu bentuk penyelesaian krisis suku melalui `bellum pacificum’ perang damai dalam permainan pasola. Peristiwa minggatnya janda Rabu Kaba dari Keluarga Waiwuang ke keluarga Kodi dan beralih status dari istri Umbu Dulla menjadi istri Teda Gaiparona bukanlah peristiwa nikmat. Tetapi peristiwa yang sangat menyakitkan dan tamparan telak di muka keluarga Waiwuang dan terutama Umbu Dulla yang punya istri. Keluarga Waiwuang sudah pasti berang besar dan siap melumat habis keluarga Kodi terutama Teda Gaiparona. Keluarga Kodi sudah menyadari bencana itu. Lalu mencari jalan penyelesaian dengan menjadikan seremoni nyale yang langsung berpautan dengan inti penyembahan kepada arwah leluhur untuk memohon doa restu bagi kesuburan dan sukses panen, sebagai keramaian bersama untuk melupakan kesedihan karena ditinggalkan Rabu Kaba. 

Pada tempat ketiga, pasola menjadi perekat jalinan persaudaraan antara dua kelompok yang turut dalam pasola dan bagi masyarakat umum. Permainan jenis apa pun termasuk pasola selalu menjadi sarana sosial ampuh. Apalagi bagu kedua kabisu yang terlibat secara langsung dalam pasola. Selama pasola berlangsung semua peserta, kelompok pendukung dan penonton diajak untuk tertawa bersama, bergembira bersama dan bersorak-sorai bersama sambil menyaksikan ketangkasan para pemain dan ringkik pekikan gadis-gadis pendukung kubu masing-masing. Karena itu pasola menjadi terminal pengasong keseharian penduduk dan tempat menjalin persahabatan dan persaudaraan. Sebagai sebuah pentas budaya sudah pasti pasola mempunyai pesona daya tarik yang sangat memukau. Olehnya pemerintah turut mendukung dengan menjadikan pasola sebagai salah satu ‘mayor event’.

 

Kain Ikat : Pulau Sumba terkenal dengan kain ikatnya yang indah dan unik, kain ikat tersebut ditenun selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Kain ikat yang baik mempunyai nilai tradisionil dan ekonomi yang tinggi sekali. Selembar kain ikat Sumba yang baik dapat mencapai jutaan rupiah.

Kain ikat atau kain tenun ini dibuat dari kapas atau benang katun yang diwanteks, kadang-kadang proses mewainai benang yang akan di tenun itu dilakukan dengan sangat tradisonil yaitu dengan menanamnya kedalam tanah untuk beberapa minggu sebelum di tenun. Secara tradisional hanya wanita Sumba yang diperbolehkan menenun kain. Upacara penguburan dan kuburan batu: Salah satu dari sekian banyak keunikan yang terdapat di Sumba adalah upacara penguburan mayatnya yang dilakukan secara besar-besaran dan bentuk kuburan batunya yang unik.

 


Orang Sumba percaya bahwa kehidupan dan kematian adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, kematian seseorang adalah hal yang sama penting dengan kehidupannya. Dan seluruh proses kehidupan dan kematian tidak bisa dipisahkan dengan ternak mereka (kerbau, sapi, kuda dan babi). Hewan mempunyai nilai tradisional yang sangat tinggi, dan memegang peranan yang penting dalam perkawinan atau pesta adat. Kalau seorang pria mempersunting wanita Sumba, dia harus membayar mas kawin berupa kerbau, kuda atau sapi yang jumlahnya tergantung dari kedudukan ayah atau keluarga wanita tersebut dalam masyarakat, tetapi jumlah tersebut sekitar 50 sampai 400 ekor bahkan lebih.

Begitu pula kalau ada anggota keluarga yang meninggal, pada saat penguburan, berpuluh-puluh hewan disembeli, jumlah hewan yang disembeli juga tergantung pada kedudukan orang yang meninggal atau keluarganya dalam masyarakat.

Bentuk kuburan orang Sumba juga unik, terbuat dari batu berbentuk kotak besar dengan tutup yang juga terbuat dari batu (lihat foto). Setiap keluarga bisanya punya sebuah batu kubur, jadi kalau ada anggota keluarga yang meninggal bisanya dikuburkan dalam batu kubur yang disediakan untuk semua anggota keluarga itu.

Sumber: sumbaisland.com

Nyale, Upacara Perburuan Cacing Laut

Perahu Kecil - Sumbawa

Mentari belum juga menampakkan dirinya pagi itu. Tapi pantai Tropical di ujung barat pulau Sumbawa sudah dipenuhi nelayan dan masyarakat sekitar pantai, lengkap dengan jaring dan perahu. 

Pagi itu tepat pertengahan bulan Februari 2009, diramalkan merupakan hari dimana cacing laut yang biasa mereka sebut sebagai Nyale, akan keluar.




Nyale atau disebut Bau Nyale di Lombok, sebenarnya merupakan upacara perburuan cacing laut untuk menyambut Pasola. Biasanya acara ini diselenggrakan sekitar bulan Februari dan Maret. Untuk menyambutnya biasanya masyarakat telah melakukan berbagai macam ritual dari jauh-jauh hari. Salah satunya dilakukan di rumah masing-masing, malam hari sebelum upacara dilakukan.

Beberapa ritual yang dilakukan biasanya adalah potong ayam dan membuat ketupat. Ini disebabkan karena ritual ini erat kaitannya dengan kegiatan Pasola untuk melihat baik dan buruknya nasib seseorang yang akan ikut dalam Pasola.

Sang pemimpin adat atau rato melihat hasil olahan ayam dan ketupat. Apabila ayam panggang masih mengeluarkan darah dari ususnya, dan ketupat yang telah masak, ada yang berwarna merah, atau kecoklatan, maka diyakini ini merupakan pertanda buruk. Yakni anggota keluarga yang ikut Pasola, akan mendapat bahaya, seperti menderita luka-luka, atau bahkan meninggal dunia.

Ketika malam semakin larut, para rato yang bertugas mengamati munculnya bulan purnama, segera bersiap-siap memakai pakaian kebesaran rato atau biasa disebut rowa rato. Biasanya ritual ini dilakukan dengan cara berdoa diatas batu kubur (nisan) dan menghadap ke arah bulan purnama.

Dengan menghadap ke arah bulan purnama, para rato bisa memastikan ketepatan dan posisi bulan, serta keadaan gelombang laut di pantai. Dari situlah akan diputuskan saatnya nyale. Begitu nyale atau cacing laut sudah terlihat, seluruh warga yang telah berkumpul sejak subuh, memulai perburuannya.








Tradisi seperti ini biasanya dilakukan pula oleh masyarakat Bali dan Lombok tapi biasanya tidak disertai dengan Pasola.

Pasola berasal dari kata "sola" atau "hola", yang berarti sejenis lembing kayu yang dipakai untuk saling melempar dari atas kuda yang sedang dipacu kencang oleh dua kelompok yang berlawanan. Setelah mendapat imbuhan `pa' (pa-sola, pa-hola), artinya menjadi permainan. Jadi pasola atau pahola berarti permainan ketangkasan saling melempar lembing kayu dari atas punggung kuda yang sedang dipacu kencang antara dua kelompok yang berlawanan.

Pasola diselenggarakan di Sumba Barat setahun sekali pada bulan Februari atau Maret. Pasola dilaksanakan di bentangan padang luas, disaksikan oleh segenap warga dari kedua kelompok yang bertanding dan oleh masyarakat umum.

Sedangkan peserta permainan adalah pria pilih tanding dari kedua kelompok yang harus menguasai dua keterampilan sekaligus yakni memacu kuda dan melempar lembing (hola). Pasola biasanya menjadi klimaks dari seluruh rangkaian kegiatan dalam rangka pesta Nyale.

Menurut legenda, dahulu kala tersebutlah seorang putri, Mandalika namanya, putri raja Kuripan di Lombok. Kecantikan Mandalika sangatlah tersohor, sehingga banyak pangeran ingin memilikinya, dan supaya fair, raja Kuripan mengadakan sayembara barang siapa mampu memanah dengan sangat tepat, dialah yang berhak memiliki sang putri.

Nah, berawal dari sayembara itulah putri Mandalika sedih dan pada akhirnya nekat. Mengapa justru kecantikannya menjadi sumber peperangan, karena rata-rata para pangeran itu memiliki kemampuan tinggi sehingga tak ada yang menang maupun kalah dalam perlombaan memanah. Karena tak kunjung ada pemenang, maka mulailah para pangeran itu saling bunuh satu sama lain. Melihat hal itu, nekatlah sang putri menceburkan diri ke laut yang ombaknya tengah mengganas. Musnahlah sang putri yang cantik jelita.

Nah, sejak itulah setiap setahun sekali sang putri pulang ke kerajaannya setahun sekali dalam bentuk cacing warna warni, yang konon merupakan penjelmaan rambutnya, yang kemudian disebut Nyale.


 






 

Sebenarnya Nyale merupakan cacing Polychaeta yang biasanya hidup di dasar sedimen. Dan jenis ini memiliki ciri akan berenang ke permukaan air laut atau muara sekali setahun untuk berkembang biak.
Polychaeta memilki peran penting dalam ekosistem laut karena mereka merupakan predator dan scavenger, sekaligus merupakan makanan bagi ikan dan udang. Polychaeta ada di hampir semua perairan.

Kemunculannya ke permukaan air laut setahun sekali ditentukan oleh kematangan seksualnya, yang tentunya berbeda pada tiap daerah perairan. Saat berkembang biaknya terjadi, biasanya, pada masa menjelang bulan mati, dan dipengaruhi intensitas cahaya bulan dan suhu air laut.

Di Great Barrier Reef, Nyale muncul sekitar bulan September, sedangkan di perairan Lombok dan Sumbawa, Nyale muncul sekitar bulan Februari atau Maret.

Polychaeta adalah kelas cacing annelida yang umumnya hidup di air. Seluruh permukaan tubuh polychaeta mengandung rambut-rambut kaku atau setae yabg dilapisi kutikula sehingga licin dan kaku. Tubuhnya berwarna menarik, seperti ungu kemerah-merahan. Setiap segmen tubuh polychaeta dilengkapi dengan sepasang alat gerak atau alat berenang yang disebut parapodia. Alat ini pun berperan sebagai alat pernafasan.
Polychaeta memiliki kelamin terpisah. Perkembangbiakannya dilakukan dengan cara seksual. Pembuahannya dilakukan di luar tubuh. Telur yang telah dibuahi tumbuh menjadi larva yang disebut trakofora.

Dan ternyata, tak semua masyarakat ikut menceburkan diri ke laut berburu Nyale ini. Banyak pula yang menunggu nelayan dadakan menepi di pantai dengan berkotak-kotak Nyale. Berkotak-kotak karena Nyale-nya ditaruh di Styrofoam box layaknya ikan tangkapan nelayan.













Bagi masyarakat yang tak ikut berburu Nyale, cukup serahkan uang, dapet Nyale di tangan. Gampang. Tak perlu berbasah-basah ria. Tinggal pulang, masak Nyale pakai santan dan bumbu-bumbu lain. Hummm….rasanya seperti teri. Enak juga, terutama yang digoreng agak kering. Dan sembari berburu Nyale, ada yang sembari nyangking ikan huehehehehe…. 

Sumber: kolomkita.detik.com

Pasola, Mensyukuri Berkah di Pulau "Arwah" Sumba

Senja mulai datang. Para lelaki berkain ikat khas Sumba, hanggi, dan perempuan bersarung toledo berdatangan ke kampung adat Wainggale di Desa Wainyapu, Kecamatan Kodi Bangedo, Kabupaten Sumba Barat Daya. Rumah alang tinggi yang biasanya lengang pun menjadi penuh orang. Hari-hari biasa, perkampungan penganut kepercayaan animisme Merapu yang dipenuhi kubur batu itu sangat hening. Gemuruh deru ombak lamat-lamat terdengar saat terbawa tiupan angin di desa yang menghadap Samudra Hindia itu. Namun, sore itu, keheningan pecah oleh lengkingan bernuansa magis. 
 
"Alalalalala... Uuu.... Alalalalalala... Uuuu.... Alalalalalala.... Uuu...," teriak sejumlah wanita sambil menghampiri satu per satu batu kubur yang ada di perkampungan. Sembari mengunyah sirih dan pinang, mereka bermaksud memberi tahu ambu, arwah leluhur, bahwa mereka telah berkumpul dan siap mengadakan Pasola esok hari.

Pasola adalah permainan adu ketangkasan saling melempar lembing dari atas kuda yang dipacu kencang. Ini bukan pertandingan dan tidak ada yang menang atau kalah. Pasola lebih merupakan permainan melepas sukacita mensyukuri anugerah datangnya musim panen dan kumpul kerabat.

BAHANA PATRIA GUPTA
 
 
Tradisi Pasola - Warga bersiap melempar tombak kayu ke arah lawan pada Tradisi Pasola di Desa Waynyapu, Kecamatan Kodi Mangedo, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT, Rabu (10/3). Tradisi yang menggabungkan antara kemahiran berkuda dan melempar tombak tersebut untuk menyambut Tahun Baru menurut kepercayaan tradisional Sumba yaitu Marapu dan syukuran musim panen.
 
Kalau tidak tangkas dalam bermain Pasola, taruhannya adalah luka, bahkan nyawa. Meski lembing dari kayu lamtoro yang keras itu ujungnya tumpul, karena dilempar dengan kuat dari kuda yang berlari cepat, tetap sangat membahayakan lawan. Tak heran banyak orang tertarik menyaksikannya, termasuk turis asing.
Pasola bukan sekadar pertarungan mengumbar emosi, tetapi justru mengendalikan emosi. Pasola adalah bagian dari ritual adat Nyale yang diadakan masyarakat Sumba yang menganut kepercayaan Merapu. Pesta adat Nyale adalah salah satu upacara rasa syukur atas anugerah yang mereka dapatkan, yang ditandai dengan datangnya musim panen dan cacing laut yang melimpah di pinggir pantai. 
 
Ritual Nyale diawali dengan mengambil cacing laut di pantai sebelum fajar tiba. Mereka yang berhasil meraup cacing sangat banyak dipercaya akan mendapat banyak rezeki pada tahun ini.

Nyale diadakan satu tahun sekali, sekitar bulan Februari atau Maret. Masyarakat setempat menyebutnya pada bulan gelap hari ketujuh pada bulan Februari atau bulan gelap hari keenam pada bulan Maret. Kepastian tanggal ditentukan oleh Rato Nyale.

Tahun 2010, Pasola diselenggarakan di delapan desa adat. Tiga desa berada di Kabupaten Sumba Barat dan lima desa di Kabupaten Sumba Barat Daya. Pasola di Wainyapu adalah Pasola yang terakhir.
Sore itu, Selasa (9/3), para lelaki yang akan ikut bermain Pasola mulai berlatih. Malam harinya, sekitar pukul 23.00, warga berkumpul di rumah ketua suku, yang juga pemimpin spiritual Merapu. Mereka melaksanakan kawoking, puji-pujian.

Keesokan harinya, saat fajar menyingsing, para penunggang kuda sudah berkumpul di Lapangan Kacaru, siap berpasola. Satu kubu bergerombol di sisi barat dan kubu lain di sisi timur. Sekitar seribu penonton, mengelilingi lapangan, menanti atraksi mereka.

Sekitar pukul 11.00, begitu Kuda Nyale-kuda milik Rato Wora Ledeh, pemimpin adat Marapu di Kampung Adat Wainggal-memasuki lapangan, pertandingan pun dimulai. Penunggang kuda kedua kubu langsung memacu tunggangan mereka, saling mendekat dan melempar lembing.

BAHANA PATRIA GUPTA
 
 
Tradisi Pasola - Warga menghindari tombak kayu yang dilempar pihak lawan pada Tradisi Pasola di Desa Waynyapu, Kecamatan Kodi Mangedo, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT, Rabu (10/3). Tradisi yang menggabungkan antara kemahiran berkuda dan melempar tombak tersebut untuk menyambut Tahun Baru menurut kepercayaan tradisional Sumba yaitu Marapu dan syukuran musim panen.
 
Penonton pun spontan berteriak begitu melihat ada penunggang yang terkena lembing atau ada yang berhasil menghindari lemparan lembing lawan. Menurut Robert Ramone, pastor yang juga pengamat budaya Sumba, masing-masing wilayah di Sumba mengklaim ritual Nyale berasal dari wilayah mereka. Namun, yang mendekati kebenaran, Nyale berasal dari Kodi karena di sana rumah kepala suku disebut dengan uma nyale atau rumah nyale. "Di wilayah lain, tidak ada Uma Nyale," ujarnya. 
Di wilayah Kodi, Rato Ranggamete (65) yang tinggal di Kampung Mbukabani adalah yang dituakan dan menjadi penentu kapan Nyale dilaksanakan. Tanpa restu darinya, warga belum memulai Nyale. Rato Nyale dipercaya sebagai orang yang mempunyai kemampuan mengundang cacing laut datang.

Kampung Mbukabani juga terasa lebih angker dibandingkan dengan kampung lain. Terlebih Uma Nyale, tempat Rato Ranggamete tinggal. Di dalamnya terdapat pusaka, seperti mbendu (gendang dari kulit manusia) atau pandalu (tempayan berisi air suci untuk penyembuhan pemain Pasola yang terluka). Sayang, obyek itu tak boleh dipotret.

Menurut Rato Ranggamete, upacara ritual Nyale menggambarkan upacara meminta (kamuru) dan membangun persatuan (pahwungo). Pasola sendiri berarti membuang yang tidak baik, letin jandaha. Suasana pesta tergambar sehari sebelum Pasola digelar. Warga membawa ternak ayam, babi, dan anjing lalu mereka potong dan dimasak.


Pasola lalu dimaknai sebagai institusi dan sarana reuni, bergotong- royong, dan rekonsiliasi. Ketika banyak orang makin sulit mensyukuri pemberian alam, ritual Nyale menyadarkan manusia akan adanya kekuatan alam. Di tengah kondisi masyarakat yang semakin banyak mengumbar marah dan saling tidak peduli, kearifan lokal suku Sumba telah memberi inspirasi.

Oleh: Sutta Dharmasaputra dan Kornelis Kewa Ama

Sumber: tanahair.kompas.com