Rabu, 28 September 2011

Serangan 11 September, Renungan 10 Tahun yang Penuh Kebohongan

Kejadian di 11 September 2001 kiranya masih sangat segar membenak bagi warga dunia khususnya warga Amerika Serikat (AS), serangan yang konon telah mengubah pola dan orientasi kebijakan luar negeri AS terhadap berbagai aktor serta unit analisis sekecil apapun yang mengancam masalah keamanan nasional AS.


Pola Kerja Yang Menyalahi Logika

Jika dicermati secara historis setidaknya pola klasik seperti ini (tanpa disadari) kerap dipakai berulang-ulang oleh AS dalam memuluskan berbagai kegiatan agresor luar negeri dalam upaya menjalankan national interest nya di berbagai belahan dunia, sebut saja keterlibatan AS di Perang Dunia Pertama, Kedua, dan Perang Vietnam, yang jika diulas satu persatu keterlibatan AS dalam perang-perang besar ini sangat dipaksakan dan cenderung dengan unsur kesengajaan agar AS dapat terjun ke perang tersebut, dengan kata lain dalam pola ini AS berupaya memperoleh legitimasi publik AS untuk terjun ke dalam perang, salah satu cara adalah membuat kamuflase suatu peristiwa yang seakan-akan pihak musuhlah yang pertama menyerang atau cari gara-gara yang akan diikuti dengan serangan brutal AS ke pihak musuh yang sebelumnya (disengaja untuk) mencari gara-gara.

Sebutlah Perang Dunia Pertama, perang dengan hingar bingar jutaan nyawa melayang sia-sia di berbagai front tempur Eropa, yang secara substansi bukan merupakan perangnya AS, namun atas alasan keuntungan finansial yang akan dikeruk oleh jaringan bankir internasional yang berada di belakang layar pemerintahan atas perang tersebut, AS dipaksa untuk berkonfrontasi melawan pihak Jerman, namun masalahnya situasi dalam negeri sangat tidak mendukung agar AS terlibat dan banyak pihak yang mempertanyakan urgensi AS jika terlibat dalam perang ini. 

Dengan sebuah skenario yang diatur sedemikian rupa yang dalam film dokumenter World Economic Ruler dimana terdapat dokumentasi percakapan antara Colonel House penasehat Presiden Wilson dengan Sir Edward Grey Menteri Luar Negeri Inggris saat itu tentang bagaimana cara yang paling efektif untuk melibatkan AS dalam peperangan ini, hingga kemudian pada 7 Mei 1915 atas saran Sir Edward Grey diambil sebuah keputusan untuk mengirim dengan sengaja sebuah kapal penumpang bernama Lusitania ke perairan dalam kawasan perang yang dikuasai pihak Jerman, hasilnya berjalan dengan baik, seperti yang diharapkan kapal selam jenis U-Boat milik Jerman menembakkan torpedo kepada Lusitania, menenggelamkan kapal sekaligus membunuh 1200 penumpang kapal yang merupakan warga negara AS.
Seperti yang sebelumnya diperkirakan, gelombang emosi warga AS di seluruh negeri membuncah atas penyerangan ini, hanya tinggal memantik setitik api pada berton bensin untuk menggiring langsung AS ke dalam perang terbuka terhadap Jerman.

Sadar atas kekeliruan dan kesalahpahaman yang terjadi, Jerman kemudian memasang pengumuman di harian New York Times bahwa setiap kapal yang berlayar dalam sebuah medan laut pertempuran akan sangat rentan untuk diserang, termasuk Lusitania yang berlayar dari AS ke Inggris namun dengan teledor melewati area perang, namun alasan Jerman tersebut dianggap angin lalu dan kemudian AS melenggang ke Perang Dunia Pertama dengan dukungan penuh dari dalam negeri.

Kecenderungan yang sama juga terjadi dalam keterlibatan AS dalam Perang Dunia Kedua dan Perang Vietnam yang sebenarnya urgensitas AS dalam perang tersebut sangat dipertanyakan, namun akibat suatu insiden kemudian AS dengan percaya diri seakan mendapat legitimasi untuk masuk ke medan perang, seperti bagaimana provokasi taktis AS terhadap Jepang di Perang Dunia Kedua, hingga kemudian Jepang menyerang Pearl Harbour dan bagaimana AS masuk ke Vietnam dengan dalih para pejuang Vietnam Utara menyerang kapal Destroyer AS di Teluk Tonkin yang padahal penyerangan tersebut tidak pernah terjadi.
Pola seperti inilah yang kerap diulang-ulang diterapkan dalam kebijakan luar negeri AS, yang jika kita tilik lebih dalam sesungguhnya berbagai kebijakan dengan pola aneh yang merugikan AS sendiri sebagai suatu kesatuan tidak memberi keuntungan yang definitif bagi kepentingan nasional AS, melainkan bagi segelintir kelompok yang selama puluhan tahun berada di balik layar dalam menentukan arah sebuah boneka kuat dan besar bernama AS.
Hal inilah yang penulis coba untuk cermati, dalam kejadian serangan 11 September 2001 dimana kejadian yang kemudian mempopulerkan sebuah istilah mengerikan bernama Terorisme yang bahkan sampai saat ini oleh PBB belum dapat mendefinisikan istilah Terorisme secara harfiah. 

Kejadian yang kemudian oleh AS secara eksplisit dituduhkan kepada kelompok radikal Islam Al Qaeda yang dipimpin Osama bin Laden, yang jika dicermati perang melawan terorisme saat ini mirip dengan perang-perang sebelumnya dengan pola yang sama dengan hasil yang sama yaitu memberikan AS akses penuh untuk menyerang negara, aktor atau unit yang dianggap membahayakan keamanannya.

Dengan kata lain serangan 11 September dijadikan sebagai insiden pemantik tak ubahnya insiden Lusitania, Pearl Harbour, dan Serangan terhadap Destroyer AS di Teluk Tonkin, yang dalam kasus serangan 11 September AS berusaha meyakinkan Dewan Keamanan PBB untuk merestui pentingnya sebuah perang terhadap kelompok teroris radikal yang mengancam keamanan dunia, yang dengan spesifik dituduhkan ke hidung kelompok Islam, sebuah konotasi menyakitkan bagi ratusan juta muslim di seluruh dunia, konotasi dengan ketakutan semu pada frasa Terorisme yang diciptakan oleh sebuah sistem tirani global. Hal sama yang di propagandakan AS di masa lalu untuk meraih dukungan dalam keikutsertaan AS dalam perang-perang sebelumnya.

Propaganda dari sebuah kebohongan yang bisa jadi merupakan kebohongan terbesar dalam sejarah peradaban manusia, mengenai bagaimana dengan busuknya pemerintah AS, media arus utama global menutupi serangkaian fakta yang berceceran mengenai pembuktian terbalik atas argumen populis yang menuduh bahwa runtuhnya menara kembar WTC disebabkan oleh tabrakan pesawat yang dibajak oleh kelompok ekstrimis islam. Serangkaian fakta yang mendeskripsikan 10 tahun serangan 11 September yang penuh dengan kebohongan.


Pembuktian Fakta Terbalik

Kompas.com edisi 23/09/11 yang dikutip dari Radio Netherland yang juga mengutip dari harian Spits Belanda menurunkan berita mengenai teori baru runtuhnya WTC, yang menyoroti mengenai kombinasi unsur antara aluminium dalam suhu pada pesawat dengan air yang keluar dari sistem penyiram kebakaran otomatis yang ditengarai bertanggung jawab dalam menimbulkan ledakan-ledakan besar yang di lihat oleh para saksi mata, sehingga mempercepat runtuhnya menara kembar. Sebuah teori yang secara nalar sangat lemah dan terkesan berupaya untuk menyangkal dan membela diri atas fakta-fakta yang lebih logis yang dipaparkan para pendukung teori yang menyatakan bahwa serangan pada menara kembar WTC telah diskenario dan di bom dari dalam hingga runtuh, bukan ditabrak. 

Aktivis di AS menyebutnya sebagai An Inside Job. Sebuah istilah yang mengarahkan tuduhan bahwa sebenarnya pemerintah AS sendirilah yang merencanakan, meledakkan serta mempropagandakan serangan menara kembar WTC. 

Tuduhan ini tentunya bukan tidak berdasar, sedikitnya terhampir hampir selusin fakta vital di lapangan yang seakan menolak jauh mengenai tuduhan bahwa tragedi WTC benar-benar dilakukan oleh kelompok ekstimis Islam.

Pertama, adalah mengenai argumen bahwa menara kembar WTC runtuh akibat tabrakan pesawat Boeing 757 yang telah dibajak oleh para teroris, namun kenyataannya oleh para saksi mata dan petugas pemadam kebakaran yang berhasil selamat mengatakan bahwa sebelum dan sesudah pesawat menabrak gedung, terdengar beberapa kali ledakan besar dari dalam gedung. Hal ini seakan mematahkan argumen dari tim komisi 9/11 yang dibentuk pemerintah untuk menyelidiki peristiwa ini menyatakan bahwa gedung WTC hancur akibat ledakan yang disebabkan oleh tabrakan dan penyebaran avtur pesawat, namun argumen ini ditolak oleh sekitar 1.600 arsitek dan insinyur profesional AS yang tergabung dalam Architect and Engineer For 911 Truth, kelompok arsitek ini yang kebanyakan anggota dari Institut Arsitek Amerika menolak teori bahwa avtur dapat melelehkan konstruksi bangunan menara WTC. Selain itu kelompok ini juga mencurigai adanya perubuhan terkontrol dengan bahan peledak yang menjadi penyebab runtuhnya menara 1, 2 hal ini sesuai dengan pernyataan saksi mata dan rekaman video yang memperlihatkan bola-bola api dan asap di gedung sebelum pesawat menabrak. 

Dan yang paling aneh adalah mengenai penyebab runtuhnya menara 7 yang sama sekali tidak ditabrak oleh pesawat, yang oleh komisi 9/11 dikarenakan efek angin runtuhnya menara 1 dan 2, sebuah argumen yang tidak dapat diterima logika ilmu pengetahuan, apalagi karena menara 7 terletak cukup jauh dari kedua menara yang telah rata dengan tanah.

Kedua, mengenai kegagalan sistem keamanan AS yang diduga sengaja di lemahkan dari dalam, sehingga tidak ada satupun peringatan yang keluar dari The North American Aerospace Defense Command (NORAD) sebagai badan yang bertanggung jawab atas keamanan udara pada serangan ini. Bahkan yang lebih mengejutkan seperti dilansir USA Today bahwa 2 tahun sebelum kejadian 11 September 2001 NORAD melakukan latihan dengan menggunakan pesawat penumpang sebagai senjata dan salah satu target sasarannya adalah gedung WTC, serta sebuah operasi yang diberi sandi Mascal pada Oktober 2000 yang mensimulasikan sebuah pesawat terbang yang menabrak Pentagon, serangkaian simulasi yang mencurigakan.
Ketiga, mengenai para pembajak yang oleh rilis FBI para pembajak berjumlah 19 orang berikut nama dan foto yang semuanya adalah warga Arab, namun dalam publikasi daftar penumpang pesawat yang dibajak tidak satu pun ditemukan penumpang dengan nama berbau Arab, selain itu dalam kurun waktu 6 bulan pasca rilis identitas para pembajak, terdapat 6 orang para pembajak yang ditemukan masih hidup dan melapor ke FBI atas dugaan terorisme yang dituduhkan pada mereka, dimana keenam orang tersebut sama sekali tidak dapat menerbangkan pesawat dan pada saat kejadian 11 September mereka berada di rumah masing-masing. Dan yang lebih mencengangkan bahwa diantara puing dan reruntuhan gedung WTC yang bahkan puing pesawat dan besi baja meleleh karena hangus tiba-tiba ditemukan sebuah paspor dari salah satu pembajak dengan kondisi bersih yang tergeletak di puing paling atas seakan-akan digeletakkan dengan begitu saja untuk memperkuat opini publik atas tudingan pemerintah. Yang sampai hari ini semua kekeliruan atas nama 19 orang nama pembajak masih belum direvisi dan juga tidak ada sedikitpun ditemukan hubungan antara 6 orang (jika benar adalah pembajak mustahil masih hidup) dengan serangan 1 September dan jaringan Al Qaeda.

Keempat, mengenai hubungan mesra antara keluarga Bush dengan Laden yang terangkum dalam hubungan bisnis, hal ini jelas menjadi kontradiksi dalam memandang rentetan peristiwa ini, salah satunya adalah mengenai perjalanan H.W Bush ke Arab Saudi pada tahun 1998 dan 2000 mengunjungi rekan bisnisnya keluarga Laden atas permintaan perusahaan yang bernama grup Carlyle, yang bahkan pada pagi hari 11 September 2011 H.W Bush bertemu dengan kakak Osama, Shafig bin Laden sebagai wakil dari grup Carlyle, sebagai catatan bahwa grup Carlyle adalah kontraktor alat-alat perang terbesar di dunia yang menuai keuntungan besar pada perang-perang pasca 11 September. Secara eksplisit bahkan tidak ada pernyataan langsung Osama bin Laden yang dituduh sebagai dalang dibalik serangan ini bahwa dia bertanggung jawab, kecuali sebuah video pengakuan Osama yang dijadikan satu-satunya bukti oleh pemerintah AS, namun video tersebut oleh banyak kalangan diragukan keabsahannya, karena ciri fisik Osama yang asli dalam foto berbeda jauh dengan Osama yang ada dalam rekaman. 

Kelima, Keenam, Ketujuh dan Kesekian fakta serta data lainnya yang dengan mudah dapat ditemukan dengan satu sentuhan di Internet, dimana semua fakta yang didapat jelas-jelas menolak teori umum yang telah berkembang selama 10 tahun terakhir atas penyebab serangan 11 September, yang semakin membuka pemahaman dari salah satu kebohongan terbesar sepanjang sejarah manusia.

Mengenai bagaimana pola dari salah satu metode keagresifan politik luar negeri AS berjalan, sebagai analogi negara AS ibarat sesosok boneka besar yang dikendalikan oleh segelintir kelompok demi tujuan dan agenda mereka, terlepas dari sentimen isu agama dan ras yang kerap didengung-dengungkan oleh berbagai kelompok atas fenomena ini, namun diatasnya berdiri tegak azas kemanusiaan, toleransi, kasih sayang, rahmat dari Allah sang pencipta alam semesta bahwa sebenarnya yang dihadapi oleh dunia saat ini bukan merupakan krisis ekonomi, bukan krisis energi, bukan krisis pangan, melainkan suatu krisis yang sangat mengerikan, yaitu krisis kesadaran.

Kesadaran yang meyadarkan bahwa wujud dari rezim tirani global itu memang ada, musuh bersama itu nyata adanya, bahkan di negeri kita sendiri, musuh yang saat ini dengan tenang menghabisi kita dengan tangan kita sendiri, mengkamuflasekan hasil pemikiran kita dengan apa yang kita dengar dan kita lihat, bukan dengan apa yang kita rasa, terutama di era dengan akses informasi tanpa batas seperti saat ini, yang menjadikan setiap informasi yang kita terima sangat bebas tanpa saring dan verifikasi, terutama oleh media arus utama yang secara global kerap dijadikan corong informasi dan pembentuk opini publik oleh segelintir kelompok ‘penguasa dunia’ dijadikan sebagai alat untuk memuluskan setiap agendanya.

Referensi :
Craig Unger, House of Bush, House of Saud The Secret Relationship Between the World’s Two Most Powerful Dynasties (Dinasti Bush – Dinasti Saud), 2008
Video Dokumenter Zeitgeist Part 2 : All The World’s A Stage
Video Dokumenter World Economic Ruler
http://en.wikipedia.org/wiki/September_11_attacks
http://en.wikipedia.org/wiki/9/11_conspiracy_theories
http://www.ae911truth.org
http://www.911sharethetruth.com/
http://truther.org/

Gelora Rajagukguk
www.kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar