Kamis, 18 Agustus 2011

"Dul van Gubug" Pendiri Agrakom (detik.com)

 
 
Kawan, berkembangnya dunia internet di tanah air yang kita nikmati sekarang ini ternyata tidak bisa dilepaskan dari peran wong Grobogan yang bernama Abdul Rahman. Kisah sukses Abdul Rahman yang berasal dari keluarga petani di Gubug itu telah dimuat di Majalah SWA edisi No. 21 bulan Oktober 2009 dan akan dipaparkan disini oleh pgy dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 2009. 

Sebenarnya banyak kiprah sukses pemuda-pemuda Grobogan.Kali ini Abdul Rahman yang dipilih. Pemuatan kisahnya hanya satu tujuan : Semoga memberi inspirasi bagi pemuda-pemudi Grobogan untuk tidak takut untuk bermimpi besar dan tidak pantang menyerah menghadapi keadaan dalam menggapai mimpinya itu. Kuncinya seperti cerita di bawah nanti adalah tekun belajar dan menyukai tantangan. Kita pasti bisa......


 
 
 
PERJALANAN MENDAKI “Dul van Gubug”

Walau lahir di desa dan dibesarkan di kota kecil, Abdul Rahman mampu mengibarkan diri jadi perintis bisnis modern dotcom di Indonesia. Bagaimana perjalanan sukses pendiri Agrakom ini?

“Wah, Mas Dul bakalan kaya.Liat aja nanti, umur 40-an ”. Abdul Rahman, yang dipanggil Mas Dul itu, Cuma senyum-senyum.Juga teman-teman lain yang diramal rezekinya bakal biasa-biasa saja.Mungkin karena ramal-meramal itu dilakukan di antara beberapa pitcher bir yang telah hampir tandas.Atau mungkin juga, karena peramalnya hanyalah rekan wartawan yang, pada sore di awal tahun 1990-an itu, santai bersama selepas tekanan deadline.

Belasan tahun kemudian, ketika di sebuah kafe di bilangan Pondok Indah diingatkan tentang ramalan tersebut, Mas Dul yang sama cuma bilang, “ Udah lupa.” Lagi pula, lanjutnya cepat, “Aku nggak percaya pada ramalan.”

Bagi AR, demikian Dul kerap disebut,segala sesuatu hanya layak dipercaya kalau dapat diterangkan dengan logika.Padahal, perjalanan sukses AR sendiri terbilang unbelievable. Lompatan yang dia lakukan kelewat besar. Dari segi “ geografi ”, lompatan tersebut dari kampung halaman di pelosok Jawa Tengah bernama Gubug ke perumahan elite Pondok Indah dan, dari segi karier, dari seorang yang tak punya pekerjaan tetap menjadi co-founder,co-owner sekaligus CEO bisnis dotcom terakbar di Indonesia yang terus berkembang pesat : PT Agranet Mulicitra Siberkom alias Agrakom.

Saat ini, AR menyebutkan,jumlah karyawan Agrakom sebanyak 300-an.“Masih kecil…”ujarnya.Lelaki yang hobi menyelam ini jelas merendah.Agrakom, kita tahu, tak lain adalah pemilik Detikcom, kampiun situs berita online.Sebab itu, bisa ditebak, mereka mendominasi pasar iklan internet di Tanah Air.Kalau Detikcom menggengam 30% pasar iklan dunia maya yang pada 2008 bernilai US$ 15-20 juta, ini perkiraan yang cukup konservatif dari bisnis ini saja Agrakom telah meraup pendapatan US$ 5-6 juta, atau Rp. 50-60 miliar.Ditambah pendapatan dari bisnis lain, Salah satunya ring-backtone, pada tahun lalu diperkirakan perusahaan mereka menangguk revenues Rp. 85-100 miliar.

Didirikan pada September 1995,Agrakom bermula dari pertemuan Dul dengan Didi Nugrohadi yang, bersama Winardi (dan seorang mitra lagi bernama Armin), telah menggeluti bisnis creative advertising sejak awal 1994.Memiliki jejaring yang cukup luas,terutama berkat (almarhum) Winardi, mantan fotografer Majalah Tempo dan Editor yang kenal dekat dengan banyak petinggi BUMN, perusahaan yang mereka besut,PT Agra Kreatif Indikom, telah cukup maju.

“Waktu itu kami punya uang cukup banyak,” tutur Didi. Namun Budiono Dharsono, yang bergabung dengan Agra setelah tabloid Detik tempat dia menjadi redaktur pelaksana dibredel pemerintah Soeharto, meyakinkanya, “Kita mesti berbisnis sesuatu yang bagus, yang baru dan orang lain belum punya.” Budiono inilah yang memperkenalkan Didi dengan Dul.Merasa cocok, Dul sepakat memperkenalkan orang-orang Agra dengan Internet yang pada waktu itu, awal 1995, masih baru. “ Bisnis Internet muncul dari Abdul, 100% Abdul,” ujar Didi.

Ketika merencanakan Agrakom, Dul yang Masih menjadi Redaktur Khusus SWA menepati posisi komisaris.Dan Agra, Didi dan Budiono bergabung dibisnis baru ini, sementara Winardi, lulusan Sekolah Tinggi Seni Rupa Asri yang tak begitu tertarik pada teknologi, menjalankan Agra. Untuk menangani masalah teknis, mereka merekut Yayan Sopyan, mantan wartawan Detik.

“Kami punya uang,“ tutur Didi. “Meski uang kami tidak banyak, kami pakai uang sendiri, sekitar Rp 200 juta.” Pada masa prakrisis 1997, dengan kurs Rp. 2500/US$, modal yang “tak banyak” itu cukup buat menyewa kantor kecil Stadion Lebak Bulus, membayar gaji 8 karyawan (termasuk dua programmer dan dua desainer) dan, terutama, membeli peranti lunak Internat yang di Indonesia masih langka.

Mulanya, Dul berpikir ingin membuat bisnis Internet service provider (ISP).Akan tetapi di era Orde Baru itu, perizinan yang memerlukan infrastruktur telekomunikasi ini sangat rumit. “Orang mengira dalam bisnis itu yang sulit adalah modal.” Ujarnya . “Menurut pengalaman, di sini yang rumit justru perizinan.”

Kendala perizinan tersebut, dan munculnya banyak ISP yang didukung perusahaan besar, memaksa Dul mencari bisnis alternative. Dia lalu menyadari bahwa Internet bukanlah tentang teknologi. “Jadi, dari awal aku melihat Internet adalah tentang komunikasi,“ ujarnya. Maka, diarahkannya Agrakom sebagai penyedia solusi komunikasi online. Waktu itu, kalangan ISP juga menyediakan jasa pembuatan situs Web, tetapi Agrakom-lah perusahaan pertama yang menjadi penyedia jasa desain situs Web murni.

Sebagai perusahaan dengan jasa desain sebagai bisnis inti,Agrakom tentu terdorong memberikan desain Web yang terbaik komunikatif, enak dilihat, dan mudah diakses.Tak heran kalau Dul dan kawan-kawan mampu mengalahkan para pesaing yang, karena bisnisnya yang berbasis teknologi, tak terlalu memahami visi para pengguna. “Mereka hanya bikin yang asal mudah diakses saja.” Ujarnya.

Pada 1995 itu, kebanyakan perusahaan belum merasa perlu menyajikan informasi di dunia maya dan baru kalangan media yang menjejakkan kaki kekanal komunikasi yang belum banyak dikenal itu.Sebab itu, tak mengherankan, Agrakom menetapkan Kompas, kampiun industri media massa di Indonesia, sebagai target pertama. Waktu itu, harian dengan tiras terbesar ini telah memiliki situs Web.Kenyataan bahwa mereka menerima desain situs baru yang ditawarkan Agrakom menunjukkan kejelian Dul memilih model bisnis.

Sukses dengan Kompas, raksasa media yang high profile itu, menarik media besar lain,termasuk Bisnis Indonesia dan Infobank, mengetuk pintu Agrakom.Setelah itu, dan sejalan dengan semakin populernya Internet sebagai media komunikasi bisnis, berdatangan pula perusahaan-perusahaan besar lain dari beragam industri menjadi klien Agrakom.Sebut saja Grup Ciputra,PT Timah (Persero) dan Oto Multiartha.

“Segala sesuatu hanya layak dipercaya kalau dapat diterangkan dengan logika.”

Alhasil, menurut catatan Kontan, dalam dua tahun Agrakom berhasil menangguk pendapatan US$ 800.000 (waktu itu sekitar Rp. 20 miliar).Sukses awal ini ditandai dengan pindahnya kantor Agrakom dari lantai 2 ke lantai 1 yang lebih luas, walau masih di gedung yang sama, Stadion Lebak Bulus, Jakarta Selatan, buat menampung karyawan yang telah bertambah 30-an.Perkembangan bisnis Agrakom yang cepat juga membuat pengusaha lain mencium peluang dan menjajakan jasa situs Web.

Kendati demikian, bukan persaingan yang mengeras yang membuat pendapatan Agrakom terjun bebas. Yang membuat mereka gonjang-ganjing adalah krisis moneter yang melanda Tanah Air pada Oktober 1997. Permintaan klien yang bisnisnya terpuruk untuk mengubah standar biaya dolar yang dikutip Agrakom menjadi rupiah membuat pendapatan menurun, sementara biaya terus membengka.Maka, perusahaan-perusahaan dotcom pun mulai bertumbangan.

Agrakom masih mampu bertahan, karena tertolong oleh jasa pemeliharaan situs Web yang masih terus dibayar oleh klien. “Mereka, para klien itu, tak mau situsnya mati begitu saja,“ ujar Dul.Hal lain yang menolong, Agrakom sempat mendiversifikasi bisnis dengan mendirikan perusahaan public relations.

Namun, order yang merosot drastis membuat banyak tenaga menganggur,tenaga terlatih yang waktu itu cukup langka sehingga sayang kalau dilepas.Maka, para petinggi Agrarom berupaya keras mencari terobosan. Terpikir oleh mereka untuk membangun situs Web milik Agrakom sendiri.Salah satunya, yang terpikir oleh Dul, situs dengan search engine seperti Yahoo! “Tapi, kalau search engine global, pasti nggak bisa bersaing dengan Yahoo!” ujarnya. Dan, Dul tak menemukan bentuk search engine global khusus (yang belakangan sukses melahirkan alibaba.com dan lain-lain di Cina, negeri dengan system informasi tertulis yang unit itu).

Akhirnya, kita tahu, Agrakom meluncurkan situs berita online, pada 8 Juli 1998. “ Ide itu bukan dari aku, melainkan Budiono dan Yayan,” ujar Dul sambil menghirup anggurnya. Budiono juga yang merancang dan mengupayakan namanya, mengambil nama tabloid yang pernah digawanginya : Detikcom.

Awalnya situs yang sejak awal dirancang selalu menampilkan breaking news yang selalu di update ini model CNN tetapi mengambil bentuk media tulis online mencari media yang telah ada sebagai mitra.Karena tak ada yang berminat, mereka merekrut tiga wartawan.

Lagi-lagi, langkah Agrakom tersebut mengundang masuknya pesaing.Bahkan pesaing itu, Astaga.com, menyerbu dengan otot capital yang lebih kuat.Didirikan oleh seorang ekspatriat yang telah memilik jejaring Internasional, astaga.com berhasil menarik modal ventura.Setelah itu Indo.com (e-commerce) dan Jatis (software house) juga berhasil membangun otot capital yang kuat dengan bantuan perusahaan modal ventura dan bank investasi Internasional senilai jutaan dolar AS.

Dari satu sisi, terlihat posisi Agrakom terjepit bak pelanduk di tengah kawanan gajah.Namun Dul justru melihat sebuah peluang : bisnis Dotcom Indonesia telah dilirik oleh pemodal Internasional.Optimisme ini bertambah setelah Detikcom mendapat pinangan dari media asing. “Tawaran itu aku tolak karena mereka mau ambil semuanya,” ujarnya.

Untuk mendapatkan modal yang tepat, Dul melakukan pencarian di Internet. “ Aku kirim e-mail ke beberapa perusahaan keuangan diluar negeri,“ tuturnya, “Baru, setelah ada kecocokan, aku dan Budi(ono) ketemu wakil dari Tech Pacific dari Hongkong, di Singapura.”

Dalam pertemuan pada November 1999 tersebut, Dul membeberkan bahwa Astaga.com berhasil menarik modal ventura US$ 7 JUTA. Artinya, valuasi Astaga.com pasti jauh diatas US$ 7 juta. Lalu, dia menawarkan 16,7% saham Agrakom senilai US$ 1 juta. Artinya, keseluruhan perusahaan yang menjadi perintis bisnis berita online dan telah memiliki situs Web yang terus di update hanya di valuasi US$ 6 juta, jauh lebih kecil dari valuasi Astaga.com yang belum punya produk.

“Pembicaraan hanya berlangsung beberapa menit,” tutur Dul. “Setelah syarat dipenuhi, mereka langsung teken kontrak kerja sama.” Syarat yang diajukan Tech Pacific? Sebagai jaminan bahwa Detikcom akan dijalankan dengan serius, Dul diharuskan in-charge penuh dalam manajemen Agrakom. Agaknya, orang-orang dari boutique distributor teknologi informasi yang didirikan di Melbourne pada1985 itu tahu betul bahwa otak dari Agrakom adalah Abdul Rahman. Didi, salah satu pendiri Agrakom, juga menandaskan peran sentral AR. “Kalau tidak ada Dul,” ujarnya dalam wawancara melalui telepon dengan SWA, “tidak akan ada Detikcom.” Dialah yang memperkenalkan Internet dan menyakinkan bahwa Internet adalah bisnis masa depan. Bahkan sejak awal, waktu Dul masih di SWA dan cuma ke kantor Agrakom di Lebak Bulus tiga kali seminggu, lanjut Didi, “Setiap pembuatan proposal selalu melibatkan dia. Kami selalu minta opininya.”

Memenuhi komitmen dengan Tech Pacific, pada 2000 Dul menanggalkan baju wartawannya dan menerima jabatan sebagai CEO. “Budi(ono) milih jadi Pemred Detikcom,” tuturnya.

Setelah itu, seperti kata orang, adalah sejarah.Agrakom merekut lebih banyak wartawan dan pada 2001 mulai membukukan laba setelah menderita kerugian kecil pada 1999.Dan sekarang setelah Winardi dan Amin serta Yayan dan Didi keluar, Calvin Lukmantara damn Mitsui masuk, Tech Pacific melepas saham Agrakom ke Tiger Fund Singapura dengan pendapatan menebus Rp. 100 miliar, laba agrakom tentu tak kecil lagi.

Dan laba ini akan terus menggelembung dengan membesarnya kue iklan online serta tumbuhnya produk Detikcom.Kue iklan online misalnya, nilai pasar US$ 15 juta sampai US$ 20 juta itu baru sekitar 0,5 % belanja iklan total. Jadi, kalaupun belanja iklan secara keseluruhan tak bisa tumbuh kelewat bongsor, masih sangat luas ruang bagi kue iklan online untuk mengembang.Sebai gambaran, kue iklan online di Amerika Serikat mencapai 18%. Tak mengherankan, Dul pun optimis, “Pendapatan iklan tahun ini akan tumbuh hamper 100 %.

Apa yang membuat Abdul Rahman, yang berasal dari keluarga petani di Gubug, sebuah kecamatan di pelosok Jawa Tengah yang diapait dua pegunungan kapur, begitu jeli menangkap peluang bisnis yang bahkan tak terdeteksi oleh radar orang-orang pintar dari kota besar? Kalau anda menebak karena Dul van gubug sangat cerdas dan suka tantangan, itu tak salah.Ismed Surachmad, psikolog yang pernah menjadi staf sumber daya manusia Tempo ketika Dul menjadi wartawan disana pada 1983-84, mengatakan bahwa Dul memiliki IQ tinggi. “ Dia, bersama Bambang Harymurti, sudah dijagokan menjadi pemred to be,“ ujarnya. Belakangan, Bambang terbukti menggantikan Goenawan Mohamad sebagai Pemimpin Redaksi Tempo.

Dul yang enggan menetap sebagai wartawan tentu saja tak menjadi pemred.Akan tetapi keputusannya, dan terutama keberaniannya untuk tidak terikat pada pekerjaan tetap, itu ikut menempatkannya pada posisi yang tepat ketika peluang datang.Dalam keadaan seperti ini, IQ Dul yang tinggi dan keberaniannya mencari tantangan jadi faktor penentu dalam menangkap peluang bisnis?

Sekali lagi, tak salah, tetapi juga seluruhnya betul, sebab Dul bukanlah satu-satunya wartawan yang cerdas, berani ambil resiko dan mau kerja keras. Banyak faktor yang membuat Dul siap ketika peluang datang dan faktor-faktor tersebut umumnya tak dapat dikontrol, bersifat kebetulan.

Lazimnya, tempat dan lingkungan kelahiran di daerah yang kelewat udik membuat orang terkungkung dalam tempurung keterbelakangan desa.Pada Dul, hal ini tak terjadi karena berkat fackor eksternal seperti itu.Di sekolahnya, satu-satunya SD negeri di Gubug, kebetulan dia memiliki seorang guru yang mampu membukakan cakrawala ke dunia luar. “ Namanya Pak Yadi, ” katanya tanpa menyembunyikan rasa syukur. “ Dia bukan cuma bagus ngajarnya, tapi juga membangkitkan semangat.”

Selain itu,faktor kedua dan yang tak kalah penting, desa yang minim fasilitas tersebut juga memungkinkan imajinasinya berkembang.Pasalnya, di dekat rumah ada taman bacaan, alias kios persewaan buku (umumnya komik dan novel) yang di kota besar semacam Jakarta marak pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, sehingga minat bacanya bisa tumbuh subur. “ Di situ aku mengenal buku-buku Kho Ping Hoo,” tuturnya.

Karena otaknya encer, kegetolan Dul kecil membaca bermacam-macam buku tak menghalangi prestasi sekolahnya.Pada 1971, dia lulus SD dengan nilai sempurna, seluruh mata pelajaran yang diujikan waktu itu Berhitung, Bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Alam mendapat nilai 10.

Dul kecil meneruskan SMP di kota yang lebih besar, Kudus.Karena nilai kelulusan SD-nya yang bagus, dia tenang saja ketika didaftarkan di SMP negeri satu-satunya di Kota Keretek itu.Dia tak tahu, karena pindahan dari desa, dia ditempatkan sebagai cadangan. “ Waktu itu ibuku berjuang keras sampai aku dapat kelas, “ tuturnya dengan rasa haru.

Bagi seorang Dul, ibunya yang bernama Siri Muanah adalah segalanya. Memang, Dul juga bercerita tentang ayahnya, Muhammad Karamah, tetapi hanya yang terkait dengan hal-hal yang membuat ibunya menjadi pejuang yang hebat bagi anak-anaknya. “Kakekku orang Arab asli,” tuturnya. Sang kakek bercerai dari neneknya, anak seorang kepala desa di Gubug, ketika ayah Dul masih kecil. “Lalu nenekku itu kawin lagi dengan orang kaya di desa dan punya 2-3 anak lagi.”

Mendapat pendidikan yang cukup baik, Muhammad sempat jadi manajer di sebuah perusahaan rokok kecil. Namun, ayah Dul kemudian memutuskan jadi pedagang. Berpatungan dengan para pedagang tekstil di Solo, semua orang Arab, suatu hari sang ayah kebagian tugas kulakan. Hasilnya? Bangkrut. Karena, tutur Dul, “Gerbong yang mengangkut barang-barang yang dia beli dari Jakarta hilang.” Pada masa perang kemerdekaan itu, gerbong barang memang sering dijarah dalam perjalanan.

Muhammad pun lalu memboyongkan mudik keluarganya. Untungnya, ayah Dul pandai bergaul. Dia bisa main main bridge dan lancar berbahasa belanda maupun arab sehingga cepat akrab dengan pejabat desa dan para pedagang Cina. Hubungan dengan pedagang Cina itu, seorang pedagang beras, nantinya membantu sang ayah membeli lahan dan menata-ulang hidupnya sebagai petani.

Dalam keadaan terpuruk itulah, Siri sang ibu bermetamorfosis dari seorang ibu rumah tangga biasa menjadi pejuang yang gigih bagi anak-anaknya. “ Ibuku dari Kudus,” kata AR. Karena berasal dari daerah yang lebih maju perdagangan, bahkan industri, telah tumbuh dikota yang dekat dengan Demak, pusat kekuasaan baru setelah Majapahit runtuh pada awal abad ke 16 Siri memiliki ketrampilan lebih dibanding kaum perempuan Gubug. Maka, dituntut oleh keadaan, ibu tujuh anak itu lalu membuka usaha jahitan, kemudian juga sebuah toko pakaian kecil. “ waktu itu, jahitan kebaya ibuku dikenal sampai ke Purwodadi.”

Memiliki keberdayaan secara financial, Siri yang sadar pentingnya pendidikan mengirim semua anaknya ke Kudus selulus SD. Di kota itu, Dul dan saudara-saudaranya dititipkan ke neneknya. Kudus membuka lebih luas cakrawala berpikir Dul. Kota yang lebih besar tidak hanya menyediakan fasilitas pendidikan yang lebih baik, tetapi juga lingkungan yang lebih kompetitif, yang memaksa seorang anak berupaya lebih keras dan mengasah bakatnya mendekati batas. Dan Dul mendapatkan lebih dari yang bisa diharapkan dari sebuah kota kabupaten. Faktor plus itu adalah: “Aku ketemu Waskito.”

Pertemanan dengan Waskito ini layak disebut khusus karena teman SMP yang berasal dari keluarga relative kaya ini ayah Waskito yang petinggi Dinas Pertanian setempat menyediakan banyak buku dan kaset musik buat sang anak membukakan Dul akses pada hal yang hanya dapat dinikmati anak-anak yang beruntung di kota besar.Dengan sobat sebaya yang juga memiliki minat luas itu, tuturnya, “ Aku bisa diskusi filsafat, sastra, sejarah, geografi : dengar macam-macam musik, bikin komik…”

Keberuntungan Dul mendapat teman yang secara tak sengaja memperluas cakrawala pengetahuan berlanjut. Temannya di SMA, Nalini yang anak dokter, memungkinkannya melahap beragam buku dalam bahasa Inggris yang langka di sebuah kota kecil.

Alhasil berkat dua “sparing partner” yang luar biasa tersebut. Nalini sekarang dikenal sebagai dr.Nalini Muhdi SpKJ(K), dosen Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dan Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia Cabang Surabaya Dul menjadi mahasiswa yang memiliki bekal yang jauh lebih banyak ketimbang kebanyakan mahasiswa, bahkan yang berasal dari kota besar.Apalagi, latih tanding intelektual dengan Waskito yang kuliah di Yogyakarta terus berlanjut (sampai penyakit yang tak diketahui sebabnya memaksa dia jebol kuliah dari FISIP Universitas Gajah Mada).

Pilihan Dul belajar di Jurusan Fisika F-MIPA UGM, bertentangan dengan keinginan orang tua yang ingin dia jadi insinyur, juga memberi keuntungan sendiri.

“Waktu itu aku mau yang aku senang aja,” ujarnya tentang alasan memilih kuliah di Fakultas yang “kering” itu.Pilihan yang senang-senang ini ternyata memperkenalkan Dul pada komputer pada usia yang cukup dini.Apalagi, dia mengambil spesialisasi fisika teori yang, karena melibatkan perhitungan-perhitungan rumit,mengharuskannya belajar pemrograman secara cukup mendalam.Keuntungan lain, atmosfer “Kampus Ndeso” yang egaliter memperkental gaya kasual dan informal Dul--gaya yang ternyata paling pas buat memimpin orang-orang kreatif di bisnis superkreatif semacam dotcom.Setelah menyabet predikat lulusan tercepat.

“Yang aku lakukan sekarang ini, menjadi kaya, bukanlah obsesiku.”
“Waktu aku lulus pada 1982, belum ada kakak kelas yang lulus…”Dul sempat ingin jadi dosen di almamaternya. Tetapi, keinginan ini langsung pupus begitu dia dihadapkan pada setumpuk formulir litsus (penelitian khusus oleh Orde Baru buat menyaring orang-orang yang kelewat kritis dari system pendidikan) yang harus diisi. “Aku jadi males,” ujarnya.

Kebetulan, Tempo dan IBM pasang iklan lowongan di kampus. Dul melamar dan diterima di dua perusahaan itu. Dia memilih jadi wartawan. Alasannya? “Aku ini agak gagap, sulit berkomunikasi (terutama) dengan orang baru,” katanya mengakui. “Dengan jadi wartawan, aku pikir akan bisa belajar mengatasi kelemahanku.”

Pilihan untuk “belajar berkomunikasi” ini konsisten. Sebelumnya, ketika memilih jadi dosen (yang juga mengharuskan keterampilan komunikasi yang baik), Dul juga pernah melepas peluang masuk ke Schlumberger, perusahaan ekplorasi tambang internasional yang menawarkan gaji jauh lebih besar.

Akan tetapi, kegandrungan Dul belajar hal-hal baru tak membuatnya bisa bertahan lama di Tempo. Belum genap setahun di majalah berita mingguan ini, dia mengundurkan diri pada awal 1984. “Aku waktu itu pengen mengerjakan sesuatu yang lain,” tuturnya, sesuatu yang agaknya menjadi obsesi besarnya sampai saat ini.

Dul enggan menceritakan obsesinya tersebut, tetapi selama dua-tiga bulan dia menggelandang dari satu ke lain perpustakaan dan tempat-tempat bersejarah. Uang yang menipis mungkin mendorongnya untuk balik lagi ke Tempo pada Maret 1984. Pada periode ke-2 Tempo ini dia, atas inisiatif sendiri, meringkas buku-buku menarik – termasuk biografi Albert Einstein dan Jenderal Besar Benitto Musolini – dan diserahkan kepada wartawan senior yang membawahkannya. Tulisan tersebut ternyata dimuat dalam rubrik Selingan Tempo.

Artinya, hanya dalam tempo setahun menjadi wartawan, tulisan Dul telah “layak Tempo.” Tuturnya: “Dulu wartawan Tempo perlu waktu tiga tahun sebelum tulisannya dimuat di situ…”Upaya ekstra membuat Dul menonjol. Namun, seperti kata Malcolm Gladwell dalam Outliers, diperlukan banyak keberuntungan untuk menjadikan seseorang luar biasa menonjol. Lingkungan (ibu, teman-teman) yang kebetulan kondusif telah memungkinkan Dul yang cerdas dan pekerja keras bekal yang cukup untuk untuk mempelajari hal-hal baru. Dan pada periode ke-2 Tempo itu, kebetulan lain menunggu. Ditempatkan satu ruangan dengan beberapa wartawan senior yang ditugaskan mempersiapkan kelahiran sebuah majalah bisnis baru, dia mendapat peluang ikut membantu kelahiran Swasembada.

Maka, ketika pada 1985 Dul hengkang lagi dari Tempo, dia ditawari masuk SWA. Kali ini dia betah karena SWA yang waktu itu terbit bulanan memberikan waktu luang lebih banyak? Tidak juga. Lagi-lagi dengan alasan “Aku pengen mengerjakan sesuatu yang lain”, Dul mengundurkan diri pada 1986, dan hanya bersedia jadi penulis paruh waktu.

Waktu itu industri pers telah melengkapi diri dengan PC sehingga Dul menyentuh computer lagi. Rutinitas rupanya membosankan Dul. Maka, ketika Zaim Uchrowi (mantan wartawan Tempo yang sekarang menjadi Direktur Utama Balai Pustaka) memintanya membantu membenahi Berita Buana yang waktu itu diambilalih Sutrisno Bachir (sekarang menjadi Ketua PAN), dia lompat kapal. Periode harian Berita Buana (1988-90) itu lalu diteruskan dengan periode majalah mingguan bisnis Prospek (1990-93). Kedua media ini memang kandas, tetapi memberikan Dul pengalaman berharga mengelola dan memimpin bisnis baru yang cukup besar – sebuah pelajaran yang tak ternilai harganya.

Ketika begabung lagi dengan SWA, masih Redaktur Khusus, cikal bakal internet telah tumbuh. Dul yang telah cukup lama memiliki PC (benda pintar ini, pada akhir 1980-an, termasuk barang mahal bagi kantong kebanyakan wartawan) di rumah, mulai berlangganan Bulletin Board Service (BBS),layanan online yang memungkinkan penggunanya mengisi dan mengambil file yang ada di dalamnya (dan lebih mahal lagi bagi kantong wartawan).

“Untuk bayar langganan CompuServe aja US$ 25/jam,” tuturnya. “Itu belum termasuk biaya telepon , karena koneksi melalui dialup dan lambat.” CompuServe, kita tahu, adalah Divisi Layanan Informasi milik AOL, yang merupakan perintis global bisnis online service provider dan ISP.

Dengan demikian,Dul termasuk satu dari sedikit orang di Indonesia yang sejak dini mengenal Internet dan pemrograman.Selain itu , walau tak bisa dikatakan muda dari segi usia-AR lahir pada 13 Januari 1959-Dul waktu itu tak menjadi pegawai tetap institusi bisnis mana pun sehingga, serupa tetapi tak sama dengan Bill Gates atau Steve Jobs yang belum terikat pekerjaan tetap, tak mempertaruhkan sesuatu yang kelewat besar untuk terjun ke bisnis baru yang belum teruji. Apalagi, mitranya juga juga tak keberatan kalau dia juga hanya menjadi komisaris yang ke kantor tiga kali seminggu.

Ada lagi fakor kebetulan yang memungkinkan Dul mencatatkan namanya sebagai perintis bisnis dotcom di Tanah Air? Ya. “Aku kebetulan jadi wartawan,” katanya. Kebetulan yang satu ini, menurut lelaki yang menjaga kesehatannya melalui diet rendah karbohidrat ini, memberinya tiga advantages.
“Aku nggak peduli orang mau ngomong apa, bahkan nggak merasa perlu membuktikan apapun kepada siapa pun bahwa aku bisa sukses.”


ABDUL RAHMAN

Pertama, karena profesi sebagai wartawan memungkinkan Dul mendapat informasi terbaru, dia bisa menangkap arti penting perkembangan teknologi Internet sejak sangat dini. Lead time ini, ditambah pemahamannya yang sangaat cukup bagus tentang pemrograman dan komputer, membuatnya dengan cepat menyadari peluang yang ditawarkan oleh revolusi teknologi yang ternyata sangat disruptif, mengubah total lanskap bisnis itu.

Kedua, jam terbangnya yang cukup tinggi (sekitar 12 tahun) sebagai wartawan, dan di berbagai media pula, bukan Cuma membuat Dul dapat mengatasi kegagapannya. Lebih dari itu, dia juga jadi punya insight bahwa Internet is about communication, not technology. Pendekatan ke arah komunikasi ini terbukti menjadi kunci sukses Agrakom.

Selain itu, ketiga, profesi wartawan juga memungkinkannya memiliki jejaring yang luas ke para petinggi bisnis. Dan, karena dia bekerja di media yang memegang teguh kehormatan profesi – Grup Tempo adalah satu dari sedikit media yang mengaharapkan “amplop” – Dul meyakinkan. “Aku confident menghadapi mereka, para petinggi bisnis yang menjadi calon klien.”

Hal lain yang memberikan Dul kelebihan? “Mungkin karena aku cuek,” ujar lelaki berkulit gelap ini. “Aku nggak peduli orang mau ngomong apa, bahkan nggak merasa perlu membuktikan apa pun kepada siapa pun bahwa aku bisa sukses.”

Kekayaan tampaknya tak mengubah banyak seorang Dul, kecuali mobilnya yang sekarang SUV Lexus, tempat tinggalnya yang dilengkapi kolam renang pondok Indah dan hobi barunya menengok kawanan ikan yang bersliweran di antara terumbu karang di habitat aslinya di lepas pantai Pulau Weh atau Raja Ampat. Seragamnya masih tetap sama – jins belel, kaos polo seadanya, sepatu sandal. Dia juga masih suka menikmati waktu senggangnya dengan aktivitas yang sama : minum bir di kafe sambil membaca The Economist.

“Yang aku lakukan sekarang ini, menjadi kaya, bukanlah obsesiku,” ujar Dul. Alasan ini saja agaknya cukup untuk membuatnya senyum-senyum, dan segera melupakan, ketika pada awal tahun 1990-an diramal bakal jadi kaya raya. Walau tak disampaikan secara eksplisit, dia agaknya lebih suka menjadi intelektual, pemikir atau bahkan saintis.

Kalau pertumbuhan bisnis Agrakom sesuai dengan yang diharapkan, dan Dul yakin akan demikian, pada 2012 perusahaan yang dipimpinnya akan cukup besar untuk menarik professional manajemen yang mumpuni buat membawa perintis bisnis dotcom itu ke tingkat selanjutnya. Saat itu, katanya dengan mata menerawang, “Aku bisa pensiun dan hanya mengerjakan hal-hal yang aku benar-benar suka…” 
 
Sumber: Facebook - Peduli Grobogan Yuk
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar