Minggu, 21 Agustus 2011

Bertaruh Nyawa, Memburu Zakat

13121388721600381646
Pembagian Zakat ricuh (Gb: Samsul Hadi/detikSurabaya)


Di tengah gemuruh nyanyian Nasaruddin dan riuhnya berbagai penyangkalan dari berbagai pihak, masyarakat tampaknya tidak begitu larut dalam pusaran retorika para elit politik tersebut. Memasuki bulan puasa, berbagai ritualitas keagamaan terlihat di sana sini. Banyak ritualitas dan “tradisi” yang tetap dijalankan oleh masyarakat menyongosng datangnya bulan puasa ini. Beberapa ritualitas dan “tradisi” di antaranya, telah dikupas oleh kawan-kawan  kompasianer di sini.

Yang sangat membahagiakan, ternyata animo masyarakat untuk saling berbagi kepada sesamanya juga masih tetap tinggi. Kegiatan pemberian zakat, dua hari terakhir ini terlihat sangat menonjol. Hari-hari ke depan, dapat dipastikan kegiatan seperti ini akan semakin masif dilakukan oleh berbagai pihak, perorangan, organisasi (sosial atau politik) atau mungkin saja, pimpinan lembaga negara.

H. Sagi,  seorang pedagang emas di Jakarta, melaksanakan pembagian zakat di Kecamatan Ampek Koto Aur Malintang, Padang Pariaman, Sumatra Barat, 30 Juli 2011. Ribuan warga mendatangi tempat pembagian zakat. Pembagian zakat menjadi kisruh, saling dorong, untuk mendapatkan uang Rp 20 ribu sampai Rp 80 ribu. Beberapa orang tua yang membawa anak kecil dievakuasi. (Metro Siang, 30/7/2011). Mantan Gubernur Jawa Timur Imam Utomo, menjelang puasa tahun ini, juga melaksanakan kegiatan pemberian zakat yang diadakan di Jombang (30/7/2011). Ribuan warga berebut uang pecahan Rp 20 ribu. Kegiatan ini pun berlangsung ricuh, panitia akhirnya menghentikannya. Imam Utomo  pun dievakuasi karena dikejar-kejar massa.

H. Sagi ataupun Imam Utomo merupakan sosok yang memiliki niat dan semangat untuk saling berbagi, terutama terkait dengan momen bulan Ramadhan. Tentu saja, niat dan semangat seperti ini, sudah sepatutnya diapresiasi. Meskipun di sisi lain, kita menyaksikan ada sesuatu yang sebenarnya terasa aneh kalau kita lihat respon dari masyarakat terhadap kegiatan pembagian zakat, di tengah berbagai klaim kesuksesan pemerintah dalam program penanggulangan kemiskinan. Dari dua kasus tersebut di atas saja, kita bisa membayangkan,  ribuan orang, antri berjam-jam, berdesak-desakan dan  saling dorong, sekedar mendapatkan uang, yang nilainya barangkali bagi seorang elit politik, seharga satu gelas minuman di Restoran. Ataupun barangkali hanya sepersepuluh persen dari tips yang ia berikan kepada seorang pelayan kafe.

Badan resmi semacam BAZIS (Badan Amal Zakat Infaq dan Sodaqoh) sebenarnya sudah ada. Tetapi pertanyaannya, apakah sebenarnya lembaga ini, tidak cukup memadai untuk mengakomodir kegiatan pembagian zakat semacam ini. Tidak berfungsi atau tidak difungsikan? Masyarakat yang berbondong-bondong dan seringkali menanggung bahaya pun, sebenarnya tidak bisa disalahkan begitu saja, toh nyatanya sangat membutuhkan. Uang yang bagi sebagian orang, dianggap kecil nilainya, baginya sangat berarti.

Kedepan terutama menjelang lebaran, maupun pada saat lebaran, kegiatan semacam ini semakin intens dilaksanakan. Harus diakui,  motif dan semangat untuk melakukannya tidak 100% murni atas dasar dorongan spiritual ataupun solidaritas sosial. Tetapi tidak sepatutnyalah  bila penerima zakat, ditempatkan sebagai objek yang diperlakukan tidak manusiawi. Beberapa waktu lalu,  kegiatan semacam ini ada yang berakhir tragis. Di tahun 2008, di Pasuruan Jawa Timur, 21 orang tewas akibat berdesak-desakan untuk mendapatkan uang Rp. 30 ribu rupiah dari seorang yang melaksanakan pembagian zakat. Kericuhan-kericuhan hampir terjadi setiap tahunnya.

Tentu saja pemerintah harus berkaca dari berbagai peristiwa dan mengambil langkah antisipasi. Penerapan sistem perlindungan sosial pun sampai saat ini belum bersifat nyata, sebagaimana amanat konstitusi. Maka jangan salahkan bila rakyat negeri ini, masih ada yang rela mempertaruhkan nyawa, sekedar mengais recehan dari kemurahan hati para dermawan dan dermawati.

Akhmad Rozi

Sumber: www.kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar