Senin, 25 Oktober 2010

Gunung Padang: Situs Megalitik Terbesar di Asia Tenggara?

Pada tanggal 15 Agustus 2009 lalu, saya berkesempatan mengikuti “Tur Situs Megalitik Gunung Padang”. Situs Gunung Padang terletak di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur. Konon, menurut para ahli arkeologi, situs ini merupakan situs megalitik terbesar di Asia Tenggara. Pada judul tulisan ini, saya menambahkan tanda tanya pada akhir kalimat judul karena masih membutuhkan pembuktian lebih lanjut untuk meyakinkan bahwa Situs Gunung Padang merupakan situs megalitik terbesar di Asia Tenggara.

Asyiknya, “Tur Megalitik Situs Gunung Padang” dimulai dengan naik kereta ekonomi jurusan Bandung - Cianjur. Jalur kereta Bandung - Cianjur merupakan jalur kereta api tertua, yang mulai dioperasikan pada tahun 1884. Sepanjang jalur ini, banyak terdapat potensi geowisata tentang pembentukan Danau Bandung Purba. Untungnya, pemimpin dan interpreter tur adalah pakar geologi, jadi, di sepanjang perjalanan dengan kereta ini, kami  mendapatkan penjelasan ttg berbagai  fenomena geologis yang dilalui.  Sebetulnya, tidak hanya peserta tur yang mengikuti penjelasan ini, ketika Pak Budi -interpreter- menunjukkan sesuatu di luar jendela, penumpang yang lain -plus penjual yang berlalu lalang- pun ikut melongok ke jendelanya  masing-masing…
image0012
Suasana kereta api ekonomi Bandung - Cianjur yang membawa peserta tur

Jalur Bandung - Cianjur merupakan jalur yang sangat sepi karena hanya melayani satu rute kereta api, yaitu Bandung - Cianjur - Bandung, berangkat dari Bandung pukul 08.10, dan kembali lagi dari Cianjur pukul 14.00. Karena jalurnya sepi, kereta api Bandung - Cianjur ini bisa berhenti hampir di setiap stasiun kereta api yang dilewatinya.

Rombongan tur sendiri turun di Stasiun Cipeuyeum. Perjalanan Bandung - Stasiun Cipeuyeum ditempuh dalam waktu 1,5 jam. Stasiun Cipeuyeum ini merupakan stasiun di pinggir Kota Cianjur. Di sana kami sudah dijemput oleh bis yang akan membawa kami ke Situs Gunung Padang. Perjalanan dari Stasiun Cipeuyeum ke Gunung Padang ditempuh dalam waktu sekitar 1 jam 45 menit, tetapi kami singgah  dulu di Stasiun Lampegan yang memiliki terowongan kereta api yang juga sudah tua umurnya.

image0032
 Stasiun Cipeuyeum, Cianjur

Stasiun Lampegan saat ini sedang dalam perbaikan untuk dapat dioperasikan lagi pada tahun 2010 nanti. Terowongan kereta api Lampegan dibangun selama tiga tahun, sejak tahun 1879 - 1882. Informasi ini tercantum di atas mulut  terowongan tersebut. Memasuki terowongan, suasana gelap dan dinginlah yang kami rasakan. Hanya sekitar 10 menit kami berada di dalam terowongan karena terowongan pun sedang dalam renovasi.

http://www.semboyan35.com/images/lampegan/lgn_011.jpg
Terowongan Lampegan, terowongan tua yang dibangun selama tiga tahun

Perjalanan kami lanjutkan ke Situs Gunung Padang. Tepat 15 menit, kami tiba di perkebunan teh milik PTPN VIII Panyairan yang terletak di sekitar  Situs Gunung Padang. Perjalanan harus dihentikan di sana karena bis yang kami gunakan, tidak memungkinkan untuk masuk sampai ke kaki Gunung Padang. Kendaraan  yang lebih kecil  dapat langsung sampai ke kaki Gunung Padang.

image0071
 Dari perkebunan teh Penyairan inilah pendakian ke Situs Gunung Padang dimulai

Dari sini kami berjalan kaki sekitar 1 km, sebetulnya hal ini tidak menjadi masalah karena kami berjalan melalui perkebunan teh yang pemandangannya sangat indah, namun karena saat itu hampir tengah hari, jadi terasa agak panas.

Setelah melalui jalan-jalan mendaki, menurun, mendaki lagi, akhirnya kami tiba di kaki Gunung Padang sekitar satu  jam kemudian. Karena hari sudah siang, kami memutuskan untuk menyantap makan siang dulu sebelum melanjutkan pendakian ke Situs Gunung Padang. Sedapnya…, makan siang yang disediakan oleh masyarakat adalah makanan khas Sunda, yaitu nasi liwet, ikan asin goreng, ayam goreng, pepes ikan mas, dan tidak ketinggalan karedok.

image0091
 Perjalanan mendaki menuju kaki Gunung Padang

Setelah sejenak beristirahat dan sholat, kami mulai melakukan ‘pendakian’ ke Situs Gunung Padang. Untuk menuju Situs Gunung Padang, terdapat dua alternatif jalan. Alternatif pertama adalah jalan utama, mendaki sekitar 370 anak tangga dengan kemiringan yang cukup tajam, hampir 40 derajat. Alternatif kedua adalah mendaki sekitar 500 anak tangga dengan kemiringan yang lebih landai. Kami memutuskan untuk mengambil jalan utama  yang jarak tempuhnya lebih pendek dan terbuat dari batuan asli, walaupun dengan kemiringan yang lebih tajam.
image0111
Jalan masuk Situs Gunung Padang, di sisi kiri terdapat anak-anak tangga menuju situs

Satu per satu anak tangga kami daki. Anak-anak tangga ini disusun dari batu-batu berbentuk kolom poligonal yang dipasang melintang. Dengan sedikit terengah-engah, akhirnya 15 menit kemudian, kami tiba di Situs Gunung Padang. Woww…!! Pemandangan k depan dan ke belakang betul-betul menakjubkan!

image0131image0151
 Perjalanan mendaki sekitar 370 anak tangga dan pemandangan di belakangnya

Situs Gunung Padang ini terdiri dari lima pelataran (bisa juga menjadi 7 pelataran jika bagian-bagian tertentu di bawahnya dianggap sebagi pelataran). Masing-masing pelataran berada lebih tinggi sekitar 50-cm dari pelataran sebelumnya.

Beberapa peserta tur yang kelelahan langsung merebahkan diri ke atas rerumputan begitu tiba di  pelataran pertama. Pelataran pertama adalah pelataran dengan gerbang kecil yang terbentuk oleh kolom-kolom batu yang berdiri berhadapan. Pada pelataran pertama ini terdapat batu-batu berwarna abu-abu berbentuk kolom yang masih tersusun rapi membentuk ruang persegi panjang. Batu-batuan di Gunung Padang adalah batuan jenis andesit basaltis yang merupakan hasil pembekuan magma pada lingkungan sisa-sisa gunung api purbakala pada jaman Pleistosen Awal, sekitar 2 - 1 juta tahun yang lalu. Karena pengaruh proses alam, batu-batuan ini membentuk dirinya menjadi kolom-kolom poligonal segi empat, lima, enam, delapan, yang permukaannya sangat halus sehingga banyak orang yang mengira batu-batuan ini merupakan hasil karya tangan manusia jaman dahulu.

image0171
 Pelataran pertama Situs Gunung Padang

Arsitek megalitik yang diperkirakan hidup sekitar 6000 tahun yang lalu, menyusun kolom-kolom batu tersebut menjadi sebuah bangunan berundak-undak yang sangat indah. Sayangnya, letak batu-batuan tersebut saat ini sudah banyak yang tidak beraturan, tergeletak begitu saja. Menurut Pak Dadi, petugas di situs Gunung padang, sebelum dianggap memiliki nilai budaya yang tinggi, Gunung Padang merupakan sumber kayu bagi para pencari kayu. Banyak pohon-pohon besar yang tumbuh di sini dan ditebang oleh para pencari kayu. Selain itu, Gunung Padang juga pernah dimanfaatkan sebagai ladang oleh masyarakat sekitar. Penebangan dan pengangkutan pohon serta perladangan lah yang mengubah posisi bebatuan dari posisi aslinya. Untungnya, masih terdapat beberapa batuan yang tersusun rapi pada posisi aslinya sehingga nilai-nilai budayanya tidak hilang begitu saja.

Pada pelataran pertama, terdapat batu berbentuk poligon yang disebut batu gamelan. Konon, pada jaman dahulu, dari arah Gunung Padang  ini kerap terdengar bunyi-bunyi gamelan setiap malam Selasa dan malam Jumat. Sampai saat ini bunyi gamelan ini sesekali saja terdengar, dikalahkan oleh bunyi-bunyi dari sumber-sumber suara lain yang lebih modern, seperti TV, radio, maupun kendaraan bermotor. Salah satu petugas yang mengantar kami, memainkan batu gamelan tersebut, terdengarlah alunan musik tradisional Sunda dari pukulan-pukulan batu kecil pada batu gamelan. Para seniman tradisional Sunda, seperti pesinden, dalang, konon sering melakukan doa di sini sebelum melakukan pertunjukan.

image0191
Batu gamelan yang sedang dimainkan oleh pemandu kami, Pak Nanang

Pada pelataran berikutnya, Pak Dadi, menunjukkan kepada kami batu dengan cerukan yang menyerupai bentuk telapak kaki harimau berukuran besar.

image0211
Ceruk berbentuk Telapak kaki harimau pada salah satu batu

Di pelataran selanjutnya, terdapat batu gendong. Menurut Pak Dadi, jika ada yang berhasil mengangkat batu gendong tersebut, maka semua keinginannya akan terwujud. Penasaran, saya mencoba untuk mengangkat batu tersebut. Ternyata, saangaat berat! Beberapa kali saya coba, tidak satu kali pun batu itu terangkat oleh saya. Beberapa peserta tur lain pun mencoba mengangkat batu gendong, tetapi tidak ada satu orang pun yang berhasil, termasuk Pak Dadi….!!

image0231
 ‘Penguasa’ Gunung Padang pun tidak berhasil mengangkat batu gendong ini

Pada pelataran kelima, terdapat tempat yang dianggap memiliki aura paling kuat di Gunung Padang. Di tempat ini terdapat lubang kecil di bawah tanah yang ditutupi oleh batu-batu poligonal. Menurut Pak Dadi, lubang  ini pada awalnya berukuran besar, bahkan manusia pun bisa masuk ke dalamnya, tetapi untuk menghindari hal-hal yang membahayakan pengunjung, lubang ini sebagian ditutup olehnya. Di tempat inilah orang-orang yang percaya pada kekuatan mistis Gunung Padang bersemedi untuk mendapatkan kesuksesan dan keberhasilan yang diinginkannya.

image0251
 Tempat yang dianggap memiliki kekuatan paling besar di Gunung Padang

Kalau merujuk pada sejarah Jawa Barat, Gunung Padang ini diperkirakan merupakan salah satu kebuyutan yang ditemukan oleh seorang pangeran Kerajaan Sunda yang berkelana menjelajahi tempat-tempat keramat di Pulau Jawa dan Bali pada sekitar abad ke-15. Konon, tujuan perjalanannya adalah untuk meningkatkan ilmu yang dimilikinya.

Pangeran ini adalah pangeran yang mendapat julukan Bujangga Manik. Dari perjalanannya, Bujangga Manik berhasil mencatat sekitar 450 nama geografis yang sebagian besar masih dapat dikenali sampai saat ini. Catatan dalam lembar-lembar daun lontar tersebut sekarang tersimpang di Museum Bodleian, Oxford, Inggris. Dari catatan tersebut diketahui bahwa Bujangga Manik pernah melakukan persiapan untuk perjalanan spiritualnya ke Nirwana di suatu tempat kebuyutan yang ditemukannya di hulu Sungai Cisokan, Cianjur. Walaupun belum ada kepastian di mana kebuyutan di hulu Sungai Cisokan yang disebut oleh Bujangga Manik, tetapi satu-satunya tempat kebuyutan yang ada di hulu Sungai Cisokan - Cikondang, Cianjur adalah Gunung Padang.

Nampaknya, masih banyak cerita bernilai tinggi yang dapat digali dari Situs Gunung Padang. Ini tentu saja membutuhkan dukungan para peneliti arkeologi maupun sejarah. Potensi arkeologi, sejarah, maupun geologi Gunung Padang yang masih belum digali secara optimal ini merupakan kekayaan alam dan budaya yang sangat tinggi bagi Cianjur, dan bahkan bagi Indonesia.

Kami duduk-duduk menikmati angin sepoi-sepoi dan bertukar cerita tentang kemungkinan sejarah geologis dan kebudayaan situs ini  di pelataran ke lima hingga sore hari. Kami kemudian turun kembali ke kaki Gunung Padang. Kali ini, kami mengambil jalan yang lebih landai agar pengalaman yang kami dapatkan lebih utuh. Melalui jalan ini dapat dilihat sisi situs Gunung Padang yang dibentuk dari tumpukan (mungkin) ribuan batu poligonal ini.  Wah, sungguh  mengesankan…
Saya pasti akan kembali lagi ke sini. Sampai jumpa lagi, Gunung Padang!

image027
 Sisi Situs Gunung Padang

image029
Perjalanan pulang melalui jalan alternatif kedua, lebih panjang tetapi lebih landai

Yani Andriani
www.ayotamsya.com

Situs Candi Muaro Jambi (Terluas di Nusantara)


Situs Purbakala Kompleks Percandian Muaro Jambi

Situs kepurbakalaan Muaro Jambi merupakan situs peninggalan purbakala terluas di Indonesia, membentang dari barat ke timur sepanjang 7,5 km di tepian Sungai Batanghari, dengan luas ± 12 km². Peninggalan ini terbentang dari desa Muaro Jambi dan desa Danau Lamo di bagian barat hingga desa Kemingking Dalam, Kecamatan Muaro Sebo di bagian Timur, Kabupaten Muaro Jambi.

Dari Kota Jambi situs purbakala ini dapat dicapai melalui jalur darat sekitar 30 menit ke arah timur Kota menuju Pelabuhan Talang Duku, kemudian dilanjutkan dengan jalur sungai menyeberangi Sungai Batanghari ke desa Muaro Jambi. Atau dapat pula dicapai melalui perjalanan darat langsung ke dekat situs melalui jalur memutar ke arah barat Kota, menyeberangi jembatan Aur Duri, kemudian dilanjutkan lewat desa Jambi Kecil ke arah situs, dengan perkiraan jarak dari pusat Kota ± 40 km. Pilihan lain adalah dengan menyewa perahu kéték atau sebeng (speed boat) yang dapat dijumpai di pinggiran sungai Batanghari di tengah kota, untuk kemudian menyusuri sungai Batanghari sambil menikmati pemandangan sepanjang aliran sungai menuju situs candi.


Peta Kompleks Percandian Muaro Jambi

Pada mulanya situs Muaro Jambi tidak banyak dikenal orang dan hanya diketahui penduduk setempat. Baru pada tahun 1820, secara terbatas situs ini mulai terungkap setelah kedatangan S.C. Crooke, seorang perwira Inggris yang ketika bertugas mengunjungi daerah pedalaman Batanghari mendapat laporan dari penduduk setempat tentang adanya peninggalan kuno di Desa Muaro Jambi. Selanjutnya pada tahun 1935-1936, seorang sarjana Belanda yang bernama F.M. Schnitger, dalam ekspedisi purbakalanya di wilayah Sumatera, pernah mengunjungi dan sempat melakukan penggalian terhadap situs Muaro Jambi. Sejak itu Muaro Jambi mulai dikenal, dan mulai 1976 sampai saat ini, secara serius dan bertahap, dilakukan penelitian dan preservasi arkeologi untuk menyelamatkan situs dan peninggalan bersejarah di situs Muaro Jambi ini.

Bunga Emas
Di dalam kompleks situs tidak hanya terdapat candi, tapi juga menyimpan aneka artefak kuno seperti arca, keramik, manik-mani, mata uang kuno dll. Ada 8 kompleks percandian, kolam kuno, yang oleh penduduk setempat dinamai Kolam Telago Rajo, serta diperkirakan lebih dari 60 buah menapo (gundukan tanah reruntuhan sisa bangunan kuno).
Wilayah situs juga dikelilingi oleh setidaknya 6 kanal atau parit-parit kuno buatan manusia, yang oleh penduduk setempat dinamai Parit Sekapung, Parit Johor dan Sungai Melayu. Sebagian besar parit tersebut saat ini sudah mengalami pendangkalan. Beberapa tahun silam, penduduk setempat masih memanfaatkan alur-alur kanal kuno ini sebagai sarana transportasi dengan menggunakan sampan tradisional. Bukan tidak mungkin bahwa pada masa lalu kanal-kanal ini dibuat dengan alasan yang sama, yaitu sebagai sarana transportasi dan distribusi logistik, selain sebagai sistem drainase kawasan rawa. Ada pula yang menduga fungsi strategisnya sebagai sistem pertahanan kompleks percandian.



...::: Museum Situs :::...

Museum Situs berada di lokasi pusat kunjungan kepurbakalaan Muaro Jambi. Merupakan gedung pusat informasi & tempat penyimpanan koleksi temuan purbakala yang berasal dari situs, baik dari hasil penelitian maupun temuan penduduk Muaro Jambi. Di dalamnya terpajang beraneka ragam koleksi yang menggambarkan keagungan nilai-nilai peninggalan purbakala Situs Muaro Jambi seperti : arca, belanga, padmasana, manik-manik, mata uang, bata berhias, serta keramik-keramik baik asing maupun tembikar lokal. Diantara peninggalan yang ditemukan adalah :

1. Arca Prajnaparamita

Arca Prajnaparamita

Arca dalam wujud dewi ini dalam agama Budha Tantrayana merupakan Dewi Kebijaksanaan, sebagai simbol tercapainya Sunyata (kebenaran tertinggi) yang berupa Sakti (unsur wanita). Digambarkan dalam Dharma-cakramudra, yaitu sikap tangan 'sedang memutar roda dharma', serta sikap duduk vajraparyangka, kaki melipat bersikap padmasana (lotus/teratai), sebagai lambang kesucian yang hidup dalam tiga alam; tanah, air dan udara yang merupakan unsur kehidupan dalam agama Budha.

2 . Belanga
Belanga yang tersimpan di Museum Situs ini merupakan temuan wadah logam terbesar dari Situs Muaro Jambi. Mempunyai berat 160 kg serta tinggi 67 cm, dengan diameter lingkar bibir 106 cm. Ditemukan penduduk setempat ketika sedang menggali tanah tak jauh dari kompleks Candi Kedaton.



...::: Candi Gumpung:::..


Candi Gumpung

Lokasi Kompleks Candi Gumpung terletak di pusat kunjungan wisata Percandian Muaro Jambi, tepatnya berhadapan dengan Museum Situs. Kompleks candi ini dikelilingi pagar tembok sepanjang 150 x 155 m, dengan gapura utama berada di sisi timur. Di dalamnya selain terdapat candi induk, juga terdapat sisa candi perwara, salah satunya berada tepat didepannya.

Pada waktu dilakukan pemugaran tahun 1982 hingga 1988, telah diselamatkan beberapa temuan penting, diantaranya arca Prajnaparamita, dan sebuah padmasana bata (lapik/dudukan arca), peripih candi, wajra, serta potongan gelang perunggu yang saat ini tersimpan di Museum Situs.

padmasana

Sedang temuan besar lain berupa makara batu berukir sangat indah dan kini terpasang pada salah satu pipi tangga candi utama. Menarik untuk tidak dilewatkan yaitu tetap dilestarikannya sisa-sisa pagar tembok yang telah rubuh, yang terletak di depan candi di sisi timur laut.



...::: Kolam Telago Rajo:::...


Kolam Telago Rajo
Nama Telago Rajo diambil dari istilah penduduk setempat menamai sebuah kolam kuno yang terletak di depan Candi Gumpung, atau sebelah timur Museum Situs. Kolam ini berukuran 100 x 200 m, yang selalu tergenang air dengan kedalaman 2-3 m, dari permukaan tanah. Kemungkinan besar pada masa lalu kolam ini berfungsi sebagai resevoir (waduk persediaan air).



...::: Candi Tinggi :::...


Candi Tinggi

Dari kompleks Candi Gumpung apabila anda melihat ke arah timur laut dengan jarak ± 200 m dapat terlihat sebuah candi lain yang menjulang lebih tinggi. Candi inilah yang disebut Candi Tinggi. Halaman Kompleks Candi Tinggi dikelilingi pagar tembok dengan gapura utama menghadap ke sebelah timur sedangkan gapura lain berada di sisi barat. Didalamnya terdapat candi induk dan 6 candi perwara.

Pada candi induk terdapat tangga naik menuju kedua teras candi dengan tubuh bangunan makin mengecil pada puncaknya. Beberapa temuan yang sekarang tersimpan di Museum Situs, antara lain sejumlah potongan benda dari besi dan perunggu, pecahan arca batu, fragmen keramik asing dari Cina asal abad ke-9 hingga ke-14 Masehi. Disamping itu juga terdapat bata-bata kuno yang digores dengan tulisan yang lazim dipakai pada abad ke-9 Masehi, sezaman dengan tulisan prenagari.



...::: Candi Kembar Batu :::...


Candi Kembar Batu
Lokasi Candi Kembar Batu dapat ditempuh dari Candi Tinggi ke arah tenggara dengan jarak ± 250 m. Kompleks candi dibatasi parit dan panggar tembok keliling dengan pintu gerbang terletak di sisi timur, serta didalamnya terdapat candi induk dan sejumlah candi perwara. Pada waktu dilakukan ekskavasi berhasil diselamatkan sebuah gong kuno dari perunggu bertuliskan huruf Cina, dan kini benda itu menjadi koleksi Museum Negeri Jambi. Selain itu juga ditemukan pula bata bergambar, bergores serta bertulis, dan keramik asing dari masa Dinasti Sung yang dapat kita lihat di Museum Situs.



...::: Candi Astano :::...

Candi Astano
Candi Astano berada sekitar 1.250 m arah timur Candi Tinggi. Bangunan candi induk unik, berbeda bentuk dibanding candi-candi lain yang ada di Situs Muaro Jambi. Bentuk bangunan memiliki 12 sisi, menurut penafsiran para ahli, bentuk tersebut merupakan gabungan tiga bangunan yang masing-masing berbeda usianya atau dibangun lebih dari satu kali. Selain itu di lokasi candi juga ditemukan dau buah padmasana (lapik/dudukan arca), keramik asing dari masa Dinasti Sung dan ratusan manik-manik.



...::: Candi Gedong 1 dan Candi Gedong 2 :::...

Kedua candi letaknya saling berdampingan, Candi Gedong 1 berada di sisi timur dan Candi Gedong 2 terletak di sebelah barat. Kedua candi induk sama-sama memiliki tangga masuk dari sisi timur.

1. Candi Gedong 1



Candi Gedong 1
Halaman candi dikelilingi pagar tembok sepanjang 65 x 85 m dengan gapura utama terletak di sisi timur. Selain bangunan candi, juga ditemukan pecahan arca, sejumlah bata bergambar dan bertulis, lesung batu, lonceng, uang kepeng Cina, umpak batu dan pecahan-pecahan genting kuno yang semuanya tersimpan di Museum Situs. Khusus temuan umpak batu dan genting, ditafsirkan pada lokasi ini selain terdapat struktur bangunan bata, juga pernah berdiri struktur bangunan kayu/bambu beratap genting.

Lesung Batu

arca gajah singa


2. Candi Gedong 2

Candi Gedong 2
Candi Gedong 2 dikelilingi pagar tembok sepanjang 76 x 675 m, sedang reruntuhan gapura utama terletak di sisi timur. Dari sisa-sisa yang ada dapat diketahui bahwa pada mulanya Candi Gedong 2 memiliki lantai bata, di depan candi induk terdapat candi perwara. Temuan penting lainnya, yaitu arca Gajah Singha serta sejumlah pecahan arca batu, bata bertulis dan pecahan keramik asing dan lokal.


...::: Candi Kedaton :::...


Candi Kedaton
Kompleks candi terletak di sebelah utara jalan raya, sebelum pintu gerbang masuk kawasan wisata Situs Muaro Jambi, atau dapat dicapai dari pusat kunjungan ke arah barat melalui Candi Gedong 1 dan 2. Candi Kedaton merupakan kompleks candi terbesar yang ada di Situs Muaro Jambi. Halaman kompleks dikelilingi pagar tembok, reruntuhannya masih dapat ditemui, dan diperkirakan memiliki panjang yang mengelilingi wilayah 215 x 250 m. Di dalam kompleks terdapat candi induk yang menghadap ke utara dan berdenah bujur sangkar berukuran 26 x 26 meter.

Belango
Bangunannya mudah dikenali karena bentuknya yang besar dan pada salah satu dinding sisi barat terdapat longsoran berangkal berwarna putih yang merupakan bagian dari batu isian bangunan. Kebesaran candi juga tampak dari aneka ragam temuan purbakala seperti padmasana batu, umpak-umpak batu, ubin bata serta tidak jauh dari lokasi candi pernah ditemukan sebuah belanga yang cukup besar, yang kini tersimpan di Museum Situs.


...::: Candi Kotomahligai :::...

Lokasi kompleks candi terletak paling barat dari gugusan percandian Muaro Jambi. Dari pusat kunjungan wisata situs purbakala Muaro Jambi berjarak ± 4 km, yang secara administratif terletak di wilayah Desa Danau Lamo kecamatan Muarosebo. Pada kompleks candi terdapat candi induk dan candi perwara, selain itu juga terdapat sisa-sisa dinding tembok suatu bangunan yang terdiri dari beberapa ruangan. Wilayah dengan luas ± 10.850 m² ini juga dikelilingi pagar tembok. Pada halaman ini pernah ditemukan dua buah arca gajah, satu diantaranya berupa Gajah Singha seperti yang ditemukan di Candi Gedong 2. Kedua arca tersebut telah dipindahkan dan disimpan di Museum Situs.

Arca Gajah

Arca Gajah



...::: Warisan Budaya Bernilai Tinggi :::...

Bangunan-bangunan candi dan bekas reruntuhannya menunjukkan bahwa di masa lalu situs Percandian Muaro Jambi pernah menjadi pusat peribadatan. Terdapat petunjuk kuat dari peninggalan yang ditemukan bahwa Percandian Muaro Jambi adalah pusat peribadatan agama Budha Tantri Mahayana.

Bata Candi
Stupa

Petunjuk tersebut terlihat selain dari candinya sendiri juga dari ragam temuan sarana ritual seperti, Arca Prajnaparamita, reruntuhan stupa, arca gajah singha, wajra besi serta tulisan-tulisan mantra yang dipahatkan pada lempengan emas atau digoreskan pada bata. Diantara bata-bata yang bertulis terdapat suku kata 'Wijaksana', kemudian sebutan 'wajra' pada lempengan emas, serta aksara nagari pada batu permata berbunyi 'tra-tra'.

Lempengan Emas Mantra

Keramik
Selain itu, di situs ini juga ditemukan peninggalan berupa keramik dari Cina masa Dinasti Song (abad ke 11-12 Masehi), yang mengindikasikan adanya hubungan internasional yang telah terjadi pada masa itu. Sementara penemuan keramik Eropa abad ke-19 membenarkan adanya ekskavasi yang pernah dilakukan oleh Perwira Inggris dan sarjana Belanda abad ke 19-20.

Penemuan lain berupa manik-manik, perhiasan, tembikar, pecahan genting, dan sisa-sisa peralatan rumah tangga, bandul jaring/jala untuk menangkap ikan, dll., menunjukkan bahwa kawasan yang mengelilingi kompleks percandian ini juga pernah menjadi kawasan pemukiman, yang diduga kuat merupakan tempat bermukimnya para biksu dan pelajar Budha di masa lalu.

Perlengkapan Upacara
Demikianlah, warisan sejarah budaya bernilai tinggi, yang selayaknya kita jaga dan lestarikan. Bangsa yang besar tidak melupakan sejarahnya. Karena dengan mengetahui dimana kita berpijak (sejarah), maka kita akan mampu menentukan arah mana yang akan dituju.

Sejak pertengahan tahun 2007, usaha pemugaran dan pembangunan candi dari reruntuhan menapo yang berhasil ditemukan kembali dilakukan. Dan pemanfaatan kembali situs ini sebagai bagian dari upacara hari-hari besar keagamaan Agama Budha telah pula dilaksanakan, bahkan situs ini menjadi pusat pelaksanaan perayaan Waisak yang masuk dalam agenda Nasional disamping Borobudur.

Diharapkan usaha pelestarian dan pengembangan cagar budaya ini akan terus dilakukan dan hasilnya dapat segera kita nikmati bersama sebagai bagian dari kekayaan budaya leluhur kita.

Sumber: www.kotajambi.go.id

Pencerahan dan Ketercerahan



Kalau Anda orang Islam alangkah indahnya kalau serajin dan sedalam mungkin Anda menggali nilai-nilai Islam untuk Anda kontribusikan kepada seluruh bangsa kita, agar proses-proses demokrasi, keadilan dan penyejahteraan yang kita lakukan bareng-bareng ini semakin efektif. Di kulit luar Al-Qur’an bagian belakang, biasanya ditulis firman Allah La yamassuhu illal muthahharun. Biasanya ustadz-ustadz kita mengartikan bahwa kalau kita sedang dalam keadaan batal dan belum berwudlu, maka dilarang menyentuh Al-Qur’an. La itu tidak atau jangan. Yamassu itu menyentuh. Hu itu kata ganti untuk Al-Qur’an. Illa itu kecuali. Muthahharun itu orang-orang yang dalam keadaan suci.

Sekali lagi, sebelum pegang Qur’an, kita berwudlu dulu, supaya muthahhar. Itu tidak salah, dan bagus untuk pendidikan dasar etika vertikal keislaman. Tapi sebaiknya tidak tertutup bagi pengembangan interprestasi. Misalnya, kita ambil dua hal. Yang pertama, yang disebut Qur’an dalam tafsir dasar di atas sebenarnya adalah mushaf. Terdiri dari kertas dan goresan tinta. Itu yang jangan dipegang kalau dalam keadaan batal. Pastilah Qur’an bukan kertas dan tinta. Qur’an adalah suatu rumusan dan tuturan firman, yang bersifat rohaniah (intelektualitas itu rohaniah), yang diantarkan oleh bahasa atau peralatan budaya manusia melalui kertas dan tinta.

Dulu malaikat Jibril tidak datang dari langit kepada Muhammad SAW. membawa berkas buku, melainkan membawa titipan ucapan Tuhan. Ketika dikatakan ‘Bacalah !’, bukan berarti Jibril menyodorkan kertas yang ada tulisannya dan Muhammad disuruh membaca. ‘Membaca’ di situ memiliki pengertian yang sangat-sangat luas. Intinya: membaca kehidupan. Utsman ibn Affan yang kemudian mempelopori pe-mushaf-an rohani Qur’an itu.

Jadi mushaf adalah suatu sarana budaya atau fasilitas teknologi yang mengantarkan Qur’an kepada manusia. Maka, la yamassuhu, tidak (bisa, boleh) menyentuh, sasarannya bukan terutama mushaf, melainkan substansi Qur’an itu sendiri. Oleh karena itu pengembangan interpretasi atas ayat Allah yang menghiasi kulit belakang mushaf itu, bisa begini: Kalau jiwamu tidak berada dalam keadaan muthahhar, enlighted, tersucikan, maka engkau tidak berada di dalam koridor hidayah dan fungsi Qur’an bagi kehidupanmu.

Katakanlah ada beberapa fungsi Qur’an, umpamanya: ia bukan hanya informasi, tapi juga informasi yang pasti benar. Ia bukan sekedar pemberitahuan, tetapi petunjuk. Ia bukan sekedar berita, tapi kabar gembira. Ia bukan hanya penuturan ilmu, tapi juga rahmat. Ia bukan hanya perintah, tapi rahasia ilmu. Ia bukan hanya ketegasan kebenaran, tapi juga cinta dan kedamaian yang matang. Ia bukan hanya selebaran tentang iblis dan setan, tapi juga rangsangan eksplorasi fisika, biologi, astronomi. Serta banyak lagi. Manusia yang pikirannya skeptis terhadap Qur’an, yang hatinya blocked-out dari firman pamungkas Allah itu, yang sikap hidupnya mempergelap dirinya sendiri, logis kalau tidak memperoleh sentuhan apapun dari multi-probabilitas rahmat Allah melalui Qur’an. La yamassuhu illal muthahharun. Tidak memperoleh apa-apa darinya kalau menolak enlightment. Dan kalau memang kita memilih yang ini, tak ada masalah bagi Tuhan, Muhammad atau siapa pun saja. Allah tidak menangis, Muhammad tidak merugi, Islam tidak merasa kurang suatu apa. Sebab Islam tidak akan mendapatkan risiko apa-apa, ia bukan manusia yang harus bertanggung jawab kepada sumbernya. [EAN].

Sumber: ” Kitab Ketentraman Emha Ainun Nadjib ” 
www.kenduricinta.com

Komposisi Debu dan Aransemen Ruh

Komposisi Debu dan Aransemen Ruh
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib

Setiap ayat Allah sesungguhnya mengandung dimensi-dimensi yang sangat kompleks dan sangat penuh ketidakterdugaan. Misalnya, ada ayat yang kelihatannya cuma perintah perilaku sederhana yang menyangkut akhlak, tapi ternyata di baliknya tersimpan ilmu fisika, biologi, kimia, dan seterusnya.

Saya dikasih tahu oleh anak saya tentang semacam pemahaman, atau sebut saja spekulasi, bahwa ruh itu tidak berbeda dengan badan, tidak berbeda dengan jisim. Jisim itu kulit arinya ruh. Ruh itu pada penampilannya yang paling dangkal, yang simptoma-simptoma yang sederhana dia itu bernama jisim, tapi seluruhnya ini sebenarnya adalah dunia ruh. Jadi bukan ini ruh, ini badan, bukan begitu.

Sama dengan jangan ditanyakan apa badan Rasulullah ikut Isra` Mi`raj atau tidak. Bukan begitu. Karena, ketika beliau naik Buraq dengan percepatan tertentu, badan beliau berubah atau transformed menjadi energi. Ketika dia memakai percepatan Mi`raj yaitu kecepatan yang dulu bisa memindahkan istana Bulkis sekejapan mata sebelum Sulaiman selesai berkedip Istana sudah sampai ke situ. Dan itulah kecepatan Mi`raj. Pada saat itu tubuh Rasulullah sudah menjadi barqun, yang menaiki buraqun.

Dia sudah menjadi halilintar, sudah menjadi cahaya maha cahaya.

Jadi ruh dan badan itu tidak berbeda. Bahan dasarnya adalah partikel yang sama. Yang berbeda adalah komposisi dan aransemennya. Badan itu adalah ketika ruh mengaransir dan mengkomposisikan diri ke dalam suatu formula yang paling sederhana, maka dia bernama jisim atau badan.

Siapakah komposer dan arranger? Sehingga kita menyaksikan batu, angin, virus, buah mangga, dan pada diri kita ini sendiri ada tulang, daging, sungsum, darah, nanah, ingus, bahkan juga segumpal hati yang berisi ruang tak terhingga, serta sekepal otak yang sistem hardware sedemikian canggih dan sistem software-nya sedemikian tak kita kenali – siapakah gerangan Sang Komposer dan Arranger?”

Kata anak saya, kalau manusia bisa menguakkan rahasia amr, rahasia perintah, yang di genggaman tangan-Nya terdapat ‘partitur’ segala sesuatu dalam kehidupan ini — maka kita bisa meracik pasir dengan campuran tertentu menjadi emas, bisa mengubah kain celana menjadi nasi goreng.

www.kenduricinta.com

You are is what you say – Exxon Mobil

You are is what you say – Exxon Mobil
Untuk sebuah informasi:
• Mata sering “melihat”, tapi tidak “menyaksikan”
• Telinga sering “mendengar”, namun tidak “menyimak”
• Mulut sering “berbicara”, namun tidak sedang “bertutur”
• Pikiran dapat “mengerti”, namun hati tidak mampu “memahami”


Mata sering memandang terlalu jauh dan pikiran memang biasa berkelana – berkelana jauh sekali – bahkan menjauhi diri sendiri, hingga lupa diri dan rancu pada koordinat dimana ia berdiri.

Bila ada kesempatan, cobalah sejenak menyimak SPOT IKLAN Exxon Mobil.
Source: http://www.exxonmobil.co.id/Indonesia-Bahasa/PA/news_tvc_30.aspx

Sebagai penduduk sekaligus warga negara Indonesia, saya wajib menyambut baik setiap tamu yang datang dan santun bertandang. Apresiasi yang tinggi saya sampaikan kepada Exxon Mobil yang datang sebagai tamu untuk menyewa dan berusaha untuk meng-explorasi bumi Pertiwi ini.

Saya sempat “tersentuh (bukan tersinggung)” ketika menyaksikan dan mencermati Iklan Exxon Mobil yang bagus dan indah ini.

Dari narasi yang disuarakan, ada satu kalimat yang se”LAYAK”-nya tidak terucap dan terungkap dalam Iklan tersebut, dan kalimat inilah yang menyadarkan diri saya ketika meyentuh nurani untuk menulis ungkapan ini.

Pada kalimat pembukaan berbunyi: “ExxonMobil adalah perusahaan minyak dan gas global yang BEKERJA SAMA dengan Indonesia untuk memproduksi lebih banyak energi”, terasa tidak PAS dan PANTAS diungkapkan pada khalayak ramai
Narasi lengkapnya adalah sebagai berikut:
“ExxonMobil adalah perusahaan minyak dan gas global yang BEKERJA SAMA dengan Indonesia untuk memproduksi lebih banyak energi
Dengan berbagi teknologi dan pengalaman
kami turut mengembangkan bisnis dan menggerakkan roda perekonomian.
Kami menatap jauh kedepan, dengan memberikan dukungan bagi berbagai inovasi,
serta turut memajukan pendidikan, untuk membantu mengembangkan generasi penerus Indonesia.
Kami adalah ExxonMobil”.
Hakekat ungkapan “bekerja sama” sesungguhnya menunjukkan “kesetaraan (equality), ke-ikut sertaan (participation) dan “keselarasan (harmony)” untuk menghasilkan manfaat (benefits) yang dapat dinikmati bersama”

Kesetaraan (equality) adalah kedudukan yang meliputi bentuk institusi, potensi dan tanggung-jawab yang melekat pada masing-masing elemen dalam sebuah kesepakatan kerja-sama (working together).
Saya mengajak anda untuk termenung dan meresapi bersama hingga kita sama-sama sadar dan paham terhadap setiap makna dari sebuah kalimat yang terucap dan terungkap:
  1. Sebesar apapun Exxon Mobil tidak setara dengan Indonesia – Exxon Mobil adalah sebuah institusi perusahaan (company), sedang Indonesia adalah sebuah negara (country). COMPANY tidak setara dengan COUNTRY – kecuali negara Indonesia disepakati berubah dan SAH menjadi PT.NKRI, CV.NKRI atau UD.NKRI – dan Presiden menjadi DIREKTUR UTAMA (Presiden Direktur), sedang para menteri-adalah MANAJERnya.
  2. Ibarat sebuah Keluarga (yang bernama Indonesia), Exxon Mobil tidak bekerja sama dengan Keluarga Besar Indonesia, melainkan dengan satu dari sekian anak (bukan salah satu), yakni (BPH- MIGAS) yang diberi wewenang oleh Kepala Keluarga untuk menjalin kerja sama bagi kesejahteraan keluarga Indonesia.
  3. Jika masih diinginkan menggunakan kata Indonesia, selayaknya dan sepatutnya digunakan kalimat yang “proporsional dan selaras dengan posisi dan fungsinya” Contoh berikut, bila dikehendaki dapat dipertimbangkan: “ExxonMobil adalah perusahaan minyak dan gas global yang bekerja sungguh-sungguh di Indonesia untuk menyediakan (bukan memproduksi) lebih banyak energi
Apapun yang telah terpampang dan tetap akan tertayang, Iklan spot Exxon Mobil ini dapat menjadi Case Study yang baik dalam berlatih komunikasi bagi teman-teman saya di World State University.
“You are is what you EAT, and you are is what you SAY”
“Tak perlu tersinggung, karena singgung-menyinggung selalu berkaitan dengan sesuatu yang keras dan kekerasan. Cukup tersentuh, karena sentuhan hanya dapat dirasakan oleh sesuatu yang lembut dan bertemu dengan kelembutan”

Semoga Tuhan selalu menuntun dan membimbing kita dengan kemudahan dalam setiap urusan.
Salam WARAS.

Pudjidiot
www.kenduri cinta.com

Bakso Khalifatullah

Setiap kali menerima uang dari orang yang membeli bakso darinya, Pak Patul mendistribusikan uang itu ke tiga tempat: sebagian ke laci gerobagnya, sebagian ke dompetnya, sisanya ke kaleng bekas tempat roti.
“Selalu begitu, Pak?”, saya bertanya, sesudah beramai-ramai menikmati bakso beliau bersama anak-anak yang bermain di halaman rumahku sejak siang.
“Maksud Bapak?”, ia ganti bertanya.
“Uangnya selalu disimpan di tiga tempat itu?”
Ia tertawa. “Ia Pak. Sudah 17 tahun begini. Biar hanya sedikit duit saya, tapi kan bukan semua hak saya”
“Maksud Pak Patul?”, ganti saya yang bertanya.
“Dari pendapatan yang saya peroleh dari kerja saya terdapat uang yang merupakan milik keluarga saya, milik orang lain dan milik Tuhan”.
Aduh gawat juga Pak Patul ini. “Maksudnya?”, saya mengejar lagi.
“Uang yang masuk dompet itu hak anak-anak dan istri saya, karena menurut Tuhan itu kewajiban utama hidup saya. Uang yang di laci itu untuk zakat, infaq, qurban dan yang sejenisnya. Sedangkan yang di kaleng itu untuk nyicil biaya naik haji. Insyaallah sekitar dua tahun lagi bisa mencukupi untuk membayar ONH. Mudah-mudahan ongkos haji naiknya tidak terlalu, sehingga saya masih bisa menjangkaunya”.
Spontan saya menghampiri beliau. Hampir saya peluk, tapi dalam budaya kami orang kecil jenis ekspressinya tak sampai tingkat peluk memeluk, seterharu apapun, kecuali yang ekstrem misalnya famili yang disangka meninggal ternyata masih hidup, atau anak yang digondhol Gendruwo balik lagi.
Bahunya saja yang saya pegang dan agak saya remas, tapi karena emosi saya bilang belum cukup maka saya guncang-guncang tubuhnya. Hati saya meneriakkan “Jazakumullah, masyaallah, wa yushlihu balakum!”, tetapi bibir saya pemalu untuk mengucapkannya. Tuhan memberi ‘ijazah’ kepadanya dan selalu memelihara kebaikan urusan-urusannya.
Saya juga menjaga diri untuk tidak mendramatisir hal itu. Tetapi pasti bahwa di dalam diri saya tidak terdapat sesuatu yang saya kagumi sebagaimana kekaguman yang saya temukan pada prinsip, managemen dan disiplin hidup Pak Patul. Untung dia tidak menyadari keunggulannya atas saya: bahwa saya tidak mungkin siap mental dan memiliki keberanian budaya maupun ekonomi untuk hidup sebagai penjual bakso, sebagaimana ia menjalankannya dengan tenang dan ikhlas.
Saya lebih berpendidikan dibanding dia, lebih luas pengalaman, pernah mencapai sesuatu yang ia tak pernah menyentuhnya, bahkan mungkin bisa disebut kelas sosial saya lebih tinggi darinya. Tetapi di sisi manapun dari realitas hidup saya, tidak terdapat sikap dan kenyataan yang membuat saya tidak berbohong jika mengucapkan kalimat seperti diucapkannya: “Di antara pendapatan saya ini terdapat milik keluarga saya, milik orang lain dan milik Tuhan”.
Peradaban saya masih peradaban “milik saya”. Peradaban Pak Patul sudah lebih maju, lebih rasional, lebih dewasa, lebih bertanggungjawab, lebih mulia dan tidak pengecut sebagaimana ‘kapitalisme subyektif posesif’ saya.
30 th silam saya pernah menuliskan kekaguman saya kepada Penjual cendhol yang marah-marah dan menolak cendholnya diborong oleh Pak Kiai Hamam Jakfar Pabelan karena “kalau semua Bapak beli, bagaimana nanti orang lain yang memerlukannya?”
Ilmunya penjual jagung asal Madura di Malang tahun 1976 saya pakai sampai tua. Saya butuh 40 batang jagung bakar untuk teman-teman seusai pentas teater, tapi uang saya kurang, hanya cukup untuk bayar 25, sehingga harga perbatang saya tawar. Dia bertahan dengan harganya, tapi tetap memberi saya 40 jagung.
“Lho, uang saya tidak cukup, Pak”
“Bawa saja jagungnya, asal harganya tetap”
“Berarti saya hutang?”
“Ndaaak. Kekurangannya itu tabungan amal jariyah saya”.
Doooh adoooh…! Tompes ako tak’iye!
Di pasar Khan Khalili semacam Tenabang-nya Cairo saya masuk sebuah took kemudian satu jam lebih pemiliknya hilang entah ke mana, jadi saya jaga tokonya. Ketika dating saya protes: “Keeif Inta ya Akh…ke mane aje? Kalau saya ambilin barang-barang Inta terus saya ngacir pigimane dong….”
Lelaki tua mancung itu senyum-senyum saja sambil nyeletuk: “Kalau mau curi barang saya ya curi saja, bukan urusan saya, itu urusan Ente sama Tuhan….”
Sungguh manusia adalah ahsanu taqwim, sebaik-baik ciptaan Allah, master-piece. Orang-orang besar bertebaran di seluruh muka bumi. Makhluk-makhluk agung menghampar di jalan-jalan, pasar, gang-gang kampung, pelosok-pelosok dusun dan di mana-manapun. Bakso Khlifatullah, bahasa Jawanya: bakso-nya Pak Patul, terasa lebih sedap karena kandungan keagungan.
Itu baru tukang bakso, belum anggota DPR. Itu baru penjual cendhol, belum Menteri dan Dirjen Irjen Sekjen. Itu baru pemilik toko kelontong, belum Gubernur Bupati Walikota tokoh-tokoh Parpol. Itu baru penjual jagung bakar, belum Kiai dan Ulama

Pojok CN
www.kenduricinta.com

Reportase Kenduri Cinta Oktober 2010: “Dilarang Berbicara dengan Sopir”

Kenduri Cinta Oktober 2010: “Dilarang Berbicara Dengan Supir”


Setelah penampilan dari beberapa kelompok musik dan tilawah Alquran, Kenduri Cinta dimulai dengan sebuah pengantar mengenai judul kali ini. Dapat digunakan analogi bahwa Indonesia adalah satu kendaraan besar yang harus dijalankan oleh sopir – sebuah representasi untuk kepemimpinan.
Kalimat yang digunakan sebagai judul Kenduri Cinta bulan ini merupakan satu kalimat yang lazim ditemukan dalam tempelan-tempelan di kendaraan umum. Lalu mengapa dilarang berbicara dengan sopir? Kemungkinan pertama, supaya sopir bisa berkonsentrasi dalam bekerja. Atau kemungkinan kedua, kalau sopir berbuat ‘macam-macam’ langsung dikaplok saja.

Sebenarnya kata yang lebih mendekati konsep pemimpin adalah kusir, karena tidak seperti sopir yang mengemudikan mesin, kusir harus mengendalikan makhluk hidup yang punya nafsu dan keinginan merdeka.
Sebuah pengantar, kali ini dari Cak Pudji Asmanto, menguraikan bahwa sopir merupakan pekerjaan tangan. Sopir bekerja untuk kepentingan penumpang, sehingga jabatannya tak lain adalah pesuruh sekaligus harus diikuti/ditaati aturan-aturannya. Terkait dengan pekerjaan ‘tangan’, Cak Pudji menguraikan jari-jari sebagai komponen. Ibu jari melambangkan keyakinan (believing), jari telunjuk menggambarkan hati (dictating), jari tengah merepresentasikan nafs (willingness), jari manis merupakan simbol dari jasad (securing), dan jari kelingking mewakili pikiran (managing). Aturan dalam permainan suit dapat digunakan untuk menggambarkan ‘kedudukan’ tiap-tiap jari tersebut.

Sopir harus konsern terhadap waktu, dengan demikian harus mampu menjembatani pekerjaan yang lama dengan pekerjaan yang cepat dengan sarana yang dinamakan teknologi.

Cak Pudji juga menampilkan ‘warasometer’, kuadran-kuadran yang menunjukkan seberapa waraskah manusia. Sumbu horizontalnya dinamakan headline, yang berpotongan dengan sumbu vertikal yang menunjukkan heartline. Ujung kanan headline disebut kondisi ‘Sadar’, sedangkan di seberangnya ada ‘Lupa’. Ujung atas heartline dihuni ‘Ingat’ sedangkan ujung bawahnya ‘Lalai’. Kuadran I merupakan kawasan ‘Terjaga’, Kuadran II ‘Pikun’, Kuadran III ‘Gila’, dan Kuadran IV ‘Terkelabui’. Kita, manusia, seringkali berada di dalam kawasan Kuadran IV, yaitu sadar secara akal tetapi lalai hatinya.

Ada beberapa tugas yang menjadi bagian dari sopir, yaitu mengantarkan penumpang sampai tujuan, bergerak maju dan bukan mundur, memahami rute, memastikan semua penumpang aman, konsern terhadap waktu, keep records-distance travel, driving time, far and near vision, ability to predict, skill (ability to quickly respond). Di sisi lain, penumpang juga diikat oleh aturan-aturan semacam dilarang berbicara dengan sopir, membicarakan sopir, mengeluarkan anggota badan dari kendaraan yang sedang melaju, membuang sampah ke luar kendaraan, harus duduk dengan tenang, dan membayar dengan uang pas.


Sopir kita yang sejati adalah Rasulullah SAW.

Menanggapi kecelakaan kereta api di Pemalang tanggal 3 Oktober lalu, siapa yang salah? Rel kereta api sebagai suprastruktur/prasarana dan kereta api sebagai sarana sudah cukup hebat. Maka masinislah yang punya andil dalam terjadinya kecelakaan itu, hanya manusia sering tidak mau mengakui bahwa selalu ada human error. Agak menyimpang, jika tanggal terjadinya kecelakaan tersebut dijumlahkan (03102010) hasilnya adalah angka 9. Kemudian kecelakaan terjadi antara KA Senja Utama (lambang ‘wong cilik’) dengan Argo Anggrek (penggambaran orang ‘besar’). Peristiwa ini mengingatkan pada sebuah kalimat Tunggak jarak manak, tunggak jati mati.


Setelah usai pengantar, masuklah Cak Nun, Ustadz Nursamad Kamba, dan Agung Waskito. Cak Nun memulai dengan memperkenalkan Agung Waskito sebagai bagian dari memahami background kita masing-masing.

Kelompok diskusi pertama selepas peristiwa G30S adalah Kelompok Proklamasi di Yogyakarta, dan kelompok dakwah kampus pertama adalah Salman ITB dan Salahudin UGM. Itulah tonggak pertama munculnya ghirah Islam di dunia kampus. Dari tahun 1970-an di mana belum ada wanita Indonesia berjilbab sampai kemudian sebagian besar mengenakan jilbab, idenya lahir di kota, dari kelompok dakwah kampus tersebut. Karena belum mempunyai masjid maka yang terbentuk adalah kelompok dakwah dengan bentuk yang menyerupai kelompok diskusi, begitu pula dengan para anggotanya.

Gerakan jilbab awalnya dianggap sebagai sebuah pelanggaran baik terhadap kemerdekaan wanita maupun konstitusi. Maka timbullah istilah fundamentalis untuk wanita-wanita yang mengenakan jilbab. Salah satu gerakan itu diselenggarakan dalam bentuk teater ‘Lautan Jilbab’ – pertama kali pada tahun 1987 – di Boulevard UGM. Teater ini disutradarai oleh Agung Waskito.

“Bangsa kita telah menjadi bangsa yang sangat besar. Coba catat, ada berapa kata ‘Luar biasa!’ atau ‘Super’ ditayangkan dalam televisi tiap harinya,” ucap Cak Nun, yang segera disambut tawa dari jama’ah, “Menurut Sabrang, Indonesia kita ini masih Indonesia Tanah Air Beta, di mana ‘Beta’ adalah kata yang menunjukkan bahwa suatu  software masih berupa percobaan, belum resmi ada, dikritik kelemahan-kelamahannya untuk kemudian didandani dan lalu dirilis. Jadi, saat ini memang belum ada Indonesia secara resmi. Masih percobaan.”

“Cak Nun adalah guru saya,” ujar Agung Waskito, “yang diajarkan pertama kali adalah kewajaran. Dalam suara, cara menulis, cara berakting. Sampai saya menemukan bahwa kesenian adalah kewajaran, keberanian untuk berkarya, menulis, membuat sesuatu yang bermanfaat.”
“Sampai kemudian Teater Lautan Jilbab itu dipentaskan. Saya otodidak dalam teater,” tambah Agung Waskito, yang juga telah menciptakan 83 lagu.

Cak Nun kemudian melemparkan pertanyaan kepada seluruh jamaah, “Siapa tokoh dunia bukan nabi yang paling menjadi idola Anda?” Sebuah jawaban yang dilontarkan jama’ah adalah Gus Dur. Cak Nun mengejar dengan pertanyaan tentang mengapa, yang kemudian mendapat jawaban bahwa Gus Dur adalah tokoh yang memandang semua manusia sama tanpa membedakan suku, agama, bangsa, dan sebagainya. “Apakah itu tidak juga Anda temukan di Maiyah? Lalu mengapa hanya Gus Dur yang menjadi tokoh? Lebih banyak mana, kelompok yang dirukunkan atau yang dipecah oleh Gus Dur?” Cak Nun terus mengejar, “Tebuireng, Darul Ulum, PKB.”

Cak Nun melanjutkan dengan menanyakan quotation terkenal dari Gus Dur yang dijawab dengan : “Pemerintah itu kayak anak TK” dan “Gitu saja kok repot”.

“Kebanyakan kita menokohkan seseorang bukan karena kita bener-bener tahu sejarah orang itu melainkan hanya karena mitos. Dengan begitu kita tidak menghargai Gus Dur. Kita tidak mencari indahnya kalimat Gus Dur. Ayo kita cari kebesaran bapak-bapak kita. Gus Dur tidak menjadi file. Rasulullah tidak online dalam kesadaran kita. Ternyata sekarang kita tidak ingat kok. Siapa guru kita? Katanya Gus Dur, tapi masa’ murid-muridnya cuma ingat dua kalimat : ‘Gitu saja kok repot’ dan ‘Pemerintah itu kayak anak TK’”


K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah

K.H. Ahmad Dahlan kecil bernama Darwis, yang hidup sebagai ketib (bagian yang mendoakan) di Masjid Agung. Darwis kecil mempunyai keinginan besar untuk belajar di tanah suci. Keinginan ini difasilitasi oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII yang kemudian memberangkatkan Darwis ke tanah suci, sehingga sampai pulang kembali ke tanah air pun Darwis sangat menghormati Kraton. Di tanah suci itulah Beliau mengalami persentuhan dengan tokoh-tokoh Islam Timur Tengah.
Melihat organisasi sebelum Boedi Oetomo di Solo, K.H. Ahmad Dahlan membuat sekolah pribumi di rumahnya. Sri Sultan dhawuh 40 abdi dalem dari empat wilayah untuk menjadi murid-murid pertama K.H Ahmad Dahlan.

Cak Nun menanyai Bapak Edi dari UHAMKA mengenai persyaratan apa saja yang mestinya harus ada pada pemeran tokoh K.H Ahmad Dahlan. “Apakah dia harus seorang beragama Islam?”
“Aku tidak akan nonton film Sang Pencerah. Lihat spanduknya saja nggak mau. Nggak tega melihat K.H Ahmad Dahlan dalam wajah seperti itu.”

Tidak seperti makam ulama-ulama besar, makam K.H Ahmad Dahlan sepi. Sebab Beliau sendiri mengatakan bahwa selain keluarga tak bisa mendoakan arwah. Kalau ditarik ke fiqih, amal baik terputus pada saat meninggalnya seorang manusia kecuali tiga hal yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakan. Di dalam Muhammadiyah sendiri pun sebenarnya terdapat beberapa pendapat.
K.H Ahmad Dahlan banyak belajar dari ulama-ulama besar seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyyah. Muhammad Abduh, syaikh besar lulusan Al-Azhar yang kemudian berkesempatan belajar di Eropa.

Ajaran Muhammadiyah tidaklah identik dengan pemikiran sang filosof modern tersebut. Yang lebih berpengaruh pada Muhammadiyah adalah ajaran Ibnu Taimiyah yang di dalam ilmu fiqih menutup kemungkinan terbukanya dosa/pelanggaran yang lebih besar karena mendekatkan umat pada bid’ah, sehingga terdapat pelarangan ziarah kubur misalnya, karena akan membuka kemungkinan untuk meminta sesuatu dari arwah yang diziarahi.

Ibnu Taimiyah adalah seorang ulama yang sezaman dengan Ibnu Araby. Konsep-konsep Taimiyah digerakkan untuk melawan konsep-konsep tasawuf dari Ibnu Araby.

Kita terpisah dari akar sejarahnya yang nyata. Apa yang menjadi pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha adalah melarang taqlid. Sekecil apapun unggulkan semangat ijtihad. Namun sekarang yang ditransfer bukanlah semangat ijtihadnya melainkan semangat penolakan/penentangan pada kelompok lain.
“Jika saja ijtihad diterapkan di sekolah-sekolah Muhammadiyah saja, tak terbayang seberapa majunya bangsa kita sekarang,” Ustadz Nursamad Kamba menambahkan.


Ijtihad, Ittiba’, atau Taqlid


Orang hidup itu ada dua jalan. Jalan pertama dia mencoba sendiri, menjalani sendiri, memutuskan sendiri, dan menanggung akibatnya sendiri. Jalan ini disebut ijtihad, subjeknya disebut mujtahid (freeman). Kata ini berakar dari kata jihad. Jalan kedua adalah mengikuti orang lain yang kita jadikan panutan. Rasyid Ridha membagi jalan kedua ini menjadi dua bagian, yaitu ittiba’ dan taqlid. Ittiba’ (pelakunya disebut muttabi’) berarti mengikuti sesuatu dengan terlebih dahulu memahami apa yang diikutinya. Taqlid (subjeknya disebut muqallid) adalah mengikuti tanpa memahami apa yang diikutinya itu.

Yang menjadi garis Muhammadiyah adalah Jangan menjadi muqallid

Dan tentang ijtihad-ittiba’-taqlid, ini bukan hanya tentang urusan shalat tetapi juga tentang urusan negara. Pasal-pasal hukum Indonesia, reformasi, demokrasi, semuanya adalah bentuk taqlid. Maka kita adalah bangsa muqaliddin. Kita sering terbalik dan tertukar-tukar. Di wilayah yang seharusnya merdeka (seperti musik dan kesenian lain) kita justru bersikap taqlid, dan begitu pula sebaliknya.

Negara federal pertama di Nusantara adalah Demak Bintoro. Pada waktu itu terjadi transformasi yang dikawal Sunan Kalijaga dari Majapahit pedalaman menjadi negara federasi dengan tanah-tanah perdikan.
Di dalam Islam ada empat dimensi pemimpin, yaitu :
1. Ra’is (berasal dari kata ra’sun yang berarti kepala) adalah pemimpin yang berada di jajaran paling atas dari suatu struktur.
2. Imam (berasal dari kata ummun : Ibu) adalah bahwa pemimpin adalah dia yang mempunyai daya kasih sayang.
3. Amir (berasal dari kata amr : perintah), pemimpin punya legitimasi untuk memerintah
4. Qa’idh (berasal dari kata qudwah : teladan), pemimpin adalah yang mampu memberikan keteladanan
Dari khasanah Jawa kita mendapatkan tiga dimensi kepemimpinan :
1. Ing ngarsa sung tuladha (memberikan teladan di depan yang dipimpin)
2. Ing madya mangun karsa (to be just someone among others)
3. Tut wuri handayani (di belakang orang-orang yang dipimpinnya, menggembala, angon)

Kita bisa belajar dari Jawa, Bugis, Mandar, dan dari mana saja untuk berijtihad, untuk menciptakan Indonesia yang tidak beta lagi, untuk merilis Indonesia yang sesungguhnya.


Kita Harus Membayar


“Allah memberi keistimewaan pada setiap manusia. Ilmu Allah disebarkan menurut cara Allah sendiri. Yang perlu dilakukan adalah berendah diri untuk mau mendengarkan,” ujar Cak Nun, “Sebenarnya ada sublimasi-sublimasi spiritual yang ingin saya sampaikan di sini tapi ternyata tidak bisa. Mungkin memang Allah yang mengatur irama-irama, raka’at-raka’at.”

“Kita sedang berada di ambang sesuatu yang sangat serius. Saya tidak akan ngomong gempa, tanah retak, kota yang disedot. Saya kira Tuhan bisa ditawar karena manusia adalah khalifah, walinya Allah di muka bumi. Yang perlu dilakukan manusia Indonesia sekarang adalah menawar Tuhan. Peristiwa Nuh, kehancuran Atlantis, meletusnya Krakatau – kalau ngomong geologi – kita sedang menghadapi hal-hal yang seperti ini.”

“Penghuni bumi yang ada sebelum Adam, membantu kita dalam bernegosiasi ke atas. Kita belum cukup durhaka, belum sampai pada tingkat banjir Nuh dan rusaknya Atlantis (yang mempunyai tingkat ijtihad sangat tinggi). Pada masa itu listrik sudah wireless, harddisknya bukan pada hardware melainkan pada diri sang pemimpin PLN-nya. Kita akan memiliki listrik yang murah, bebas hubungan-pendek. Kita juga akan memilliki teknologi internet dengan jangkauan yang jauh lebih luas daripada yang ada saat ini.”

“Tapi kita memang harus membayar untuk semua itu. Nabi Nuh ketika sudah jadi kapalnya, istri dan anaknya ternyata termasuk di dalam golongan kufur yang tidak diselamatkan. Padahal Beliau adalah seorang nabi yang bergelar Ruhullah.”

“Ngomong keluarga, yang paling ideal adalah keluarga di Indonesia. Di Inggris, orang mati dilayat 5 orang itu sudah lumayan. Sedangkan sedengki-dengki manusia Indonesia, dia tetap menjunjung keluarganya. Banyak pekerja Dolly yang setelah melayani tamu dari jam sepuluh sampai jam dua pagi, mandi besar kemudian bertahajjud untuk kebaikan anak-anaknya. Tidak ada satu perempuanpun yang bercita-cita menjadi pelacur. Kalau ada pelacur, pasti ada sistem sosial yang salah.”

“Allah hanya mempersyaratkan kecil saja sebagai bayaran kita itu, yaitu keutuhan keluarga.”


Saya Tidak Akan Membiarkan Diri Saya


Seorang jamaah mengungkapkan bahwa ia telah belajar sangat banyak dari Maiyah, tetapi bingung dalam mengaplikasikannya. Hal ini sangat dihargai oleh Cak Nun, “Kita sudah diajari jurus pirang-pirang tapi kok nggak perang-perang, gitu kan ya Mas? Kita ini sekarang persnelingnya sudah 4. Joko Kamto Kiaikanjeng pernah mengatakan bahwa dia sudah sangat senang dengan menjadi kaki anjing Gua Kahfi. Saya tidak akan membiarkan diri saya untuk punya nafsu menjadi sesuatu yang lebih.”

“Perjalanan kita ini diiringi oleh para malaikah, yaitu makhluk-makhluk lain yang juga ikut bekerja. Ada 15 makhluk yang harus dikhalifahi manusia, tapi manusia tidak mempunyai kemampuan untuk memimpin bahkan dirinya sendiri.”
Di tengah acara, Agung Waskito menyanyikan puisi Hizib. Kalau dzikir dilakukan secara personal antara salik dengan Allah dan wirid diwasiatkan mursyid kepada salik untuk diamalkan secara rutin, hizib adalah semacam mantra, yang dibacakan pada saat-saat tertentu yang genting.

Seperti contohnya Syadziliyah mempunyai Hizib Nashr.
Cak Nun sendiri pernah melakukan hizib dua kali di TIM, masing-masing untuk Bosnia Herzegovina dan Palestina.

Hizib yang dinyanyikan Agung Waskito tentu bukan seperti Hizib Syadzili, melainkan sebuah puisi yang diciptakan di tahun 1983.


Pekerjaan Kita


Seperti perjalanan Khidir dan Musa, pekerjaan kita sekarang adalah membocori kapal kita sendiri supaya tidak dirampok. Membocorkan kapal adalah berani untuk tidak mencuri, berani untuk tidak berebut, berani hidup walaupun seolah-olah tak ada lagi harapan untuk hidup. Dan keberanian ini harus bersamaan dengan kekuatan supaya kita tidak dihabisin awak kapal yang lain.

Kalau kita sudah mampu membocori kapal kita sendiri, tahap selanjutnya adalah membunuhi anak-anak kecil (potensi-potensi keburukan) di dalam diri kita sendiri. Sebuah paradoks di Indonesia, ono omah kobong malah nggawe majalah dinding.

Kalau kita sudah menjalani keduanya, Tuhan akan kasih kepercayaan pada kita untuk menegakkan pagar (menjaga harta masa silam). “Secara teknologi, saya sudah mendata kekayaan Indonesia. Kalau hanya untuk membayar utang, sangat cukup.”

Maiyah adalah salah satu cara menegakkan pagar, dan tentu saja tanpa upah. Menjaga peradaban adalah menjaga peradaban.
“Harta masa silam itu, bukan hanya emas dan teknologi melainkan juga seluruh ilmu dan pengetahuan dari Mbah-Mbah kita. Demokrasi sebenarnya sudah kita jalankan 5 abad yang lalu. Kita bisa ittiba’ pada warisan masa lalu itu.”

“Dalam Trias Politica sudah sangat jelas mana lembaga penegak hukum, yaitu Kepolisian, Kehakiman, dan Kejaksaan. Lantas kenapa ada KPK? Harus jelas mengapa KPK harus ada. Ada apa dengan Kepolisian, Kehakiman, dan Kejaksaan?”

“Polisi itu sipil atau militer? Kalau sipil kenapa tidak berada di bawah Depdagri? Kalau militer kenapa tidak di bawah TNI? Komnas HAM itu urusan moral atau hukum? Urusan moral tidak usah di pemerintahan. Yad’una ila al-khayr merupakan pekerjaan non pemerintah. Inilah yang terjadi gara-gara kita taqlid pada Amerika.”

Ditulis Oleh: Ratri Dian Ariani(9 Oktober 2010, 10.13, Doc Foto: Agus Setiawan) 
www.kenduricinta.com

Surat Kepada Kanjeng Nabi

……………………………………..
Ah, Muhammad, Muhammad. Betapa kami mencintaimu. Betapa hidupmu bertaburan emas permata kemuliaan, sehingga luapan cinta kami tak bisa dibendung oleh apa pun. Dan jika seandainya cinta kami ini sungguh-sungguh, betapa tak bisa dibandingkan, karena hanya satu tingkat belaka di bawah mesranya cinta kita bersama kepada Allah.

Akan tetapi tampaknya cinta kami tidaklah sebesar itu kepadamu. Cinta kami tidaklah seindah yang bisa kami ungkapkan dengan kata, kalimat, rebana, dan kasidah-kasidah.Dalam sehari-hari kehidupan kami, kami lebih tertarik kepada hal-hal yang lain.

Kami tentu akan datang ke acara peringatan kelahiranmu di kampung kami masing-masing, namun pada saat itu nanti wajah kami tidaklah seceria seperti tatkala kami datang ke toko-toko serba ada, ke bioskop, ke pasar malam, ke tempat-tempat rekreasi.

Kami mengirim shalawat kepadamu seperti yang dianjurkan oleh Allah karena Ia sendiri beserta para malaikat-Nya juga memberikan shalawat kepadamu. Namun pada umumnya itu hanya karena kami membutuhkan keselamatan diri kami sendiri.

Seperti juga kalau kami bersembahyang sujud kepada Allah, kebanyakan dari kami melakukannya karena kewajiban, tidak karena kebutuhan kerinduan, atau cinta yang meluap-luap. Kalau kami berdoa, doa kami berfokus pada kepentingan pribadi kami masing-masing.

Sesungguhnya kami belum mencapai mutu kepribadian yang mencukupi untuk disebut sebagai sahabatmu, Muhammad. Kami mencintaimu, namun kami belum benar-benar mengikutimu. Kami masih takut dan terus menerus tergantung pada kekuasaan-kekuasaan kecil di sekitar kami. Kami kecut pada atasan. Kami menunduk pada benda-benda. Kami bersujud kepada uang, dan begitu banyak hal-hal yang picisan.

Setiap tahun kami memperingati hari kelahiranmu. Telah beribu-ribu kali umatmu melakukan peringatan itu, dan masing-masing kami rata-rata memperingati kelahiranmu tiga puluh kali. Tetapi lihatlah : kami jalan di tempat. Tidak cukup ada peningkatan penghayatan. Tidak terlihat output personal maupun sosial dari proses permenungan tentang kekonsistenan. Acara peningkatan maulidmu pada kami mengalami involusi, bahkan mungkin degradasi dan distorsi.


Negarawan Agung

Zaman telah mengubah kami, kami telah mengubah zaman, namun kualitas percintaan kami kepadamu tidak kunjung meningkat. Kami telah lalui berbagai era, perkembangan dan kemajuan. Ilmu, pengetahuan, dan teknologi kami semakin dahsyat, namun tak diikuti dahsyatnya perwujudan cinta kami kepadamu.
Kami semakin pandai, namun kami tidak semakin bersujud. Kami semakin pintar, namun kami tidak semakin berislam. Kami semakin maju, namun kami tidak semakin beriman. Kami semakin beriman, namun kami tidak semakin berihsan. Sel-sel memuai. Dedaunan memuai. Pohon-pohon memuai. Namun kesadaran kami tidak.

Cinta dan internalisasi ketuhanan kami tidak.

Kami masih primitif dalam hal akhlak—substansi utama ajaranmu. Padahal kami tak usah belajar soal akhlak karena tidak menjadi naluri manusia; berbeda dengan saudara kami kaum Jin yang ilmu tak usah belajar namun akhlak harus belajar. Akhlak kaum jin banyak yang lebih bagus dari kami.
Sebab kami masih bisa menjual iman dengan harga beberapa ribu rupiah. Kami bisa menggadaikan Islam seharga emblem nama dan segumpal kekuasaan. Kami bisa memperdagangkan nilai Tuhan seharga jabatan kecil yang masa berlakunya sangat sementara. Kami bisa memukul saudara kami sendiri, bisa menipu, meliciki, mencurangi, menindas, dan mengisap, hanya untuk beberapa lembar uang.
Padahal kami mengaku sebagai pengikutmu, Ya Muhammad. Padahal engkau adalah pekerja amat keras dibanding kepemalasan kami. Padahal engkau adalah negarawan agung dibanding ketikusan politik kami. Padahal engkau adalah ilmuwan ulung dibanding kepandaian semu kami. Padahal engkau adalah seniman anggun dibanding vulgar-nya kebudayaan kami.

Padahal engkau adalah pendekar mumpuni dibanding kepengecutan kami. Padahal engkau adalah strateg dahsyat dibanding berulang-ulangnya keterjebakan kami oleh sistem Abu Jahal kontemporer.
Padahal engkau adalah mujahid yang tak mengenal putus asa dibanding deretan kekalahan-kekalahan kami. Padahal engkau adalah pejuang yang sedemikian gagah perkasa terhadap godaan benda emas dibanding kekaguman tolol kami terhadap hal yang sama.

Padahal engkau adalah moralis kelas utama dibanding kemunafikan kami. Padahal engkau adalah panglima kehidupan yang tak terbandingkan dibanding keprajuritan dan keseradaduan kepribadian kami. Padahal engkau adalah pembebas kemanusiaan.

Padahal engkau adalah pembimbing kemuliaan. Padahal engkau adalah penyelamat kemanusiaan. Padahal engkau adalah organisator dan manajer yang penuh keunggulan dibanding ketidaktertataan keumatan kami.
Padahal engkau adalah manusia yang sukses menjadi nabi dan nabi yang sukses menjadi manusia, di hadapan kami. Padahal engkau adalah liberator budak-budak, sementara kami adalah budak-budak yang tak pernah merasa ,menyadari, dan tak pernah mengakui, bahwa kami adalah budak-budak.

Sementara kami adalah budak-budak—dalam sangat banyak konteks yang sudah berbincang tentang perbudakan, segera mencari kalimat-kalimat, retorika, dan nada yang sedemikian indahnya sehingga bisa membuat kami tidak lagi menyimpulkan bahwa kami adalah budak-budak.

Di negara kami ini, umatmu berjumlah terbanyak dari penduduknya. Di negeri ini, kami punya Muhammadiyah, punya NU, Persis, punya ulama-ulama dan MUI, ICMI, punya bank, punya HMI, PMII, IMM, Ashor, Pemuda Muhammadiyah, IPM, PII, pesantren-pesantren, sekolah-sekolah, kelompok-kelompok studi Islam intensif, yaysan-yayasan, mubalig-mubalig, budayawan, dan seniman, cendekiawan, dan apa saja.

Yang kami tak punya hanyalah kesediaan, keberanian, dan kerelaan yang sungguh-sungguh untuk mengikuti jejakmu.

Podjok CN
www.kenduricinta.com

Maiyah dan Revolusi Kepemimpinan


MAIYAH DAN REVOLUSI KEPEMIMPINAN

Maiyah Dan Revolusi Kepemimpinan
Atau Kepemimpinan Revolusioner Dengan Maiyah

1.
Bukan karena manusia bodoh lalu diminta memilih pemimpin karena Allah memuliakan manusia lebih dari derajat malaikat. Ketika Allah memberitahu malaikat akan menciptakan khalifah di bumi, yang setelah ‘disempurnakan penciptaannya dan Aku (kata Allah) meniupkan dari RohKu kedalam dirinya maka para malaikat diperintahkan sujud. Pada saat malaikat ‘rada’ protes Allah mempersilahkan Adam sang Khalifah memperlihatkan dan membuktikan potensinya dengan menuturkan nama seluruh makhluk.
Kisah penciptaan Adam adalah sekaligus pernyataan akan kemuliaan manusia dan potensi keunggulannya. Hanya manusia yang membawa dalam dirinya Roh dari Allah. Makhluk lainnya tercipta dengan mekanisme kun fa yakun. Tetapi di sisi lain manusia terbentuk menjadi wadah yang berupa jasad yang dibekali dengan hawa, nafsu, dan syahwat untuk menopang fungsinya sebagai wadah Roh Allah. Andai jasad tak mempunyai hawa, nafsu, dan syahwat mustahil manusia hidup berkembang. Untuk menciptakan keseimbangan antara fungsi-fungsi jasad itulah wahyu diturunkan sebagai ‘katalog’ penggunaan produk; dan para nabi dan rasul diutus untuk pendidikan dan pelatihan.
Karakteristik hawa, nafsu, dan syahwat adalah tamak. Karena konstruksi saraf-saraf membuat pemenuhan hasrat dan kebutuhan hawa, nafsu, dan syahwat tersebut menjadi amat menarik, lezat, nikmat, dan mematikan. Allah telah mengingatkan jika manusia membiarkan dirinya larut dalam ketamakan maka derajatnya akan menjadi lebih rendah dari binatang.
Ada tiga cara atau prosedur Allah memelihara sang Khalifah di bumi; pertama membiarkan RohNya dalam diri manusi bergelut dan bersaing dengan kepentingan hawa, nafsu, dan syahwat; kedua, mengutus para kekasihNya (nabi, rasul, awliya) untuk menjadi instruktur DIKLAT; ketiga, mengganti bibit dan mencipta ulang. Sejarah manusia memperlihatkan ketiga cara atau prosedur itu terbukti. Pada umumnya manusia bisa berhasil lewat cara kedua. Dengan cara pertama hanya manusia-manusia terpilih. Namunm cara / prosedur ketiga ditempuh jika keadaan memaksa.

2.
Bukan karena manusia bodoh lalu diperlukan pemimpin melainkan agar tercipta kebersamaan menuju Allah. Aneh sekali kepemimpinan modern mengabaikan kebersamaan. Memang, sejak dahulu rumus individualisme tak pernah akur dengan spiritualisme. Individualisme ialah ideologi yang mengasumsikan eksistensi utuh terpisah dari entitas lain.
Oleh karena itu ia sejalan dengan materialisme dan pragmatisme. Tak ada koneksi yang menghubungkan si A dan si B apalagi dalam konteks hubungan segitiga A, B dan Allah. Jika ada sistim kepercayaan yang mengasusmsikan adanya koneksi antara hatta anak dan orang tua, saudara, tetangga dan masyarakat itu hanya angan-angan belaka yang terbangun dari imaginasi yang dikembangkan dan dipelihara melalui tradisi. Pada akhirnya individualisme menuju kepada egoisme dan yang terakhir ini akan berujung pada eksistensi manusia mempertuhankan diri sendiri.
Manusia menjadi tolok-ukur segala sesuatu; nilai, manfaat, tujuan, dan sebagainya, termasuk menentukan ada tidaknya Tuhan. Era manusia modern (saya tidak cenderung menggunakan istilah ‘peradaban’) yang kita alami dewasa ini sedang menjurus kepada egoisme yang mempertuhankan manusia, juga mempertaruhkan  keberadaannya. Bersyukur kepada Allah bahwa kita masih diberi peluang memilih salah satu dari tiga cara atau prosedur Allah.

3.
Maiyah kita bukan untuk membangun sikap difensif melainkan gagasan Pembebasan yang didasarkan kepada cinta kasih sesama sebagai manifestasi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, dan dengan kepercayaan yang mendalam terhadap misi perjuangan. Ada tiga alasan mengapa maiyah menggagas pembebasan;
pertama, bersama Allah membuktikan kepada para malaikat bahwa asumsi dan praduga mereka mengenai Adam dan anak cucunya tidak tepat;
kedua, untuk memelihara agar manusia tetap berada pada derajat kemuliaannya sebagai yang membawa Roh Allah dan tidak menjadi binatang;
ketiga, agar terbuka ‘negosiasi’ kepada Allah untuk tidak menempuh ‘cara (prosedur) ketiga’. Gagasan pembebasan haruslah bersifat revolusioner (tidak dalam pemaknaan dialektika materialisme) yang mengandung di dalamnya dekonstruksi dan rekonstuksi. Dekonstruksi sistim sistim individualisme (hawa, nafsu, dan syahwat) dengan rekonstruksi spiritualitas cinta ilahi.
Maiyah memang berbeda dengan persaudaraan tarekat yang cenderung mengambil sikap marginal berhubung ketidak mampuan menyesuaikan diri dengan derap materialisme. Maiyah secara kreatif mengadopsi atau lebih tepatnya menjabarkan prinsip-prinsip persahabatan, persaudaraan, dan ikrar perjuangan berdasarkan cinta kasih serta dengan ikhlas dan jujur yang bersumber dari inspirasi gua tsaur dan momentum hijrah nabi. Apa yang terjadi dalam gua tsaur bukanlah kekhawatiran Abu Bakr (mana mungkin seorang bersama kekasihnya menjadi sedih) apalagi takut kepada lawan melainkan kesedihan akan celaka yang menimpa quraisy bilamana mereka mencelakakan kekasih Allah. Pada gilirannya Rasulullah pun menenangkan bahwa beliau tak akan tega membiarkan Allah menghancurkan mereka sesuai dengan yang pernah beliau sampaikan kepada Jibril saat menawarkan untuk memimpakan jabal qubeis kepada mereka. Maka maiyah dan hijrah sesungguhnya menjadi dua sisi mata uang pembebasan.


4.
Ibarat masa jahiliyah, Indonesia saat ini sedang dalam siaga dua. Sedang membutuhkan datangnya nabi dan rasul, meski kedatangannya sudah tertutup (kecuali dalam konsep Ahmadiyah). Bukan karena manusia sudah pintar-pintar dan unggul mampu mengontrol hidup di bumi lalu tidak diperlukan nabi dan rasul lagi melainkan karena sistim yang dibangun dan dipraktekan kekasih Allah Muhammad saw., sudah mencapai taraf keunggulan yang maksimal. Lagi pula tidaklah gampang menciptakan nabi dan rasul yang dapat melebihi kapasitas dan kualitas seorang Muhammad saw.
Alasan utama mengapa Indonesia siaga dua karena sistim dan proses pendidikan yang menjadi poros utama perubahan masih berada dibawah bayang-bayang penjajahan. Sudah berpuluh-puluh tahun bahkan ratusan tahun bangsa Indonesia diarahkan untuk menghapuskan jejak-jejak kebesaran dan keagungan nusantara dan digantikan dengan kebesaran dan keagungan peradaban eropa. Apa saja hasil kreasi anak bangsa yang tak sejalan dengan orientasi kebesaran peradaban eropoa maka tak akan pernah diapresiasi apalagi menjadi bagian dalam arus utama pembangunan nasional. Sistim pendidikan tak akan pernah mau diarahkan untuk menggali khazanah peradaban nusantara agar kebangkitan bangsa berangkat dari potensi diri sendiri.
Amatlah naif dunia intelektual kita beranggapan bahwa kebangkita Indonesia diukur berdaasarkan dimulainya gerakan modernisme yang mengikuti pola dan arus modernisasi a la eropa. Akhirnya, kita hanya mengejar bayang-bayang: menggapai kemajuan yang setara eropa tak kunjung , dan membangun karakter bangsa pun semakin kabur; intinya seperti kata CN “Indonesia sedang mempertontonkan jahiliyah tsulatsiyah”. Akibatnya, manusia Indonesia telah terjebak masuk dalam sebuah aquarium raksasa yang disebut kapitalisme-neoliberalisme-zionisme.


5.
Saya merenungkan sirah nabawiyah terutama dalam konteks hubungan antara hijrah, maiyah, dan sukses spektakuler mengislamkan jazirah arabiyah dalam jangka kurang dari sepuluh tahun dalam kepemimpinan Rasulullah, maka terdapat sebelas langkah yang ditempuh rasulullah berdasarkan maiyah:
  • Membangun dan menciptakan komunitas di luar ‘aquarium’ serta membentuk ruang sendiri untuk hidup dengan sistim yang berbeda tetapi tidak marginal. Ini diempuh melalui kegiatan hijrah
  • Hijrah diperlukan untuk membuktikan bahwa di luar ‘aquarium’ hidup memungkinkan bahkan lebih menjanjikan. Hal ini sering diuraikan CN dengan istilah “membunuh anak kecil dan membocorkan kapal oleh Khidr
  • Dalam hijrah kita membangun persaudaraan bukan hanya sekedar senasib dan sepenanggungan melainkan juga sehidup semati. Ini adalah karakteristik jamaah maiyah
  • Menguasai ilmu-ilmu bela diri, tidak hanya yang bersifat fisik tetapi juga bersifat mental – spiritual, termasuk penguasaan ilmu dan teknologi sebagai alat bukan tujuan
  • Menciptakan kemandirian ekonomi dengan cara memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Rasulullah amat memperhatikan kebijakan pertanian
  • Bekerja keras dengan prioritas menghasilkan produk-produk pertanian, peternakan dan perkebunan serta menemukan teknologi alternatif untuk itu semua
  • Mengamankan batas-batas teritorial dalam bentuk fisik dengan adanya angkatan bersenjata atau semacam pasukan khusus sesuai ajaran nabi bahwa sipil adalah militer yang tidak dipersenjatai dan militer adalah sipil yang dipersenjatai. Forum-forum maiyah termasuk dalam kategori ini
  • Secara gradual menyesuaikan pencapaian setiap langkah strategis dengan show of force dengan menempuh beberap eksperimen misalnya komunitas maiyah melakukan advokasi atas hak-hak rakyat yang tertindas, tapi ini tidak a la LSM
  • Menguji kematangan ideologi, kemampuan pertahanan dan mantapnya kedisiplinan dengan menempuh beberapa instrumen. Rasulullah misalnya, selalu menawarkan kepada para sahabat setiap kali menggagas kegiatan terutama menghadapi sebuah peperangan dimana para sahabat selalu membai’at kepada Rasulullah bahwa mereka rela mati
  • Menunggu izin Allah, komando sang pemimpin untuk pergelutan yang menentukan
  • Suksesi dan alih generasi
Inilah kepemimpinan revolusioner yang mampu menciptakan perubahan radikal dari level paling bawah ke level yang paling tinggi.

Jakarta, 22 Oktober 2010-10-23
Muhammad Nursamad Kamba
www.kenduricinta.com

1,5 Menit Untuk Indonesia


“Kami Putra-Putri Indonesia, sudah berbangsa satu, Bangsa Indonesia”
“Kami Putra-Putri Indonesia, sudah berbahasa satu, Bahasa Indonesia”
“Kami Putra-Putri Indonesia, sudah bertanah air satu, Tanah Air Indonesia “
Jangan pernah sedetikpun kau lupa akan pekikan : Merdeka atau mati !!!!.
Jangan pernah sedetikpun kau lupakan bahwa hanya Kematian yang pantas
dipertaruhkan sebagai harga dari sebentuk Kemerdekaan.
28 oktober 1928 para Pemuda mengumandangkan Mahatekat yang bernama Sumpah Pemuda
dierami dengan kesungguhan dan keteguhan,
16 Tahun, 9 bulan, 17 hari kemudian, Menetaslah Bangsa ini.
Sang Bangsa Garuda.
Dan hari ini, Garuda itu siap untuk terbang keangkasa raya.
Membelah langit dan menunjukkan jati dirinya.
Dan disinilah letak Pemuda.
tidak ada jalan lain yang dijalani kecuali jalan Martabat, demi bangsa Indonesia
tidak ada pilihan lain yang dipilih kecuali pilihan Kedaulatan, demi bangsa Indonesia
tidak ada kata tidak untuk sanggup Berbuat dan berani Bertanggung jawab, demi Tanah Air Indonesia.
Hari ini Indonesia bukan lagi “Merdeka atau mati !”
Hari ini Indonesia adalah “Berubah atau punah !”
_____________________________________________
Sabrang Mowo Damar Panuluh pada 28 Oktober 2009,
Persembahan Untuk Negeri

www.kenduricinta.com
 

Curhat Setan: Al-Quran yang Dibakar!


Curhat Setan: Al-Quran yang Dibakar!
Pembatalan pembakaran Al-Quran hanya omong kosong belaka. Faktanya, dua pendeta justru melakukannya. Yang melakukan bukan Pendeta Terry Jones, tapi kedua pengikutnya. Pendeta Bob Old bersumpah melaksanakan aksinya membakar Al-Quran. Bersama Pendeta Danny Allen, Old melakukan aksinya di hadapan sekelompok orang yang sebagiannya merupakan awak media, Sabtu (11/9) lalu, sama persis pada hari yang dideklarasikan Terry Jones.
Kedua pendeta itu menyiram dua buah mushaf dan sebuah teks Islam lainnya dengan cairan pembakar, lalu menyulutnya dengan api. Mereka menyaksikan bersama-sama kitab suci umat Islam itu menjadi abu.
Aksi dua pendeta itu dilakukan di pekarangan belakang kediaman Old. Mereka mengatakan aksinya merupakan pesan dari Tuhan. Old mengatakan gereja telah mengecewakan banyak orang karena tidak mendukung aksinya. “Saya yakin bahwa sebagai negara kita berada dalam bahaya,” ujarnya sebagaimana dikutip media online Tennessean (12/10).
“Ini adalah buku berisi kebencian, bukan cinta,” katanya sambil memegang Al-Quran sebelum kemudian membakarnya. “Ini adalah kitab palsu, Nabi Muhammad adalah nabi palsu dan itu merupakan wahyu palsu,” tambahnya.
Kedua pendeta itu lantas melakukan apa yang disebutnya sebagai “demonstrasi damai” dengan sedikit gegap gempita. Delapan orang wartawan ikut menyaksikan aksi kedua rohaniwan gereja itu. [Gila, Al-Quran Ternyata Jadi Dibakar, metrotvnews.com]
“Anjing!” rutuk saya sesaat setelah membaca berita itu, “Ini gila! Kita harus perang! Terkutuklah mereka!” Umpatan-umpatan dan caci-maki saya keluar tanpa kontrol.
“Setan!” teriak saya sekali lagi.

Tiba-tiba Tuan Setan muncul di hadapan saya! Wajahnya penuh kemarahan. “Bakarlah Al-Quranmu!” kata Tuan Setan tiba-tiba.
Jelas saya berang mendengar ucapannya. Emosi saya naik pitam. Dada saya turun naik. Dan seketika kutuk dan serapah membrudal dari mulut saya. “Percuma selama ini aku mulai menaruh rasa simpati kepadamu! Kau ternyata memang pantas dilaknat dan dimusuhi! Terkutuklah kau!”

“Bakarlah Al-Quranmu!” katanya sekali lagi, dengan nada yang lebih tegas. Matanya nyalang. Gigi-giginya gemertak. Lalu telunjuknya mengarah tepat ke wajah saya. “Bakar!” ia berteriak, “Bakarlah kalau memang selama ini ia hanya menjadi kertas, bakarlah! Bakarlah!”
Napas saya turun naik, mata saya memerah, tangan saya mengepal. “Terkutuklah kau!” teriak saya.
“Mana Al-Quranmu!?” bentak Tuan Setan.

Tiba-tiba saya tersintak. Tiba-tiba saya merasa harus menemukan Al-Quran milik saya yang entah saya simpan di mana, sementara Tuan Setan terus menerus berteriak “Bakar! Bakarlah Al-Quranmu!” Saya terus mencari.  Di manakah saya menyimpan Al-Quran saya? Saya membongkar isi lemari, mengeluarkan buku-buku, berkas-berkas, tumpukan kliping koran, dan kertas-kertas apa saja dari dalam lemari. Di manakah Al-Quran saya? Saya mulai resah mencari di mana Al-Quran saya. Saya ke ruang tamu, ke ruang tengah, ke dapur, ke seluruh penjuru rumah. Saya memeriksa ke belakang lemari, ke sela-sela tumpukan kaset dan CD-CD, ke mana-mana. Tetapi, saya tak menemukan Al-Quran saya! Di manakah saya menyimpan Al-Quran saya?


“Bakarlah Al-Quranmu!” sementara Tuan Setan terus-menerus berteriak, “Bakar!”
Saya mulai panik dan resah, kemarahan saya mulai pudar, ternyata saya tak bisa menemukan Al-Quran saya sendiri.

“Bakarlah Al-Quranmu kalau itu hanya menjadi kertas usang yang kausia-siakan!” kata Tuan Setan tiba-tiba.
Dada saya berguncang hebat. Pelan-pelan tapi pasti saya mulai menangis—tetapi saya belum menyerah untuk terus mencari Al-Quran saya. Di mana Al-Quran saya? Ada sebuah buku tebal berwarna hijau di atas lemari tua di kamar belakang, saya kira itulah Al-Quran saya, setelah saya ambil ternyata bukan: Life of Mao. Saya kecewa. Saya terus mencari sambil diam-diam air mata saya mulai meluncur di tebing pipi.

“Bakarlah Al-Quranmu!” suara Tuan Setan kembali memenuhi ruang kesadaran saya. Tetapi kini saya tak bisa marah lagi, ada perasaan sedih dan kecewa mengaduk-aduk dada saya. Ada sesak yang tertahan, semantara isak tangis tak sanggup saya tahan.

Akhirnya saya menyerah. Saya tak menemukan Al-Quran saya di mana-mana di setiap sudut rumah saya!
Kemudian Tuan Setan tersenyum menang, ia menyeringai dan menatap saya dengan sinis. “Jadi, kenapa kau mesti marah saat ada orang yang membakar dan menginjak-injak Al-Quran?” kemudian ia tertawa. “Lucu! Ini lucu! Mengapa kau mesti marah sedangkan kau sendiri tak memperdulikannya selama ini?”

Saya terus menangis. Dada saya berguncang. Tuan Setan tertawa. “Jadi, mengapa kau mesti mengutuk mereka yang menyia-nyiakan dan merendahkan Al-Quran sementara kau sendiri melakukannya—diam-diam?” katanya sekali lagi. Ada perih yang mengaliri dada saya, mendesir gamang ke seluruh persendian saya.

Tiba-tiba saya ingat sebuah tempat: gudang belakang rumah. Barangkali Al-Quran saya ada di situ!
Saya bergegas bangkit dari tubuh saya yang tersungkur, saya berlari menuju gudang belakang, membuka pintunya, lalu menyaksikan tumpukan barang-barang bekas yang usang dan berdebu. Sebuah kotak tersimpan di sudut ruang gudang, saya segera ingat di situlah saya menaruh buku-buku bekas yang sudah tua dan tak terbaca. Seketika saya hamburkan isi kotak itu, membersihkannya dari debu, dan akhirnya… saya mendapatkannya: Al-Quran saya!

Saya menatap Al-Quran saya dengan tatap mata rasa bersalah. Saya mengusap-usapnya, meniupnya, membersihkannya dari debu yang melekat di mushaf tua itu. Kemudian Saya mendekapnya erat-erat—mengingat masa kecil saya belajar mengeja huruf hijaiyyah, menghafal surat Al-Fatihah… “Astagfirullahaladzhim…” tiba-tiba dada saya bergemuruh, air mata saya menderas.
Tuan Setan tertawa lepas. “Bakar saja Al-Quranmu!” katanya sekali lagi, “Bukankah ia tak berguna lagi bagimu?” nada bicaranya mengejek.

Saya masih mendekap Al-Quran saya, tergugu dengan dada seolah tersayat sembilu.
“Jika pendeta yang membakar Al-Quran itu mengatakan bahwa Al-Quran adalah buku yang penuh kebencian, bukankah mereka hanya menilainya dari perilaku yang kalian tunjukkan? Bila mereka mengira Al-Quran hanyalah kitab omong kosong dan Muhammad yang membawanya hanya nabi palsu yang berbohong tentang firman, bukankah itu karena kau—kalian semua—tak pernah sanggup menunjukkan keagungan dan keindahannya? Kau, kalian semua, harus menjelaskannya!

“Jangankan menunjukkan keindahan dan keagungan Al-Quran, membacanya pun kau tak! Jangankan menaklukkan musuh Tuhan sementara menaklukkan dirimu sendiri pun kau tak sanggup! Apa sih maumu? Al-Quran tak pernah mengajarkan permusuhan dan kebencian, Al-Quran tak pernah mengajarkan hal-hal yang buruk, lalu kenapa kau terus-menerus melakukannya? Al-Quran selalu mengajarimu kebaikan, mengapa kau tak pernah mau mengikutinya? Heh, ya, aku baru ingat, jangankan mengikuti petunjuknya, memahami dan membacanya pun kau tak!

“Lalu kenapa kau harus marah ketika Al-Quran dibakar? Mengapa kau tak memarahi dirimu sendiri saat kau menyia-nyiakan Al-Quranmu? Ini bukan semata-mata soal pendeta yang membakar Al-Quran, ini bukan semata-mata soal pelecehan terhadap institusi agamamu, ini bukan semata-mata soal permulaan dari sebuah peperangan antar-agama, ini semua tentang kau yang selama ini menyia-nyiakan Al-Quran, tentang kau yang secara laten dan sistematis menyiapkan api dan bensin dari perilaku burukmu untuk menunggu Al-Quran dibakar lidah waktu yang meminjam tangan orang-orang yang membenci agamamu! Mereka tak akan berani membakar Al-Quran, kitab sucimu itu, kalau saja selama ini kau sanggup menunjukkan nilai-nilai agung yang dibawa Nabimu, nilai-nilai kebaikan yang termaktub dalam teks suci kitab yang difirmankan Tuhanmu! Maka bila kau tak sanggup menggemakan Quran amanat nabimu ke segala penjuru, tak sanggup menerima cahayanya dengan hatimu, bakarlah Al-Quranmu! ”

Lalu seketika terbayang, Al-Quran yang teronggok sia-sia di rak-rak buku tak terbaca, Al-Quran yang diletakkan di paling bawah tumpukkan buku-buku dan majalah, Al-Quran yang kesepian tak tersentuh di masjid dan langgar-langgar, Al-Quran yang tak terbaca dan (di)sia-sia(kan)!

Saya menangis; memanggil kembali hapalan yang entah hilang kemana, mengeja kembali satu-satu alif-ba-ta yang semakin asing dari kosakata hidup saya. Saya melacaknya dalam ingatan saya yang terlanjur dijejali kebohongan, kebebalan, penipuan, dan pengkhiatan-pengkhiantan. Di manakah Al-Quran dalam diri saya?
“Maka, bakarlah Al-Quran oleh tanganmu sendiri!” kata Tuan Setan, “Hentikan airmata sinetronmu, hentikan amarah palsumu, hentikan aksi solidaritas penuh kepentinganmu, hentikan rutuk-serapah politismu, sebab kenyataannya kau tak pernah mencintai Al-Quran! Bakarlah!”

Tuan Setan tertawa lepas.

“Maafkan…” suara saya tiba-tiba pecah menjelma tangis, “Maafkan…,” lalu saya bergegas pergi dengan Al-Quran yang kugamit di lengan kananku.

“Bakar saja Al-Quranmu!” teriak Tuan Setan yang kutinggalkan di gelap ruangan gudang. Lamat-lamat tawanya masih ku dengar di ujung jalan.

Saya mencari masjid, saya ke mal, saya ke pasar, saya ke terminal, saya ke sekolah, saya ke mana-mana… Saya ingin mencari mushaf-mushaf Al-Quran yang disia-siakan. Saya ingin membersihkannya dari debu dan mengajak sebanyak mungkin orang membacanya. Saya masih bergegas dengan langkah yang galau. Saya ingin mengabarkan keagungan dan keindahan Al-Quran, tapi bagaimana caranya? Sedangkan saya sendiri tak memahaminya? Saya ingin menggaungkannya di mana-mana, tapi bagaimana caranya?
Saya terus bertanya-tanya bagaimana agar Al-Quran tak dibakar? Bagaimana agar Al-Quran tak terbakar? Bagaimana?
Ya, Tuhan akukah insan yang bertanya-tanya?
Ataukah aku Mukmin yang sudah tahu jawabnya?
Kulihat tetes diriku dalam muntahan isi bumi
Aduhai, akan kemanakah kiranya aku bergulir
Di antara tumpukan maksiat yang kutimbun saat demi saat
Akankah kulihat sezarah saja kebaikan yang pernah kubuat?

Ya Tuhan, nafasku gemuruh, diburu firmanmu!
[KH. Mustafa Bisri, Tadarus]

Saya terus menangis dalam langkah-langkah gelisah yang bergegas, haruskan saya melawan semua ini dengan amarah dan kebencian? Ataukah saya harus menunjukkan kepada mereka semua yang membenci Al-Quran bahwa sungguh mereka telah keliru? Haruskah saya kembali marah dan membakar kitab suci mereka di mana-mana, atau akan lebih baikkah jika saya jawab mereka dengan cinta dan kasih sayang—meneladani Muhammad dengan menunjukkan kepada mereka kebaikan cahaya Al-Quran karena sesungguhnya mereka hanya belum tahu!?

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Bacalah!” tiba-tiba suara Tuan Setan datang lagi, “Biarkanlah mereka membakar mushaf sebab Al-Quran bukanlah kertas yang bisa mereka bakar. Bacalah Al-Quran hingga suaranya terdengar oleh hatimu, bergema di seluruh ruang kesadaranmu, maka kau tak akan kecewa mendapati mushaf-mushaf yang terbakar atau ayat-ayat yang teronggok di ruangan-ruangan tua berdebu buku. Sebab Al-Quran bukanlah mushaf, Al-Quran adalah semesta, nama di luar kata! Maha benar Allah dengan segala firman-Nya.”

Saya terdiam mendengar kata-kata Tuang Setan yang terakhir, “Tuan Setan, sebenarnya siapakah kamu? Apa agamamu?”

Ia terkekeh, bahunya berguncang, “Akulah yang kau lihat dalam tidurmu: berlarian atau terbang atau tertawa tanpa suara, sesuatu yang lama kau idamkan tetapi lupa kau sapa. Akulah yang membakar Al-Quranmu!”
Ia terus terkekeh, terbatuk, lalu menghilang.

Fahd Djibran
Serpong, 16 September 2010
www.kenduricinta.com