Kamis, 10 Maret 2011

Bali, Wisata di "Pulau Dewata" (4)

1. Nusa Dua



Nusa Dua merupakan sebuah enklave berisi resor besar internasional berbintang 5 di tenggara Bali, kurang
lebih 40 kilometer dari Denpasar, ibukota provinsi Bali. Nusa Dua adalah lokasi Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim 2008 antara 3 Desember dan 14 Desember 2007. Nusa Dua merupakan salah satu objek wisata terkenal di Bali juga Indonesia, dan para turis mancanegara yang terletak di Kabupaten Badung, di Tenggara Bali, jaraknya 15 km dari Bandara Ngurah Rai, 35 km dari kota Denpasar.

Mempunyai pantai yang berpasir putih,  menjadikan tempat ini makin populer dikalangan para turis. Biasanya wilayah ini banyak dipilih oleh wisatawan yang benar-benar menikmati liburannya untuk beristirahat di hotel, resort maupun cottage berbintang yang tersebar disepanjang pantai Tanjung Benoa sampai dengan Nusa Dua, sambil menikmati segarnya udara pantai dan keindahan matahari terbit.



Nusa Dua termasuk Tanjung Benoa ( juga tempat water sport ) adalah kawasan pariwisata elit bertaraf internasional di Bali Kawasan pariwisata yang luasnya kurang lebih 350 ha merupakan kawasan resort yang menjadi kebanggaan masyarakat Bali dan Indonesia karena kawasan ini merupakan salah satu kawasan perhotelan terbaik di dunia.

Nama Nusa Dua sebenarnya adalah nama dua buah pulau kecil dibagian selatan pulau Bali yang dipisahkan dengan pasir putih. Nusa berarti pulau dan dua berarti dua. Dari nama inilah kawasan Nusa Dua diambil.



2. Ubud -Bali

Ubud adalah sebuah tempat peristirahatan di daerah kabupaten Gianyar, pulau Bali, Indonesia. Ubud terkenal di antara para wisatawan mancanegara karena lokasi ini terletak di antara sawah dan hutan yang terletak di antara jurang-jurang gunung yang membuat alam sangat indah. Selain itu Ubud dikenal karena seni dan budaya yang berkembang sangat pesat dan maju. Denyut nadi kehidupan masyarakat Ubud tidak bisa dilepaskan dari kesenian. Di sini banyak pula terdapat galeri-galeri seni, serta arena pertunjukan musik dan tari yang digelar setiap malam secara bergantian di segala penjuru desa.
 
Upacara adat Ngaben di Ubud
 
Sudah sejak tahun 1930-an, Ubud terkenal di antara wisatawan barat. Kala itu pelukis Jerman Walter Spies dan pelukis Belanda Rudolf Bonnet menetap di sana. Mereka dibantu oleh Cokorda Gede Agung Sukawati, dari Puri Agung Ubud. Sekarang karya mereka bisa dilihat di Museum Puri Lukisan  Ubud memiliki kawasan wisata yang sangat beragam, dari wisata wana hingga wisata tirta tersebar di kawasan Ubud, diantaranya adalah:

a. Museum Rudana

Museum Rudana merupakan museum seni yang berlokasi di Ubud, Bali, yang didirikan oleh Nyoman Rudana, seorang kolektor lukisan yang juga duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mewakili Propinsi Bali periode 2004 2009 dan diresmikan oleh Presiden Soeharto tanggal 26 Desember 1995. Museum ini menyimpan lebih dari 400 buah lukisan dan patung hasil karya para seniman, baik dari Bali, seniman Indonesia di luar Bali maupun karya para seniman asing yang menjadikan Bali sebagai tempatnya berkarya. Berada dalam satu kompleks, berdiri Rudana Fine Art Gallery yang didirikan pada tahun 1978 dan merupakan cikal bakal berdirinya Museum Rudana.


b. Museum Puri Lukisan

Adalah sebuah museum seni rupa pertama, yang dikelola oleh swasta, di Bali. Diprakarsai oleh Cokorda Gede Agung Sukawati, I Gusti Nyoman Lempad serta seniman asing yang menetap di Ubud, Rudolf Bonnet. Berdiri pada 31 Januari 1956 dibawah naungan Yayasan Ratna Warta, dan di buka secara resmi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Yamin.
Di museum ini bisa dinikmati perkembangan seni rupa di Ubud, baik seni lukis maupun seni pahat. Beberapa karya dari para seniman asing yang berkarya di Ubud seperti: Rudolf Bonnet, Walter Spies, Arie Smit serta maestro lokal seperti I Gusti Nyoman Lempad, I Gusti Made Deblog, Ida Bagus Made dan yang lainnya. Termasuk juga karya seni rupa pada masa Pita Maha.


c. Puri Agung Ubud

Puri Agung Ubud Krisnakusuma terletak tepat di jantung kota Ubud. Merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Ubud pada zaman dahulu, serta sebagai pusat kegiatan seni budaya dan adat, yang diadakan di tepat di depan puri. Puri Ubud masih memiliki tata ruang dan bangunan yang dipertahankan seperti aslinya. Di halaman depan, setelah pintu gerbang, terdapat area yang disebut Ancak Saji. Disini seminggu sekali diadakan pertunjukan seni tari, bagi wisatawan. Dan setiap hari, dilaksanakan latihan gamelan dari berbagai kelompok seni musik yang ada di Ubud. Semua aktivitas seni semakin mengentalkan suasana Ubud sebagai sebuah desa yang berwawasan kesenian.


d. Wanara Wana / monkey forest

Wanara Wana atau Hutan Kera, (lebih dikenal dengan Monkey Forest) adalah kawasan hutan sakral yang terdapat di kawasan Ubud, tepatnya masuk ke dalam wilayah desa adat Padangtegal, Ubud. Di hutan ini terdapat sekawanan kera yang jumlahnya ratusan, yang telah menghuni kawasan ini selama ratusan tahun. Di kawasan ini terdapat pula Pura Dalem Padangtegal, yang didirikan pada awal abad ke-20. Pura tersebut memiliki arsitektur serta ornamen yang sangat kuno dan artistik. Anda juga bisa mencari mata air suci di bawah Patung Komodo yg tersembunyi, yg mana bila diminum, dipecaya dapat menyembuhkan segala jenis penyakit.
 
e. Arung Jeram

Di wilayah barat Ubud, terdapat Tukad (Kali) Ayung. Di sungai ini banyak aktivitas wisata tirta, di antaranya adalah arung jeram dan berkayak. Terdapat beberapa jasa wisata tirta yang menawarkan layanan ini. Selain wisata tirta, di sepanjang tebing Tukad Ayung juga memiliki pemandangan alam yang memikat, dan terdapat puluhan hotel berbintang.

Desa Ubud menjadi semakin terkenal sebagai daerah kelahiran para seniman lukis berkat adanya kerjasama antara Tjokordo Gde Agung Sukawati dengan Rudolf Bonnet untuk membentuk sebuah perkumpulan seniman dengan nama Pita Maha. Pita Maha merupakan sebuah perkumpulan dan wadah untuk mendiskusikan masalah dan perkembangan seni lukis, serta untuk saling bertukar pikiran dan memperkenalkan hasil seni yang mereka miliki.

Sumber: wisatabagus.blogspot.com

Bali, Wisata di "Pulau Dewata" (3)

1. Pantai Jimbaran

Jimbaran adalah sebuah pantai di Kabupaten Badung, Bali, Indonesia. Letaknya di sebelah selatan pulau Bali, sekitar 10 menit dari Bandara Internasional Ngurah Rai. Jimbaran adalah tempat wisata favorit di Bali, menawarkan berbagai daya tarik makanan laut / seafood centre yang terletak di pinggir pantai, suasana sunset / matahari tenggelam yang indah kemudian suasana malam pantai Jimbaran yang romantik, sambil menikmati makanan di pantai diiringi alunan musik tentunya tak mungkin dilewatkan oleh wisatawan.

 
 



2. Pantai sanur

 
Pantai Sanur adalah sebuah tempat tujuan wisata yang terkenal di pulau Bali. Tempat ini letaknya adalah tepat di sebelah timur kota Denpasar, ibukota Bali. Sanur berada di kabupaten Badung.Pantai Sanur merupakan surga untuk berselancar (surfing). Terutama ombak pantai Sanur sudah termasyhur di antara para wisatawan mancanegara. 
 
Tak jauh lepas Pantai Sanur terdapat juga lokasi wisata selam dan snorkeling. Oleh karena kondisinya yang ramah, lokasi selam ini dapat digunakan oleh para penyelam dari semua tingkatan keahlian. Pantai Sanur juga dikenal sebagai Sunrise beach (pantai matahari terbit) sebagai lawan dari Pantai Kuta.

Pantai Sanur sebagai salah satu pantai yang menarik di Pulau Bali ini memiliki panjang 3 kilometer dengan garis pantai menghadap ke timur. Pantai Sanur terkenal dengan pantainya yang berwarna putih bersih dan lembut. Disamping itu, pantai Sanur merupakan pantai yang berbatu karang sehingga memiliki kelebihan tersendiri.Dibandingkan dengan Kuta, kawasan Sanur menyediakan tempat menginap yang relatif lebih mahal namun tenang. Dibandingkan dengan Nusa Dua, Sanur menawarkan harga yang sedikit lebih murah.
 

Kawasan pantai Sanur merupakan alternatif bagi para turis lokal maupun mancanegara yang ingin menghindari nuansa hiruk pikuk seperti Kuta, Legian atau Seminyak. Di area ini ketenangan dan kenyamanan adalah prioritas utama. Bagi yang suka menikmati matahari terbit (sunrise) maka Sanur adalah tempat yang sangat tepat. Seperti halnya terutama di area Nusa Dua, di Sanur juga terdapat hotel-hotel kelas dunia.

Disini berdiri Hyatt Sanur Bali, Sanur Beach Hotel, Mercure Resort Sanur, Grand Bali Beach yang memiliki lapangan golf di areal hotelnya. Selain itu sebagian besar semua hotel berbintang yang ada di Sanur bisa dipastikan memiliki pantai sendiri (private beach) di bagian belakang hotel. Jadi kehidupan kelas dunia dengan tinggal di hotel-hotel bertarif mahal masih bisa Anda dapatkan di kawasan Sanur.



3. Pantai Kuta

 
 
Pantai Kuta adalah sebuah tempat pariwisata yang terletak di sebelah selatan Denpasar, ibu kota Bali, Indonesia. Kuta terletak di Kabupaten Badung. Daerah ini merupakan sebuah tujuan wisata turis mancanegara, dan telah menjadi objek wisata andalan Pulau Bali sejak awal 70-an. Pantai Kuta sering pula disebut sebagai pantai matahari terbenam (sunset beach) sebagai lawan dari pantai Sanur.
Di Kuta terdapat banyak pertokoan, restoran dan tempat permandian serta menjemur diri. Selain keindahan pantainya, pantai Kuta juga menawarkan berbagai macam jenis hiburan lain misalnya bar dan restoran di sepanjang pantai menuju pantai Legian. Rosovivo, Ocean Beach Club, Kamasutra, adalah beberapa club paling ramai di sepanjang pantai Kuta.
 

Di pagi hari kita dapat berjalan-jalan di lembutnya pasir putih sambil menikmati udara pantai yang segar, pada siang hari biasanya banyak wisatawan asing yang datang untuk berjemur, dan ini memang sangat diminati oleh tamu mancanegara. Dengan ombak yang yang cukup besar sangat cocok sekali untuk berselancar bahkan bagi pemula sekalipun. Di pantai Kuta sudah di sediakan/ di sewakan papan selancar dari ukuran yang kecil sampai yang besar, sehingga wisatawan yang masih anak-anakmaupun dewasa bisa memilih keperluannya.

Sumber: wisatabagus.blogspot.com

Bali, Wisata di "Pulau Dewata" (2)

1. Tanah Lot

Tanah Lot adalah sebuah objek wisata di Bali, Indonesia. Di sini ada dua pura yang terletak di atas batu besar. Satu terletak di atas bongkahan batu dan satunya terletak di atas tebing mirip dengan Pura Uluwatu. Pura Tanah Lot ini merupakan bagian dari pura Dang Kahyangan. Pura Tanah Lot merupakan pura laut tempat pemujaan dewa-dewa penjaga laut.
 
 
Menurut legenda, pura ini dibangun oleh seorang Brahmana yang mengembara dari Jawa. Ia adalah Danghyang Nirartha yang berhasil menguatkan kepercayaan penduduk Bali akan ajaran Hindu dan membangun Sad Kahyangan tersebut pada abad ke-16. Pada saat itu penguasa Tanah Lot, Bendesa Beraben, iri terhadap beliau karena para pengikutnya mulai meninggalkannya dan mengikuti Danghyang Nirartha. Bendesa Beraben menyuruh Danghyang Nirartha untuk meninggalkan Tanah Lot. Ia menyanggupi dan sebelum meninggalkan Tanah Lot beliau dengan kekuatannya memindahkan Bongkahan Batu ke tengah pantai (bukan ke tengah laut) dan membangun pura disana. Ia juga mengubah selendangnya menjadi ular penjaga pura. Ular ini masih ada sampai sekarang dan secara ilmiah ular ini termasuk jenis ular laut yang mempunyai ciri-ciri berekor pipih seperti ikan, warna hitam berbelang kuning dan mempunyai racun 3 kali lebih kuat dari ular cobra. Akhir dari legenda menyebutkan bahwa Bendesa Beraben 'akhirnya' menjadi pengikut Danghyang Nirartha.

 
Obyek wisata Tanah Lot terletak di Desa Beraban Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan, sekitar 13 km barat Tabanan. Disebelah utara Pura Tanah Lot terdapat sebuah pura yang terletak di atas tebing yang menjorok ke laut. Tebing ini menghubungkan pura dengan daratan dan berbentuk seperti jembatan (melengkung). Tanah Lot terkenal sebagai tempat yang indah untuk melihat matahari terbenam (sunset), turis-turis biasanya ramai pada sore hari untuk melihat keindahan sunset di sini.

Dari tempat parkir menuju ke area pura banyak dijumpai art shop dan warung makan atau sekedar kedai minuman. Juga tersedia toilet bersih yang harga sewanya cukup murah untuk kantong wisatawan domestik sekalipun. 
 
Odalan atau hari raya di Pura ini diperingati setiap 210 hari sekali, sama seperti pura-pura yang lain. Jatuhnya dekat dengan perayaan Galungan dan Kuningan yaitu tepatnya pada Hari Suci Buda Cemeng Langkir. Saat itu, orang yang sembahyang akan ramai bersembahyang di Pura Ini.
 
 

2. Kintamani -Bali

Kintamani merupakan daerah wisata dengan pemandangan alam yang begitu mempesona dengan budaya yang unik dan khas. Setelah kira-kira 2 jam perjalanan dari kota Denpasar kita akan sampai di kawasan ini, tepatnya di tempat yang disebut penelokan, yang sesuai dengan namanya dalam bahasa bali yang berarti tempat untuk melihat-lihat merupakan lokasi yang paling strategis untuk menikmati pemandangan alam di kawasan wisata ini. Penelokan terletak di wilayah Desa Kedisan, salah satu desa di Kecamatan Kintamani.
 
 
Dari Penelokan kita bisa menyaksikan pemandangan menakjubkan. kombinasi antara Gunung batur beserta hamparan bebatuan hitam dengan Danau batur yang berbentuk bulan sabit berwarna biru di sebuah kaldera yang oleh wisatawan-wisatawan dikatakan sebagai kaldera terindah di dunia. Penelokan sudah mempunyai infrastruktur yang cukup memadai sebagai tempat wisata, antara lain penginapan maupun restoran.

Dari penelokan kita mempunyai dua alternatif untuk melanjutkan perjalanan di Kintamani. pertama kita bisa melanjutkan ke arah utara menuju Desa Batur. Di desa ini kita bisa berkunjung ke salah satu Pura kahyangan jagat di Bali yang bernama Pura Batur. pura ini pada awalnya terletak di sebelah barat daya Gunung batur yang kemudian dipindahkan bersamaan dengan pindahnya warga desa ke bagian atas. Alternatif kedua kita bisa turun ke pusat Desa Kedisan untuk selanjutnya menyeberang melintasi danau ke sebuah desa tua yang bernama Terunyan. Di Desa Terunyan kita bisa melihat peradaban Bali kuno yang disebut Bali aga. di desa ini orang-orang yang sudah meninggal tidak dikubur tetapi diletakan begitu saja di bawah sebuah pohon. Mayat-mayat ini tidak mengeluarkan bau sama sekali.

 
Obyek Wisata Kawasan Batur terletak di Desa Batur, Kecamatan Kintamani Kabupaten Daerah Tingkat II Bangli. permukaan laut dengan suhu udaranya berhawa sejuk pada siang hari dan dingin pada malam hari. Obyek wisata ini dapat dilalui dengan kendaraan bermotor, karena lokasi ini menghubungkan kota Bangli dan kota Singaraja. Sedangkan rute obyek, menghubungkan Obyek Wisata Kawasan Batur dengan Obyek Wisata Tampaksiring dan Besakih.

Di obyek wisata Kawasan Batur tersedia tempat parkir, rumah makan, restoran, penginapan, toilet, wartel, serta warung-warung minuman dan makanan kecil. Fasilitas angkutan umum dan angkutan penyeberangan juga tersedia. Obyek wisata Kawasan Batur ramai dikunjungi oleh wisatawan mancanegara dan nusantara. Kunjungan yang paling menonjol sekitar bulan Agustus, Desember, saat menyambut Tahun Baru dan suasana Tahun Baru. Demikian pula pada hari-hari Raya Galungan, Idul Fitri dan Hari Raya Natal, bahkan sering dikunjungi oleh tamu negara baik dari pusat maupun tamu dari luar negeri.

 

3. Pura Besakih

 
 
Pura Besakih adalah sebuah komplek pura yang terletak di Desa Besakih, Kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem, Bali, Indonesia. Komplek Pura Besakih terdiri dari 1 Pura Pusat (Pura Penataran Agung Besakih) dan 18 Pura Pendamping (1 Pura Basukian dan 17 Pura Lainnya). Di Pura Basukian, di areal inilah pertama kalinya tempat diterimanya wahyu Tuhan oleh Hyang Rsi Markendya, cikal bakal Agama Hindu Dharma sekarang di Bali, sebagai pusatnya. Pura Besakih merupakan pusat kegiatan dari seluruh Pura yang ada di Bali. Di antara semua pura-pura yang termasuk dalam kompleks Pura Besakih, Pura Penataran Agung adalah pura yang terbesar, terbanyak bangunan-bangunan pelinggihnya, terbanyak jenis upakaranya dan merupakan pusat dan semua pura yang ada di komplek Pura Besakih.

Di Pura Penataran Agung terdapat 3 arca atau candi utama simbol stana dari sifat Tuhan Tri Murti, yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa yang merupakan perlambang Dewa Pencipta, Dewa Pemelihara dan Dewa Pelebur/Reinkarnasi.
Keberadaan fisik bangunan Pura Besakih, tidak sekedar menjadi tempat bersemayamnya Tuhan, menurut kepercayaan Agama Hindu Dharma, yang terbesar di pulau Bali, namun di dalamnya memiliki keterkaitan latar belakang dengan makna Gunung Agung. Sebuah gunung tertinggi di pulau Bali yang dipercaya sebagai pusat Pemerintahan Alam Arwah, Alam Para Dewata, yang menjadi utusan Tuhan untuk wilayah pulau Bali dan sekitar. Sehingga tepatlah kalau di lereng Barat Daya Gunung Agung dibuat bangunan untuk kesucian umat manusia, Pura Besakih yang bermakna filosofis.


Makna filosofis yang terkadung di Pura Besakih dalam perkembangannya mengandung unsur-unsur kebudayaan yang meliputi:
   1. Sistem pengetahuan,
   2. Peralatan hidup dan teknologi,
   3. Organisasi sosial kemasyarakatan,
   4. Mata pencaharian hidup,
   5. Sistem bahasa,
   6. Religi dan upacara, dan
   7. Kesenian.

Ketujuh unsur kebudayaan itu diwujudkan dalam wujud budaya ide, wujud budaya aktivitas, dan wujud budaya material. Hal ini sudah muncul baik pada masa pra-Hindu maupun masa Hindu yang sudah mengalami perkembangan melalui tahap mitis, tahap ontologi dan tahap fungsional.

Pura Besakih sebagai objek penelitian berkaitan dengan kehidupan sosial budaya masyarakat yang berada di Kabupaten Karangasem Provinsi Bali.

Berdasar sebuah penelitian, bangunan fisik Pura Besakih telah mengalami perkembangan dari kebudayaan pra-hindu dengan bukti peninggalan menhir, punden berundak-undak, arca, yang berkembang menjadi bangunan berupa meru, pelinggih, gedong, maupun padmasana sebagai hasil kebudayaan masa Hindu.

Latar belakang keberadaan bangunan fisik Pura Besakih di lereng Gunung Agung adalah sebagai tempat ibadah untuk menyembah Dewa yang dikonsepsikan gunung tersebut sebagai istana Dewa tertinggi.

Pada tahapan fungsional manusia Bali menemukan jati dirinya sebagai manusia homo religius dan mempunyai budaya yang bersifat sosial religius, bahwa kebudayaan yang menyangkut aktivitas kegiatan selalu dihubungkan dengan ajaran Agama Hindu.

Dalam budaya masyarakat Hindu Bali, ternyata makna Pura Besakih diidentifikasi sebagai bagian dari perkembangan budaya sosial masyarakat Bali dari mulai pra-Hindu yang banyak dipengaruhi oleh perubahan unsur-unsur budaya yang berkembang, sehingga mempengaruhi perubahan wujud budaya ide, wujud budaya aktivitas, dan wujud budaya material. Perubahan tersebut berkaitan dengan ajaran Tattwa yang menyangkut tentang konsep ketuhanan, ajaran Tata-susila yang mengatur bagaimana umat Hindu dalam bertingka laku, dan ajaran Upacara merupakan pengaturan dalam melakukan aktivitas ritual persembahan dari umat kepada TuhanNya, sehingga ketiga ajaran tersebut merupakan satu kesatuan dalam ajaran Agama Hindu Dharma di Bali.
 
Sumber: wisatabagus.blogspot.com

Bali, Wisata di "Pulau Dewata" (1)

1. Istana Tampaksiring

 
Istana Tampaksiring adalah istana yang dibangun setelah Indonesia merdeka, yang terletak di Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Bali. Nama Tampaksiring berasal dari dua buah kata bahasa Bali, yaitu "tampak" dan "siring", yang masing-masing bermakna telapak dan miring. Konon, menurut sebuah legenda yang terekam pada daun lontar Usana Bali, nama itu berasal dari bekas tapak kaki seorang raja yang bernama Mayadenawa. Raja ini pandai dan sakti, namun sayangnya ia bersifat angkara murka. Ia menganggap dirinya dewa serta menyuruh rakyatnya menyembahnya. 
Akibat dari tabiat Mayadenawa itu, Batara Indra marah dan mengirimkan bala tentaranya. Mayadenawa pun lari masuk hutan. Agar para pengejarnya kehilangan jejak, ia berjalan dengan memiringkan telapak kakinya. Dengan begitu ia berharap para pengejarnya tidak mengenali jejak telapak kakinya.

 
Namun demikian, ia dapat juga tertangkap oleh para pengejarnya. Sebelumnya, ia dengan sisa kesaktiannya berhasil menciptakan mata air yang beracun yang menyebabkan banyak kematian para pengejarnya setelah mereka meminum air dari mata air tersebut. Batara Indra kemudian menciptakan mata air yang lain sebagai penawar air beracun itu yang kemudian bernama "Tirta Empul" ("air suci"). Kawasan hutan yang dilalui Raja Mayadenawa dengan berjalan sambil memiringkan telapak kakinya itu terkenal dengan nama Tampaksiring.

Istana ini berdiri atas prakarsa Presiden Soekarno yang menginginkan adanya tempat peristirahatan yang hawanya sejuk jauh dari keramaian kota, cocok bagi Presiden Republik Indonesia beserta keluarga maupun bagi tamu-tamu negara. Arsiteknya adalah R.M. Soedarsono dan istana ini dibangun secara bertahap. Komplek Istana Tampaksiring terdiri atas empat gedung utama yaitu Wisma Merdeka seluas 1.200 m dan Wisma Yudhistira seluas 2.000 m dan Ruang Serbaguna. Wisma Merdeka dan Wisma Yudhistira adalah bangunan yang pertama kali dibangun yaitu pada tahun 1957. Pada 1963 semua pembangunan selesai yaitu dengan berdirinya Wisma Negara dan Wisma Bima.
 

2. Garuda Wisnu Kencana

 
Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana (bahasa Inggris: Garuda Wisnu Kencana Cultural Park), disingkat GWK, adalah sebuah taman wisata di bagian selatan pulau Bali. Taman wisata ini terletak di tanjung Nusa Dua, Kabupaten Badung, kira-kira 40 kilometer di sebelah selatan Denpasar, ibu kota provinsi Bali. Area Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana berada di ketinggian 146 meter di atas permukaan tanah atau 263 meter di atas permukaan laut.

GWK kependekan dari Garuda Wisnu Kencana yang artinya "Burung Garuda kendaraan Dewa Wisnu", merupakan salah satu obyek wisata di bali,  yang  terletak diatas dataraan tinggi batu kapur padas dan menatap kawasan wisata dipesisir selatan Bali, dan berjarak 25 km dari Denpasar / 15 km dari Bandara, Garuda Wisnu Kencana Cultural Park adalah jendela seni dan budaya Pulau Dewata yang memiliki latar belakang alami serta panorama yang sangat mengagumkan.

Dengan luas 250 hektar akan merangkum semua kegiatan budaya Bali di sini. pengunjung GW K akan menyaksikan kemegahan monumental dan kekhusukan spiritual yang mana kesemuanya disempurnakan dengan sentuhan modern dengan fasilitas dan pelayanan yang tepat guna. Amphitheatre dengan kapasitas 800 tempat duduk dan tatanan acoustic kelas satu, merupakan tempat yang tak tertandingi untuk pagelaran seni budaya.

GWK di harapkan untuk jadi simbol untuk kebudayaan yang berbasis keseimbangan alam. Dalam konsep Tri Murthi di mana Dewa Wisnu, bertugas untuk memelihara alam semesta dan Garuda sebagai kendaraan Dewa Wisnu merupakan simbol dari pengabdian yang tanpa pamrih. jadi diharapkan GWK merupakan simbol dari penyelamatan lingkungan.

GWK dibangung pada tahun 1997. Proyek ini sempat stop karena banyak masalah diantaranya pendanaan. dimana masih kurang sekitar 600 miliar untuk menyelesaikan GWK ini, yang baru selesai adalah Setengah badan Dewa Wisnu, burung Garuda, dan tangan Dewa Wisnu. GWK ini Di design dan dibangun oleh Nyoman Nuarta.

3. Sangeh

 
Sangeh, adalah sebuah tempat pariwisata di pulau Bali yang terletak di sebelah utara Ubud, kabupaten Gianyar. Sangeh terkenal karena ini merupakan sebuah desa di mana monyet-monyet (beruk) berkeliaran dengan bebas di sebuah bukit bernama Bukit Sari. Di sana ada pula sebuah pura yang bernama Pura Bukit Sari. Monyet di sini berkuasa dan konon memiliki tiga wilayah kerajaan.Menurut legenda setempat Bukit Sari dan monyet ini berada di sana ketika Hanoman, sebuah tokoh dalam wiracarita Ramayana, mengangkat gunung Mahameru. Beberapa bagian gunung ini jatuh di sana dan sejak saat itu monyet berkuasa di sana.
 
Sumber: wisatabagus.blogspot.com

Candi Cetho Karanganyar

Candi Cetho (ejaan bahasa Jawa: cethå) merupakan sebuah candi bercorak agama Hindu peninggalan masa akhir pemerintahan Majapahit (abad ke-15). Laporan ilmiah pertama mengenainya dibuat oleh Van de Vlies pada 1842. A.J. Bernet Kempers juga melakukan penelitian mengenainya. Ekskavasi (penggalian) untuk kepentingan rekonstruksi dilakukan pertama kali pada tahun 1928 oleh Dinas Purbakala Hindia Belanda. Berdasarkan keadaannya ketika reruntuhannya mulai diteliti, candi ini memiliki usia yang tidak jauh dengan Candi Sukuh. Lokasi candi berada di Dusun Cetho, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, pada ketinggian 1400m di atas permukaan laut.


Sampai saat ini, komplek candi digunakan oleh penduduk setempat yang beragama Hindu sebagai tempat pemujaan dan populer sebagai tempat pertapaan bagi kalangan penganut agama asli Jawa/Kejawen.

Ketika ditemukan keadaan candi ini merupakan reruntuhan batu pada empat belas dataran bertingkat, memanjang dari barat (paling rendah) ke timur, meskipun pada saat ini tinggal 13 teras, dan pemugaran dilakukan pada sembilan teras saja. Strukturnya yang berteras-teras membuat munculnya dugaan akan kebangkitan kembali kultur asli ("punden berundak") pada masa itu, yang disintesis dengan agama Hindu. Dugaan ini diperkuat dengan bentuk tubuh pada relief seperti wayang kulit, yang mirip dengan penggambaran di Candi Sukuh.
 
 
Pemugaran yang dilakukan oleh Humardani, asisten pribadi Suharto, pada akhir 1970-an mengubah banyak struktur asli candi, meskipun konsep punden berundak tetap dipertahankan. Pemugaran ini banyak dikritik oleh pakar arkeologi, mengingat bahwa pemugaran situs purbakala tidak dapat dilakukan tanpa studi yang mendalam. Bangunan baru hasil pemugaran adalah gapura megah di muka, bangunan-bangunan dari kayu tempat pertapaan, patung-patung Sabdapalon, Nayagenggong, Brawijaya V, serta phallus, dan bangunan kubus pada bagian puncak punden.

Selanjutnya, Bupati Karanganyar, Rina Iriani, dengan alasan untuk menyemarakkan gairah keberagamaan di sekitar candi, menempatkan arca Dewi Saraswati, sumbangan dari Kabupaten Gianyar, pada bagian timur kompleks candi.

Pada keadaannya yang sekarang, Candi Cetho terdiri dari sembilan tingkatan berundak. Sebelum gapura besar berbentuk candi bentar, pengunjung mendapati dua pasang arca penjaga. Aras pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Aras kedua masih berupa halaman dan di sini terdapat petilasan Ki Ageng Krincingwesi, leluhur masyarakat Dusun Cetho.

Pada aras ketiga terdapat sebuah tataan batu mendatar di permukaan tanah yang menggambarkan kura-kura raksasa, surya Majapahit (diduga sebagai lambang Majapahit), dan simbol phallus (penis, alat kelamin laki-laki) sepanjang 2 meter dilengkapi dengan hiasan tindik (piercing) bertipe ampallang. Kura-kura adalah lambang penciptaan alam semesta sedangkan penis merupakan simbol penciptaan manusia. Terdapat penggambaran hewan-hewan lain, seperti mimi, katak, dan ketam. Simbol-simbol hewan yang ada, dapat dibaca sebagai suryasengkala berangka tahun 1373 Saka, atau 1451 era modern.

Pada aras selanjutnya dapat ditemui jajaran batu pada dua dataran bersebelahan yang memuat relief cuplikan kisah Sudhamala, seperti yang terdapat pula di Candi Sukuh. Kisah ini masih populer di kalangan masyarakat Jawa sebagai dasar upacara ruwatan. Dua aras berikutnya memuat bangunan-bangunan pendapa yang mengapit jalan masuk candi. Sampai saat ini pendapa-pendapa tersebut digunakan sebagai tempat pelangsungan upacara-upacara keagamaan. Pada aras ketujuh dapat ditemui dua arca di sisi utara dan selatan. Di sisi utara merupakan arca Sabdapalon dan di selatan Nayagenggong, dua tokoh setengah mitos (banyak yang menganggap sebetulnya keduanya adalah satu orang) yang diyakini sebagai abdi dan penasehat spiritual Sang Prabu Brawijaya V.

Pada aras kedelapan terdapat arca phallus (disebut "kuntobimo") di sisi utara dan arca Sang Prabu Brawijaya V dalam wujud mahadewa. Pemujaan terhadap arca phallus melambangkan ungkapan syukur dan pengharapan atas kesuburan yang melimpah atas bumi setempat. Aras terakhir (kesembilan) adalah aras tertinggi sebagai tempat pemanjatan doa. Di sini terdapat bangunan batu berbentuk kubus.

Di sebelah atas bangunan Candi Cetho terdapat sebuah bangunan yang pada masa lalu digunakan sebagai tempat membersihkan diri sebelum melaksanakan upacara ritual peribadahan (patirtan). Di dekat bangunan candi, dengan menuruni lereng yang terjal, ditemukan lagi sebuah kompleks bangunan candi yang oleh masyarakat sekitar disebut sebagai Candi Kethek ("Candi Kera").

sumber: wikipedia
wisatabagus.blogspot.com

Desa Wisata Kembangarum, Turi, Sleman




Pedesaan rupanya mempunyai potensi wisata tersendiri. Bahkan program Desa Wisata pun digalakkan guna mengoptimalkan potensi pedesaan. Di Jogja, kawasan Turi telah menjadi kawasan utama menjamurnya desa wisata. Alamnya yang masih asri, dengan banyaknya perkebunan salak, merupakan aset utama.
Desa Kembangarum Wetan Kali, Turi, Sleman adalah salah satunya. Kabar mengenai desa ini sebenarnya sudah tlama kami dengar. Namun kru trulyjogja.com baru berhasil menyempatkan diri berkunjung belum lama ini. 

Disambut

Terletak di pedesaan di kawasan Lintas Merapi, desa Kembangarum dapat ditempuh sekitar 45 menit dari kota Jogja dengan kendaraan bermotor. Setelah melewati jalan berliku-liku, sebuah papan nama kecil menyambut kami sebelum memasuki desa Kembangarum. 

 Egrang

Gang kecil sebagai jalan masuk dari pinggir jalan utama memang awalnya sedikit meragukan, terlebih dengan papan nama Kembangarum yang kurang terlihat. Namun setelah masuk ke gang yang lebarnya hanya cukup untuk 1 mobil, pemandangan desa yang bersih dan tertata rapi langsung menyergap kami. 

Jalan masuk

Pagar batu yang ditata sedemikian rupa rapinya, tampak menyatu dengan alam, natural dan sederhana. Berbagai tanaman hias ditanam di sepanjang gang. Perpaduan ini jelas membedakan desa Kembangarum dari desa biasa. Suasananya tenang, dengan perumahan tradisional dan udara yang segar. 

Memandikan kerbau

Berdiri di pertengahan tahun 2005, desa Kembangarum rupanya belajar dengan cepat. Desa yang awalnya hanya merupakan desa biasa berhasil dibangun menjadi desa wisata yang menawarkan berbagai kegiatan alami. 

Membajak sawah

Pohon-pohon salak yang berderet di kebanyakan halaman rumah penduduk merupakan lokasi agrowisata salak. Ini memberikan kesempatan bagi pengunjung yang datang untuk memetik salak dan langsung menikmatinya di kebun. 

Tak hanya salak pondoh, salak gading dengan kulit bewarna kekuningan dan rasa yang tak kalah enak juga dibudidayakan di sini. Bahkan salak gading ini menjadi salah satu makanan khas yang ditawarkan. Salak gading yang direbus. 

Menyusuri perkebunan salak

Selain kebun salak, desa Kembangarum juga mempunyai Sungai Tempor yang juga difungsikan sebagai wahana wisata. Treking selama 1 jam menyusuri sungai, persawahan dan pedesaan banyak digemari oleh para wisatawan. 

Demi keamanan agar tidak terpeleset, kami disarankan untuk melepas alas kaki yang kami kenakan saat melakukan treking. Alhasil kami mendapatkan pijat kaki alami yang dilakukan oleh para bebatuan di dasar sungai. Airnya yang dingin dan segar, serta kedalamannya yang hanya selutut membuatnya semakin menyenangkan. 

Belajar menganyam


Menurut Pak Dimaz Rachmad yang telah berbaik hati mengantarkan kami, Sungai Tempor memang sangat dijaga kebersihannya. Larangan untuk membuang sampah sembarangan telah diterapkan dan dipatuhi oleh warga sekitar. Tak heran airnya begitu jernih.

Gerimis yang mendadak turun membuat kami harus segera meninggalkan sungai, dan melanjutkan treking menyusuri persawahan. Uniknya, di antara sawah-sawah tersebut telah disediakan bale-bale yang mirip dengan gazebo tradisional Jawa untuk beristirahat, bersih dan terawat. Salah satu gazebo bahkan dibuat dari kayu jati dan memang tampak kokoh, serta jauh lebih 'mewah' dari bale-bale pada umumnya.

Buah kokosan


Gubug


Sisa perjalanan kami lalui melewati pedesaan yang tenang, berpapasan dengan warga desa yang ramah dan selalu menebar senyum. Betapa hangat. Sampai di lokasi awal, kami dijamu dengan berbagai jajanan tradisional. Bahkan makan siangnya pun dengan lauk ala pedesaan. Sayur lumbu (daun talas) ditemani dengan telur, tempe, dan krupuk gendar. Makan siang yang sederhana tersebut mampu melengkapi kenyamanan suasana pedesaan yang kami rasakan. 

Nasi gadong

Tak jauh dari tempat kami makan, terdapat kolam ikan yang kerap digunakan untuk lomba memancing bila ada rombongan wisatawan yang datang. Namun tak ada peraturan yang melarang mereka yang hanya sekedar ingin memancing, dan mungkin langsung membakarnya saat berhasil menangkap ikan.
Berbagai lomba unik memang sering diadakan untuk meramaikan acara di Kembangarum. Sebut saja lomba balap sepeda onthel di pematang sawah, sambil membawa rumput yang diikatkan pada bagian belakang sepeda. Lalu lomba ngluku, atau dikenal dengan membajak sawah. Lomba ini tentu saja ditujukan bagi para wisatawan yang berkunjung. 

Desa Kembangarum juga memberikan fasilitas penginapan bagi mereka yang ingin tinggal lebih lama. Bisa tinggal bersama warga setempat atau menyewa rumah yang disediakan. Sekitar 10 rumah tradisional siap disewakan bagi pengunjung yang berminat. 

Gubug

Harganya masih kekeluargaan dan sangat negotiable. Sekitar Rp 100.000,- per malam, bisa lebih atau kurang, tergantung pada pembicaraan dan keperluan. Dan harga tersebut sudah termasuk makan. Menurut warga, kebanyakan dari wisatawan yang menginap adalah wisatawan manca negara yang ingin mencari suasana yang berbeda.

Kerinduan terhadap suasana pedesaan yang asri, teduh dan santai memang kerap menyerang warga kota. Terlebih mereka yang sangat sibuk di kesehariannya. Keberadaan desa wisata Kembangarum pun dapat menjadi alternatif wisata bagi mereka yang ingin melepaskan kepenatan kota.

Foto:  lifevolution.multiply.com

Sumber: trulyjogja.com

Jejak Sunyi Manusia Perahu di Pulau Galang













 

Gerimis masih mendera ketika mobil yang saya tumpangi memasuki jembatan Fisabilillah Barelang. Jembatan itu adalah gerbang utama menuju Pulau Galang. Konstruksinya dari baja dan mirip Golden Gate di San Francisco, dengan panjang 700 m dan ketinggian 350 m. Dari situ, kita bisa melihat panorama tebaran pulau kecil yang menakjubkan.

Gerimis tak menyurutkan niat orang-orang untuk berdiri di sisi kiri dan kanan jembatan. Sekadar berhenti melepas pandangan, atau memang sengaja datang berwisata. Sebagian pengunjung nongkrong di warung tenda yang berderet di kedua ujungnya, menikmati jagung bakar.

Saya bersama tiga orang kawan lama yang sekarang merantau di Batam, hampir tergoda untuk mampir. Tapi Hijratul, pemilik mobil yang sekaligus sebagai sopir, mengingatkan bahwa perjalanan ke Pulau Galang masih cukup jauh.

Benar juga. Kami melewati empat jembatan lagi di gugusan kepulauan Barelang. Barelang merupakan akronim dari Batam, Rempang, dan Galang. Ketiga pulau utama itu disatukan jembatan baja yang kokoh dan artistik, ditambah pulau-pulau kecil lainnya, yaitu Pulau Tonton, Nipah, dan Sekikir. Total jenderal ada enam jembatan penghubung pulau-pulau yang selesai dibangun tahun 1992 itu.

Waktu itu, B.J. Habibie dengan proyek Otorita Batam-nya jelas ingin mengimbangi Singapura di kawasan yang strategis tersebut. Dengan menyatukan sejumlah pulau, setidaknya Batam lebih luas daripada daratan Tumasik hasil sulapan Raffles dari zaman kolonial itu. Tapi apa lacur, mimpi Habibie tampaknya kandas: infrastruktur luar biasa tersebut tetap tak mampu membuat Batam tampil gemilang.

Ah, saya singkirkan pikiran berat itu. Saatnya menikmati perjalanan. Mobil kini meluncur kencang di jalanan lengang, melewati jembatan demi jembatan, kebun nanas dan rumah-rumah penduduk yang jarang dan sepi. Kami sempat berbisik, kalau saja ban bocor atau bensin habis, ke mana hendak mengadu? Untunglah bensin sudah kami isi penuh, dan jalanan mulus lumayan menjamin keamanan ban.

Selepas sebuah tikungan yang merimba, mobil membelok ke kiri, memasuki jalan aspal yang agak rusak. Jika lurus, kita akan bersua jembatan terakhir, Jembatan Raja Kecil sepanjang 180 meter yang menghubungkan Pulau Galang dan Galang Baru. Namun tujuan utama kami bukan ke situ, melainkan ke bekas penampungan manusia perahu dari Vietnam (1979-1996).

Tak jauh di depan, ada pos penjaga yang memungut retribusi atas nama Otorita Batam, sebesar Rp 10.000 untuk mobil sedan. Itulah pertanda kami memasuki tempat tujuan. Dua puluh tahun lalu, gerbang itu pastilah dijaga para tentara di mana tidak setiap orang bisa ke luar-masuk, sebab kawasan relokasi tak ubahnya seperti negara mini transisional yang ”pemerintahannya” melibatkan PBB urusan pengungsian (UNHCR).

Meski sudah tidak ada lagi para tentara berjaga, namun suasana mencekam tetap terasa. Pohon-pohon karet yang tidak terawat, semak-belukar dan pepohonan yang mulai menghutan, membuat suasana sunyi dan lindap. Deretan bangunan tua peninggalan para pengungsi, seperti barak, rumah-rumah papan sederhana, serta berbagai tempat ibadah kebanyakan dibiarkan lapuk, merana, menambah kesunyian yang sukar dilukiskan.


















Mobil kami terus menyusuri jalan yang melingkari kawasan sunyi tersebut. Sebatang pohon besar menjulurkan sulurnya sampai ke tepi jalan, tempat dari mana serombongan kera berhamburan meminta jatah makan. Kami lemparkan beberapa tangkup roti. Suara kera yang berebutan lumayan mampu memecah kesunyian.

Ternyata, pokok pohon besar itu pernah menjadi tempat ritual pengungsi beragama Budha, makanya ditandai oleh sebuah papan nama bertulisan ”Body Tree”. Selain pohon bodi, tempat ibadah lainnya yang kami lihat adalah pagoda dan gereja. Ada pagoda Chua Qim Quang, Chuan Ky Vien, Cao Dai, dan yang terbesar bernama Quan Am Tu, dilengkapi patung Dewi Kwan Im setinggi hampir 3 meter.

Sedangkan gereja Katholik ada dua, yakni Ta On Duc Me Chatolic Chruch dan Nha To Duc Me Vo Nhiem Chatolic Chruch -yang terakhir ini dihiasi Patung Bunda Maria di atas kapal pengungsi. Bagi yang Protestan, terdapat Tinh Lanh Chruch. Semua bangunan rumah ibadah itu berbahan papan dan kayu, dicat warna-warni, memiliki gerbang yang besar dan artistik. Sayang, tidak semua tempat saya masuki sebab gerimis telah menjelma jadi hujan cukup lebat.

Puncak kunjungan saya rasakan ketika kami sampai di sebuah kawasan berupa tanah lapang berumput hijau. Di atas rumputan itu diletakkan sejumlah kapal kayu bermesin tempel, tak terlalu besar, persis kapal nelayan di pelabuhan ikan Cirebon atau Tegal. Lebih menyerupai perahu ketimbang kapal, dari mana sebutan ”manusia perahu” berasal. Ya, itulah kapal-kapal asli yang pernah digunakan para pengungsi Vietnam Selatan yang bertolak dari Teluk Tonkin dan sekitarnya, meninggalkan tanah air mereka yang sedang diamuk perang saudara.

Saya gemetar dan takjub memandangi kapal atau perahu-perahu itu. Tak kuasa membayangkan derita para pengungsi yang bertarung hidup-mati di samudera. Kali ini saya tak memedulikan hujan. Dengan kepala hanya berbungkus kantong kresek, segera saya melompat turun dari mobil, lalu menyentuh dan menaiki perahu-perahu itu. Beberapa di antaranya sudah keropos dan berlubang. Maklum tidak diberi atap peneduh. Rupanya, niat untuk membangun museum terbuka telah diterjemahkan harafiah oleh pengelola, sehingga sekadar atap pun diluputkan.

Berapa kali saya naik-turun ke geladak kapal-kapal yang telah menyelamatkan entah berapa ratus nyawa pengungsi ini, seolah belum yakin bahwa tragedi pilu itu benar-benar terjadi. Tapi jelas semua itu bukan mimpi. Di sebuah beton berlumut tertempel tulisan memorial yang antara lain berbunyi, ”Perahu inilah yang digunakan para pengungsi mengarungi Lautan Cina Selatan selama berbulan-bulan dan sejauh ribuan kilometer menuju berbagai belahan dunia untuk mencari perlindungan dari negara lain.”

Sungguh tragis. Sebuah bilbor besar bergambar seri foto para pengungsi juga terpancang di tepi lapangan, penuh wajah-wajah sedih. Meski mulai kabur dan kusam, cukuplah jadi penanda peristiwa yang mengusik nurani kita. Tapi anehnya, di bilbor tersebut ada sebuah panel gambar yang tampaknya sengaja ditutupi seng. Ada apa dengan gambar itu? Terlalu vulgarkah? Tak lolos sensor? Atau diprotes mantan pengungsi? Entah. Semoga kabur dan tertutupnya gambar itu bukan pertanda tertutupnya nilai persahabatan yang pernah ada.

Akhirnya sebelum pulang, saya genapkan kunjungan ke kompleks Ngha Trang Grave, tempat 500 lebih para pengungsi dimakamkan. Deretan nisan, tanda salib dan batu-batu yang sunyi dibasuh hujan menjadi saksi abadi bagi jejak panjang manusia perahu di Pulau Galang.


Diprotes Mantan Pengungsi

”Perang dingin” dua raksasa ideologis -kapitalisme dan komunis- berimbas ke Indocina. Perang saudara antara Vietnam Utara dan Vietnam Selatan salah satu dampaknya. Tahun 1975 pasukan Vietkong (Utara) menyerbu ke Selatan. Puluhan ribu pengungsi ke luar menyelamatkan diri, berdesak-desakan di atas kapal kayu menyusuri keganasan Laut Cina Selatan. Berpuluh-puluh kapal karam, ratusan pengungsi mati di laut, yang lain ditangkap kapal patroli di Teluk Siam.

Sekitar 250 ribu pengungsi terdampar di Natuna dan pulau lain di wilayah Indonesia. Pemerintah Indonesia cukup tanggap, lalu bekerja sama dengan UNHCR merelokasi mereka di Pulau Galang pada 1979. Kawasannya didesain sedemikian rupa. Barak, rumah, perkantoran, sekolah, tempat ibadah, jalan raya, dibangun sehingga menyerupai kota kecil. Mereka tak diperbolehkan ke luar kawasan, tapi bebas menjalani profesi seperti usaha penukaran uang, kedai nasi, membuat tahu-tempe, jadi guru atau karyawan UNHCR. Tentu usaha tersebut sangat terbatas, sehingga sebagian besar orang tetap bergantung pada bantuan badan PBB itu.

Ketika tahun 1995 UNHCR menyatakan tak memiliki anggaran lagi, pemerintah Indonesia memutuskan memulangkan pengungsi. Menariknya (atau mengharukan), pengungsi menolak dipulangkan. Mereka masih trauma. Malah ada yang nekad melakukan ”harakiri”: membakar perahu sebagai bentuk protes, bahkan membakar diri. Toh, 5.000 lebih pengungsi tetap dipulangkan, sisanya diterima sejumlah negara seperti Amerika, Australia dan Prancis.


















Kini kawasan bekas pengungsi itu dikelola pihak Otorita Batam sebagai objek wisata sejarah dan kemanusiaan. Cukup beralasan. Dari segi pengunjung misalnya, berapa banyak mantan pengungsi yang sukses di berbagai negara atau negara asalnya? Tiap waktu selalu ada yang datang berziarah. Pasar potensial. Tapi sayangnya pengelolaan tidak maksimal. Banyaknya bangunan rusak jelas kontraproduktif dengan nilai sejarah yang ditawarkan. Kabarnya mantan pengungsi juga keberatan tempat itu dijadikan objek wisata. Tempat di mana mereka pernah hidup menderita, jauh dari tanah air, dianggap kurang pas jadi kunjungan turis. Konon, pihak pengelola sempat keder, meski jika dipikir keberatan itu tak harus jadi ganjalan.

Kehidupan pengungsi di Galang sebenarnya relatif baik, diterima masyarakat dan pemerintah Indonesia penuh empati. Dengan menjadikannya objek wisata sejarah, justru mengajak siapa pun menziarahi jejak kemanusiaan dan persahabatan. Artinya, tinggal bagaimana pihak pengelola mensinergikan nilai-nilai tersebut secara patut dan manusiawi.

Sumber: SuaraMerdeka

Menyusuri Hamparan Hijau Nan Sejuk di Gunung Dempo

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1BE4KI6YVw9Lz3kV4eItd4jnFyKTyYXeta2i9FYjyNPzmRTtusMgKciQT-Lc0YvJ0541rLp9ooNlLNwFzsBKEizEorHE7OPQtijVeS3TByzOHgaB-DOHfhM0LO27OfUZCx4LXqXRgzMU/s1600/gunung+dempo.jpg

Ditemani secangkir kawe (kopi) beraroma khas Pagar Alam, pemandangan alam nan asri saat pagi di serambi Penginapan Gunung Gare Pagar Alam ini, akan memikat siapa saja yang memandang, menyusuri, dan mendaki hamparan hijau kebun teh begitu segar



















Belumlah puas mata memandang, kaki pun akan tergerak melangkah di sela perkebunan teh, mencari-cari benalu teh yang berkhasiat itu di sela batang teh, ditemani segarnya dingin pagi dan sinar mentari yang mulai menyapu punggung gunung.

Gunung Dempo yang memiliki ketinggian 3.159 meter dari permukaan laut ini, merupakan daerah tertinggi di Provinsi Sumatera Selatan. Perjalanan selama kurang lebih 6 jam dari Palembang menuju Pagar Alam juga menjadi pengalaman menarik. Memasuki daerah yang dipagari oleh alam pegunungan ini, jalan berkelok dengan lembah dan tebing di tepian jalan mengucapkan selamat datang memasuki Kota Pagar Alam.

Tidak hanya keindahan Gunung Dempo yang terkenal, jalur pendakian gunung ini juga menjadi buah bibir dikalangan pendaki gunung. “Tantangan yang bervariatif, dan bonus (jalur datar) nya sedikit,” komentar para pendaki gunung asal Jawa. Gemericik suara air dan bermacam suara hewan penghuni gunung akan menemani para pendaki.

Mendirikan kemah di hamparan puncak merapi, sebelum melihat kawah Dempo, juga menjadi daya tarik tersendiri. Menghangatkan badan meneguk kawe, di dekat api unggun, gemerlap lampu kota tampak dari ketinggian itu.

Apalagi disaat tahun baru tiba, hamparan ini akan dipenuhi para pendaki, baik yang berasal dari Pagar Alam, Palembang, bahkan dari luar Sumsel. Menyambut tahun baru di Puncak Merapi Dempo, seakan sudah menjadi tradisi. Daerah Pegunungan Dempo ini juga menjadi obyek wisata sebagai salah satu andalan. Derasnya arus sungai di sela bebatuan juga menjadikan ini sangat potensial untuk menjadi tempat arum jeram.

Daerah yang berjarak 300 kilometer dari Palembang ini juga sarat dengan daya tarik sejarah purba. Batu-batu peninggalan purba yang diperkirakan berumur 2500 sampai 3000 tahun ini terdapat di beberapa desa di kaki Gunung Dempo.

Bentuk batunya pun beragam, dari lesung, hewan, manusia, dan ada juga batu berbentuk rumah. Megalit inilah yang membawa wisatawan mancanegara asal eropa kerap datang ke daerah pegunungan tertinggi di bukit barisan Sumatera ini.

Belum habis potensi wisata di Pagar Alam. Air terjun di pegunungan ini belum sepenuhnya dikembangkan, bahkan tidak menutup kemungkinan belum ditemukan. Seperti ditemukannya curub (air terjun) Pancur belakangan ini, sebuah keindahan baru yang terkuak.

Selepas memuaskan minat wisata di tengah pesona alam Gunung Dempo. Para wisatawan dapat mengunjungi pasar tradisional di pusat kota. Kudu, sebuah senjata khas masyarakat Pagar Alam menjadi buah tangan favorit, selain kopi, teh, benalu teh, dan alpukat.

Tekad Pagar Alam menjadikan kota wisata dan budaya ini semakin mantap dengan dicanangkannya Visit Musi 2008. Kota penghasil kopi dan teh semenjak jaman kolonial Belanda ini dikukuhkan sebagai kota Bunga. Halaman rumah, sekolah, dan taman kota dipenuhi bunga. Pameran bunga diadakan di alun-alun kota setiap tahunnya.

Balai Benih Jarai pun tidak hanya ditanami anggrek, pembudidayaan bunga krisan dilakukan disana. Pembudidayaan bunga potong ini merupakan bentuk dukungan Pemprov Sumsel terhadap upaya menjadikan Kota Pagaralam sebagai kota bunganya Bumi Sriwijaya.

Kekayaan potensi wisata ini disambut ramah warga setempat. Mereka siap menyapa wisatawan, penginapan memperbaiki pelayanan, jalan-jalan diperpanjang dan dihaluskan. Begitupun hutan, dengan penanaman pohon Bambang, dipertahankan kelestariannya.

Sumber: perempuan.com

Menikmati Keindahan Lombok

Lupakanlah sejenak rutinitas pekerjaan dan kepenatan hidup dengan menikmati indahnya pesona alam Pantai Senggigi di Lombok. Salah satu pulau di provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) selain Pulau Sumbawa ini memiliki pantai yang sangat terkenal dan menjadi pilihan berlibur bagi wisatawan mancanegara maupun lokal.
Untuk mencapai Pantai Senggigi dibutuhkan waktu kurang lebih 15 menit dari Kota Mataram menggunakan mobil. Dengan jarak sedekat itu, makin populer saja pantai eksotis ini. Senggigi telah menjelma menjadi ikon pariwisata NTB sejak diperkenalkan pada 1980. Perkembangannya sangat luar biasa jika indikatornya adalah pertumbuhan jumlah hotel, mulai dari kelas bintang tiga sampai lima berjejer dari selatan hingga utara.
 

Jika Bali memiliki Pantai Sanur, Kuta atau Legian, maka Pantai Senggigi dianggap mempunyai keindahan setara dengan pantai-pantai terkenal di Pulau Dewata tersebut. Pesisir pantainya asri dengan pasir putih terhampar di sepanjang hampir 10 km. Banyak aktivitas yang dapat Anda lakukan di sini, seperti berenang, bermain kano, menyelam, snorkeling atau sekadar berjemur dan menikmati pemandangan. Jika Anda ingin mengelilingi pantai Senggigi namun tidak ingin cepat lelah, Anda bisa menaiki cidomo, angkutan khas NTB yang ditarik oleh seekor kuda. Atau Anda juga dapat mengelilingi pantai dengan berjalan kaki.
Suasana kian romantis ketika kita menikmati senja merah merona di batas cakrawala. Lukisan alam yang terjadi seakan menepis segala gundah dan melerai rasa letih. Lansekap jingga saat mentari terbenam begitu kontras berpadu dengan gradasi warna biru laut.
 
Pura Batu Bolong merupakan tempat wisata yang bisa ditemukan di pantai ini dengan berjalan kaki santai sekitar 30 menit. Pura ini dibangun di atas karang yang terletak di tepi pantai. Ada legenda yang berkembang mengenai pura di mana kita bisa melihat jelas Gunung Agung di Bali, yakni konon dahulu sering diadakan pengorbanan seorang perawan untuk dipersembahkan kepada ikan hiu di tempat ini. Ada pula legenda lain yang menyebutkan bahwa dahulu banyak para wanita yang menerjunkan diri dari tempat ini ke laut karena patah hati.
 
Tidak jauh dari Batu Bolong terdapat makam seorang ulama. Ini merupakan tempat suci bagi para penganut Wetu Telu. Batu Layar ramai dikunjungi pada saat Lebaran Ketupat, yang dirayakan oleh mereka yang berpuasa satu minggu setelah Idul Fitri.
 
Tersedia tempat penginapan yang representatif buat Anda, mulai dari hotel bintang tiga hingga bintang lima memadati kawasan pantai. Tidak hanya itu, puluhan restoran juga siap memanjakan lidah Anda selama berwisata di sana. Jangan lupa mencicipi hidangan khas Lombok berupa ayam taliwang dan plecing kangkung.
 
Untuk lebih menggencarkan promosi pariwisata kawasan ini, Pemda Kabupaten Lombok Barat setiap pertengahan tahunnya menjadwalkan penyelengaraan Festival Senggigi. Kekayaan atraksi budaya yang dipentaskan selama sepekan penuh tersebut membuat wisatawan terhibur dan kian betah untuk tinggal lebih lama.
 
Oleh-oleh atau cendera mata khas juga tersedia. Tepatnya di Jalan Raya Senggigi Km 7 terdapat pusat perbelanjaan berbagai cendera mata Lombok di Pasar Seni Senggigi (Art Market Senggigi). Pemprov NTB berharap ke depan, tempat ini menjadi surga belanja bagi para wisatawan yang berwisata di Lombok.
 
Pasar Seni Senggigi memiliki sekitar 12 kios (satu kios dihuni 4 – 6 pedagang). Kios-kios ini selesai dibangun dan diresmikan pada 11 Desember 1991 oleh Menteri Pariwisata dan Telekomunikasi Soesilo Sudarman. Di sana juga terdapat sekitar 56 pedagang kecil. Kios-kios cendera mata dibangun dengan bentuk rumah adat NTB yang beratap alang-alang kering.
 
Berbagai macam kerajinan seperti mutiara, gelang, periuk dan anyaman bisa didapatkan di Pasar Seni Senggigi yang buka mulai pukul 09.00 sampai 19.00. Pedagang jenis pengasong cendera mata banyak yang menjajakan berbagai aksesoris hingga di area pantai. Harga yang ditawarkan bervariasi mulai dari Rp 10 ribu s/d Rp 100 ribu.
 
Tidak terlalu sulit sebenarnya mencapai Pantai Senggigi. Jika Anda berangkat dari Bali, tiba di Pelabuhan Lembar, Anda bisa langsung menuju pantai Senggigi menggunakan bis 3/4 atau mencarter mobil bersama penumpang lainnya. Sementara dari Jakarta dan kota besar lainnya, tiba di bandara Lombok, Anda dapat menaiki taksi yang akan mengantar ke hotel tempat Anda menginap. Dari Ampenan, Anda bisa menaiki bemo yang tersedia mulai pukul 06.00 pagi hingga 19.30 dengan biaya sekitar Rp. 1,500 jurusan Ampenan-Senggigi, atau Senggigi-Ampenan.
 
Sumber: perempuan.com
 

Keindahan Pantai Krakal Gunung Kidul



Pantai Krakal ini sebenarnya telah lama mempesona para ahli perencanaan turisme dari luar negeri. Hingga mereka menyarankan bahwa pantai ini harus dipersiapkan sebagai resort pantai, terutama bagi para turis asing (seperti turis resort Nusa Dua di Bali), yang ingin berlibur dengan menikmati indahnya pantai.

Ketertarikan mereka dalam mengelola pantai Krakal ternyata didukung oleh potensi yang menarik, seperti sebuah pantai berpasir putih yang landai yang terbentang sejuh 5 km. Selalu ada matahari yang bersinar dari pagi hingga malam selama musim panas dan hujan. Angin pantai selalu berhembus dengan sepoi-sepoi yang seluruhnya bisa memanjakan para pelacong, baik dalam maupun luar negeri.

Perjalanan menuju pantai Krakal ini juga melintasi bukit-bukit kapur, diselingi dengan teras-teras batu karang. Hal ini merupakan ciri dari daerah Krakal yang dikelola penduduk. Berdasarkan penelitian geologis, pada zaman yang silam, daerah ini merupakan dasar dari lautan yang oleh proses pengangkatan yang terjadi pada kerak bumi, dasar laut ini semakin lama semakin meninggi dan akhirnya muncul sebagai dataran tinggi. Batu-batuan karang yang nampak pada waktu itu merupakan bekas rumah binatang karang yang hidup di air laut saat itu.

Pantai Krakal merupakan pantai yang paling indah, di antara seluruh hamparan pantai di sepanjang pulau Jawa. Pantai ini akan dibangun menjadi kawasan pantai dan perkampungan wisatawan, khususnya wisatawan asing, semacam tourist resort Nusa Dua di pulau Bali. Pantai Krakal, bentuk pantainya landai, berpasir putih, terhampar sepanjang lebih dari 5 km. Pantai ini menerima panas matahari dari pagi hingga petang hari sepanjang tahun. Angin laut yang terhembus sangat sejuk, ombaknya cukup besar.

Meskipun masih satu mata rantai dari kunjungan ke Pantai Baron dan Pantai Kukup, nuansa perjalanan menuju lokasi Pantai Krakal sedikit berbeda. Bahkan boleh dikatakan, Pantai Krakal memberikan gambaran seutuhnya tentang panorama pantai. Disepanjang perjalanan menuju lokasi pantai ini, terlihat keindahan pemandangan bukit-bukit kapur diselingi dengan teras-teras batu karang.



Paduan bebatuan seperti ini dikenal dengan nama daerah karst, yakni bekas dasar laut yang mengalami proses pengangkatan kerak bumi sehingga menjulang ke atas membentuk sebuah dataran tinggi. Batu-batu karang ini dulunya adalah bekas sarang/rumah binatang karang yang hidup pada saat itu. Pantai Krakal relatif landai.
Hal ini memungkinkan sinar mentari menghidupkan cakrawala perpantaian, dan angin laut berhembus dengan sejuk. Pasir putih terhampar cukup panjang di tepian pantai, yakni sekitar 5 km, seolah selalu putih bersih dibasuh oleh deburan ombak yang cukup besar.

Untuk mencapai pantai Krakal Anda harus melalui Wonosari, ibukota kabupaten Gunungkidul, sekitar 38 km dari Yogyakarta. Jalan yang berliku-liku dan menanjak sudah diaspal dengan baik. Pantai Krakal terletak kira-kira 21 kilometer dari Wonosari, lokasinya terletak sekitar 7 km ke timur dari jalan utama yang bercabang ke pantai Baron. Para ahli geologi mengatakan bahwa dahulu, tempat ini berada dibawah permukaan laut.

Di dalam karangnya, masih banyak fosil yang masih dapat ditemukan. Diantara semua pantai yang membentang di pantai Jawa, Krakal adalah yang paling indah dengan pasirnya yang putih dan dikelilingi dengan tebing-tebing. Sementara itu ombaknya yang besar dan juga buihnya yang putih memberikan nuansa lebih pada pantai ini.

Secara keseluruhan, merupakan tempat yang paling cocok untuk berjemur. Pantai ini juga menawarkan tanaman laut yang beraneka macam jenisnya dan beragam warnanya. Pantai Krakal sangat dekat dengan pantai Kukup dan Teluk Baron. Teluk ini kenyataannya adalah merupakan saluran air bawah tanah yang keluar tepat di tepi pantai.

Foto: forum.detik.com
Sumber : perempuan.com

Keindahan Pantai-Pantai di Gunung Kidul (2)

Pantai Kukup Gunung KidulPantai Kukup Gunung Kidul
 

Saya bersama dengan rombongan tim touring jalan-jalan menyusuri sejumlah pantai di Gunung Kidul. Sebenarnya ini adalah agenda akhir tahun kemarin, tapi karena kemarin ada beberapa halangan maka baru bisa terlaksana kemarin.
Touring kali ini sengaja nyari obyek yang tidak jauh dari Jogja, maklum waktu yang ada cukup terbatas.

Dengan rombongan empat motor kami berangkat tanggal 10 sore dengan tujuan pertama pantai Kukup. Kotagede – pantai Kukup kami tempuh dalam 1,5 jam. Sampai di sana yang dicari pertama adalah penginapan. Tidak sulit mencari penginapan di pantai Kukup. Jumlahnya mungkin belasan, dari yang kelas biasa sampai yang kelas lumayan.


Pantai Kukup

Pantai Kukup

Pantai Kukup terletak di sebelah timur pantai Baron dan termasuk salah satu pantai yang mempunyai fasilitas pendukung seperti penginapan dan warung makan yang paling banyak.



Pantai Drini



Ini adalah kedua kalinya saya ke pantai Drini. Pertama main ke sini kira-kira sepuluh tahun yang lalu. Ternyata tidak banyak perubahannya, masih sepi aja. Pantai ini lumayan kecil, diapit oleh dua bukit di sebelah barat dan timur.


Pantai Wediombo



Pantai Wediombo adalah pantai paling timur yang kami jelajahi. Jaraknya sekitar 25 Km kalau dari pantai Kukup. Sesuai dengan namanya, Wediombo mempunyai (pantai) pasir yang cukup luas. 
Di sisi sebelah timur, pantai ini terdapat banyak batu karang yang banyak digunakan sebagai tempat untuk memancing ikan.
Pantai ini sebenarnya mempunyai pemandangan yang cukup menarik, tapi sayangnya masih kurang terjaga kebersihannya.


Pantai Siung

Pantai Siung

Namanya serem juga nih. Siung, kalau dalam bahasa Indonesia berarti taring. Nggak tahu kenapa dinamakan siung. Yang jelas pantai ini menurut saya yang paling menarik diantara beberapa pantai yang kami kunjungi. Pantai ini lumayan ramai dan bersih.
Sama seperti di Wedimbo, di sini juga banyak ditemui para pemancing ikan.


Pantai Timang

Pantai Timang

Pantai ini sepertinya belum dikembangkan sebagai obyek wisata. Ini terlihat dari jalan yang menuju pantai Timang yang lumayan berat. Kami harus melewati jalan berbatu sejauh kurang lebih 3 Km. Sampai di sana pun tidak ada pengunjung lain selain saya cs.


Pantai Krakal



Diantara pantai-pantai lainnya, pantai Krakal termasuk yang paling ramai pengunjungnya, padahal menurut saya pantai ini termasuk biasa saja.


Pantai Sepanjang



Pantai ini masih sepi alias belum banyak pengunjungnya. Dalam touring kemarin total ada enam pantai yang kami kunjungi. Ada beberapa pantai seperti Sundak, Ngobaran, dan Ngrenehan yang kayaknya cukup menarik tapi belum sempat kami kunjungi karena waktu yang cukup terbatas. Mudah-mudahan lain kali bisa ke sana.
 
Secara umum pantai-pantai di Gunung Kidul cukup menarik. Sayang potensi tersebut belum dikembangkan secara maksimal.

Sumber: www.lutfigoblog.com