Minggu, 19 Juni 2011

Dunia Pendidikan dan Budaya Korupsi




Dunia pendidikan kita kini sedang dihadapkan dengan suatu tragedy nasional yang bila tidak disikapi secara arif dapat merusak kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Persoalan yang mencuat bisa terlihat sepele, namun dapat pula menjadi masalah besar yang terkait dengan nilai-nilai moral, akar masalah dari yang kita ributkan selama ini, yaitu masalah budaya korupsi.


Pemunculan kasus ini datang dari suatu keluarga yang melaporkan adanya contekan massal pada Ujian Nasional (UN) Sekolah Dasar (SD) di Gadel, Surabaya, baru-baru ini. Rupanya kecurangan UN  tersebut diakui kebenarannya, namun berdampak pada sang pelapor yang dikecam oleh lingkungannya sendiri. Sang pelapor yang sempat tampil di televisi swasta itu terlihat ketakutan dan berharap tidak perlu dilakukan UN ulangan, demi keselamatan dirinya dari kemarahan tetangganya.    

Menteri Pendidikan Nasional M Nuh sendiri, usai berkunjung ke kampus Universitas Airlangga, Surabaya, Selasa (14/6/2011), sempat memerintahkan jajarannya untuk melakukan ujian ulang menanggapi kecurangan menyontek massal Ujian Nasional tersebut. M Nuh menilai, menyontek masal telah menyalahi prosedur operasional standard (SOP) ujian nasional. Namun, esoknya di Jakarta, Mendiknas menyatakan tidak jadi ujian ulang karena dinilai tidak ada contek massal dengan alasan pola jawaban siswa tidak sama.

Mendiknas menyayangkan adanya penggalangan isu seolah-olah benar terjadi contek massal yang akhirnya menyebabkan konflik sosial. "Jangan dibawa konflik pelapor dengan komunitas di situ (Desa Gadel), dengan memposisikan pelapor pahlawan dan mereka (masyarakat) sebagai pesakitan," kata M Nuh saat jumpa pers di kantornya, Jl Sudirman, Jakarta, Rabu (15/6/2011), seperti ditulis detik.com.

Kasus contekan massal yang mengaitkan nasib Siami, sang pelapor, sudah jelas menimbulkan pro-kontra, sementara berbagai reaksi masyarakat bermunculan. Kita kembali akan diingatkan dengan adanya tentang pro-kontra seputar UN yang digelar untuk tingkat SD, SMP, dan SMA. Kita juga jadi ingat tentang gugatan  terhadap pelaksanaan UN yang dimenangkan masyarakat baik di tingkat pengadilan maupun kasasi Mahkamah Agung, Nopember tahun lalu.

M Nuh mengajak semua pihak melihat kasus ini secara utuh dan proporsional. Apa yang terjadi di SDN Gadel II bukanlah permasalahan sistemik melainkan kasuistis. "Jangan dibawa ke arah konflik sosial. Dari contek, terus UN, terus sistem pendidikan, terus masalah kejujuran. Bukan berarti di satu sekolah terjadi kecurangan, terus di lain tempat juga begitu. Kan tidak otomatis,"  kata M Nuh.

Terbongkarnya kasus contekan massal UN SD di Surabaya, sesungguhnya bukanlah hal mengejutkan bagi banyak orang tua, bahkan masyarakat di banyak tempat. Kita harus mengakui, UN yang digelar selama ini memang merupakan suatu praktek dagelan nasional yang harusnya menampar muka kita semua, yaitu menyangkut praktik pembohongan bersama yang telah kita lakukan. Pemerintah, terutama Mendiknas boleh saja menyebut, tidak ada kebocoran soal-soal UN. Namun coba tanyakan kepada anak-anak kita yang ikut ujian UN tersebut, mereka mengakui mendapatkan bocoran soal-soal UN tersebut.   

Tidaklah salah bila banyak yang menyebut, pelaksanaan UN merupakan salah satu bentuk penyemaian budaya korupsi, dan ironinya hal itu berlangsung dalam dunia pendidikan kita.  “Kasus ini kan permulaan dari kasus-kasus korupsi dan manipulasi yang terjadi di negeri ini. Bayangkan kebohongan ini diakui satu sekolah dan nanti akan menjalar satu desa dan lama-lama satu negara,” ungkap politikus PAN, Abdul Hakam Naja, mengomentari pengusiran terhadap keluarga yang melaporkan aksi menyontek massal Ujian Nasional di SDN Gadel II/577 Surabaya.

Menurut Wakil Ketua Komisi X DPR itu, kejujuran dan korupsi erat kaitannya. Kejujuran seharusnya dibudayakan sejak dini. “Buat saya ini sebuah ujian dan kita membiarkan ini terjadi. Contohnya, kalau preman berkuasa maka yang benar tak berdaya, kita juga tidak bisa apa-apa. Dalam kondisi ini tentu kejahatan akan meraja lela. Ini juga sama dengan kasus di Gadel. Masyarakat memusuhi dan melawan kebenaran maka nantinya kebenaran itu sendiri menjadi tak akan ada. Karena itu perlu tindakan yang tegas," ucap Hakam Naja sebagaimana diberitakan okezone.com.

Praktik penyemaian korupsi melalui pendidikan sesungguhnya tidak hanya melalui UN, melainkan berbagai bentuk lainnya, antara lain lewat penerimaan siswa baru, dan paket pembelian buku awal tahun ajaran baru. Seorang anak lulusan SMP di Tangerang Selatan, misalnya, meminta ayahnya agar dia bisa masuk SMA Negeri yang dia pilih, dengan cara yang diistilahkannya “lewat jalur belakang.” Sang ayah menggeleng kepalanya, dan sang anak menjawab, teman-temannya banyak melakukan “lewat jalur belakang” tersebut, dengan membayar sekitar Rp 10 juta. “Nilai UN teman saya itu jauh lebih rendah dari saya, namun dia diterima karena lewat jalur belakang.”

Sang ayah menolak permintaan anaknya karena menyadari, istilah “lewat jalur belakang” adalah salah satu bentuk praktik korupsi. Dia tidak ingin, anaknya masuk atau memulai pendidikannya dengan cara-cara tidak benar. Dan lebih memilih masuk sekolah swasta saja. Namun kalau masyarakat sudah menerima kenyataan praktik “lewat jalur belakang”, apa kata dunia? Tanpa kita sadari, orang-orang seperti pelapor kecurangan UN SD di gadel Surabaya dikecam, termasuk mereka yang menolak “lewat jalur belakang” dengan tudingan sok idealis, telah dinilai menolak realitas masyarakat.

Akankah terus kita biarkan praktik persemaian budaya korupsi dalam dunia pendidikan kita? Mengapa pemerintah tetap ngotot mempertahankan pelaksanaan UN dengan dalih meningkatkan standar pendidikan kita? Sudah jelas, pelaksanaan UN untuk menentukan kelulusan siswa merupakan pengingkaran terhadap proses belajar di sekolah.

Tanpa kita sadari, dunia pendidikan meligitimasi bahwa “hidup” ditentukan lewat kegiatan akhir, bukan proses yang dilakukan secara bersinambung. Pelaksanaan UN telah mempertontonkan kepada kita secara terbuka adanya praktik kebohongan bersama antara sang anak didik dan sang pendidik, operator pendidikan. Semua ini, produk dari kebijakan pendidikan yang dijalankan oleh pemerintah. Lantas, praktik ini sampai kapan?

Oleh Dr Usman Yatim, M.Pd, M.Sc.

Sumber: www.madina-sk.com

2 komentar:

  1. inspiratif... semoga blog nya jadi investasi amal kebaikan ^^

    BalasHapus
  2. alhamdulillah.... jika bisa menjadi bermanfaat.
    terima kasih.

    BalasHapus