Rabu, 02 November 2011

Lawar Bebek Kuwir dari Lepang Klungkung



Lawar merupakan makanan khas yang sudah tidak asing lagi bagi warga Bali. Makanan khas ini menjadi menu utama pada setiap sarana upakara (upacara) keagamaan. Jadi, tidak hanya untuk santapan teman nasi saja.

Lawar pun bermacam-macam. Ada lawar ayam, lawar babi, lawar kuwir, hingga lawar penyu. Sebelum dilarang dikonsumsi, lawar upakara di Bali memakai penyu. Sekarang, warga memakai daging kuwir atau daging babi. Katanya, lebih enak lawar kuwir atau lawar babi ketimbang lawar daging ayam. Bumbunya lebih merasuk. Tetapi, tidak semua orang senang atau bisa mengonsumsi babi.

Lawar kuwir populer di Kabupaten Klungkung. Salah satu warung yang memopulerkan lawar kuwir Klungkung menjadi santapan di luar menu upakara, yaitu untuk disantap kapan saja, adalah warung Pan Sinar. Warung di Jalan Kembang Matahari Nomor 3B, Banjar Ketapian Kaja, Denpasar, itu milik Ketut Gina (61), warga asli kelahiran Banjar Lepang, Desa Takmung, Klungkung.

Kuwir adalah sebutan di Pulau Dewata untuk bebek atau mentok. Jika harga mentok di Jawa murah, sekitar Rp 15.000 per ekor, di Pulau Seribu Pura ini bisa mencapai Rp 35.000 per ekor. Karena belum lama ini Indonesia terserang virus flu burung, Gubernur Bali pun melarang memasok unggas hidup, kecuali yang masih berumur satu hari atau telurnya saja.

“Tiyang (saya) sempat kesulitan mendapatkan kuwir. Tetapi, tiyang tidak khawatir sepi pelanggan gara-gara flu burung karena kuwir sudah tiyang masak dengan matang dan bersih,” ujar Ketut Gina. Meramu lawar tidak mudah dan tidak sembarang orang pandai meraciknya menjadi makanan yang nikmat. Di Bali, orang yang pandai meramu lawar disebut mencegera. Mereka khusus peramu atau koki lawar pada saat perhelatan upacara keagamaan.

Ketut Gina sendiri diakui para pelanggannya pandai meramu lawar kuwir dengan rasa pas dan rasanya bisa sama setiap harinya. Warungnya yang disewanya sekitar tahun 1996 itu memang sederhana. Awalnya ia berjualan di pasar dengan menggelar tenda kecil dari pagi hingga siang. Sekarang, ia mampu melayani pelanggan dari pukul 07.00 Wita sampai 20.00 Wita. Katanya, ia sering kasihan dengan pelanggan yang kecele karena sebelumnya pukul 17.00 Wita warungnya sudah tutup.

Harga Rp 10.000 per porsi sudah dipertahankan Ketut Gina sekitar tiga tahun terakhir. Ia tidak tega menaikkan harga lagi. “Kasihan, apa-apa sudah mahal. Tiyang bertahan saja, asal masih untung sudah bersyukur,” ujarnya.

Keuntungan yang dia raup menurun jauh dibandingkan sebelum krisis ekonomi 1998. “Dulu, tiyang membutuhkan 80 ekor kuwir setiap hari. Sampai-sampai tiyang punya ternak ratusan ekor yang dipasok dari Jawa. Sekarang, hanya habis sekitar 20 ekor saja dan tidak lagi pasok dari Jawa,” ceritanya dengan nada sedih.


Bangga
Ketut Gina merasa bangga dengan keahliannya mampu ngelawar (meramu lawar) yang jarang dimiliki warga Bali. Anaknya yang mengikuti jejak sang bapak pun terpaksa gulung tikar. Warung yang dibuka di Tuban dan Jalan By Pass Ida Bagus Mantra tak bertahan dan terpaksa modal Rp 200 juta pun melayang. Bagaimana tidak, pelanggan sudah tersugesti dengan lawar kuwir racikan tangan Ketut Gina.

Bagi penikmat lawar, rasa lawar Pan Sinar memang belum ada tandingannya dibandingkan dengan masakan warung lawar lain. “Duh, rasanya selangit. Pas banget. Belum ada tandingannya. Seken ne (beneran nih),” kata salah satu pelanggan tetap Pan Sinar. Lawar kuwir terdiri dari rajangan nangka muda, irisan kuwir yang sudah direbus selain bagian dada, parutan kelapa bakar, serta bumbu lengkap ala Bali yang disebut bumbu genep, seperti kencur, kunyit, laos, bawang merah, bawang putih, serta tak lupa irisan cabai. Semua itu diuleni dengan tangan.

Takaran memang memengaruhi rasa. Meleset perbandingannya antara bumbu dan racikan bahan lainnya, lawar menjadi hambar atau tidak mantap. Katanya, bagi yang kurang pandai meracik lawar secara enak bakal menyiasati rasa dengan irisan cabai yang banyak. Tetapi, siasat ini tidak berlaku untuk Ketut Gina. Makanya, seorang mencegera biasanya mendapat kemampuan meramu secara turun-temurun. Namun, kalau tidak hobi dan menikmati sebagai mencegera juga bisa dipastikan gagal menyajikan lawar yang enak.
Nangka mudanya pun pilihan, yakni nangka cendana muda. Alasannya, menurut Ketut Gina, serat-seratnya lebih banyak dan kenyal dibandingkan nangka muda lainnya. Jika ke Bali, coba dan bandingkan rasanya,. Hmmm… dijamin tidak menyesal mencoba lawar kuwir ini. Dan tak perlu khawatir, lawar ini dijamin tidak dicampur dengan daging hewan lain.

Menyantap lawar kuwir ini enaknya langsung di warung Pan Sinar. Sepiring nasi panas menambah nafsu makan. Lawar kuwir sendiri pun rasanya sedikit pedas. Tetapi, namanya kapok-kapok sambal, meski pedas bisa jadi justru bikin ingin tambah. Di tempat Pan Sinar sepiring lawar kuwir disajikan bersama sate lilit kuwir (dari bagian dada). Tak lupa, semangkuk jukut ares kuwir atau bisa memilih dengan kuah komoh (kuah kaldu rebusan daging kuwir).

Yang tak kalah ketinggalan adalah sambal matah (irisan cabai, bawang merah goreng, dengan minyak kelapa) dan lawar daun belimbing dan racikannya pun tidak sembarangan pilih daun. Yang pasti, semua bahan adalah pilihan.

Kompas, Ayu Sulistyowati
© Kompas Cyber Media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar