Kamis, 30 Juni 2011

NKRI: Negara Kekhalifahan Raya Indonesia

13093394681539694054


Menyaksikan acara Jakarta Lawyers Club di TVOne kemarin malam. Saya menggaris bawahi pernyataan Sujiwo Tejo sebagai seorang yang anti sistem demokrasi. Karena sistem demokrasi ini justru yang membodohi rakyat lantaran kebenaran akan sesuatu diputuskan oleh angka mayoritas. Kalau semua atau sebagian banyak orang bilang bumi itu datar, maka bumi akan jadi datar. Menurutnya Indonesia harus menerapkan sistem meritokrasi yang kasarannya adalah segala sesuatu harus dipegang oleh ahlinya, sekalipun yang memimpin negara ini menggunakan cara-cara tangan besi.





Mungkin Sujiwo Tejo belum kenyang dengan 32 tahun sistem tangan besi yang pernah diterapkan di negara ini, dan harus ditambah lagi waktunya sampai setelah itu diubah kembali jadi demokrasi. Perlu revolusi dan mengembalikan sistem otoriter ala dua orde terdahulu di republik ini. Mungkin sampai ratusan tahun atau entahlah berapa tahun lagi. Namun persoalannya adalah jika negara ini harus diserahkan kepada ahlinya, sekarang ini coba kita lihat satu bidang saja dahulu. Contohnya di bidang hukum, berapa banyak professor hukum di DPR dan komisi atau lembaga-lembaga penegakkan hukum. Di bidang politik pun nyatanya presiden kita seorang doktor kehormatan bidang politik (diberikan oleh salah satu Universitas di Bangkok). Apa itu bukan ahli namanya. Sebenarnya yang disebut ahli itu atas dasar apa ukurannya? Atas dasar budaya? Gelar intelektual? Atau apa?

Seorang Habibie yang ahli pun juga tidak bisa memimpin negeri ini. Mantan presiden yang katanya salah satu dari manusia jenius di Indonesia itu ternyata tidak begitu ahli dalam soal politik, sehingga mampu dilengserkan pula oleh ahli-ahli politik lainnya. Lalu sang ahli yang bagaimana yang dicari. Apakah ada seorang manusia yang bisa ahli segalanya di seluruh bidang? Pertanyaan selanjutnya adalah, jika misalnya ada satu posisi penting di negeri ini namun banyak sekali ahli yang mampu menduduki posisi itu, lantas siapa yang berhak mendapatkan posisi tersebut? Bagaimana tolak ukur selanjutnya untuk menentukan si ahli yang pantas bagi kedudukan itu, apakah pakai cara frontal sampai peperangan? Pakai cara pemilihan rakyat lagi? Pakai cara fit and proper test? Pakai cara dipilih oleh MPR-DPR ala orde baru? Atau apa?

Toh sistem meritokrasi pernah dipakai di era Soekarno dan Soeharto. Kenapa saya bilang pernah? Bayangkan saja pada masa Soekarno, orang jadi DPR itu apa tidak hebat, pintar, dan ahli. Di zaman yang pasca kemerdekaan itu, menurut saya isi parlemen Republik Indonesia sudah benar-benar mencerminkan Meritokrasi. Tetapi kemudian lambat laun, orang-orang yang ahli itu juga tidak bisa memertahankan dominasi dan kekuasaan mereka akibat gempuran ahli-ahli lainnya. Lalu ahli yang bagaimana yang dicari dalam pandangan Sujiwo Tejo? Apakah yang jujur dan amanah? Kenapa pemilihan presiden tidak sekalian saja pakai alat tes kebohongan yang mirip di film-film agen rahasia kalau sedang menginterogasi mata-mata musuh. Daripada harus dipilih rakyat, kumpulkan saja ahli-ahli itu lalu interogasi satu-satu pakai instrumen pendeteksi kebohongan.

Atau sang ahli-nya dipilih atas dasar agama? Karena agama kan sering digadang-gadang merupakan sumber kebenaran tertinggi dan transendental.

Bicara tentang memilih sang ahli yang mampu memimpin negara berdasarkan ajaran agama. Bertepatan dengan peringatan Isra’ Mi’raj ini, sejak tanggal 27 Juni 2011 kemarin HTI mengadakan konferensi Rajab. Tidak tanggung-tanggung katanya di 29 kota di Indonesia. Sebagaimana sudah diketahui bahwa HTI paling getol menyuarakan agar sistem demokrasi diganti dengan sistem Khalifah. Dalam salah satu hadis Nabi dikatakan pula apabila setiap urusan telah diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat datangnya hari akhir. Doktrin ini sering dipakai untuk menyerang sistem demokrasi, dan tak jauh berbeda dengan perkataan Sujiwo Tejo tentang “sang ahli untuk negeri”. Namun Sujiwo Tejo dalilnya bukan hadis Nabi, tetapi pakai semacam stratifikasi manusia berdasarkan kasta-kasta ala Majapahit dahulu.

Gagasan Sujiwo Tejo dan HTI soal Meritokrasi ini nampak sejalan. Tetapi antara Sujiwo Tejo dan HTI pastinya ada perbedaan. Semalam Sujiwo Tejo tidak memaparkan seperti apa yang disebut “orang ahli” itu dan bagaimana kriterianya. Tetapi kalau HTI sudah jelas, yang dikatakan orang ahli untuk mengurusi urusan negara adalah orang-orang yang mengerti Syariah Islam karena sistem negara ini akan berganti Khalifah. Itupun Syariah Islamnya yang sesuai dengan pemahaman HTI-lah yang paling benar dan harus sejalan dengan mereka.

Jadi ternyata meski gagasan sama namun konsep, mekanisme, dan teknisnya pun berbeda. Atau bisa jadi kalau memang ada revolusi besar-besaran terjadi di Indonesia, dan tiba-tiba negara ini berubah sistemnya menjadi Kekhalifahan, orang-orang seperti Sujiwo Tejo malah mendukungnya. Bukan sesuatu yang mustahil jika NKRI berubah menjadi Negara Kekhalifahan Raya Indonesia dari sebelumnya yang sering dibilang Negara Kafir Republik Indonesia, sebab tak sedikit orang-orang yang mendukungnya. Contohnya di konferensi Rajab yang diadakan oleh HTI, ternyata massa mereka lebih dari puluhan ribu orang. Perbandingannya, jika di Jakarta dan Jawa Barat saja, kira-kira sekitar lima puluh ribu orang menghadiri sebagai partisipan. Maka berapa jumlahnya rata-rata kalau diadakan di 29 kota. Pasti banyak sekali pendukung sistem khalifah ini.

Bukan tidak mungkin jika HTI dengan gagasan sistem Khalifahnya mampu memimpin Republik ini, dan mengakibatkan simpati dan dukungan datang dari organisasi atau partai politik selain HTI. Hal ini dikarenakan adanya cita-cita ideal bahwa Syariah Islam harus ditegakkan dalam sistem pemerintahan. FPI saja telah menyatakan  bahwa, “diakui atau tidak, sebelum merdeka atau setelah merdeka, Indonesia sudah menjadi negara Islam, hanya belum kaffah. Buktinya, mayoritas penduduk Indonesia muslim, Presiden dan Wakil Presidennya pun muslim hingga saat ini.” demikian dikatakan Ustaz Awit dari DPP Front Pembela Islam (FPI) dalam sebuah Tabligh Akbar di Bekasi. Menurut Ustaz Awit, sebuah negara bisa dihukumi sebagai negara Islam, apabila penduduknya mayoritas Islam, dipimpin oleh orang Islam, penduduk umat Islam tersebut diperbolehkan melaksanakan Syariah Islam. Maka negeri bisa dikatakan sebagai negara Islam.

Konsep anti demokrasi bergaung di seantero negeri berikut dalil-dalil pembuktiannya. Tetapi kalau bagi saya pribadi, mau diganti sistem apapun akan tetap sama saja. Mungkin saya akan setuju jika Kekhalifahan berdiri di negeri ini, alasannya bisa jadi ikut-ikutan tren “menunggu juru selamat”, atau mungkin dikarenakan sudah bosan dengar perdebatan soal bentuk negara sejak tahun jebot yang terus dibicarakan, sampai-sampai negara harus dikesankan seolah pintu surga.

Sesekali boleh juga sistem Khalifah diberi kesempatan, lalu kita lihat apa yang bisa diperbuat oleh  sistem yang katanya dibeking dan disponsori oleh Tuhan ini. Kita lihat pula bagaimana “ahli-ahli” sistem itu berkuasa, apakah meniadakan penyembelihan besar-besaran, apakah memeratakan kesejahteraan, atau malah tetap memertontonkan para elit yang ribut berebut kekuasaan tak jauh beda dengan orde-orde sebelumnya.

Kupret El-kazhiem

www.kompasiana.com

1 komentar:

  1. Khilafah islamiyah adalah sistem pemerintahan terbaik, karena umat
    muslim
    akan hidup dengan damai di bawah naungan syariat islam, hal ini juga
    bisa menjadi jawaban akan keterpurukan yang dialami oleh Inodnesia. more info http://transparan.id

    BalasHapus