Kamis, 17 Mei 2012

Reformasi... Bukan Sambal Terasi !!!!


1337233877979365838


( Potret Sejarah Bangsa Gagal Mental )


Gong reformasi ditabuh. Suara pembaharuan menggema. Euforia kebebasan massa setelah tiga puluh tahun terkungkung dalam tiran meluap menggelora, bagai air tumpah dari bendungan besar. Udara kemerdekaan yang dinanti-nantikan rakyat, meski harus ditebus dengan nyawa ribuan anak bangsa yang selalu saja menjadi korban perubahan zaman, tumbal wajib setiap permainan kekuasaan, sudah biasa. Perjuangan selalu membutuhkan bergalon- galon keringat, darah dan air mata. Rakyat kecil tak peduli, apapun dikorbankan dengan kepolosan khas tetap setia menjadi martir bagi perjuangan bangsa. Perubahan, perbaikan, pembaharuan.

Hampir lima belas tahun waktu berlalu, sayup-sayup gaung suara itu makin menghilang. Nyaris tak lagi terdengar, lenyap, senyap, sepi ditelan hari. Gelombang harapan yang dulu menggunung kini telah tergulung kandas, tinggal buih-buih dan riak kecil di tepian. Senada seirama dengan nasib sebagai penghuni wilayah tepian, kaum pinggiran. Harta, nyawa dan kebersamaan anak bangsa yang sempat terguncang gagal ditebus dengan harga yang layak dan sepadan. Kesia- siaan yang terulang, sudah kebiasaan, potret sejarah bangsa yang gagal mental.


Anak- anak negeri tak ubahnya hanya disuguhi sambel terasi, pedas, panas dan sedap terasa di lidah dalam sesaat, hanya tersisa aroma terasi yang masih sedikit menyengat hidung, itupun hanya ketika uap dari mulut dihembuskan ke udara. Seperti itulah aroma reformasi, tak lebih kata-kata bersejarah, sisa-sisa aroma tajam di hidung rakyat, hanya sesekali dihembuskan di pinggir halaman koran, tapi cita rasa dan manfaat nyata bagi rakyat kecil nyaris tak tersisa.


Kelemahan mendasar anak bangsa di republik ini, tak cerdas memetik pelajaran berharga, kendati telah dibayar terlalu mahal. Pengorbanan besar terbuang sia-sia. Bangsa gagal mental. Tumpul dan bebal. Sepertinya kurun empat ratus tahun semenjak kemerdekaan bangsa ini diinjak-injak oleh kekuatan asing masih kurang lama untuk belajar. Mental bangsa ini memang telah hancur berantakan. Mungkin satu-satunya yang tersisa adalah mental feodal yang memang sengaja atau tidak sengaja ditanamkan oleh mereka pada masa pendudukan kolonial.


Sejarah bangsa menjadi panggung sandiwara. Ada tragedi, epos, komedi, atau hanya sekadar opera dan pentas hiburan rakyat. Sekuel cerita dengan tampilan berbeda. Drama bersambung, episode sejarah, pembauran mistis, mitos dan legenda. Protagonis versus antagonis, pahlawan versus penjahat, jalinan kisah berputar, sedikit basa-basi, konflik sana-sini, antiklimaks, pergelaran selesai, bubar. Ronde demi ronde, orde demi orde, rezim demi rezim silih berganti silih mengisi. Pergiliran dan regenerasi, perjalanan klasik sejarah bumi pertiwi.


Tapi skenario cerita selalu sama. Pada awalnya semua bergerak serentak maju tak gentar berjuang berdarah-darah menghancurkan musuh bersama, tapi setelah kemenangan dalam genggaman tiba-tiba sebagian elit yang merasa berpiutang jasa dalam perjuangan menagih upah dan saling berebut jatah ransum kekuasaan. Lupa teman lupa kawan, lupa tetes keringat, darah dan air mata kebersamaan. Patriotisme dan nasionalisme amblas tanpa bekas. Muncul lagi feodalisme wajah baru. Segelintir raksasa menjadi tiran mayoritas kurcaci. Rakyat kecil, kembali sengsara, menderita dan tersingkir, hanya mendapat sisa-sisa makanan lezat dari pesta pora istana raja. Penjajah asing pergi, penjajah lokal mengambil alih fungsi, kemerdekaan yang dicita-citakan hanya menjadi prasasti konstitusi, kurikulum wajib pelajaran sekolah dan mata kuliah.


Orde kolonialisme, orde lama, orde baru dan orde reformasi, rakyat kecil selalu saja disuguhi menu istimewa, sambel terasi. Panas, sedap dan pedas berkobar saat mengunyah perjuangan, tapi rasa nikmatnya segera menghilang beberapa saat setelah kemenangan diproklamirkan. Perut-perut kecil kembali menahan lapar, justru mulas yang didapat, sebab porsi nasi yang seharusnya dibagi dengan adil dan merata, habis ditelan mulut- mulut lebar para raksasa. Jatah kurcaci selalu cuma sisa-sisa, dan yang pasti, sambel terasi. Yang berotak selalu memperalat yang hanya berotot. Mental yang rusak memang selalu membawa kerusakan besar bagi sebuah bangsa, kendati bangsa besar Indonesia.

Bangsa ini telah gagal mental. Tidak teguh dalam memegang pendirian dan kepribadian. Tidak konsisten dalam menempatkan budi pekerti luhur sebagai balok tumpu berpijaknya pikiran, ucapan dan perbuatan. Mental yang hanya bertujuan jangka pendek, kebendaan dan kepentingan sesaat, maka ketika diuji dengan sedikit kesenangan dan kenikmatan kue kekuasaan dan kemewahan, mudah lupa diri.

Mental tempe, kedelai diproses saat pagi, langsung bisa dimakan saat sore. Mental karbitan, matang pemaksaan, bukan matang karena kedewasaan. Mental penakut, takut menghadapi tantangan perubahan, takut pembaharuan, takut menghadapi kesulitan di depan. Cari aman, takut resiko, ingin hasil cepat tapi malas berkeringat. Cari jalan pintas, potong kompas, jalan apapun diterabas yang penting urusan tuntas. Mental pengecut, berani berbuat tapi enggan bertanggung jawab. Lempar batu sembunyi tangan, begitu ada kegagalan dan kesalahan sibuk mencari kambing hitam sebagai korban untuk melanggengkan kekuasaan. Mental pengkhianat, bermanis muka, tampak baik dan bisa dipercaya di kala punya hajat, namun setelah kesempatan didapat tak segan mendepak kawan dan pendukung setia, melanggar amanat.

Mental tempe, mental karbitan, mental penakut, mental pengecut dan mental pengkhianat adalah mental pecundang, bukan mental pemenang, mental yang sakit alias mental munafik. Dusta berbicara, ingkar janji dan khianat amanat. Bangsa ini masih saja gagal membentuk mental sehat. Bangsa gagal mental. Sayangnya penyakit gagal mental ini banyak menjangkiti kalangan orang- orang pintar, kaum intelek dan cerdik cendekia. Kalangan yang berperan krusial menentukan arah dan nasib bangsa. Merekalah yang mahir memanfaatkan momentum untuk meraih tujuan pribadi, keluarga atau golongan semata. Orang-orang awam selalu diperalat, menjadi kuda tunggangan, sapi perah di saat senang maupun susah, korban empuk ketidakadilan hukum dan kekuasaan.

Slogan-slogan perjuangan, jargon-jargon keadilan, simbol-simbol kesejahteraan yang kerap diusung untuk menarik simpati massa saat pertarungan politik dan perebutan kekuasaan hanyalah pepesan kosong. Tak ada beda dengan sambel terasi, pedas sesaat lalu tinggal aroma yang menyengat.

Perubahan, perbaikan, pembenahan entah dengan nama reformasi, revolusi atau rekonstruksi sama saja. Rakyat kecil tak peduli dengan teori-teori rumit dan berbelit. Terserah mau pakai hukum apa, peraturan dan perundang-undangan model bagaimana yang penting bisa makan dengan tenang tanpa gangguan. Rakyat kecil tak butuh kaya asal tidak ada pemiskinan. Rakyat kecil tak butuh kemewahan asal tidak ada penggusuran. Rakyat kecil tak butuh subsidi asal tidak ada pencurian dan penutupan pintu rejeki. Rakyat kecil tak butuh pintar dan haus gelar asal tidak ada pembodohan dan penyempitan kesempatan belajar.

Rakyat kecil tak peduli sistem demokrasi, republik, otoriter atau monarki, asal hak-haknya dijamin dan keadilan ditegakkan. Untuk apa demokrasi kalau hanya menghamburkan uang untuk kertas surat dan kotak suara, mengongkosi partai-partai kecil yang tak ketahuan juntrungan arah tujuannya, sidang-sidang sengketa pemilu yang berliku- liku, mobilisasi massa yang mengganggu kenyamanan kerja, gontok-gontokan sesama saudara hanya karena pilihan berbeda. Anggaran belanja negara yang nota bene uang rakyat terbuang percuma. Pileg, pilpres, pilgub, pilkada, dan segala pil atas nama demokrasi tak kalah tinggi daya rusaknya dibanding narkoba dalam merusak mental bangsa. Jual beli suara, suap dan politik uang justru makin meluas dan mengganas. Demokrasi biaya tinggi, terlalu mahal untuk membayar sebuah kebebasan bersuara. Perut lapar tak butuh bersuara, yang dibutuhkan adalah makanan murah dan stok selalu tersedia, agar cacing- cacing dalam perut kosong berhenti bersuara.

Rakyat kecil tak peduli apakah pemimpin itu presiden, perdana menteri, kaisar, sultan atau raja, juga tak peduli bagaimana cara munculnya gubernur, bupati atau walikota, camat dan kepala desa, asal harkat dan martabatnya sebagai manusia merdeka tak diciderai dan ketenangan menjalankan ibadah dan kebebasan beragama bisa terjaga. Rakyat kecil tak menuntut banyak selain ketenangan dan hak hidup yang layak.

Reformasi, revolusi atau rekonstruksi, demokrasi, republik, otoriter, atau monarki, pileg, pilpres, pilgub atau pilkada, presiden, perdana menteri, sultan atau raja, gubernur, bupati, walikota, camat atau kepala desa, semua itu hanya istilah-istilah buatan manusia, teori dan pemikiran orang-orang pintar, mungkin memang sudah seharusnya ada dan dibutuhkan. Tapi manusia tetap otak di belakang senjata, baik buruk hasilnya bagi rakyat kecil, tergantung dari mental orang yang menjalankannya. Jika mental manusianya sehat, akan jadilah kebaikan dan maslahat. Namun jika mental manusianya sakit akan jadilah keburukan dan penyakit, tak ubahnya sambel terasi, panas, sedap dan pedas di lidah beberapa saat, lalu tinggal aroma menyengat di rongga mulut, dan dampak akhirnya perut yang melilit, alias sakit.
Mental adalah penentu sukses tidaknya bangsa dalam mengantarkan tujuan luhur kemerdekaan yang telah digagas dengan cerdas para visioner pendahulu, founding father, para pendiri republik ini. Merekalah orang- orang pilihan yang menghabiskan hidupnya dalam pergulatan penderitaan memperjuangkan harga diri bangsa, bersimbah darah, bermandi keringat dan berenang dalam air mata demi pembebasan negeri ini dari penindasan. Mental-mental mereka telah terkikis oleh kepongahan anak bangsa di era teknologi dan informasi. Nyaris habis. Nyaris tak tersisa. Tak perlu heran, selama mental bangsa masih sakit tak perlu berharap akan mampu mengangkat harkat rakyat kecil agar tak tersingkir dan terabaikan, amanat penderitaan rakyat tak akan mampu tertunaikan.

Bangsa bermental pecundang akan tetap menjadi pecundang dan bangsa bermental pemenang akan tetap menjadi pemenang. Cukup sudah sekian lama berkubang dalam lumpur sejarah kegagalan menjadi pelajaran bersama. Nasib dan nyawa rakyat kecil yang selalu dikorbankan adalah harga yang terlalu mahal untuk dibayar, sekaya apapun harta negara di bumi nusantara. Hanya ada satu cara agar bangsa ini tak menjadi bangsa pandir yang gagal mental. Perangi segera penyakit kemunafikan. Jujur berbicara, menepati janji dan menunaikan amanat. Hanya itu saja, tak ada yang lebih baik.

Handoyo El Jeffry
http://politik.kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar