Selasa, 27 September 2011

Sebuah IRONI Pertambangan Freeport



Pertambangan Freeport sudah tak asing bagi orang Indonesia, karena keberadaan Freeport di Indonesia sudah lebih dari empat dekade. Dalam periode penambangan di Papua, Freeport  kerap kali mendapat kritik terkait penerimaan Indonesia dari Freeport yang tidak berimbang, permasalahan lingkungan, serta konflik sosial yang sering terjadi di wilayah sekitar pertambangan. Tulisan ini bertujuan mengungkap fakta praktek pertambangan Freeport, kemudian menjadi refleksi bersama agar pemnafaatan sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dapat terwujud.

Saat ini potensi tambang Freeport tersimpan di dua wilayah, yakni Erstberg dan Grasberg, Timikia. Kedua wilayah ini terutama menghasilkan tiga jenis mineral, yaitu tembaga, emas dan perak, disamping beberapa jenis mineral lain yang tidak tercatat resmi sebagai produk tambang. Potensi tambang telah dieksploitasi selama empat dekade mengikuti pola Kontrak Karya (KK) yang pertama kali ditandatangani pada tahun 1967. Berdasarkan kajian atas data-data keuangan ditemukan bahwa penerimaan negara, termasuk penerimaan pemda Papua, dari tambang Freeport masih belum optimal. Faktanya, dari tahun ke tahun penerimaan negara selalu lebih kecil dari keuntungan yang diperoleh Freeport dan rakyat di sekitar tambang masih banyak yang hidup miskin.


Potensi Ertsberg dan Grasberg 

Pada tahun 1936, sebuah tim yang dipimpin geolog Belanda, Jean-Jacques Dozy, melakukan ekspedisi ke tanah Papua. Tim Dozy sampai ke puncak pegunungan, dimana dijumpai adanya singkapan batuan yang ditengarai mengandung mineral berharga. Penemuan lokasi itu kemudian mengantarkannya ke “Ertsberg” atau Gunung Bijih, sebuah cadangan mineral yang terletak di kaki pegunungan bersalju. Laporan Dozy ini dimuat dalam majalah geologi di Leiden, Belanda tahun 1939.  Laporan ini mengilhami seorang manajer eksplorasi Freeport Minerals Company, Forbes Wilson, bersama Del Flint pada tahun 1960 melakukan ekspedisi ke Papua. Keduanya meyakini dan belakangan terbukti bahwa cadangan mineral Ertsberg menjadi cadangan tembaga terbesar yang pernah ditemukan pada saat itu.

Analisis laboratorium menunjukkan terdapat kandungan tembaga sebesar “13 acres”, suatu kode yang dibuat oleh Wilson untuk menyatakan 13 juta ton bijih. Jauh lebih ke dalam tanah, diperkirakan terdapat 14 juta ton bijih untuk setiap kedalaman 100 meter. Dari informasi yang kami kumpulkan diperoleh bahwa potensi kandungan mineral Ertsberg mencapai 50 juta ton bijih mineral. Dinas Pertambangan Papua menyebutkan cadangan Ertsberg sebanyak 35 juta ton, dengan kadar Cu 2,5%. Jika diasumsikan harga rata-rata tembaga dan emas selama sekitar 20 tahun periode penambangan di Ertsberg  masing-masing US$ 2000/ton dan  US$ 200/ons, maka pendapatan yang dapat diraih dari potensi mineral tambang Ertsbegr adalah (35 juta ton x 2000 US$ /ton + 15 juta ons x US$ 200/ons) =  US$ 100 miliar. Dari potensi US$ 100 miliar ini, tidak diketahui secara akurat berapa pendapatan yang telah diterima negara.

Terlepas dari nilai US$ 100 miliar sebagai potensi pendapatan di atas, kita tidak mempunyai data yang akurat tentang berapa besar produk tambang yang sudah dihasilkan dari Ertsberg. Dalam perencanaan dan kesepakatan awal sesuai KK, tampaknya disetujui bahwa wilayah tambang hanya akan memproduksi tembaga. Ternyata tambang Ertsberg juga menghasilkan emas sebagai by product. Namun tidak diketahui berapa besar emas yang telah dihasilkan, dan berapa pendapatan Freeport dari produk emas sebagai by product ini. Pada saat itu tidak ada orang Indonesia yang mengikuti proses pemurnian konsentrat secara seksama. Disamping itu, pada periode awal penambangan, pemurnian konsentrat dilakukan di luar negeri, baik di Jepang, Spanyol maupun di Amerika.


Disamping tembaga sebagai produk utama, sejak semula Freeport memang telah menghasilkan emas dan perak, tetapi hal ini tampaknya tidak dideklarasikan. Selain itu, selama periode penambangan wilayah Ertsberg, Freeport adalah perusahaan tertutup, sehingga berbagai aspek finansial perusahaan dapat saja tersembunyi dari akses pemerintah dan publik. Dengan demikian, penerimaan negara dari Ertsberg menjadi tidak optimal. Namun disisi lain, Freeport telah menjelma menjadi perusahaan tambang raksasa kelas dunia (menambang di Amerika Utara, Amerika Selatan, Afrika Selatan dan Indonesia), yang saat ini mempunyai total aset sekitar US$ 26 miliar (www.fcx.com).

Setelah menambang di Ertsberg hingga akhir tahun 1980-an, Freeport berpindah menambang di Grasberg, sesuai KK (KK Generasi V) yang ditandangani pada tahun 1991. Penambangan di Grasberg dilakukan secara terbuka (lubang terbuka, open pit) dan juga melalui deep ore zone (DOZ), penambangan gua blok bawah tanah (underground block cave). Penambangan open pit mengahasilkan biji sekitar 57 juta metrik ton pada tahun 2009 dan akan berlangsung hingga 2016. Sedangkan DOZ pada tahun 2009 menghasilkan biji mineral sekitar 26 juta metrik ton dan akan berlangsung hingga tahun 2020. Total produksi Freeport dari Grasberg pada tahun 2009 adalah 1,4 miliar pound tembaga dan 2,6 juta ounces emas.

Berdasarkan laporan keuangan Freeport tahun 2009, disebutkan bahwa cadangan emas, tembaga dan perak tambang Grasberg masing-masing sebesar 38,5 juta ons, 56,6 miliar pound dan  180,8 juta ons. Dengan harga rata-rata harga emas, tembaga dan perak selama periode penambangan diasumsikan masing-masing sebesar US$ 1000/ons, US$ 3,5/pound dan US$ 0,96/ons, maka total potensi yang dapat diperoleh dari tambang Grasberg adalah sekitar (38,5 juta ons x US$ 1000/ons + 56,6 miliar pound x US$ 3,5/pound + 180,8 juta ons x US$ 0,96/ons = US$ 236,77 miliar (sekitar Rp 2200 triliun!). Kita sangat yakin akan diperolehnya pendapatan tambahan karena konsentrat yang dihasilkan juga mengandung sejumlah mineral lain seperti cobalt, seng,  platina, dsb.


Aspek Kontraktual

Freeport (PT Freeport Indonesia, PTFI) memperoleh kesempatan menambang di Papua sesuai Kontrak Karya (KK Generasi I) yang ditandatangani pada tahun 1967. KK memuat sejumlah ketentuan seperti yang tercantum dalam UU No.11/1967 tentang PMA, antara lain kesepakatan menyangkut pajak, pengawasan, repatriasi, royalti, dsb. KK juga berisi ketentuan bahwa Indonesia tidak akan menasionalisasi Freeport dan setiap perselisihan akan diselesaikan melalui arbitrase internasional. Berdasarkan KK I tahun 1967 ini, Freport memperoleh konsesi penambangan di lokasi yang disebut “Blok A” yang mencakup wilayah Ertsberg dan Grasberg, dengan luas sekitar  24,700 hektar.

Pada tahun 1991 pemerintah menandatangani KK baru (Generasi V) dengan Freeport, yang antara lain berisi kesepakatan perpanjangan kontrak (“2 x 10 tahun”) dari tahun 2021 menjadi tahun 2041, dan perluasan wilayah penambangan dari “Blok A” menjadi “Blok A dan Blok B”. Dalam KK V tahun 1991 ini ditetapkan bahwa tambahan luas wilayah tambang yang diperoleh Freeport (Blok B) adalah 6,5 juta hektar! Di Blok B, Freeport telah mulai melakukan kegiatan eksplorasi dalam kawasan seluas 500.000 hektar. Patut dicatat bahwa dalam KK V tahun 1991 ini tercantum ketentuan bahwa perpanjangan kontrak “2×10 tahun” akan efektif jika telah mendapat persetujuan (approval) dari pemerintah Indonesia.

KK I menetapkan bahwa besarnya royalti tembaga yang harus dibayar adalah 1,5% (dari pendapatan bersih, net revenue) jika harga tembaga US$1,1/pound. Sedang royalti emas adalah 1% dari pendapatan bersih. Pada tahun 1998 disepakati royalti tembaga naik menjadi 2 kali lipat (3% & 7%) dan royalti emas menjadi 3 kali lipat (3%), jika fasilitas milling Freeport beroperasi melebihi 200.000 metrik ton/hari. Tambahan royalti tersebut terutama diperuntukkan bagi pendapatan pemerintah dan rakyat Papua.


Penerimaan Negara

Indonesia melalui produksi Freeport tercatat sebagai sepuluh produsen tembaga terbesar di dunia. Produksi tembaga Indonesia menunjukan peningkatan yang kontinu, misalnya dari 928.2000 ton pada tahun 1993 hingga 1, 06 juta ton pada tahun 1994, 1,52 juta ton pada tahun 1995 dan 2,8 juta ton pada tahun 2009. Dengan permintaan dunia yang terus meningkat dapat diartikan bahwa ke depan Freeport memiliki peluang besar untuk memperoleh keuntungan yang berlipat. Sampai saat ini produksi ketiga jenis barang tambang di Indonesia didominasi oleh Freeport.

Selain tembaga, emas merupakan salah satu produk utama Freeport. Hal ini disebabkan semakin tingginya konsentrasi emas dan perak dalam bahan galian/deposit yang ditemukan. Sejak menemukan deposit emas terbesar di dunia, Freeport berubah menjadi tambang emas raksasa skala dunia. Berdasarkan Annual Report of Freeport McMoran to Security Exchange Commision (form 10-K) 2009 produksi emas FCX/Freeport di Indonesia untuk tahun 2007, 2008 dan 2009 masing-masing 2,185 juta ons, 1,182 juta ons dan 2,543 juta ons. Perlu dicactat bahwa 99% emas yang diproduksi FCX secara internasional berasal dari tambang Grasberg. Sedang total aset PTFI pada akhir tahun 2009 adalah US$ 2,7 miliar.


Tabel 1. Produksi dan Pendapatan PT FI dan Penerimaan Indonesia

Thn. Produksi Pndapatan (juta US$) Gross Profit (juta US$) Pajak (US$) Royalti (US$)
Emas (ribu ons) Tembaga (juta pon)
2004 1.456,2 996,5 1.980 804 266,4 43,5
2005 2.789,4 1.455,9 4.012 2.380 781 103,7
2006 1.732 1.201 4.883 2.929 950 126
2007 2.198 1.151 5.315 3.234 1.326 133
2008 1.163 1.094 3.703 1.415 612 113
Total 7.280, 6
17.893 10.762 3935,4 475.7


Selama berpuluh tahun menambang Freeport telah memperoleh keuntungan finasial yang sangat besar dari Ertsberg dan Grasberg. Keuntungan yang diperoleh Freeport setiap tahun senantiasa lebih besar dari kewajiban pajak dan royalti yang dibayarkan kepada negara RI. Hal ini juga tak lepas dari rendahnya saham yang dimiliki pemerintah di Freeport sehingga deviden yang diterima setiap tahun juga kecil. Namun kerugian pihak Indonesia juga disebabkan karena tidak ikut mengelola perusahaan, sehingga kehilangan  kesempatan bisnis untuk memperoleh keuntungan dari belanja-belanja operasional dan kapital Freeport setiap tahun.

Berdasarkan Tabel 1 di atas, terlihat bahwa setiap tahun keuntungan Freeport jauh lebih tinggi dibanding penerimaan Indonesia sebagai pemilik sumberdaya alam. Total keuntungan Freeport Indonesia (PTFI) tahun 2004-2008 adalah US$ 10,762 miliar sedangkan total penerimaan negara dari pajak dan royalti hanya US$ 4,411 miliar. Berdasarkan laporan keuangan tahun 2008, total pendapatan Freeport (FCX) adalah US$ 3,703 juta. Dari pendapatan tersebut, Freeport memperoleh keuntungan total sebesar US$ 1,415 juta. Sedangkan pemerintah Indonesia, melalui pajak dan royalti hanya mendapat total penerimaan sebesar US$ 725. Pada tahun 2009, laporan keuangan FCX menyatakan keuntungan PTFI adalah US$ 4,074 miliar, sedang penerimaan negara melalui pajak dan royalti adalah sekitar US$ 1,7 miliar.

Dengan harga emas yang berpotensi terus naik (saat ini lebih dari US$ 1100/ons), maka keuntungan FCX/PTFI juga akan terus meningkat (lihat Gambar 2). Namun penerimaan yang seharusnya diperoleh negara tidak sebanding dengan tingkat keuntungan yang diperoleh Freeport. Kecilnya penerimaan negara berpangkal dari kebijakan dan kontrak yang salah dan tidak adil. Oleh sebab itu sangat wajar jika pemerintah, bersama BUMN dan BUMD Papua, meningkatkan nilai sahamnya di Freeport. Namun harga saham yang harus dibayar bukanlah berdasarkan harga pasar FCX, tetapi harga yang telah dikoreksi akibat berbagai praktek KKN yang terjadi sebelumnya. Termasuk yang harus dilakukan adalah menuntut adanya kompensasi akibat kerusakan lingkungan yang timbul selama penambangan di wilayah Grasberg.

Sumber: http://iress.web.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar