Sabtu, 23 Oktober 2010

Anggaran (APBN)Terus Naik, Pendidikan Kian Mahal

Kenaikan anggaran pendidikan secara signifikan sejak 2005 ternyata tak membuat biaya pendidikan menurun. Dalam APBN-P 2010, pemerintah menaikkan anggaran pendidikan Rp 11,9 triliun dari Rp 209,5 triliun menjadi Rp 221,4 triliun, tetapi biaya pendidikan terus meningkat, akibat belanja pendidikan yang tidak tepat sasaran. Kenaikan terebut merupakan amanat UUD 1945, yang mensyaratkan anggar- an pendidikan minimal 20 persen dari APBN. Ironisnya lagi, kualitas pendidikan juga belum beranjak naik.
Berdasarkan data BPS, kenaikan biaya pendidikan pada Juli 2009 dibanding tahun 2000 mencapai 227 persen.
Pada 2000, indeks harga biaya pendidikan berada di level 100, sedangkan pada 2009 mencapai 327. Kenaikan itu berada jauh di atas kenaikan harga secara umum yang mencapai 115 persen dan kenaikan harga pangan sebesar 122 persen.
Menurut ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani, meningkatnya indeks harga biaya pendidikan di tengah terus bertambahnya anggaran pendidikan yang disediakan APBN, disebabkan alokasi anggaran pendidikan itu yang tidak tepat sasaran. Akibatnya, tidak mampu mengurangi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan masyarakat.
“Dampaknya tentu ke inflasi. Jadi unsur pemerataan dari alokasi anggaran pendidikan kurang memperhatikan kegiatan usaha ekonomi,” jelasnya di Jakarta.
Anggaran pendidikan yang tahun ini mencapai Rp 221,4 triliun tersebut, menurut Aviliani, belum sejalan dengan penyusunan kebutuhan program pendidikan. “Pemerintah bingung untuk menyalurkan dana tersebut. Kebijakan menjadi tidak terarah,” ujarnya.
Hal senada diungkapkan ekonom Anton H Gunawan. Alokasi anggaran pendidikan belum menyentuh sektor yang mampu meredam belanja pendidikan masyarakat.
Setiap tahun ajaran baru, terjadi kenaikan laju inflasi yang cukup signifikan, khususnya disumbang sektor pendidikan.
Terkait hal itu, pakar pendidikan Utomo Dananjaya menuturkan pemerintah selama ini mendiskriminasi siswa dan mahasiswa dengan melaksanakan sistem pendidikan berstandar internasional dan menerapkan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP).
Pasalnya, sekolah berstandar internasional memungut uang pangkal hingga puluhan juta rupiah dan biaya masuk perguruan tinggi negeri (PTN) juga semakin mahal. Mahalnya biaya pendidikan, antara lain membuat hanya 14 persen siswa yang bisa melanjutkan kuliah ke pendidikan tinggi.
“Pemerintah berdagang sekolah di negerinya sendiri dengan mengesahkan sekolah memungut biaya pendidikan. Di sekolah negeri, ada yang memungut sampai Rp 21 juta,” katanya kepada SP di Jakarta, Jumat (12/3).
Meskipun total anggaran pendidikan dalam APBNP mencapai Rp 221,4 triliun, tetapi hanya sekitar Rp 60 triliun yang dialokasikan untuk program pendidikan. Sebagian besar anggaran digunakan untuk membayar gaji serta tunjangan guru dan dosen. Pendistribusian anggaran pendidikan pun dinilai belum adil.
Tahun lalu, pemerintah menambah anggaran untuk sekolah berstandar internasional Rp 300 juta. Padahal, sumbangannya untuk meningkatkan pendidikan nasional sangat minim.
“Sekolah berstandar internasional sudah memungut biaya mahalk, malah dikasih tambahan dana. Akibatnya, terjadi ketimpangan kualitas pendidikan antara sekolah berstandar internasional dengan sekolah biasa,” katanya.


Privatisasi Pendidikan

Sedangkan, pengamat pendidikan dari Majelis Luhur Taman Siswa, Darmaningtyas, menyatakan, mahalnya biaya pendidikan tak terlepas dari peraturan perundangan yang memungkinkan privatisasi pendidikan. Sekolah dan perguruan tinggi negeri mematok biaya pendidikan yang semakin mahal.
“Makin mahalnya biaya pendidikan bukan hanya asumsi, melainkan sudah terbukti secara empiris,” katanya.
Biaya yang semakin mahal, lanjutnya, membuat pendidikan hanya bisa diakses kalangan menengah ke atas. Banyak siswa dan mahasiswa dari keluarga kurang mampu tak bisa melanjutkan pendidikan karena ketiadaan biaya.
Lebih jauh dikatakan, kenaikan anggaran pendidikan dari tahun ke tahun ternyata tak semuanya mengalir untuk pembangunan pendidikan secara riil. Sebagian anggaran didistibusikan ke departemen lain dan juga ke daerah-daerah.
“Jumlah guru dan dosen yang lulus verifikasi bertambah terus, otomatis tunjangan profesi ikut bertambah. Setidaknya, 25% anggaran pendidikan hanya untuk pemberian tunjangan pendidikan, sehingga anggaran yang jatuh untuk pendidikan langsung tidak sebesar yang dikira,” katanya.
Anggaran pendidikan, kata Darmaningtyas, seharusnya difokuskan pada peningkatan fasilitas sekolah untuk meningkatkan akses masyarakat ke sekolah. Selain itu, anggaran yang ditransfer ke daerah juga harus disesuaikan dengan kebutuhan. “Biaya-biaya di Indonesia timur lebih mahal dibanding dengan Pulau Jawa sehingga tidak relevan bila biaya pendidikan di setiap daerah sama,” katanya.


Mengeruk Keuntungan

Senada dengannya, Koordinator Divisi Monitoring dan Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW), Ade Irawan pun menyatakan, biaya pendidikan tetap mahal meskipun anggaran pendidikan terus naik.
Kebijakan pendidikan nasional cenderung memberi peluang kepada kalangan menengah ke atas untuk mengeruk keuntungan, tetapi mengabaikan kepentingan dan hak orang-orang miskin.
“Kenyataannya, sekolah-sekolah bermutu, unggul, favorit, dan kelas ‘akselerasi’ dihuni anak-anak dari keluarga kaya yang mampu berinvestasi secara ekonomi. Nyaris tidak ada akses bagi anak-anak keluarga miskin,” katanya.
Sedangkan, pakar pendidikan dari Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta, Marcellino menyatakan, anggaran yang besar di bidang pendidikan belum diimbangi dengan kinerja Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) yang optimal. Akibatnya, masih banyak persoalan yang membelit sistem pendidikan nasional.
Survei dan kajian tentang mutu pendidikan secara nasional, merata, berkala, dan mendalam, belum pernah dilakukan secara terencana, sistematis, dan berkala. Akibatnya, sampai kini belum ada umpan balik tertulis yang komprehensif dari pemerintah atas proses dan mutu pendidikan nasional yang dapat dipakai sebagai pegangan dalam menentukan kebijakan fundamental.
Sudah sepantasnya pemerintah meninjau kembali hasil kebijakannya, karena semua belum ditopang data pendidikan yang akurat dan komprehensif. “Sebenarnya kebijakan pemerintah pemerintah telah pro-rakyat, terutama rakyat kurang mampu. Persoalannya menjadi lain ketika program itu dimasukkan ke dalam ranah politik. Pendidikan gratis kini ditagih rakyat, sementara biaya yang dibutuhkan sangat besar. Akibatnya, pungutan masih saja terjadi,” katanya.

Sumber: Suara Pembaharuan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar