Sabtu, 23 Oktober 2010

Pendidikan Indonesia (ter)Mahal di Dunia

Seyogyanya, adalah kewajiban negara untuk menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas bagi setiap warga negaranya, termasuk warga negara yang lemah mental, difabel ataupun berkebutuhan khusus. Namun di negeri yang memiliki kekayaan dan sumber daya alam sangat melimpah ini, pendidikan adalah barang mahal bahkan termasuk yang termahal di dunia. Pendidikan berkualitas apalagi cuma-cuma, masih sebatas mimpi bagi sebagian besar anak Indonesia. Lebih ironis karena pendidikan berkualitas di Indonesia telah menjadi komoditi. Pendidikan telah menjadi ajang bisnis yang sangat menggiurkan. Banyak sekolah menawarkan metode pendidikan terbaik, sarana lengkap dengan tenaga pengajar berkualitas, tentu saja dengan harga yang sangat membelalakkan mata. Hanya kalangan berpunya atau the have yang bisa menikmatinya. Sementara sejumlah besar anak Indonesia dari kalangan the have not, hanya bisa menikmati pendidikan dengan sarana dan prasarana apa adanya, berbagi guru dengan kelas lain bahkan dengan kondisi gedung atau ruang sekolah yang hampir rubuh.

Lebih ironis karena masih banyak anak Indonesia yang ternyata tidak bisa menikmati atau melanjutkan pendidikannya. Jumlah anak putus sekolah dan berpendidikan rendah di Indonesia masih tinggi. Dari Februari 2006 hingga Agustus 2007, tercatat penduduk yang berpendidikan SD dan tidak tamat SD meningkat dari 17,57% menjadi 18,52%. Bahkan, pada tahun 2009 lalu diperkirakan sekitar 12 juta anak Indonesia putus sekolah. Tak kalah ironis, jutaan anak juga masih mengalami gizi buruk. Bagaimana mau pintar dan memiliki daya saing tinggi jika kebutuhan yang lebih mendasar yakni sehat, tidak terpenuhi dengan baik.

Pendidikan anak usia dini (PAUD) juga tak kalah memprihatinkan. Menurut data Departeman Pendidikan Nasional, jumlah anak usia 0-6 tahun pada 2009 diprediksi sebanyak 28,377 juta orang. Dari jumlah tersebut, baru 25% yang bisa berpartisipasi dalam PAUD. Itupun tidak merata baik secara geografis maupun sosial ekonomi. Alhasil, partisipasi PAUD di Indonesia tergolong paling rendah se-Asia Tenggara[i]. Ini bisa jadi sebuah jawaban mengapa SDM kita rendah, karena fondasi pendidikan kita selama ini tidak kuat. Six is too late.

Jika anak-anak sekolah di India sudah bisa menikmati program OLPC, perbandingan antara komputer dan siswa yang menggunakannya pada tahun 2008 di Indonesia adalah 1:3.000 siswa, padahal angka yang ideal adalah 1:20. Dengan fasilitas minim seperti ini, wajar saja jika banyak generasi muda kita yang gaptek (gagap teknologi). Pada jenjang pendidikan tinggi, keadaannya juga tak lebih baik. Banyak lulusan perguruan tinggi kita yang menjadi pengangguran. Jumlahnya terus meningkat dari waktu ke waktu.

Pertanyaannya kemudian, apa yang salah dengan pendidikan di negara kita? Bukankah kekayaan dan sumber daya alam kita sangat melimpah yang seharusnya dengan itu negara sangat mampu untuk menyelenggarakan pendidikan berkualitas dan cuma-cuma untuk semua warga negara? Apakah kualitas pendidikan kita kalah bersaing sehingga banyak lulusannya tidak bisa diserap oleh lapangan kerja yang ada? Apakah sistem pendidikan kita juga kurang baik sehingga banyak kalangan berpunya yang lebih memilih melanjutkan studi di luar negeri?

Jika kita amati, ada beberapa persoalan besar dan mendasar yang menghambat terselenggaranya pendidikan yang berkualitas dan mudah diakses bahkan seharusnya bisa dinikmati secara cuma-cuma oleh semua rakyat di Indonesia. Salah satu yang utama adalah belum terwujudnya good governance dalam tata kelola negara dan pemerintahan. Belum terwujudnya good governance telah mengakibatkan dampak yang sangat sistemik pada hampir semua aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Termasuk dalam dunia pendidikan kita. Tak ada goodwill (kemauan/komitmen) yang konkrit dari pemerintah, salah satunya terlihat pada besarnya alokasi APBN untuk sektor pendidikan. 

Pendidikan gratis tak lebih dari sekedar retorika politik terutama pada masa kampanye pemilihan umum. Bahkan, alokasi 20% APBN/APBD untuk sektor pendidikan seringkali mengalami tarik ulur kepentingan yang berkepanjangan. Bandingkan dengan Malaysia yang sudah mencapai 25% dan Thailand 30%. Ironisnya, anggaran yang masih belum memadai tersebut masih tidak luput dari korupsi. Diperkirakan, anggaran di sektor pendidikan mengalami kebocoran hingga 30%[ii]. Berdasarkan evaluasi pengelolaan dana alokasi khusus tahun 2009 untuk pendidikan oleh KPK, dari total anggaran Rp 9,3 triliun yang dibagikan ke 451 daerah tingkat dua, diperkirakan Rp 2,2 triliun telah diselewengkan di 160 kabupaten atau kota[iii]. Sementara itu menurut temuan ICW, selama kurun waktu 2004-2009, sedikitnya terungkap 142 kasus korupsi di sektor pendidikan. Kerugian negara mencapai Rp 243,3 miliar[iv].

Maraknya praktik korupsi di negara kita hingga ke sektor pendidikan, berdasarkan survei yang diadakan Political and Economic Risk Consultancy (PERC), mengakibatkan Indonesia menempati urutan teratas dalam daftar negara paling korup di antara 16 negara tujuan investasi di Asia Pasifik (Media Indonesia Online, 10 Maret 2010). Dalam survei tersebut, Indonesia mendapatkan 9,27 dari total skor 10. Pada 2009, Indonesia juga menempati urutan teratas namun pada waktu itu skornya masih lebih baik yakni 8,32. Di posisi kedua negara terkorup di Asia Pasifik adalah Kamboja dengan skor 9,10 dan diikuti Vietnam dan Filipina.

Dengan kondisi seperti itu, belum adanya goodwill yang konkrit dan anggaran yang memadai, sangat wajar jika kualitas pendidikan kita sangat memprihatinkan. Banyak anak-anak tak bisa sekolah karena biaya pendidikan yang terus melambung (biaya pendidikan di Indonesia termasuk yang termahal di dunia); sarana dan prasarana pendidikan apa adanya dan kualitas guru yang kurang memadai karena di negeri kita profesi guru masih dipandang sebelah mata. Mereka yang masuk Ilmu Pendidikan biasanya adalah “sisa” yang gagal bersaing masuk ke jurusan elit. Salah satu sebabnya karena gaji guru yang jauh dari cukup sehingga selain mengajar, para guru harus kerja serabutan lain untuk menopang kehidupannya. Ada yang menjadi tukang ojek, tukang parkir bahkan pemulung. 

Dengan kondisi seperti ini, sangat sulit untuk mengharapkan para guru akan totalitas dalam menjalankan tugas mulianya sebagai pendidik generasi muda. Pada akhirnya akan berpengaruh pada kualitas anak didik dan daya saing mereka sebagai aset bangsa. Jika ini terus dibiarkan, kita akan semakin tertinggal. Bisa-bisa kita menjadi tamu di negara sendiri karena SDM handal dari luar negeri akan mengambil alih posisi-posisi strategis di negeri kita. Itulah hukum persaingan di era global saat ini : siapa yang memiliki daya saing tinggi, dia yang akan menguasai dunia.

Oleh: Ririnhandayani  


[i] Perhatian pemerintah terhadap PAUD masih minim meski PAUD sudah dimasukkan dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Untuk program PAUD nasional, pemerintah baru mampu menyediakan anggaran Rp 500 milyar. Dengan dana sebesar itu, hanya sekitar 25% balita di Indonesia yang bisa menikmati PAUD. Tidak mengherankan pula jika dari 182.201 lembaga PAUD yang tercatat hingga tahun 2008, semuanya merupakan lembaga milik masyarakat.
[ii] Sumber : http://www.transparansi.or.id/majalah/edisi4/4berita_6.html
[iii] Sumber : Wabah Korupsi Dana Pendidikan, diposting pada 22 Januari 2010. Lebih lengkap dapat diakses pada http://www.tempointeraktif.com/hg/opiniKT/2010/01/22/krn.20100122.188618.id.html
[iv] Kebocoran dana pendidikan yang paling besar terjadi dalam pengadaan gedung dan sarana prasarana sekolah. Hal itu disebabkan karena besarnya dana yang digunakan untuk pengadaannya, banyaknya aktor yang terlibat dalam pengelolaannya, serta banyaknya celah korupsi dalam pengelolaan dana tersebut. 
Sumber : http://edukasi.kompas.com/read/xml/2009/09/09/19453779korupsi.dana.pendidikan.dari.dinas.hingga.sekolah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar