Selasa, 17 Januari 2012

Anak Jalanan


Adanya Artikel Ini supaya orang orang yang mampu bisa sadar dan membantu mereka orang miskin seperti: fakir miskin, yatim piatu, anak jalanan, pengamen dll tentang orang yang tiada daya upaya untuk hidup…..Pernahkan terlintas di pikiran Anda, Lebih hebat manakah kita dengan anak jalanan / pengamen? Apakah kita yang lebih hebat? Bagi Anda yang menjawab demikian Anda SALAH BESAR …tahukah apa yang membuat comment kita tersebut salah?.




Mungkin bila kita melihat orang jalanan / pengamen yang selalu yang ada di benak kita adalah anak kita yang kotor, kumuh, dan nakal. Memang semua itu benar, tapi ada suatu hal yang lebih berharga di balik semua itu. Anak jalanan /pengamen mempunyai suatu keistimewaan yang tidak kita miliki. Apa keistimewaannya? Tiap hari mereka mampu melawan kekejaman kehidupan hanya untuk 1 tujuan yaitu mencari uang untuk hidup 1 hari. walaupun yang didapat sedikit namun mereka tetap bersyukur dan tak mengenal kata “putus asa” untuk kembali berjuang pada hari-hari selanjutnya. Namun bagaimana dengan kita? Kita tidak tiap hari merasakan kekejaman dunia, hanya pada waktu tertentu saja namun lebih parahnya kita selalu gampang berputus asa bila mengalami kegagalan dan yang lebih parahnya lagi kita tidak pernah mensyukuri apa yang kita punyai saat ini. Sekarang lebih hebat manakah ?kita atau anak jalanan?

 
 
Anak jalanan pada umumnya adalah kaum muda yang sebenarnya adalah aset negara yang berharga. Sebagai modal kekuatan bangsa kaum muda ini harus disiapkan sedini mungkin dan ini menjadi tugas orang dewasa. Penyiapan-penyiapan yang terpenting adalah usaha agar mereka bisa melalui masa transisinya menuju dewasa. Di sinilah terlihat adanya perbedaan yang jelas antara penyiapan masa muda dengan masa dewasa. Pada hakikatnya masyarakat telah menempatkan anak-anak sepenuhnya di bawah kontrol orang tua. Para orang tuapun memiliki kekhawatiran jika masa transisi anak-anak mereka menjadi masa yang kritis sehingga berakibat kurang baik. Kekhawatiran itulah yang kini tidak hanya sebagai sebuah ketakutan tetapi sudah menjadi bukti dalam kehidupan masyarakat ketika ini dan di antaranya adalah kehidupan anak jalanan.




Persoalannya yang terpenting bukanlah mencari kesalahan siapa yang menyebabkan semua ini terjadi. Agaknya terlalu dini untuk menyalahkan siapa-siapa dalam hal ini, sebab masalah anak jalanan merupakan hal yang rumit dan beraneka ragam. Bisa saja latar belakang kehadiran mereka di kota ini bukanlah karena kekeliruan orang tua dan keras kepalanya sang anak. Tetapi bisa saja karena korban dari perjalanan sejarah yang tidak adil. Kisah anak jalanan yang terpaksa harus hidup menderita di jalanan karena tanah dan rumahnya dicaplok oleh penguasa dan pengusaha; merupakan contoh ketidakadilan itu. Dengan kekalahan itu akhirnya keluarga ini harus mengalami sejarah yang pahit, sehingga satu diantara mereka harus hidup menderita di jalanan. Di sini terlihat kekejaman penguasa dan pengusaha yang menjadikan mereka harus hidup menderita di jalanan.

Diakui atau tidak, kehidupan anak jalanan sudah menunjukkan keberadaannya sendiri di tengah hiruk pikuknya Kota Medan ini. Orang mau terima atau tidak yang pasti anak jalanan sudah menjadi suatu bagian dari sebuah kebudayaan yang mapan di kota ini. Berbagai macam respon terhadap kehidupan anak jalanan ini pun sudah menjadi reaksi soiologis dan kukltural baik secara negatif, positif, ataupun netral. Dan yang paling sering muncul adalah reaksi negatif. Anak jalanan telah meninggalkan masa lalunya di rumah dan kini mereka berada di jalanan. Mereka sebenarnya ingin diakui eksisensinya, walaupun mereka harus berhadapan dengan sanksi sebagai pelanggar hukum dan pandangan negatif sebagai sampah masyarakat.

 
 
 
Namun harus disadari, tindakan dan perilaku sosial dan budaya mereka hanyalah untuk mempertahankan diri dan mendapatkan pengakuan sehingga mereka menentang kultur dominan dan memperkuat solidaritas mereka. Pola kejiwaan yang terlihat dalam diri mereka adalah sikap tidak peduli (cuek) menghadapi kehidupan sehari-hari sebagai upaya agar eksistensi mereka diakui melalui penciptaan kultur-kultur baru dengan makna yang lebih spesifik. Gaya kehidupan inilah yang merupakan sebagai sebuah subkultur yang khas dari sebuah kehidupan anak jalanan. Bagi anak jalanan, jalanan merupakan arena untuk menciptakan satu organisasi sosial, akumulasi pengetahuan dan rumusan strategi bagi keberadaaan mereka. Di sisi lain anak jalan berupaya melakukan penghindaran atau melawan pengontrolan dari pihak lain, sehingga jalan raya bukanlah sekedar tempat untuk bertahan hidup tetapi untuk mempertahankan harga diri dan kemuliaan kemanusiaan mereka.

Apapun alasannya anak jalanan telah meninggalkan rumah dan menghidupi dirinya di jalanan atau bahkan menetap tinggal di jalanan. Dalam kehidupan anak jalanan terdapat dua fenomena sosial yaitu anak jalanan yang hanya bekerja di jalan dan anak jalanan yang memang hidup di jalan. Anak yang bekerja di jalan (misalnya penjual rokok, pengamen, penjual koran, penjual air minum dan lainnya) jauh lebih beruntung ketimbang anak jalanan yang hidup di jalan. Mereka memiliki tempat tinggal dan menjadikan jalanan hanya ebagai tempat berusaha. Sedangkan anak jalanan yang hidup di jalan menumpukan kehidupannya pada jalanan itu. Mereka memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap jalanan. Sedihnya dalam situasi dan kondisi yang demikian mereka juga harus menghadapi dishamoni, tindakan ilegal untuk mempertahankan hidup.


Mereka menentang permintaan orang dewasa sebagai bagian dari indentitas diri untuk menolak anggapan bahwa mereka hanyalah anak kecil. Di dalam kehidupan jalanan yang liar, proteksi terhadap diri mereka seringkali rapuh oleh hal-hal yang terkadang ringan dan iseng. Menentukan jalan hidup yang sendiri sering membuat mereka tidak memiliki tempat untuk berbagai rasa. Dalam kekecewaan itulah tidak jarang terjadi pelarian ke titik negatif yang dirasakan bisa menghilangkan kekalutan. Jerumusan inilah yang mengikat anak jalanan akan menjadi korban sepanjang umurnya. Bahkan dalam situasi yang demikian mereka masih mengalami berbagai tekanan yang datang dari orang-orang yang ingin mengeruk keuntungan. Dalam tekanan itu pula mereka harus bekerja dalam jam kerja yang cukup panjang tanpa batas waktu.

Keadaan ini telah menempatkan mereka sebagai sampah masyarakat akibat pandangan yang negatif. Bahkan secara hukum keberadaan mereka sering dibenturkan dengan pasal - pasal hukum yang berlaku. Betapa tidak mereka menghilangkan rasa malu dengan cara mabuk untuk memenuhi kebutuhan di tumpukan sampah, mengemis, ataupun melakukan pekerjaan yang berat dan di luar batas malu. Selain sebagai strategi ekonomi, mabuk itu akhirnya menimbulkan sikap tidak peduli dengan aturan hukum. Jadi dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya mereka mengalami tekanan batin yang luar biasa dan merasa tidak pernah merasa nyaman dan aman. Setidaknya dari sebuah keterpaksaan mereka telah meresapi makna sebuah kehidupan yang sesungguhnya. Walaupun kehidupan anak jalanan tidak memiliki kekuatan besar, namun hal itu adalah ekspresi dirinya dan reaksi terhadap kultur dominan masyarakat. Kalau mau jujur dapat dikatakan, keadaan yang mereka alami sebenarnya akibat dari perilaku orang dewasa.



Kontrol atas diri mereka yang berlebihan sehingga ekspresi kebebasan dan kreatifitas mereka terbatas sampai dengan tindakan ketidakadilan orang dewasa di rumah, di masyarakat, di sekolah, di kantor, di pemerintahan, dan di luar ruas jalanan itu luar jalanan telah menimbulkan kekecewaan pada diri mereka. Akhirnya mereka menjadikan jalanan sebagai ajang pemberdayaan diri dan penaklukan terhadap tindakan orang dewasa di. Anak-anak jalanan memilih kehidupan jalanan sebagai jalan keluar dari frustrasi sosial. Memang kehidupan anak jalanan ini merupakan sumber terciptanya sub-kultur baru anak muda perkotaan, tetapi keadaan ini tetap akan menempatkan anak jalanan di pinggir bahkan di luar tatanan sosial masyarakat yang dalam banyak hal selalu diabaikan oleh orang dewasa.

 http://roiszuhuda78.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar