Rabu, 17 November 2010

Kisah Berdirinya Tugu Pahlawan Surabaya

Photobucket

Seorang Presiden pada tanggal 10 November 1951 meletakkan batu pertama dari suatu rencana raksasa: Tugu Pahlawan, setinggi 45 meter. Batu itu ditancapkan di tengah-tengah Kota Surabaya, di sebuah tempat bekas reruntuhan gedung yang hancur dalam perjuangan mendirikan negara, di depan Kantor Gubernur Jawa Timur. Bersamaan dengan peletakan batu pertama itu ditanamkan juga sebuah piagam yang berbunyi:


Pada hari ini, Hari Pahlawan 10 November 1951, di Kota Surabaya, P.Y.M.Presiden Republik Indonesia Dr. Ir. Sukarno, dengan disaksikan oleh rakyat Indonesia di Surabaya, berkenan meletakkan batu pertama untuk mendirikanTugu Pahlawan guna memperingati pengorbanan Pahlawan-pahlawan Kemerdekaan Negara dan Bangsa Indonesia pada tanggal 10 November 1945.
Semoga Tugu ini, yang diselenggarakan atas nama penduduk Kota Surabaya oleh Kepala Daerah Kota Besar Surabaya, Dul Arnowo, menjadi peringatan rakyat Indonesia sehingga akhir zaman.
Presiden Republik Indonesia, Dr. Ir. Sukarno.
Gubernur Jawa Timur, Samadikun.
Walikota Surabaya, Dul Arnowo.

Tentu saja naskah piagam itu ditulis dalam bahasa Indonesia ejaan Soewandi (ejaan lama). Segera setelah upacara ini selesai, maka pekerjaan pembangunan Tugu Pahlawan mulai diselenggarakan. Dan pada tanggal 10 November 1952 Presiden yang sama meresmikan pembukaan Tugu Pahlawan itu, yang ternyata tingginya hanya 45 yard!

Seperti tertera di dalam piagam yang ditanam beserta batu pertama, maka sebagai pembawa cita-cita untuk mendirikan Tugu Pahlawan ini dapat disebutkan tokoh seorang kurus, bertubuh kecil, tetapi selalu ikut berjuang dalam kancah pertempuran Surabaya serta menjadi walikota Surabaya sejak kembalinya kedaulatan negara Republik Indonesia. Tokoh itu tidak lain adalah Dul Arnowo. Ia kecuali dikenal sebagai seorang warga kota yang “kawakan”, juga populer di kalangan pejuang di Jawa Timur. Dul Arnowo sudah sejak tanggal 2 September 1945 berprakarsa membentuk pemerintahan Kota Surabaya yang jadi bagian dari Negara Republik Indonesia proklamasi 17 Agustus 1945. Dul Arnowo yang pada zaman Jepang bekerja pada pemerintahan Surabaya Shi (kota) menjabat sebagai Ketua BPP (Badan Pembantu Prajurit) yang kantornya di Jalan Kaliasin (sekarang Basuki Rakhmat) 121, hari itu membentuk dua organisasi yang mewakili adanya pemerintahan Republik Indonesia yang merdeka. Organisasi itu adalah: BPKKP (Badan Penolong Keluarga Korban Perang) dan BKR (Badan Keamanan Rakyat). Ketua BPKKP, yang lebih mengurusi urusan administrasi (sipil) tata kota adalah Dul Arnowo (mantan Ketua BPP), wakil-ketuanya Mohamad Mangundiprodjo (mantan Daidancho Peta Buduran Sidoarjo). Sedang Ketua BKR adalah Drg. Mustopo (mantan Daidancho Peta Gresik), yang mengurusi soal pertahanan dan keamanan Kota Surabaya (dan Jawa Timur). Sangat penting tindak-tanduk Ketua BPKKP dan wakilnya, yaitu sama-sama menyadari bahwa untuk mempertahankan kedaulatan negara RI itu bukan saja diperlukan kekuatan bersenjata tapi juga dibutuhkan dana untuk membiayai perjuangan itu. NEGARA RI LAHIR TANPA MODAL SESEN PUN. 

MODALNYA HANYALAH SECARIK KERTAS TEKS PROKLAMASI KEMERDEKAAN SERTA SEMANGAT DAN TEKAD RAKYAT Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan negaranya (saya ketik huruf kapital, karena itu pernah terucap oleh Dul Arnowo ketika membentuk pemerintahan sipil di Surabaya, 2 September 1945). Modal materiel beserta segala piranti aparat pemerintah itu harus dicari sendiri oleh rakyat. BPKKP selaku aparat juga harus mencari dana itu. Dul Arnowo dan Mohamad Mangundiprodjo yang diserahi jabatan pada BPKKP harus berfikir keras berupaya mencari dana bagi perjuangan menegakkan negara. Dapat dicatat bahwa pencarian dana itu oleh Dul Arnowo dan Mohamad Mangundiprodjo akhirnya teratasi, yaitu dengan berhubungannya dengan Dr. Samsi Sastrawidagda (menjabat Menteri Keuangan kabinet RI pertama sebelum Mr. Maramis) yang memberi petunjuk bahwa di Bank Escompto di Surabaya tersimpan uang peninggalan pemerintah Hindia Belanda yang disita Jepang. 

Uang itu akhirnya digedor oleh Mohamad Mangundiprodjo, uangnya sebagian disumbangkan ke pemerintahan Pusat RI, selebihnya dijadikan dana perjuangan melalui organisasi Dewan Pertahanan Rakyat Indonesia di Surabaya, diketuai oleh Mohamad Mangundiprodjo. Maka tidak aneh kalau di Surabaya terdapat nama jalan yang besar bernama H.R.Mohamad Mangundiprodjo. Tapi agak aneh, tidak ada nama Jalan Dul Arnowo, yang ada hanyalah nama gang kampung, yaitu Genteng Arnowo. Padahal pemikir pemerintahan sipil di Surabaya yang pertama ketika merdeka adalah Dul Arnowo, dan yang menemukan dana perjuangan untuk pemerintahan Pusat RI dan perjuangan mempertahankan Kota Surabaya (sebagian uang juga dibawa ke Markas BKR Jawa Timur, markasnya Drg. Mustopo gedung HVA yang sekarang menjadi gedung PTP Jalan Merak) yaitu karena hubungannya dengan Dr. Samsi juga oleh Dul Arnowo. Dr. Samsi pada akhir pendudukan Jepang menjadi Kepala Kantor Tatausaha dan Pajak di Surabaya. Jadi sama-sama menjabat pemerintahan sipil di Surabaya bersama Dul Arnowo. Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 Dr. Samsi-lah pemimpin Surabaya yang pertama kali menemui Laksamana Shibata membicarakan masalah yang dihadapi Indonesia merdeka (buku Shibata Yaichiro “Surabaya After Surrender” 1986).

Cita-cita, pengabdian serta perjuangan Dul Arnowo terhadap NKRI berlanjut ketika menjadi walikota Surabaya 1951. Dialah yang berprakarsa mengganti nama-nama jalan di Surabaya yang sejak zaman Belanda hingga Jepang bernama nama-nama Belanda (lain waktu saya tulis soal nama-nama jalan di Surabaya ini). Dan lalu juga berprakarsa mendirikan Tugu Pahlawan ini.

Untuk lebih memberikan arti kepada Tugu yang hendak didirikan itu, diputuskan bahwa Tugu ditempatkan di bekas puing-puing reruntuhan Gedung Kenpeitai zaman Jepang. Bekas-bekas reruntuhan gedung ini pernah membawa penderitaan yang tidak gampang dilupakan para pejuang kemerdekaan dari zaman ke zaman. 

Sesudah menjadi gedung Raad van Justitie (gedung pengadilan) pada zaman Nederlands Indië, pada zaman Nippon menjadi markas Kenpeitai (polisi militer Jepang, di mana para patriot bangsa yang dianggap melawan Jepang ditawan dan disiksa, misalnya Ir Darmawan, tokoh ludruk Durasim). Dan pada saat meletusnya pertempuran 10 November 1945 gedung ini juga jadi pusatnya gerakan pemuda (PTKR = Polisi Tentara Keamanan Rakyat pimpinan Hasanudin Pasopati dan N. Suharyo Kecik), yang kemudian gedung tadi menjadi bulan-bulanan sasaran peluru mortir dan peluru meriam dari kapal laut, dan bom dari pesawat terbang Thunderbolt, keduanya bagian dari angkatan perang Inggris. Peristiwa ini pernah digambarkan dalam perangko-perangko Republik Indonesia yang beredar pada tahun-tahun pertama kemerdekaan. Dengan dibubuhi teks: Surabaya 10 November 1945. Termasuk perangko seri “pertempuran”.

Pertempuran yang terjadi pada tempat itu bermula terjadi pada 30 September 1945 menjelang pagi 1 Oktober 1945 karena tekad pemuda-pemuda Surabaya untuk melucuti senjata tentara Jepang. Pelucutan senjata Jepang pada malam yang sama di tempat-tempat lain di Surabaya begitu lancar dan tidak menimbulkan pertempuran, hanya di Markas Kenpeitai itu dan Markas Kaigun (Angkatan Laut Jepang) di Gubeng Pojok yang memetik pertempuran dan makan kurban cukup banyak dari kedua belah pihak (pihak Indonesia dan pihak Jepang), dan baru tanggal 2 Oktober 1945 pertempuran selesai, atas hasil perundingan para pejabat. Markas Kenpeitai berhasil didamaikan atas perundingan antara Panglima Angkatan Darat Jawa Timur Jepang (Tobu Jawa Butai) Jenderal Iwabe dengan kelompok pejabat Jawa Timur Tentara Keamanan Rakyat pimpinan Drg Mustopo (Panglima TKR Jawa Timur, karena itu di Surabaya ada jalan Prof. Dr. Mustopo) di Markas Gedung HVA (sekarang Jalan Merak). Markas Kaigun berhasil didamaikan atas perundingan antara Laksamana Muda Laut Shibata dengan Ketua BKR Kota Surabaya Sungkono (karena itu di Surabaya ada jalan Majen Sungkono), di rumah Shibata Ketabang Boulevard (sekarang Jalan Jaksa Agung Suprapto; saya tidak tahu kaitannya Jaksa Agung Suprapto dengan Surabaya. Pernahkah ada yang meneliti?). Akhirnya pertempuran di Markas Kenpeitai Jepang yang lalu jadi Markas PTKR itu hanya meninggalkan reruntuhan-reruntuhan saja. Kebanggaan dan kemegahan kolonialisme hilang bersama hancurnya gedung yang beriwayat banyak menimbulkan kurban jiwa patriotis bangsa Indonesia.


Tugu Pahlawan, atau Perumahan Rakyat

Cita-cita pendirian Tugu Pahlawan ini pada mulanya mendapat sanggahan juga dari beberapa kalangan di Kota Surabaya sendiri. Mereka beranggapan bahwa perumahan rakyat adalah usaha pertama-tama yang harus diwujudkan. Bukannya usaha mendirikan tugu. Tetapi cita-cita ini pun mendapat dukungan dari rakyat, dengan demikian rencana mendirikan Tugu Pahlawan bisa mulai dilaksanakan.

Seorang utusan berangkat ke Jakarta membawa sebuah rencana (ontwerp). Presiden tidak bisa menyetujui ontwerp itu dan menyarankan bentuk “paku” untuk Tugu Pahlawan yang bakal didirikan itu.

Kemudian seorang berbadan besar, berkacamata, meneruskan usaha pendirian Tugu ini, karena Walikota Dul Arnowo (Walikota Surabaya 1950-1952) dipindahkan ke Jakarta. Orang yang berbadan besar itu adalah Walikota Surabaya yang baru, bernama R.Mustajab Sumowidigdo (Walikota Surabaya 1952-1956), yang namanya kini juga diabadikan untuk menamai jalan di depan rumah dinas kediaman Walikota Surabaya, penggantian nama jalan diresmikan tahun 1973 oleh Walikota Surabaya R.Sukotjo (Walikota Surabaya 1965-1974). Jalan itu dulu (sejak zaman Belanda) mempunyai nama yang unik, tidak ada yang menyamai di seluruh dunia, yaitu Ondomohen. Ondomohen itu bukan bahasa Jawa, bukan bahasa Belanda. Tidak ada artinya dalam kedua bahasa itu, di kamus pun tidak ada. Jadi, kata Ondomohen di seluruh bahasa dunia artinya ya nama jalan di Surabaya itu. Oleh karena itu ketika Walikota Surabaya Dul Arnowo mengganti nama-nama jalan yang berbau bangsa atau bahasa Belanda tahun 1952, nama jalan Ondomohen tidak katut diganti. Ondomohen adalah bahasa Surabaya, milik orang Surabaya, khusus untuk nama Jalan Ondomohen di Surabaya.

Tentang mendirikan Tugu Pahlawan, oleh Walikota Surabaya yang baru, R.Mustajab, kemudian dikirimkan lagi utusan ke Jakarta untuk memperlihatkan dua belas ontwerp yang disusun menurut petunjuk-petunjuk Presiden. Pilihan terakhir jatuh kepada sebuah ontwerp, tetapi yang terakhir inipun mengalami perubahan-perubahan. Salah satu di antaranya: tiang bendera yang hendak dipancangkan di pucuk tugu harus dihilangkan.


Kerja Non-stop 40 Jam

Dengan bantuan sepenuhnya dari jawatan-jawatan pemerintah seperti PJKA, Kantor Telepon, Jawatan Gedung-gedung, dan beberapa instansi swasta seperti Aniem (Perusahaan Listrik sebelum dinasionalisasi), BPM (sebelum dinasionalisasi jadi Pertamina), serta juga dari Angkatan Darat dan Angkatan Laut, penyelenggaraan pembangunan Tugu dimulai pada tanggal 20 Februari 1952.

Untuk pondasi saja harus digali tanah sebanyak 620 M3.

Pekerjaan ini lalu disusul dengan pengecoran beton untuk “werkvloer” seluas 247 M3 dengan tebal 6 cm. Beton yang disusun pakai perbandingan 1:3:6. Selesai pada tanggal 5 April 1952. Pekerjaan pengecoran beton oleh Balai Kota ini kemudian dilanjutkan oleh Indonesian Engineering Corporation, sebuah pemborong usaha nasional, untuk membuat pondasi.


Besi beton yang dihabiskan oleh pembuatan beton ini mencatat angka 19 ton. Sedang isi beton bertulang memakan campuran sebanyak 620 M3. Pekerjaan ini lalu disusul pengecoran beton dengan perbandingan 1:2:3. Oleh karena pengecoran harus diselesaikan sekali gus, maka untuk itu empat buah mesin pencampur beton harus dikerahkan, dengan tenaga 120 orang yang bekerja bergiliran selama 40 jam nonstop. Pekerjaan inipun selesai pada tanggal 3 Juni 1952.


Dari 45 Meter jadi 45 yard.

Photobucket

Juga IEC yang kemudian mendapat kepercayaan untuk mengerjakan Tugu hingga 30 meter. Sedang sisanya 11,3 meter diselesaikan oleh pemborong Sarojo. Rencana untuk mendirikan Tugu Pahlawan setinggi 45 meter sekarang ternyata tidak bisa dilaksanakan lagi. Ia cuma bakal setinggi 45 yard, atau 41,13 meter. Keadaan ini disebabkan karena rencana kekuatan Tugu setinggi 45 meter tidak terpenuhi. Kalau toh kekuatan ini harus disesuaikan dengan rencana lama, maka jangka waktu pengerjaan satu tahun yang diberikan itu tidak mungkin terpenuhi. Juga adanya peraturan-peraturan penerbangan menyebabkan rencana ini dikurangi jadi 45 yard saja. Terutama kalau ada penerbangan di waktu malam. Karena itu pada “mahkota” di atas tugu yang beratnya ditaksir tiga ton bakal dipasang lampu-lampu dan kaca merah.

Pembangunan bagian bawah Tugu yang mencapai tinggi 30 meter itu berakhir tepat pada tangggal 17 Agustus 1952, yaitu setelah dua bulan terus-menerus dikerjakan. Untunglah bahwa perhitungan-perhitungan dan perubahan menjadi 45 yard itu terjadi sesudah bagian bawah selesai dikerjakan. Hingga waktu itu sudah ada 70 orang pekerja dikerahkan. Pekerjaan pengecoran malahan meminta tenaga lebih banyak, sampai sejumlah 80 orang, tetapi hasil yang diberikan tidaklah seperti yang direncanakan. Setiap hari mereka cuma berhasil mengecor sebanyak 5 M3. Ini disebabkan karena makin tinggi memanjat, makin sukar pelaksanaan pengecorannya.

Kekurangan-kekurangan ini kemudian menimbulkan gagasan baru, yaitu untuk mempergunakan semacam “lift”. Menurut pendapat baru ini ternyata hasilnya naik, sehari menjadi 9 M3. Dan tinggi yang 30 meter itu pengecorannya selesai dalam tiga minggu.


Biayanya Cuma Setengah Juta.

Pekerjaan pembikinan bagian atas serta mahkota mengalami kesukaran-kesukaran sedikit, karena tenaga pekerja-pekerja jarang yang bisa dan berani memanjat setinggi itu. Walaupun upah sudah dinaikkan menjadi tiga kali atau empat kali lipat.

Menurut perhitungan terakhir pembuatan Tugu itu menelan sejumlah 170 M3 beton kricak, pasir dan pasir urug 530 M3 serta semen “Portland” (semacam Semen Gresik yang harus diimport, karena Semen Gresik baru dibangun 1958) 2408 bungkus. Biaya seluruhnya ditaksir Rp 500.000,00 yang didapat dari sumbangan-sumbangan para dermawan.


Kerja Acak-acakan Yang Abadi.

Tugu Pahlawan ini mempunyai 10 lengkungan (canalurus) pada badannya yang melambangkan tanggal 10. Sedang 11 bagian (gelindingen) di atasnya mengandung pengertian bulan ke 11 atau bulan November. Tinggi yang 45 yard itu dengan sendirinya menyatakan tahun 1945 sebagai tahun terjadinya pertempuran di Surabaya. Keistimewaan Tugu Pahlawan ini adalah bahwa di bagian dalamnya terdapat tangga yang melilit dindingnya untuk naik sampai puncaknya.

Hanya anehnya, beberapa saat setelah Tugu diresmikan pembukaannya, maka terjadi semacam “skandal” di dalam pembuatannya. Tugu itu di bagian tengah tampak miring dan tidak lurus. Penanggung jawab dari kecerobohan ini kabarnya ditimpakan kepada IEC. Sampai kemudian menjadi rahasia umum di Surabaya, bahwa Tugu Pahlawan itu bakal dibongkar kembali untuk mendapat perbaikan seperlunya.

Tetapi, inipun tidak pernah ada kenyataannya. Tugu Pahlawan itu tetap miring di tengah, dan tetap tidak dibongkar. Keabadian miringnya Tugu Pahlawan merupakan peringatan hasil kerja acak-acakan. Semoga dijadikan suri teladan untuk para penguasa kota yang kemudian, agar kerja acak-acakan seperti itu jangan terjadi lagi, jangan terulang lagi. Untuk mengerjakan “proyek” hendaknya direncanakan sejak ontwerpnya, pembeayaannya, sampai penjadwalan pengerjaannya. Waktu pengerjaan Tugu Pahlawan dulu, memang belum ada perencanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah seperti sekarang. Semoga adanya APBD-APBN menjadikan pembangunan bangsa dan negara menjadi lebih baik daripada zaman 1950-an.

Menurut catatan, “Rencana Ongkos Pembikinan Tugu Pahlawan” waktu itu ialah Rp 400.000,00. Dana diperoleh dari pungutan pada masyarakat. Penerimaan kas dari pungutan sampai dengan tanggal 5 November 1952 baru terkumpul Rp 335.486,66. Yaitu sumbangan-sumbangan (ketika itu disebut “bantuan”) dari Grosier2 beras Rp 116.450,00; “Persatuan Kaum Ibu” Rp 15.500,00; Pasar Malam PMI-Phin Lauw Yuan Rp 4.343,80; Lingkungan Pacarkeling Rp 229,60; Panitya Penyelenggara Pertandingan Armada India Rp 494,00; Pemohon2 memasukkan beras dari luar daerah Rp 15.530,67 (tapi yang Rp 4.450,00 akan diminta kembali oleh pemohon2 itu karena permohonannya tidak diijinkan); Persibaya (waktu itu belum Persebaya) Rp 4.428,60; Sepakbola Lebaran Rp 60,90; Hadiah Bung Karno Rp 10.000,00; dari khalayak ramai melalui suratkabar “Suara Rakyat” Rp 1.875,00; Hadiah Bu Samadikun Jl. Pahlawan 7 (isteri Gubernur Jatim) Rp 100,00; sumbangan Perkumpulan “Gie Hoo” Rp 170,75; Jawatan Pelabuhan Surabaya Rp 78,60; stamvergunninghouders beras Rp 145.071,13; dari “Penjualan Kupon” Rp 20.870,61; Ikatan Pegawai Negeri di Penataran Angkatan Laut Surabaya Rp 70,00; sumbangan A. Djalil M.E.T.P. Riouw Udjung Jakarta, Rp 10,00; R. Sastromihardjo Kepala Setasiun Tarik Rp 28,00; Inspeksi Kesehatan Rp 175,00; . Jumlahnya belum mencapai “rencana ongkos”, tapi dalam laporan kas itu disebutkan bahwa dari “Penjualan Kupon” ditaksir akan diterima lagi Rp 45.000,00 dan dari Stamvergunninghouders beras sampai dengan ultimo November 1952 akan diterima lagi Rp 30.000,00; sehingga ditaksir akan diterima seluruhnya Rp 410.486,66. Sampai dengan 5 November pengeluaran yang sudah dilaporkan baru sampai Rp 196.231,30. Antara lain “perongkosan2 ke Jakarta” tiga kali jumlahnya Rp 4.500,00; tapi oleh utusan2 itu dikembalikan Rp 1.000,00 kepada panitia. Laporan atau balans itu ditandatangani oleh Bendahara Tugu Pahlawan Surabaya, R. Soetarto dan Ketua R. Moestadjab Soemowidigdo.

Saya tulis dan dimuat Surabaya Post 10 November 1976.

Suparto Brata
www.supartobrata.com

SBY-Boediono Belum Seriusi Kemiskinan & Korupsi

SBY-Boediono Belum Seriusi Kemiskinan & Korupsi
 
 
Pengamat politik asal Surabaya Prof Dr Kacung Maridjan MA menilai pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono belum serius dalam mengatasi kemiskinan dan korupsi. "Angka kemiskinan memang turun, tapi angka masyarakat yang hampir miskin cukup banyak, sehingga mereka justru rentan menjadi orang miskin baru," katanya di Surabaya, Jatim, Rabu (20/10).

Ia mengemukakan hal itu menanggapi kritik dari sejumlah elemen masyarakat yang menggelar demonstrasi untuk memperingati satu tahun pemerintahan Yudhoyono-Boediono pada 20 Oktober 2010. Menurut Kacung Maridjan yang juga Guru Besar Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu, pemerintah harus lebih banyak memerhatikan kelompok masyarakat yang hampir miskin yang jumlahnya cukup banyak itu.

"Kalau masyarakat yang hampir miskin itu kurang mendapatkan perhatian sedikit saja maka mereka akan menjadi orang miskin, sehingga angka kemiskinan yang menurun itu tidak akan ada artinya apa-apa," ucapnya menegaskan.

Oleh karena itu, kata alumnus The Australian National University (ANU) itu, pemerintahan SBY-Boediono hendaknya lebih serius lagi terhadap penanganan kemiskinan itu. "Kebijakan ke arah sana sebenarnya sudah ada, tapi belum serius. Misalnya, KUR dengan skema kecil yang ternyata dikenai bunga lebih besar dibandingkan dengan KUR dengan skema besar. Itu berarti membantu orang miskin tapi tidak serius," tuturnya.

Contoh lain, infrastruktur untuk kawasan pelosok juga kurang serius, sehingga pertumbuhan ekonomi juga tidak maksimal dan justru meningkatkan kesenjangan. "Kawasan perkebunan yang berjarak 30 kilometer justru perlu waktu tempuh dua jam akibat infrastruktur yang tidak memadai, sehingga kemiskinan di kawasan pelosok akan terpelihara cukup lama," paparnya.

Di sektor pemberantasan korupsi, Kacung Maridjan menilai SBY-Yudhoyono sebenarnya sudah serius, tapi keseriusan itu menjadi sia-sia, karena polisi, jaksa, dan hakim belum banyak berubah. "Di mata dunia, upaya kita memberantas korupsi memang ada hasilnya, tapi hasil itu masih sedikit, karena peringkat kita masih 111 atau masuk peringkat menengah ke bawah," ujarnya.

Hal itu, katanya, akibat penanganan tindak pidana korupsi tidak memberikan efek jera, sebab hukuman maksimal hanya ada satu yakni jaksa Urip TG yang divonis 20 tahun, sedangkan koruptor lainnya hanya divonis 4-5 tahun saja atau bahkan kurang dari itu. "Hukuman mati sudah diatur dalam UU, tapi pelaksanaannya juga belum ada. Satgas juga sudah ada, tapi polisi, jaksa, dan hakim hanya membidik koruptor yang 'kroco' (kelas teri)," katanya.

Oleh karena itu, menurut dia, SBY-Boediono harus bersikap tegas dalam melakukan reformasi birokrasi, khususnya reformasi di jajaran aparat penegak hukum yakni polisi, jaksa, dan hakim. "Kalau mau jujur, reformasi birokrasi juga belum maksimal. Korupsi masih ada di birokrasi, bahkan legislatif juga ada. Urusan pelayanan kepada masyarakat akan lancar bila ada 'fee' tertentu, termasuk di kalangan penegak hukum," ujarnya mengungkapkan.

Dalam konteks itu, katanya, pemerintah perlu memikirkan peningkatan pelayanan yang memanfaatkan teknologi informasi (IT) untuk semua sektor, dan penjatuhan sanksi yang memberi efek jera kepada mereka yang melanggar.

Sumber: www.republika.co.id

Jihad Lawan Korupsi dan Kemiskinan


Korupsi dan kemiskinan adalah dua patologi sosial yang saling berkaitan. Bisa dikatakan, salah satu penyebab kemiskinan di negeri ini adalah merajalela dan menggilanya praktik korupsi di semua sektor kehidupan. Mengapa? Sebab, kita tentu mafhum, potensi dan kekayaan negeri ini seharusnya tidak membuat rakyat menjadi miskin (mengalami kemiskinan). Faktanya justru sebaliknya. Pengangguran, gelandangan, dan pengemis semakin hari kian banyak dan bertebaran di setiap sudut kota.

Mereka semua hidup susah, tidak jelas berapa pendapatan sehari-harinya. Berdasar laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2006, jumlah penduduk miskin mencapai 17,75 persen. Setahun kemudian, pada Maret 2007, angka tersebut meningkat menjadi 39,30 juta orang.

Tingkat kemiskinan yang begitu besar tersebut mengakibatkan masalah-masalah dasar lain. Terutama, pendidikan dan kesehatan kurang menjadi prioritas pemikiran masyarakat. Bila dibiarkan, tentu dampaknya semakin parah bagi negeri ini.

Dalam konteks ini, jika asumsi bahwa kemiskinan diakibatkan oleh penyakit korupsi, bisa dibayangkan betapa Indonesia akan bebas dari penyakit kemiskinan ketika benar-benar korupsi bisa diberantas atau setidaknya ditekan hingga ke titik yang bisa ditoleransi.

Terkait dengan kemiskinan dan korupsi yang terus menggurita tersebut, mudah-mudahan tidak banyak orang yang mulai bosan dan lelah berbicara masalah tersebut serta upaya pemberantasannya. Sebab, kemiskinan dan korupsi di negeri ini seperti tidak pernah berkurang, baik dari sisi jumlah maupun kasus yang terjadi dari tahun ke tahun.

Sebagaimana diberitakan Jawa Pos belum lama ini, dalam survei terbaru lembaga Transparency International (TI), Indonesia masih duduk di peringkat ke-143 di antara 179 negara di dunia dalam upaya pemberantasan korupsi. Dengan peringkat itu, Indonesia menduduki peringkat ke-36 sebagai negara dengan pemberantasan korupsi terlemah di dunia (Jawa Pos, 27/9).

Angka indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tersebut jauh dibandingkan Malaysia sebesar 5,1 dan Singapura 9,3. Di kawasan Asia Selatan dan Tenggara, posisi Indonesia hanya lebih baik dibandingkan Bangladesh, Kamboja, Myanmar, Laos, dan Papua Nugini.

Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa korupsi seolah terus "dipelihara" dan dibiarkan. Di sini, pemerintah juga terkesan masih tebang pilih. Belum tuntasnya kasus korupsi Soeharto dan keluarganya hanyalah salah satu bukti.



Bersatu Padu

Melihat dampak korupsi yang melanggengkan kemiskinan tersebut, bagi saya, semua pihak perlu bersatu padu merebut peran dalam upaya pemberantasan korupsi di tanah air. Dalam konteks semacam ini, mungkin tepat kita melakukan jihad melawan korupsi dan kemiskinan. Jihad yang selama ini hanya dipahami sebagai mati di medan perang kini bisa dimaknai sebagai upaya sungguh-sungguh dalam memberantas korupsi demi kemajuan bangsa.

Bagaimana caranya? Pertama, upaya yang perlu ditempuh adalah melacak akar masalah korupsi dan kemudian merumuskan langkah strategis pemberantasannya.

Abdul Aziz mengutip Alatas (1987) melihat, ada dua penyebab utama menjamurnya praktik korupsi di Asia. Yakni, yang berlangsung terus-menerus dalam jangka panjang dan jangka pendek. Selain itu, bagi Alatas, lemahnya pemberantasan korupsi disebabkan kurang tegasnya pemimpin; minimnya pengajaran dan pendidikan antikorupsi, agama, serta etika; budaya kolonialisme; kemiskinan; tidak adanya hukum yang tegas; budaya; serta struktur pemerintahan yang mendukung perilaku korup.

Dalam konteks Indonesia, tesis yang dikemukakan sungguh tampak nyata sebagai realitas yang kasat mata. Ia membentang terang benderang di seluruh negeri ini mulai bawah hingga atas. Ia masuk dalam relung-relung birokrasi, pemerintahan, parlemen, parpol, lembaga pendidikan, organisasi militer, hingga "departemen agama". Karena itu, ia menjadi masalah besar yang sangat gawat dan memberi andil besar bagi kerusakan serta kehancuran bangsa ini (Syafi’i Ma’arif, 2001).

Lalu, bagaimana strategi pemberantasannya? Menurut saya, karena latar masalah terjadinya korupsi ibarat lingkaran setan, sudah tentu cara mengatasinya harus memutus lingkaran setan korupsi itu. Jihad melawan korupsi dengan cara memutus lingkaran setan tersebut tentu harus dilakukan bersama-sama.

Pertama, pemerintah beserta aparatnya wajib mengusut tuntas dengan tidak tebang pilih terhadap pelaku korupsi di negeri ini. Apalagi, sebagai anggota PBB, Indonesia ikut serta menandatangani deklarasi Millennium Development Goals (MDGs) yang salah satunya berkomitmen terhadap penghapusan kemiskinan.

Lebih dari itu, sudah sepatutnya perilaku menyimpang yang sering dilakukan elite politik perlu diganti dengan keteladanan moral yang baik.

Kedua, semua pihak di berbagai instansi dan institusi publik, agama, pendidikan, politik, media massa (pers), LSM, serta publik diharapkan berperan serta dan bertanggung jawab dalam penciptaan clean and good government.

Ala kulli hal, di tengah-tengah jeritan hidup akibat kemiskinan dan korupsi, masih adakah harapan bagi rakyat di negeri ini untuk bisa hidup sejahtera tanpa korupsi?

Choirul Mahfud

Dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya
Sumber: Jawa Pos

Mahfud MD: Ancaman Negara Adalah Bencana Ketidakadilan


Mahfud MD: Ancaman Negara Adalah Bencana Ketidakadilan
Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD
 
 
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengingatkan ancaman dan bencana terbesar yang dihadapi bangsa adalah ketidakadilan.

"Maraknya jual beli hukum adalah bencana ketidakadilan, bencana besar yang harus dipertahankan dengan nasionalisme. Negara yang tidak dapat menegakkan hukum akan hancur di manapun dan di masa apapun," kata Mahfud, Rabu (17/11).

Hal tersebut diungkapkannya pada ceramah dengan tema berkurban dalam ajaran Islam dengan konteks keadilan yang berkonstitusi usai pelaksanaan shalat Idul Adha di Mesjid Al-Markaz Al-Islami Jenderal M Yusuf.

Di antara jamaah, juga tampak hadir mantan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin dan Mantan Wakil Presiden RI HM Jusuf Kalla, serta Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, Andi Muallim.

Sebagai Ketua Harian Badan Pengurus Yayasan Islamic Center, Jusuf Kalla mengimbau agar jamaah menambah jumlah sumbangannya ke dalam kotak amal mesjid. 50 persen dana yang dihimpun dari kotak amal akan disumbangkan bagi korban bencana gempa dan tsunami di Mentawai Sumatra Barat dan erupsi Gunung Merapi di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta.

Sementara itu, pengurus mesjid juga telah menyiapkan 15 karung pakaian dan uang tunai senilai Rp 5 juta untuk disumbangkan bagi korban bencana di wilayah tersebut.
Red: Endro Yuwanto
Sumber: antara

www.republika.co.id
 

Manfaat Luar Biasa dari Wudhu

 
Wudhu
 
Oleh Prof Dr H Nasaruddin Umar

Prof Leopold Werner von Ehrenfels, seorang psikiater dan sekaligus neurology berkebangsaan Austria, menemukan sesuatu yang menakjubkan terhadap wudlu. Ia mengemukakan bahwa pusat-pusat syaraf yang paling peka yaitu sebelah dahi, tangan, dan kaki. Pusat-pusat syaraf tersebut sangat sensitif terhadap air segar. Dari sini ia menghubungkan hikmah wudlu yang membasuh pusat-pusat syaraf tersebut. Ia bahkan merekomendasikan agar wudlu bukan hanya milik dan kebiasaan umat Islam, tetapi untuk umat manusia secara keseluruhan.

Dengan senantiasa membasuh air segar pada pusat-pusat syaraf tersebut, maka berarti orang akan memelihara kesehatan dan keselarasan pusat sarafnya. Pada akhirnya Leopold memeluk agama Islam dan mengganti nama menjadi Baron Omar Rolf Ehrenfels.

Ulama Fikih juga menjelaskan hikmah wudlu sebagai bagian dari upaya untuk memelihara kebersihan fisik dan rohani. Daerah yang dibasuh dalam air wudlu, seperti tangan, daerah muka termasuk mulut, dan kaki memang paling banyak bersentuhan dengan benda-benda asing termasuk kotoran. Karena itu, wajar kalau daerah itu yang harus dibasuh.

Ulama tasawuf menjelaskan hikmah wudlu dengan menjelaskan bahwa daerah-daerah yang dibasuh air wudlu memang daerah yang paling sering berdosa. Kita tidak tahu apa yang pernah diraba, dipegang, dan dilakukan tangan kita. Banyak pancaindera tersimpul di bagian muka.

Berapa orang yang jadi korban setiap hari dari mulut kita, berapa kali berbohong, memaki, dan membicarakan aib orang lain. Apa saja yang dimakan dan diminum. Apa saja yang baru diintip mata ini, apa yang didengar oleh kuping ini, dan apa saja yang baru dicium hidung ini? Ke mana saja kaki ini gentayangan setiap hari? Tegasnya, anggota badan yang dibasuh dalam wudlu ialah daerah yang paling riskan untuk melakukan dosa.

Organ tubuh yang menjadi anggota wudlu disebutkan dalam QS al-Maidah [5]:6, adalah wajah, tangan sampai siku, dan kaki sampai mata kaki. Dalam hadis riwayat Muslim juga dijelaskan bahwa, air wudlu mampu mengalirkan dosa-dosa yang pernah dilakukan oleh mata, penciuman, pendengaran, tangan, dan kakinya, sehingga yang bersangkutan bersih dari dosa.

Kalangan ulama melarang mengeringkan air wudlu dengan kain karena dalam redaksi hadis itu dikatakan bahwa proses pembersihan itu sampai tetesan terakhir dari air wudlu itu (ma’a akhir qathr al-ma’).

Wudlu dalam Islam masuk di dalam Bab al-Thaharah (penyucian rohani), seperti halnya tayammum, syarth, dan mandi junub. Tidak disebutkan Bab al-Nadhafah (pembersihan secara fisik). Rasulullah SAW selalu berusaha mempertahankan keabsahan wudlunya.

Yang paling penting dari wudlu ialah kekuatan simboliknya, yakni memberikan rasa percaya diri sebagai orang yang ‘bersih’ dan sewaktu-waktu dapat menjalankan ketaatannya kepada Tuhan, seperti mendirikan shalat, menyentuh atau membaca mushaf Alquran. Wudlu sendiri akan memproteksi diri untuk menghindari apa yang secara spiritual merusak citra wudlu. Dosa dan kemaksiatan berkontradiksi dengan wudlu.

www.republika.co.id

Bangsa yang Panik di Usia 65 Tahun

Kondisi bangsa Indonesia di usia kemerdekaan 65 tahun? Kehidupan kita, mulai bangun pagi hingga tidur lagi, selalu diwarnai dengan hal-hal yang selalu bersifat individual. Ini terjadi tidak hanya di tingkat warga, tetapi juga di tingkat kehidupan politik bernegara.

Bendera Merah Putih berkibar di atas perahu yang ditambatkan di depan tugu perbatasan negara di Pulau Miangas. Pulau Miangas adalah pulau paling utara yang terletak di Kabupaten Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi Utara. (KOMPAS/AGUS SUSANTO)

Seluruh susunan masyarakat kita mengalami letargi. Mandek! Bukan karena lelah, tetapi karena kehilangan orientasi mau ke mana?” begitu ungkap Rocky Gerung, pengajar Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia.

Kita menjadi panik dan hanya berdiam. Ide awal menjalankan Republik ini tentu saja ada, tetapi kini seolah terputus. Leadership dari tokoh atau pemimpin, baik dari pemerintah, universitas, maupun lembaga swadaya, sudah tak memiliki energi untuk memelihara kehidupan publik.

”Kita lupa susunan berpikir Republik dan sudah tak bisa diucapkan lagi,” kata Rocky. Akhirnya, kita mudah menerima atau deal dengan hegemoni pihak penguasa atau hegemoni budaya luar karena kita tak punya pertahanan.

Kesibukan individuallah yang sangat berbahaya dan bisa membunuh cita-cita berdirinya Republik ini. ”Seperti menyanyi tetapi tanpa partitur. Lihatlah fenomena pemilihan kepala daerah, pemenangnya adalah istri atau anak dari penguasa sebelumnya,” jelas Rocky.

Kesibukan individu di tingkat penguasa hanya berpikir bagaimana melestarikan dinasti keluarga, bukan untuk penyelamatan bangsa. Suasana seperti itu, kata Rocky, bahkan juga terasa pada Upacara 17 Agustus di Istana yang lebih seperti perayaan keluarga.


Meledak-ledak

Harus kita akui, kita kini menjadi bangsa yang meledak-ledak menanggapi setiap persoalan yang ada, tanpa mau menilik lebih dalam duduk persoalannya. Perseteruan Indonesia-Malaysia di tingkat horizontal, yang di dunia maya secara keras diistilahkan sebagai ”Indon vs Malingsia”, membuktikan anggapan ini.

Nasionalisme sempit telah menutupi logika berpikir. Akhirnya, kita yang merasa menang argumentasi selalu berjaya dengan sumpah serapah dan kata-kata kotor. Dampaknya, ini menjadi iklan buruk bagi pencitraan Indonesia.

Secara diam-diam, tanpa banyak argumentasi, bangsa-bangsa lain telah berkarya menunjukkan eksistensi mereka di dunia maya, juga dunia nyata, nasional maupun internasional. Kita tertinggal dan tetap ”menanam cabai di atas meja” atau sekadar membuat badai konflik di otak sendiri.

Ya, beberapa kasus memang berkarya dengan merebut identitas yang dianggap milik bangsa lain. Akan tetapi, setidaknya mereka melakukan sesuatu. Sedangkan kita?

Kita hanya menjadi penonton. Misalnya, ketika layar kaca dipenuhi produk- produk animasi buatan Malaysia, Jepang, dan Korea, kita sepakat menikmatinya saja. Ah, siapa yang tidak menyukai serial Upin Ipin atau Pororo Litle Penguin?

Wahyu Aditya, aktivis animasi dan pendiri HelloMotion, mengatakan, fenomena itu membuktikan ada yang salah dengan cara kerja dan cara pandang kita. ”Padahal, kita punya SDM berkualitas, kita hanya belum punya kesempatan,” katanya.

Kasus itu membuat animator-animator Indonesia merasa terpukul, atau justru harus berterima kasih. ”Karena dengan munculnya karya animasi luar, kita jadi gatel dan pengin membuat produk tandingan,” katanya.

Membayangkan Indonesia 65 tahun merdeka, seolah membayangkan sebuah entitas yang tak punya strategi untuk eksis. Dampaknya, kita selalu bereuforia dengan masa lalu, tetapi terjajah secara ekonomi, politik, ataupun budaya. Kita hanya menjadi pengagum dari ikon-ikon luar.

Kebudayaan sebenarnya mampu menjadi duta ke kancah internasional. Ketika Wahyu Aditya ke London, bertemu dengan komunitas Muslim di sana, mereka mengeluhkan kesulitan mendapatkan konten Islami dari produk multimedia Indonesia. Akhirnya, mereka menemukan produk ”Upin Ipin” itu.

Korea punya duta-duta film drama yang mengentak Asia. Jepang selain jago animasi, juga punya kebudayaan yang digandrungi banyak negara.

Indonesia? Banyak yang berprestasi, tetapi kenapa justru ”Keong Racun” dan kasus penyebaran video porno itu yang paling dominan kita bicarakan? Di dunia nyata hingga dunia maya, kita benar-benar menjadi bangsa konsumtif yang makin meraksasa.


Kemerdekaan berpikir

Rizki Wahyudi, mahasiswa Jurusan Komunikasi Massa Universitas Terbuka (UT), memaparkan kemerdekaan paling esensial adalah kemerdekaan berpikir. ”Di sinilah akar masalah bangsa kita. Saya melihat belum banyak yang sanggup meraih kemerdekaan eksistensial ini,” katanya.

”Tanpa memiliki kemerdekaan berpikir, seseorang hanya menjadi budak dari tradisi, dogma, dan ajaran yang belum tentu sesuai dengan karakter bangsa kita,” lanjut Rizki.

Di lingkungan kampus, tradisi berpikir juga belum membanggakan. Ivan Hanago, mahasiswa Accounting Trisakti School of Management, mengatakan, di lingkungan kampus pun masih sering dijumpai ketidakadilan dan ketidakjujuran.

”Ada plagiarism yang kini menjadi pekerjaan rutin dalam membuat tugas. Kemudian korupsi, dalam hal ini yang sering terjadi adalah korupsi waktu dan nilai,” papar Ivan.

Ditambah semakin mahalnya biaya pendidikan dari tahun ke tahun makin menyulitkan kita mengenyam pendidikan lebih tinggi. Sebagian besar masyarakat menjadi belum merdeka karena tidak mampu menempuh pendidikan tinggi.

”Ketidakadilan sama dengan penjajah di era modern. Untuk mengatasinya, bisa dimulai dari hal paling sederhana: kerjakan tugas dengan sebaik-baiknya tanpa copy + paste,” kata Ivan.

Yohanes Kedang, mahasiswa Ilmu Sosiatri, STPMD ”APMD” Yogyakarta, mengatakan, masyarakat bawah masih terjajah. Kekayaan alam dikuras untuk kepentingan asing dan penguasa. Rakyat kecil kian susah.

”Para pemimpin lebih sibuk memikirkan tunjangan dan kenaikan gaji mereka tanpa merasa bersalah terhadap rakyatnya,” kata Yohanes. Lalu, siapa yang akan menjaga dan merawat ide-ide besar Proklamasi 1945?

(Amir Sodikin)
Sumber: Kompas, Selasa, 24 Agustus 2010

Negeri Surga bagi Koruptor


Negeri ini betul-betul surga bagi koruptor. Meskipun sudah dipenjara, berbagai fasilitas akan tetap dinikmati para koruptor. Kado kemerdekaan dari pemerintah juga mereka nikmati, berupa remisi, bebas bersyarat, dan grasi.

Sekitar 341 terpidana korupsi (koruptor) diberi hadiah kemerdekaan. Salah satunya adalah besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Aulia Pohan, bersama tiga rekannya dalam kasus yang sama, yang mendapat pembebasan bersyarat. Yang lebih fantastis diterima Syaukani Hassan Rais, Presiden memberinya grasi (pengampunan) yang sebelumnya divonis enam tahun penjara.

Kendati kebijakan itu memiliki dasar hukum, tetapi akan melemahkan semangat antikorupsi bagi aparat penegak hukum yang begitu susah payah membawa koruptor ke pengadilan. Kerja keras mereka jadi sia-sia, padahal korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime). United Nations Convention Against Corruption mengklasifikasikan korupsi sebagai kejahatan hak asasi manusia (human rights crime) dan kejahatan kemanusiaan (crime against humanity).

Membudayakan perang terhadap kejahatan luar biasa mestinya terus digelorakan, bukan dilemahkan.

Korupsi melibatkan nama-nama besar dan merampas nilai-nilai kemanusiaan sehingga dalam memeranginya butuh tindakan berskala besar, cara-cara yang luar biasa dengan dukungan politik kuat dan nyata dari Presiden. Salah satu bentuk luar biasa adalah tidak memberikan remisi, pembebasan bersyarat, dan grasi bagi koruptor.


Fasilitas hukum

Kalau perbuatan para koruptor terbukti di sidang pengadilan, mereka tetap tak akan khawatir sebab negara menyiapkan berbagai fasilitas. Setelah divonis penjara sekian tahun dan berkekuatan hukum, mereka masih bisa memanfaatkan mekanisme peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Di sini, mereka bisa menikmati korting masa tahanan, bahkan bisa dibebaskan. Lihat saja Artalyta Suryani, yang dipidana karena menyuap seorang jaksa, hukumannya dikorting oleh hakim PK dari lima tahun penjara menjadi empat tahun enam bulan penjara.

Kehidupan koruptor di penjara juga enak lantaran mendapat perlakuan istimewa. Dengan sedikit mengeluarkan duit hasil korupsi, petugas lembaga pemasyarakatan bisa ditaklukkan. Kamar tahanan disulap menjadi kamar yang memiliki fasilitas bagai hotel berbintang. Bukan hanya itu, mereka juga bisa leluasa cuti atau keluar tahanan menemui keluarga dan koleganya, semuanya karena main mata dengan oknum petugas lembaga pemasyarakatan.

Atas nama pembinaan, para koruptor juga bisa masuk kategori itu. Jika berkelakuan baik dan telah menjalani sepertiga masa hukuman, mereka akan diberikan remisi atau pembebasan bersyarat di hari kemerdekaan dan hari raya keagamaan. Dalam bulan Ramadhan ini, koruptor akan menikmati dua hadiah. Selain hadiah kemerdekaan yang sudah diterima, juga di hari raya Idul Fitri nanti akan memperoleh lagi parsel Lebaran berupa remisi.

Menggunakan fasilitas hukum tentu hak setiap terpidana, tetapi tidak bagi koruptor yang jelas-jelas menyengsarakan kehidupan rakyat. Presiden Yudhoyono telah mencederai sendiri komitmennya yang diungkap dalam pidato 16 Agustus 2010 di hadapan anggota DPR dan Dewan Perwakilan Daerah. Presiden mengatakan, ia akan tetap berkomitmen memberantas korupsi yang disebutnya ”reformasi gelombang kedua” sebagai kelanjutan reformasi gelombang pertama (1998-2008).

Menoleransi koruptor dengan fasilitas remisi, pembebasan bersyarat, apalagi grasi tak lebih dari upaya menarik simpati rakyat. Caranya, dibungkus dengan ”belas kasihan” dan ”penghargaan hak asasi manusia”. Inilah presiden pertama di negeri ini yang memberikan pengampunan bagi koruptor. Kalaulah presiden sensitif terhadap penderitaan rakyat, apalagi tidak mencederai rasa keadilan, sudah pasti rakyat akan merasa bahagia di hari kemerdekaan tahun ini.


Hukuman memiskinkan


Boleh saja menggerutu atau mencaci koruptor karena serakah mencoleng uang rakyat. Namun, penilaian bisa berbeda dengan pemerintah, koruptor juga manusia yang perlu dihormati hak asasinya, apalagi ada dasar hukumnya. Ada UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan untuk memberikan remisi dan pembebasan. Juga Pasal 14 Ayat (1) UUD 1945 yang digunakan Presiden memberi grasi kepada Syaukani.

Pola pemidanaan yang dipakai saat ini tidak akan memiliki efek jera bagi terpidana, terlebih bagi calon koruptor. Penjara bukan satu-satunya cara penjeraan sebab dalam Pasal 18 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pidana tambahan berupa ”pembayaran uang pengganti dan denda” bisa diterapkan.

Penerapan uang pengganti dan denda bertujuan untuk ”memiskinkan” koruptor dengan menyita semua harta yang diperoleh dari korupsi. Uang pengganti sebesar jumlah yang dikorupsi, sedangkan denda berdasarkan jumlah yang seharusnya diperoleh negara seandainya dana yang dikorupsi itu dimanfaatkan. Sayang, filosofi hukuman pemiskinan ini tidak efektif lantaran masih dilapisi ketentuan: jika terpidana tidak mampu membayar uang pengganti dan denda, diganti dengan pidana penjara, yang tentu saja bisa diberi remisi atau grasi lagi.

Revisi UU Korupsi perlu menekankan pidana pemiskinan sebab penjara maksimal sekalipun tidak akan menimbulkan efek jera jika masih tersedia fasilitas remisi. Belum lagi putusan hakim yang umumnya ringan, bahkan tidak sedikit yang diputus bebas. Toleransi kepada koruptor akan semakin membuat negeri ini sebagai tempat yang menyenangkan (surga) bagi koruptor.

Marwan Mas, Dosen Ilmu Hukum dan Direktur Pascasarjana Universitas 45, Makassar
Sumber: Kompas, Jumat, 27 Agustus 2010 

Kelaparan di Surga Koruptor




















Di tengah gencarnya pemberitaan “derivatif” Gayus Tambunan serta kasus korupsi lainnya, terselip berita yang nyaris kurang mendapat perhatian serius, yakni kelaparan.

Bayangkan, “hari gini” masih ada kelaparan, apa kata dunia? Ya, kelaparan itu terjadi di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur.

Dunia pun berkata, “Hemm... Indonesia yang konon gemah ripah loh jinawi masih juga dilanda kelaparan, di manakah pemerataan?” Tiga dari empat kabupaten di sana, Sumba Tengah, Sumba Barat, dan Sumba Timur, mengalami krisis pangan.

Hanya satu kabupaten yang relatif makmur, yakni Kabupaten Sumba Barat Daya. Krisis itu ini dipicu oleh gagal panen akibat musim kemarau yang datang lebih cepat.

Ini seolah menjadi langganan di sana. Beberapa portal berita (7/4) melaporkan di Kabupaten Sumba Timur, misalnya, sekitar 30.000 warga 121 desa— dari seluruhnya 140 desa di kabupaten itu—kini memakan pisang karena tidak memiliki beras.

Pisang masih mendingan karena ada karbohidrat, tetapi yang sudah kehabisan pisang mulai mengonsumsi putak, yang sebenarnya lebih sering dijadikan pakan binatang.

Kasus kelaparan itu menjadi ironi, lantaran pada bagian lain belahan Nusantara ini ada orang-orang kaya mendadak lantaran menggerogoti uang rakyat, tetapi di belahan timur ada rakyat kelaparan lantaran uang mereka dikorup.

Coba, seandainya korupsi bisa ditekan, setidaknya upaya menekan rakyat miskin bisa dipercepat. Daya Rusak Setidaknya kasus kelaparan ini menjadi pembuktian bahwa korupsi itu sungguh-sungguh merugikan rakyat.

Uang pajak yang semustinya bisa digunakan untuk menyejahterakan rakyat, malah dibelokkan untuk memperkaya diri.

Inilah daya rusak korupsi yang acap dinafi kan oleh kebanyakan dari kita. Sering korupsi dianggap sekadar perbuatan memperkaya diri sehingga tidak merugikan rakyat.

Orang banyak mengambil contoh bahwa yang punya daya rusak adalah terorisme. Ini tidak benar sama sekali. Keduanya sama-sama memunyai “daya rusak”.

Terorisme maupun korupsi memiliki daya rusak yang luar biasa dan menebar ketakutan ke mana-mana. Namun, lantaran ada anggapan keliru itu, maka yang dikutuk masyarakat adalah teroris. Mereka ini (teroris) layak diburu sampai ajalnya.

Sementara koruptor relatif tidak diburu sehingga mereka nyaman hidup di negeri ini. Sungguh, negeri ini menjelma menjadi surga koruptor lantaran tingkat hujatan masyarakat kepada koruptor lebih kecil dibandingkan teroris.

Celakanya, negara pun ikut memberi rasa nyaman kepada koruptor. Tak jarang para koruptor itu menikmati ketiadaan sanksi hukum. Atau kalaupun dihukum, koruptor hanya beberapa bulan saja di penjara.

Keluar dari penjara, koruptor masih bisa hidup nyaman dengan harta hasil korupsi itu. Maka, banyak yang nekat, biarlah badan di penjara beberapa bulan, tetapi harta hasil korupsi bisa untuk hidup tujuh turunan.

Lihatlah, para koruptor masih berani tampil di publik. Seolah predikat koruptor tak mengganggu pergaulan sosialnya. Sang koruptor masih bisa mengendalikan organisasi olah raga yang kelimpahan dana besar.

Sang koruptor masih bisa ikut pemilihan kepala daerah bahkan memenanginya. Sang koruptor masih bisa mengurusi partai politik untuk menyalurkan hasrat kekuasaan.

Inilah surga koruptor bernama Indonesia. Jangan terkejut jika prestasi korupsi di negeri (yang konon) tercinta ini terus naik peringkat.

Hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) 2010 memosisikan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia-Pasifik dengan nilai 9,07 (sebelumnya 7,69).

Dengan skor 9,07 itu, PERC menyimpulkan bahwa korupsi di Indonesia semakin parah, terjadi di semua lembaga dan semua level. Mengapa masyarakat lebih menganggap korupsi tak memuyai daya rusak? Sebab, ada jarak antara keputusan dan korban.

Misalnya begini, ketika koruptor menggerogoti anggaran penghijauan, orang tak melihat pengaruh seketika yang langsung dilihat kasat mata.

Baru ketika banjir menghancurkan permukiman dan menewaskan puluhan orang, sadarlah bahwa akibat anggaran penghijauan dikorup, maka penanaman kembali pada hutan gundul jadi terbengkalai, selanjutnya banjir pun meluap.

Kalau saja dana penghijauan itu tidak dikorup, banjir memungkinkan dicegah dan korban manusia bisa dihindari.

Begitupun dalam kasus kelaparan di NTT. Seolah tak ada kaitan dengan korupsi di mana-mana, tetapi logika sederhana saja meyakinkan bahwa hubungan itu sangat signifikan.

Semakin banyak uang rakyat dikorup, kian banyak pembangunan rakyat terganggu, termasuk ketahanan pangan di NTT.

Akibatnya, ketahanan itu melembek, rakyat di sana pun makan putak. Dan sang koruptor dan keluarga dengan enaknya melahap makanan lezat di Lucky Plaza Singapura! Hentikan! Sekali lagi, patut diluruskan bahwa korupsi memunyai daya rusak: menghancurkan moral, membunuh solidaritas, menggerogoti pilar negara, membinasakan banyak orang, merusak infrastruktur, memarginalkan warga tertentu, merusak tatanan, memperkokoh perbedaan kelas, dan lainnya.

Bahkan yang menyedihkan, justru korupsi itu melahirkan terorisme. Sebab, terorisme merupakan perlawanan kaum tersisih.

Maka, hentikan korupsi ! Ganyang korupsi! Dan kenapa musti takut memberikan sanksi hukuman mati kepada para koruptor? Toh para petinggi institusi hukum sudah memberi sinyal menyetujui hukuman mati koruptor.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar, Ketua Komisi Yudisial (KY) Busyro Muqqodas , dan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, berkata serempak, “Hukum mati koruptor!” Lantas, kenapa para hakim tak punya nyali? Apakah musti menunggu kelaparan lebih hebat lagi?

Toto Suparto

Penulis adalah pengkaji etika pada Pusat Kajian Agama dan Budaya (Puskab), Yogyakarta.
koran-jakarta.com

Ironi: Kemiskinan Rakyat dan Penguasa yang Bermewah-mewahan

Seperti yang dilansir sejumlah media, jumlah orang miskin makin merisaukan seiring kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) per 1 Juli 2010. Pasalnya, kenaikan TDL memberikan efek domino berupa kenaikan harga sembako, ancaman PHK dan pengangguran.
Berdasarkan standar BPS (Maret 2007), kategori miskin di antaranya seorang dengan penghasilan di bawah Rp 167.000,-/bulan/orang atau Rp 5.500,-/hari/orang. Dengan stadar BPS, angka kemiskinan saat ini hanya sekitar 13 persen atau sekitar 30 juta orang. Namun, menurut Bank Dunia, salah satu kriteria orang miskin di Indonesia adalah mereka yang berpenghasilan di bawah 2 dolar/Rp 19.000,- perhari (sekitar Rp 500 ribu/bulan). Jika menggunakan ukuran World Bank ini, angka kemiskinan di Indonesia bisa di atas 43 persen dari sekitar 240 juta penduduk Indonesia; kira-kira mendekati 100 juta jiwa. Inilah fakta keseharian kehidupan rakyat yang amat menyedihkan. Padahal bukankah mereka hidup di sebuah negeri yang subur serta kaya dengan kandungan mineral dan sumber daya alam lainnya?



Pemerintah Tak Peduli
Di negeri ini, penerapan sistem ekonomi Kapitalisme-yang akhir-akhir ini makin mengarah pada liberalisme ekonomi-menjadi akar munculnya kemiskinan yang terus meningkat. Dalam sistem ekonomi liberal, Pemerintah tidak lagi memerankan fungsinya sebagai pemelihara urusan-urusan dan kebutuhan dasar rakyatnya. Bahkan di tengah kemiskinan rakyat, Pemerintah sering mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang makin membebani rakyat. 
Mulai April lalu, misalnya, Pemerintah menaikkan harga pupuk urea isi 50 kilogram sebesar 50 persen, yakni dari Rp 60 ribu menjadi Rp 90 ribu. Kenaikan ini muncul karena anggaran subsidi yang semula Rp 11,3 triliun dikurangi menjadi Rp 4,2 triliun. Padahal tahun 2009 lalu, besarnya subsidi pupuk mencapai Rp 17,6 triliun. Dampak dari kenaikan harga pupuk ini sudah terasa Juni lalu. Harga produk pertanian melambung tinggi, sementara pendapatan masyarakat malah turun karena harga pokok produksi hanya naik 10 persen. Bagaimana para petani bisa untung?
Namun, masalahnya tidak hanya berhenti di sini. Pasalnya, dalam sistem ekonomi liberal, saat Pemerintah melepaskan tanggung jawabnya terhadap nasib rakyat, Pemerintah justru lebih berpihak kepada para pemilik modal, termasuk pihak asing. Contoh: terkait kenaikan tarif listrik. Kasus terbaru menunjukkan bagaimana Pemerintah negeri ini mengelola Proyek Gas Donggi Senoro. Pemerintah memutuskan bahwa untuk proyek gas Donggi Senoro, 30% dialokasikan untuk kebutuhan dalam negeri, sedangkan 70% untuk ekspor. 
Padahal yang 30% itu saja belum cukup untuk memenuhi kebutuhan gas PT PLN. Artinya, kebutuhan dalam negeri untuk PLN dan industri lainnya seperti industri pupuk sesungguhnya masih sangat besar. Sungguh ironis, saat kebutuhan akan gas di dalam negeri begitu besar, Pemerintah justru mengalokasikan 70% untuk ekspor. Padahal jika kebutuhan pasokan gas domestik mendapat prioritas maka kekurangan pasokan gas untuk PLN, pabrik pupuk dan pabrik lainnya akan terpenuhi. Hal ini secara pasti akan membuat harga produksi listrik turun sehingga harga TDL tidak perlu dinaikkan, bahkan bisa diturunkan. Lebih dari itu, dengan ketersediaan bahan bakar pembangkit yang jauh lebih murah dan sangat besar, seperti batu bakar dan gas, Pemerintah melalui PT PLN dapat segera memperbesar kapasitas produksi listrik dan ini akan segera dapat mengatasi kekurangan pasokan serta menambah luasnya jangkauan pelayanan listrik kepada masyarakat.
Kebijakan Pemerintah ini tentu patut dipertanyakan. Apakah karena ada kepentingan para pemungut rente yang tidak ingin kehilangan penghasilannya dari pasokan BBM ke PT PLN selama ini? Juga apakah ada kepentingan pemungut rente karena komisi dari penjualan ekspor gas keluar negeri? Hal ini menjadi sangat mungkin mengingat besarnya rente yang akan dinikmati para makelar yang mengatasnamakan kebijakan negara. Kalau ini benar, inilah dampak nyata dari sistem kapitalis yang menyuburkan kolusi antara pengusaha dan pengusaha, dengan mengorbankan rakyat banyak.
Penguasa dan Pejabat Bermewah-mewahan
Presiden SBY mengajak warga masyarakat Indonesia agar tetap berhemat dalam menggunakan energi, baik energi listrik, gas, maupun minyak bumi serta energi lainnya. “Kita sama-sama lakukan hemat energi, jangan boros, dan sejak anak-anak harus sudah mulai berhemat energy, apapun bentuknya,” ujarnya dalam sebuah kesempatan.
Ajakan itu sebenarnya sudah basi. Pasalnya, penghematan di jajaran pemerintahan tak pernah terlihat. Masyarakat masih ingat bagaimana uang Rp 22.55 miliar untuk tahun anggaran tahun 2009 dihamburkan hanya untuk merenovasi pagar Istana. SBY sendiri tak memberikan contoh bagaimana dirinya melakukan hemat energi itu; misalnya ia naik kendaraan umum saja ke Istana atau seluruh listrik Istana dimatikan pada malam hari. Itu tidak terjadi. Inilah sikap ‘munafik’ penguasa.
Pada tahun 2011, Pemerintah pun berencana membeli pesawat kepresidenan jenis Boeing 737-800 NG, dengan harga dipatok US$ 84,5 juta, sekitar Rp 800 miliar lebih. Selain itu, dalam kurun waktu 2001-2011 Presiden SBY menghabiskan Rp 1,173 triliun untuk anggaran “plesiran”-nya ke luar negeri. Anggaran “jalan-jalan” Presiden SBY tahun 2011 saja dipatok sebesar Rp 181 miliar. Ini jauh di atas anggaran presiden sebelumnya di era GusDur yang total menghabiskan Rp 48 miliar dan semasa Megawati Rp 48,845 miliar. Lalu untuk kebutuhan baju Presiden saja, anggarannya mencapai Rp 893 juta pertahun atau Rp 74 juta perbulan atau sekitar Rp 18 juta perminggu. Padahal gaji Presiden Indonesia saat ini saja sudah amat besar, hanya terpaut sedikit saja dari gaji tertinggi sejumlah kepala negara di dunia, terutama jika dikaitkan dengan tingkat kemakmuran rakyatnya. Sebagaimana diketahui, total gaji Presiden SBY saat ini adalah sebesar Rp 62.740.000,-. Adapun kepala negara dengan gaji tertinggi di dunia adalah Presiden Singapura, Hongkong, Amerika Serikat, Irlandia dan Prancis. (Http://www.kaskus.us/showthread.php?t=3409487).
Sebelumnya, DPR meloloskan proyek gedung megah yang nilainya Rp 1,8 triliun. Ini menunjukkan bahwa penguasa, baik kalangan eksekutif maupun legislatif, betul-betul telah hilang kepekaannya terhadap rakyat. Mereka lebih mementingkan diri sendiri daripada rakyatnya.
Selain itu, wajah APBN kita pun tidak pro rakyat. Ini bisa disimak dari APBN Perubahan 2010. Di sana tergambar jelas bahwa APBN itu lebih ditujukan untuk kepentingan pragmatis elit politik dan pejabat, ketimbang untuk rakyat. DPR, misalnya, berhasil mengajukan anggaran fantastis sebesar Rp 1,8 triliun untuk pembangunan gedung barunya. Angka ini lebih besar dari anggaran program keluarga harapan yang hanya senilai Rp 1,3 triliun untuk 810 ribu Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM). Padahal anggaran Rp 1,8 triliun ini bisa dimanfaatkan oleh 1,1 juta RTSM melalui program keluarga harapan, dibandingkan untuk gedung baru DPR yang hanya dinikmati 560 anggotanya.
Pemerintah juga kembali mengajukan tambahan anggaran untuk remunerasi (kenaikan gaji pejabat) senilai Rp 3,3 triliun sehingga total menjadi Rp 13,9 triliun. Padahal terbukti kenaikan gaji pejabat tidak mampu menghentikan kebiasaan korupsi yang bercokol di birokrasi. Di sisi lain, triliunan uang tersebut bisa digunakan untuk 76,4 juta Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin selama 3 tahun, atau 1,9 juta balita gizi buruk dan 1,8 miliar liter beras.
berikut bentuk kerja keras mereka,
ketika mereka berkonsentrasi,
pada saat rapat membahas rakyat










Saatnya Hentikan Sistem/Rezim Tak Amanah
Gaya hidup penguasa kaum Muslim saat ini yang menampilkan kemewahan, dari mulai gaji yang tinggi hingga mobil dinas yang mahal, tidak bisa dilepaskan dari cara pandang mereka terhadap jabatan. Bagi mereka, jabatan identik dengan prestise, martabat, kehormatan, bahkan ladang penghasilan yang subur. Wajar jika mereka berebut untuk mendapatkan jabatan/kekuasaan.
Sikap mereka ini berbeda dengan para khalifah (kepala negara Khilafah) dulu. Bagi para khalifah, jabatan adalah amanah. Karena itu, jabatan/kekuasaan benar-benar dimaksudkan untuk menunaikan apa yang menjadi hak rakyatnya. 
Bagi mereka, martabat dan kehormatan justru terletak pada ketakwaan, dan salah satu ukuran ketakwaan terletak pada sikap amanah dalam mengurus rakyat, bukan pada kemewahan. Karena itu, kesederhanaan mereka tidak membuat mereka kehilangan martabat dan kehormatan. Wajar jika kisah kesederhanaan para khalifah kaum Muslim pada masa lalu banyak menghiasi sejarah peradaban Islam nan agung ini. Imam as-Suyuthi menuturkan dalamTarikh al-Khulafa’-nya tentang kisah kesederhanaan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., misalnya, yang tidak pernah malu berpakaian dengan banyak tambalan, bukan dengan kain yang sama, tetapi dengan kain yang berbeda, bahkan dengan kulit hewan. Khalifah Umar ra. juga biasa tidur nyenyak di atas hamparan pasir, dengan berbantalkan pelepah kurma di sebuah kebun kurma, tanpa seorang pun pengawal. Namun, di balik kebersahajaan itu, Khalifah Umar dan para khalifah kaum Muslim itu mempunyai prestasi yang luar biasa. 
Mereka berhasil memakmurkan rakyatnya sekaligus menjadikan Islam dan Khilafah Islam memimpin dunia selama berabad-abad dengan segala kemuliaan dan keagungannya. Bandingkanlah dengan para penguasa kaum Muslim saat ini, termasuk di negeri ini. Mereka hidup mewah, tetapi miskin prestasi, bahkan menjadi musibah bagi rakyatnya.
‘Ala kulli hal, umat belum terlambat untuk menyadari bahwa sistem sekular-kapitalis-liberal inilah yang menjadi penyebab hilangnya karakter para pemimpin yang sederhana dan zuhud, sekaligus yang menjadi penyebab suburnya para pemimpin yang tamak akan ‘sekerat tulang’ dunia.
Karena itu, umat belum terlambat untuk segera menerapkan sistem (syariah) Islam sebagai wujud ketakwaan mereka kepada Allah SWT. Hanya dengan ketakwaanlah Allah SWT menjamin keberkahan hidup bagi mereka, sebagaimana firman-Nya:
وَلَو أَنَّ أَهلَ القُرىٰ ءامَنوا وَاتَّقَوا لَفَتَحنا عَلَيهِم بَرَكٰتٍ مِنَ السَّماءِ وَالأَرضِ وَلٰكِن كَذَّبوا فَأَخَذنٰهُم بِما كانوا يَكسِبونَ

Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi (QS al-A’raf [7]: 96).
Sebaliknya, jika umat ini tetap berpaling dari peringatan Allah SWT, enggan menerapkan syariah-Nya secara total dalam seluruh aspek kehidupan dalam institusi Khilafah, maka kesempitan akan selalu menjadi ‘hiasan hidup’ mereka, sebagaimana firman-Nya:
وَمَن أَعرَضَ عَن ذِكرى فَإِنَّ لَهُ مَعيشَةً ضَنكًا وَنَحشُرُهُ يَومَ القِيٰمَةِ أَعمىٰ

Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat dalam Keadaan buta (QS Thaha [20]: 124).
 
Sumber: amiryess.blogspot.com

Persoalan Nasional: Negara Dinilai Gagal Sejahterakan Rakyat


Maraknya kasus perampokan bersenjata yang mengiringi peningkatan kasus bunuh diri dalam keluarga, kematian beruntun akibat meminum minuman keras atau jamu oplosan, dan kematian akibat ledakan gas menjadi bukti bahwa negara telah gagal menyejahterakan rakyatnya. Pancasila, sebagai dasar dan filosofi berbangsa, juga terasa tak ada lagi.

Demikian kesimpulan yang bisa ditarik dari percakapan Kompas secara terpisah dengan mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif, mantan Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat Letnan Jenderal (Purn) Kiki Syahnakri, dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Medan Farid Wajdi, Selasa (24/8).

”Pancasila sepertinya sudah tidak ada lagi,” papar Syafii yang dihubungi dari Jakarta. Kiki juga menilai Pancasila sudah semakin direduksi sehingga kesejahteraan rakyat susah terwujud di negeri ini.

”Dari hulunya kita sudah salah. Kita mengingkari Pancasila karena mengganti sikap kekeluargaan dalam filosofi hidup bangsa ini dengan individualisme dan liberalisme. Jika bangsa ini mementingkan individualisme, sila kelima Pancasila, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, tak akan pernah terwujud,” ujar Kiki yang juga Ketua Bidang Pengkajian Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat.

Menurut Kiki, dengan ketidakmampuan bangsa ini mewujudkan kesejahteraan, perilaku kekerasan dalam masyarakat sudah menjadi keniscayaan. Ketika negara gagal mewujudkan kesejahteraan rakyat, implikasi dari menurunnya performa ekonomi itu adalah kriminalitas dan frustrasi sosial.

Kiki mengatakan, basis kultural bangsa ini bukanlah individualisme dan liberalisme. Ujung dari individualisme dan liberalisme adalah kapitalisme, bukan demokrasi. Kapitalisme tak akan memberikan keadilan sosial. ”Kondisi ini harus dibenahi,” katanya.


Kata dan laku tak sejalan

Syafii menambahkan, berbagai fenomena memprihatinkan yang muncul di masyarakat belakangan ini juga merupakan wujud dari kegagalan negara dalam menegakkan hukum selain mengurangi kesenjangan ekonomi. ”Kalaupun pemerintah punya iktikad, mereka gagal melaksanakannya,” katanya.

Menurut dia, permasalahan jelas ada pada kepemimpinan. ”Pada periode yang lalu masih mending, satu rem, satu gas, sehingga masih ada kemajuan. Kalau sekarang, dua-duanya rem,” kata Syafii.

Kepemimpinan yang ada saat ini dinilainya tidak tegas. Walaupun di media massa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seakan-akan tegas, seperti teguran yang diarahkan kepada menterinya, pada kenyataannya tidak terwujudkan.

”Kata dan laku sudah tidak sejalan lagi,” ujar Syafii.

Turunannya tersebut tampak hingga pada sepak terjang menteri. ”Ini republik apa kerajaan sih,” kata Syafii.

Kiki juga sepakat adanya titik lemah pada kepemimpinan nasional. Kondisi ini membuat upaya untuk menyejahterakan rakyat kian sulit terwujud selain kewibawaan bangsa ini di mata internasional, termasuk di mata negara tetangga, semakin terpuruk.

Saat ini, kata Syafii, berbagai pihak sudah menyatakan pendapat, baik melalui tulisan maupun kata. Namun, pemimpin bangsa ini rupanya bergeming. ”Intinya, tidak bertindak. Lemah sekali,” kata Syafii lagi.


Tak mampu melayani

Farid Wajdi pun mengakui, Indonesia sudah berada di ambang kegagalan sebagai negara. Hal ini ditandai oleh ketidakmampuan pemerintah memberikan pelayanan kepada warganya. Berbagai fenomena miris yang terjadi di masyarakat sesungguhnya menunjukkan pemerintah saat ini tak dapat menjadi penyelenggara negara yang baik.

”Kasus perampokan tidak berdiri sendiri. Ini adalah rentetan persoalan sosial yang tidak bisa diselesaikan pemerintah. Perampokan bersenjata mungkin adalah reaksi dari respons pemerintah yang rendah terhadap persoalan ketidakadilan,” ujarnya.

Menurut Farid, alih-alih menyelesaikan persoalan, pemerintah malah tak sanggup mengatasi permasalahan substansial bangsa ini. Warga negara yang tak punya akses terhadap pengadilan sering menjadi korban, koruptor justru mudah memanipulasi hukum.

Sumber: Kompas, Rabu, 25 Agustus 2010