Minggu, 28 November 2010

FUUI Temukan 90 Titik Pemurtadan di Bandung

FUUI Temukan 90 Titik Pemurtadan di Bandung

Forum Ulama Ummat Indonesia menemukan sebanyak 90 titik praktik pemurtadan di Bandung. Kebanyakan praktik tersebut ditemukan dalam bentuk pendirian rumah peribadatan atau gereja yang terkesan dipaksakan, alasannya untuk mendapatkan izin dari warga, digunakan cara-cara penipuan.

"Mereka menggunakan banyak cara dalam melakukan pemurtadan," kata Ketua FUUI, KH Athian Ali, dalam acara Diklat Antisipasi Pemurtadan Tahap I, Gelombang V, di Kantor FUUI Bandung, Ahad (28/11).

Penipuan yang dimaksud dalam bentuk tanda tangan yang dimintakan kepada warga melalui kegiatan tertentu. Dia mencontohkan, adanya misionaris mengadakan acara dan mengundang warga. Saat itu disediakan tandatangan kehadiran warga. "Ternyata tandatangan itu diatur menjadi izin pembangunan tempat peribadatan," jelasnya.
Praktik pemurtadan di Kabupaten Bandung di antaranya di Kecamatan Arjasari, Cimenyan, dan Kecamatan Soreang. Bahkan, Athian mengaku, apa yang ditemukannya kerapkali melanggar Surat Peraturan Bersama Dua Menteri. Misalnya, penyebaran agama terhadap warga yang sudah beragama. Hal itu, mestinya tidak dilakukan, sebab di SPB Dua Menteri itu sudah dijelaskan bahwa penyebaran agama tidak dilakukan terhadap orang yang sudah beragama.

Selain itu, kata Athian, adalah pemaksaan proses pendirian tempat peribadatan. Meskipun, di kawasan yang hendak didirikan itu hanya ada warga non-Muslim, tetapi tetap dipaksakan mendirikan gereja. "Aturannya kan baru bisa mendirikan kalau sudah ada 60 orang," lanjutnya.

Namun, dari 90 pelanggaran yang terbagi 50 di Kabupaten Bandung dan 40 di Kota Bandung tersebut, kesemuanya sudah ditangani FUUI. Organisasi Massa Islam tersebut mendesak agar pihak gereja mengurungkan niatnya dengan membuat surat kesepakatan kedua belah pihak. "Mereka juga banyak mengakui kalau tindakan mereka melanggar SPB Dua Menteri, makanya semuanya mau menandatangani dan berjanji tidak akan mengulangi lagi," tegasnya menuturkan.

Dikatakan Athian, untuk pemurtadan di Jawa Barat sendiri dipastikan bisa mencapai ratusan. Sebab, di Cianjur saja, sudah dijadikan pusat pemurtadan. Dalam satu kelurahan saja di Ciranjang, Kabupaten Cianjur terdapat tujuh gereja. Sedangkan di Garut Selatan ditemukan 5 titik. "Di Cianjur itu ada pusat pemurtadan yang disebut Lembah Karmil."

Sekretaris Jenderal FUUI, Hedi Muhammad, mengatakan bahwa Diklat Antisipasi Pemurtadan (DAP) kali ini sudah merupakan tahun ketiga diadakan. Dalam satu tahun, DAP diadakan dua kali, dengan peserta dari DKM dan da’I Jakarta dan Jawa Barat. “Kali ini pesertanya sekitar 400 orang. Paling banyak dari Bandung sendiri,” kata Hedi.

Tujuan DAP sendiri, kata Hedi, agar peserta nantinya bisa ikut berperan dan membantu menyalamatkan saudara-saudaranya umat Islam dari missionaris. Hal itu bisa dilakukan dengan melaporkan langsung ke FUUI atau mengantisipasi misi tersebut. “Dalam pelatihan ini diajarkan bagaimana mereka bisa memahami adanya gerakan-gerakan itu dan bagaimana antisipasinya,” jelas Hedia. Antisipasi yang dimaksudnya, bukanlah menghakimi sendiri, tetapi diatasi secara bijaksana.

Oleh karenanya, Athian mengimbau agar semua umat Islam merasa terpanggil dan berpikir bahwa keimanan adalah sesuatu yang termahal dalam hidup. “Kita lebih siap kehilangan apapun, asalkan jangan keimanan,” ungkapnya. Wujud kecintaan ke sesama Muslim tidak boleh membiarkan umat islam lainnya dirampas keimanannya.

Sumber: republika.co.id

Bromo: Letusan Bisa Terjadi Tiba-Tiba

Karakter Bromo: Letusan Bisa Terjadi Tiba-tiba Walau Terlihat Normal
 
 
Karakter Bromo ini beda dengan gunung Merapi lainnya. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, Bromo meletus justru  saat secara visual terlihat normal sebagaimana tahun 1966, 2000 dan 2004. "Karenanya meski secara visual terlihat ada kecenderungan penurunan, status awas belum bisa diketahui sampai kapan dicabut," Ketua Tim Tanggap Darurat Bromo, Gede Suantika.

Berdasarkan pengamatan tim dari Pusat Badan Vulkanologi dan Metigasi Bencana Geologi, aktivitas Bromo masih tinggi. Hal itu tercermin dari gempa tremor yang masih terus terjadi dengan amplitudo 1,5-5 mm. Begitu juga kejadian  gempa vulkanik.

Menurut dia, gempa vulkanik itu terjadi sebanyak 69 kali dengan amplitodo 51 mili meter. ‘’Jadi, meski gempa tremornya lebih kecil, tapi gempa vulkaniknya tinggi. Ini yang bahaya dan harus diwaspadai,’’ tegas Gede Suantika.

Makanya, terang dia, status awas masih belum bisa diprediksi sampai kapan. Persiapan menghadapi letusan Bromo itu kata dia, tetap harus dilakukan secara matang karena karakter Bromo ini beda dengan gunung api lainnya.

Sumber: republika.co.id

Asap Sulfatura Bromo Kian Mengerikan

Asap Sulfatura Bromo Kian Mengerikan


Letusan Gunung Bromo yang posisinya diapit empat daerah, Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Malang, dan Lumajang, hingga status awas ditetapkan sampai Ahad (28/11) masih terus mengalami peningkatan. Bahkan, asap sulfura yang keluar dari kawah gunung yang terlihat eksotik itu tampak kian mengerikan.

Asap yang keluar dari kawah tersebut tampak hitam pekat. Dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya, asap sulfura itu sangat tebal dan cenderung  membesar. Asap tersebut membumbungi tinggi hingga sekitar 900-1000 meter terhembus angin ke arah Barat Daya, tepatnya wilayah Poncokusumo, Kabupaten Malang.

‘’Berdasarkan hasil pengamatan, asap sulfura yang dikeluarkan Bromo ini memang semakin meningkat. Kapasitas luapannya pun bertambah besar,’’ papar Ketua Tim Tanggap Darurat Bromo, Gede Suantika, di Posko Taktis Bencana Bromo, Cemorolawang, Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Probolinggo. 

Gede Suantikan yang merupakan pejabat dari Pusat Badan Vulkanologi dan Migitasi Bencana Geologi (PBVMBG) Bandung ini menjelaskan bahwa sejak pertama Bromo ditetapkan dengan status awas, asap sulfura itu hanya mencapai ketinggian 400 meter. Bahkan, pada hari kedua hanya sekitar 700 meter ketinggiannya.

Sedangkan yang terjadi hingga Ahad (28/11) siang ini ketiggian asap tersebut mencapai sekitar 900-1.000 meter. Kapasitas ketebalannya pun sangat besar. Besarnya ketebalan asap itu menurut dia, karena gempa tremor yang terjadi secara terus menerus.

Bahkan data terakhir sejak pukul 00.00 WIB sampai 06.00 WIB, yang diperoleh Tim Tanggap Darurat Bromo mengindikasikan telah terjadi 8 kali gempa vulkanik dangkal dengan amplitudo 30-40 mm. Gempa tremor yang terjadi dengan amplitudo 7-32 mm secara terus menerus.

Menurut Gede Suantika, erupsi yang tinggi itu memang ada dampak positifnya. Alasan dia, karena energi yang tersimpan di Bromo itu bisa keluar sedikit demi sedikit. Sehingga, kemungkinan terjadinya letusan besar bisa terkurangi.

Hanya saja, dia masih belum bisa memastikan sampai kapan erupsi itu akan mereda, dan Bromo menjadi normal. ‘’Itu susah untuk bisa  kita prediksi,’’ papar pria yang selalu ramah menjawab setiap pertanyaan wartawan ini.

Meski begitu, dia merasa bersyukur  hujan yang terjadi dengan intensitas tinggi di kawasan Bromo. Sebab,  hujan tersebut bisa mengurangi penyebaran materialan vulkanik dari erupsi Bromo itu. Sehingga, dampaknya tidak sampai menyebar ke mana-mana.

Sumber: republika.co.id

Gunung Bromo Mengeluarkan Suara Gemuruh

Gunung Bromo Mengeluarkan Suara Gemuruh


Gunung Bromo tidak hanya mengeluarkan materialan abu vulkanik, kerikil, asap hitam pekat dan gas belerang. Namun pada Ahad (28/11) sore, Gunung Bromo juga mengeluarkan suara bergemuruh selain meletus.

Suara gemuruh yang dikeluarkan Bromo itu terdengar sampai radius tiga kilo meter. Praktis, suara tersebut membuat banyak warga sekitar kaldera Bromo sempat panik. Namun, sesaat kemudian, setelah hujan deras mendera kawasan kawah Bromo, suara tersebut nyaris tak terdengar.

Kepala Tim Tanggap Darurat Bromo, Gede Suantika, menjelaskan bahwa suara gemuruh yang  dikeluarkan Bromo merupakan proses erupsi yang terus mengalami kenaikan. Bahkan, menurut dia, sesaat sebelumnya  sempat terjadi letusan lebih besar dibandingkan dengan yang terjadi Jum’at (26/11) dan Sabtu (28/11) pagi.

‘’Bromo memang meletus lagi sekitar pukul 14.30 WIB siang tadi (Ahad, 28/11-Red). Letusannya lebih besar dibanding sebelumnya,’’ kata Gede Suantika saat dihubungi via telepon selularnya.

Meski begitu, tidak semua warga termasuk wartawan yang melakukan peliputan di lokasi mengetahui kejadian letusan tersebut. Apalagi, sebelum meletus, sempat terjadi hujan deras. Sehingga, erupsi letusan Bromo itu tak diketahui banyak orang.

Apalagi, setelah letusan itu terjadi, hujan deras kembali  mengguyur kawasan Gunung Bromo. Meski begitu, Gede Suantika, pejabat dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Bandung ini  menegaskan bila Bromo meletus untuk yang ketiga kalinya sejak status awas ditetapkan Jum’at (19/11) lalu.

Menurut Gede Suantika yang sejak awal mengawal pemantauan gunung Bromo di Posko Taktis Penanggulangan Bencana Bromo, di Cemorolawang, letusan itu diawai dengan gempa vulkanik sebanyak dan gempa tremursecara terus menerus dengan amplitudo 25-36 mili meter. Selain itu, trjadi gempa vulkanik sebanyak 21 kali.

Tekanan dari letusannya pun cukup kuat. Itu terlihat dari kepulan asap sulfura yang keluar dari kawah Bromo. Tekanan asap sulfura yang mengandung gas blerang, abu vulkanik dan krikil serta pasir itu mencapai ketinggian 700-1.200 meter.

Materialan dari letusan Bromo itu diyakini sedikit terhambat penyebarannya, karena hujan deras. Meski begitu, Gede Suantika meminta agar warga –terutama yang berdekatan dengan Gunung Bromo, untuk tetap waspada.

Sumber: republika.co.id

Rahmatan Lil' Alamin

  
Rahmatan Lil 'Alamin

Suatu hari Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat, "Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?'' Para sahabat pun menjawab, "Ya, Rasulullah, orang yang bangkrut adalah mereka yang tidak lagi mempunyai uang dan harta.''

"Bukan itu," jawab Rasulullah. "Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang pada hari kiamat membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Namun, mereka suka mencuri, menjelek-jelekkan orang lain, suka memakan harta orang lain (korupsi), menumpahkan darah, dan memukul orang lain tanpa hak.''

Dengan demikian, kata Rasulullah, pahala shalat, puasa, dan zakat orang itu dialihkan oleh Allah SWT kepada si anu, si anu, dan si anu, yaitu orang yang dicaci, dicuri hartanya, dan dibunuh. "Akan tetapi, pahala kebaikan orang yang pailit itu habis sebelum tertebus semua kejahatannya, sampai-sampai ganjaran kejahatan orang lain dibebankan kepadanya, lalu ia dilemparkan ke dalam neraka.'' (HR Muslim, tercantum dalam Mukasyafah al-Qulub: al-Muqarrib ila Hadhrah 'Allam al-Ghuyub fi 'ilm at-Tashawwuf).

Akhir-akhir ini, sebagian masyarakat Indonesia dihadapkan pada peristiwa-peristiwa kekerasan (terorisme), konflik horizontal, tawuran antarkelompok masyarakat, pencurian, korupsi, dan pembunuhan yang melanggar hukum. Semua kejadian itu tentunya mengarah pada terganggunya keselamatan dan keamanan masyarakat.

Sebagai agama rahmat bagi semesta alam, Islam tak membenarkan dan melarang semua tindakan tersebut.  "Wamaa arsalnaaka illaa rahmatan lil 'alamin.''  (Dan tidaklah kami mengutusmu (Muhammad), melainkan menjadi rahmat bagi semesta alam). (QS Al-Anbiya [21]: 107).

Quraish Shihab mengemukakan bahwa redaksi ayat tersebut mencakup empat hal pokok. Pertama, rasul utusan Allah itu adalah Nabi Muhammad. Kedua, yang mengutusnya adalah Allah SWT. Ketiga, rasul itu diutus kepada mereka (al-'alamin). Keempat, risalah yang disampaikan mengisyaratkan sifat-sifat kedamaian dan kasih sayang yang mencakup semua waktu dan tempat.

Ajaran Islam yang rahmatan lil 'alamin itu mengandung makna bahwa kehadirannya memberikan rahmat kepada seluruh alam, termasuk di dalamnya lingkungan hidup, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan seluruh umat manusia tanpa membedakan agama, golongan, etnis, dan peradaban. Rasulullah SAW bersabda, "Khair an-naas 'anfa'uhum li an-naas.'' (Sebaik-baik manusia adalah yang memberikan manfaat bagi manusia lainnya).

Oleh karena itu, sebagai umat Islam, tentu kita tidak menginginkan seluruh amal ibadah yang dikerjakan selama menjadi bangkrut (tak bersisa) karena perbuatan menjelek-jelekkan orang lain, mencuri, membunuh, korupsi, berzina, dan lainnya. Kita diajarkan untuk menyayangi dan mengasihi sesama, apa pun latar belakangnya.
Wallahu A'lam.

Sumber: republika.co.id

Jalaluddin Rumi dan Seekor Sapi





Syamsuddin Ahmad Al-Aflaki berkisah tentang cerita unik sang Sufi besar, Jalaluddin Rumi penulis kitab Matsnawi.

Suatu ketika, seorang tukang jagal membeli seekor sapi di pasar. Kemudian dia membawanya ke tempat penyembelihan. Melihat gelagat tak enak, seekor sapi tersebut berontak hingga terlepas dari pegangan tukang jagal itu. Tukang jagal, dengan dibantu orang-orang yang ada di sana segera mengejar seekor sapi sambil berteriak memanggil-manggilnya.

Sapi tersebut sangat marah. Sehingga ia lari sekencang-kencangnya. Tak tahu tujuannya ke mana yang penting selamat dari kejaran manusia-manusia itu. Sesampainya di persimpangan jalan, seekor sapi tersebut menghentikan langkahnya. Semua orang yang mengejarnya terheran-heran. Di antara mereka ada yang nyeletuk, “Kenapa sapinya berhenti. Ada apa gerangan?” yang lain menanggapinya, “Kesambet kali atau sakit kepala?!!!”.

Sebelum kebingungan mereka terjawab, mereka terus mengamati langkah seekor sapi tersebut. Ternyata, seekor sapi itu menghampiri seorang tua yang berpakaian rapi dan bersembunyi di balik orang tua itu. Makhluk beda jenis ini pun kemudian berkomuniasi dari hati ke hati. Seakan akan hewan ini minta perlindungan dari orang tua tersebut. Orang tua itu pun tampak paham akan apa yang diinginkan binatang tersebut, dia menepuk pelan serta mengusap-usap tengkuknya.

Semua yang menyaksikan adegan itu bertambah bingung, heran dan menakjubkan. Tukang jagal dan semua orang yang ikut mengejarnya mendekati seorang tua yang sedang bersama  seekor sapinya itu. Setelah dekat mereka baru menyadari bahwa seorang tua yang berpakaian rapi itu adalah Jalaluddin Rumi.

Di hadapan orang-orang, Jalaluddin Rumi berkata, “Jika seekor binatang yang digiring ke tempat penjagalan, melepaskan diri lalu berlindung kepadaku, sehingga Allah Swt., berkenan memanjangkan umurnya. Maka, apalagi dengan manusia yang berlindung kepada Allah dengan sepenuh hati, yang dengan ketulusan dan kesungguhan mencari keridhaan-Nya. Tentu saja, Allah Swt. akan melindungi orang itu, menyelamatkannya dari ganasnya api neraka, serta memasukkannya ke dalam surga untuk tinggal di sana selamanya.”

Selaras dengan adegan di atas, Allah sudah menegaskan melalui kitab Suci-Nya, Al-Qur’an:
“Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-A’raaf,7:200).

Sekarang timbul pertanyaan. Bagaimana caranya? Harits Al-Asyari menuturkan hadis Nabi, beliau bersabda:”Aku perintahkan kepada kalian agar selalu berdzikir kepada Allah. Sesungguhnya, perumpamaan orang yang berdzikir itu seperti seorang yang dicari-cari musuhnya. Mereka menyebar mencari orang tersebut sehingga dia sampai pada suatu benteng yang sangat kokoh dan dia dapat melindungi dirinya di dalam benteng tersebut dari kejaran musuh. Begitu juga setan, seorang hamba tidak akan dapat melindungi dirinya dari setan, kecuali dengan berdzikir kepada Allah Swt.”

Oleh: Dedy Susanto

Sumber: dzuzant.wordpress.com

Penerapan Syariat Islam di Indonesia

Pada Mei 1998 merupakan titik penting dalam sejarah Indonesia.  Dari titik ini, perubahan bermula. Rezim Orde Baru (ORBA) yang berkuasa selama 32 tahun tumbang oleh gerakan massa. Mereka disatukan oleh sebuah tuntutan: REFORMASI. Reformasi kemudian adalah kata kunci pada perubahan di pentas public Indonesia. Apa yang sebelumnya tidak boleh dijamah berubah menjadi wilayah yang boleh diobrolkan secara terbuka. Wacana penerapan Syariat Islam (SI) yang di ‘tiarap’-kan pada masa ORBA kembali muncul ke permukaan. Seolah memutar ulang fragmen sejarah, perdebatan tentang Piagam Jakarta kembali mengemuka di sidang umum MPR.

Lebih jelas Arskal Salim menyatakan, bahwa perdebatan mengenai peluang penerapan syariat (hukum Islam) di Indonesia, melalui Piagam Jakarta, tampaknya merupakan polemik yang tak pernah berkesudahan sejak sidang BPUPK/PPKI pada tahun 1945. Pada masa pasca Orde Baru, tema ini muncul kembali melalui perdebatan tentang perlunya amandemen pasal 29 UUD 1945 yang bergulir pada Sidang Tahunan MPR dalam dua tahun terakhir ini.

Aceh yang menjadikan penerapan SI sebagai kartu tawar menawar politik  dengan Jakarta (pemerintah pusat), mendapatkan kado istimewa dengan terbitnya UU Nomor 44/1999 tentang keistimewaan Aceh; sebuah undang-undang yang menandai mulainya pemberlakuan SI di Aceh.

Melalui pintu otonomi daerah, banyak daerah-daerah lain yang kemudian menerbitkan peraturan-peratuaran daerah (perda) yang mengadopsi SI.   Belakangan, rancangan undang-undangan anti pornografi dan pornoaksi (RUU APP) ditengarai sebagai perwujudan SI. Pertanyaan yang segera muncul adalah : Ada apa dengan gairah besar dari sebagian komponen bangsa untuk menerapkan SI di Indonesia ?. Apakah SI merupakan jalan keluar bagi bangsa Indonesia yang di dera seribu satu masalah itu ? Apa problem-problem krusial bagi penerapan SI di Indonesia ? Adakah jalan keluar yang rasional dan realistis bagi kontroversi penerapan SI di Indonesia ? pertanyaan-pertanyaan yang mesti dijawab oleh diri kita sendiri sebagai bangsa dan warga Negara Indonesia yang baik.

Kata kontroversi adalah kata yang pas untuk mewakili wacana ini. Karena memang kontroversi penerapan SI di Indonesia terjadi di semua level. Paling tidak ada dua level yang paling kentara, yaitu level internal dan level eksternal. Pada level internal, menyangkut tentang isi tubuh syariat itu sendiri, pertanyaan-pertanyaan elementer-nya adalah: Apa yang dimaksud syariat dalam hal ini (ontologis) ?, Bagaimana merumuskan syariat yang hendak di undangkan itu (epistemologis) ?, Bagaimana syariat mesti diterapkan dalam kontek local dengan karakter yang berbeda-beda di Indonesia (aksiologis) ?

Pada level ontologis, perdebatan tentang syariat Islam (SI) sebenarnya bukan khas Indonesia. Pemikiran Arab kontemporer banyak membicarakan hal ini. Persoalan poros-nya adalah bagaimana memandang kaitan antara teks (al-Qur’an dan hadis) dengan realitas. Setidaknya ada tiga aliran dalam hal ini: skriptual, moderat dan liberal. Kaum skriptualis memandang bahwa realitas harus tunduk kepada teks. Aliran moderat melihat bahwa teks dan realitas mesti  berdialog untuk menghasilkan aturan yang disepakati. Sedangkan kelompok liberal memandang bahwa oleh karena teks diturunkan untuk kepentingan realitas, maka ia harus menyesuaikan diri terhadap realitas.

Fakta sosiologis  menunjukkan bahwa ketiga kelompok ini -dengan segala perangkapnya masing-masing- masih sedang bergulat dalam wacana Indonesia kontemporer. Tidakkah ini problematik ? Lantas pada level aksiologis-syariat Islam berhadapan dengan persoalan yang tidak sederhana. Ini mengantarkan kita untuk berpindah pada sisi eksternal dari problem penerapan SI di Indonesia.

Untuk mengambil beberapa sampel, kita bisa menyebut –dalam konteks ini- : Problem pluralitas-kebhinnekaan Indonesia, transformasi sosial dan interaksi-belajar dengan dan dari dunia luar yang meliputi Negara-negara Muslim ataupun Negara-negara Barat. Pada soal pluralitas-kebhinnekaan Indonesia, penerapan SI di Indonesia menghadapi tantangan (challenge) yang cukup serius. Masalahnya, Indonesia ditakdirkan lahir sebagai bangsa yang heterogen (warna-warni) bukan homogen (satu warna) dan itu direpresentasi oleh Pancasila dan UUD 1945 sebagai basic Negara dan konstitusi. Akibatnya, seluruh warga negara Indonesia berkedudukan dan berhak mendapat perlindungan dan perlakuan yang sama dari Negara tanpa memandang back ground/ latar belakang agama yang dianutnya, suku dan warna kulit.

Persoalan yang cukup serius di sini adalah bagaimana penerapan syariat  tidak melibas-menafikan keserbanekaan tersebut. Kondisi inilah  yang menjelaskan mengapa pendekatan politik-legal penerapan SI di Indonesia selalu mendapat tantangan, bukan hanya dari kalangan non-muslim, bahkan dari kalangan tokoh-tokoh Islam sendiri. Taruhannya sangat serius yaitu eksisnya Indonesia sebagai bangsa kokoh bersatu. 
Maka, banyak tokoh-tokoh Islam atau organisasi Islam yang mengambil jalan panjang dengan transformasi sosial. Artinya, masyarakat –lewat lembaga-lembaga dan nilai-nilai social- terus dikondisikan untuk semakin Islami. Idealismenya, tanpa pendekatan politik-kenegaraan pun kelak, rakyat Indonesia akan menjalankan syariat Islam dengan sendirinya.

Terma pemberlakuan syariat Islam tidak mesti berujud pemberlakuan fiqh Islam sebagai hukum positif Negara. Menurut M. Imdadun Rahmat, penerapan hukum fiqh bisa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari tanpa harus menjadi hukum Negara.

Lebih lanjut, Imdadun Rahmat menyatakan bahwa bentuk Negara ‘nation state’ dengan system demokrasinya cukup menyediakan peluang bagi terwujudnya Negara yang Islami. Artinya Negara yang mampu melindungi kemaslahatan rakyatnya sehingga hak-hak mereka sebagai warga Negara terpenuhi, termasuk hak untuk mengekspresikan agamanya dengan leluasa.

Mempelajari syariat itu penting. Sehubungan dengan hal ini, maka penting bagi kita mempertimbangkan perkataan Prof. TM. Hasbi Ash-Shiddiqie bahwa maksud kita mempelajari syariat Islam ialah supaya kita bisa menyusun satu fiqh yang berkepribadian kita sendiri, seperti sarjana-sarjana Mesir sekarang ini berusaha memesirkan fiqhnya. Fiqh Indonesia ialah fiqh yang ditetapkan sesuai dengan tabiat dan watak serta kepribadian  Indonesia.[1]

Sedangkan pada level eksternal,  transformasi yang telah dilakukan, misalnya oleh NU sejak 1984, perlu terus dilakukan dengan kualitas yang terus ditingkatkan. Langkah ini kemudian dikemas dalam wacana yang santun, anti kekerasan, dialogis dan mengedapankan rahmat. Ketika terbukti di bumi realitas bahwa Islam benar-benar menjadi rahmatan lil- alamin, tanpa diformalkan sekalipun, Islam akan menjadi nilai obyektif di tengah-tengah masyarakat.

Dalam khazanah klasik, kita akan menjumpai pandangan seperti ini pada visi politik imam Malik yang belakangan mazdab fiqh-nya akrab dengan tradisi local dengan konsep mashlahah mursalah dan maqashid syariah-nya. Selanjutnya kesediaan untuk tunduk pada aturan main bersama (rule of the game)  pada saat kekuatan Islam menjelma menjadi entitas politik berupa partai-partai harus terus dipupuk untuk dalam semangat menyemaikan demokrasi.

Telah terbukti bahwa demokrasi sebagai perangkat bernegara tidak kontradiktif dengan Islam. Dan akhirnya, tetap perlu digalang konsolidasi global antar Negara dan komunitas muslim untuk mewujudkan tata dunia yang lebih adil dan damai.

Semua tawaran aksi di atas bukanlah jawaban jadi, tetapi kerja keras untuk mewujudkannya akan menentukan masa depan Indonesia. Satu hal yang perlu penulis tegaskan lagi bahwa dari pada energy bangsa kita habis untuk ‘bertengkar’ dalam soal-soal yang tidak perlu, mengapa kita tidak membicarakan sesuatu yang dalam jangka panjang lebih menjamin kohesi  kebangsaan, kebanggaan menjadi sebuah bangsa dan capaian-capaian riil pada pembangunan sumber daya manusianya (SDM).

Oleh Dedy Susanto

Daftar Pustaka:

Arskal Salim. Penerapan Syariat Bukan Negara Islam. 24/03/2002
Mohd. Idris Ramulyo, S.H., M.H. Asas-asas Hukum Islam, Sinar Grafika: Jakarta, 1997
Penerapan Syariat Islam Di Indonesia: Melihat Problem, Mencari Solusi. Saturday, April 15, 2005

dzuzant.wordpress.com

Ironi Majikan: "Siapa Sebenarnya yang Majikan?"



 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
" .... bangsa kuli dan kuli bangsa " (Douwes Dekker)




Cerita Tenaga Kerja Indonesia (baca : TKI) seumpama cerita "telenovela", ada kisah bahagia penuh tawa, tapi tak sedikit kita disuguhkan cerita miris-sedih penuh air mata. Sucses story para TKI di negeri seberang, pada dasarnya merupakan inspirasi bagi semua orang, anak bangsa ini, untuk tidak hanya bertepuk dada. Mereka sukses di negeri orang, karena negerinya tak memberikan ranah untuk membuatnya sukses. Demikian juga halnya dengan cerita duka "pahlawan devisa" (ah ... gelar usang !), ketika mereka dinistakan di negeri orang lain, telunjuk juga harus dan mutlak dihadapkan kepada bangsa ini, mereka pergi dan dinistakan di negeri orang karena mereka tak memiliki kesempatan untuk sekedar menaikkan taraf hidup di negeri yang mungkin dibangun "peluh-keringat" orang tua mereka. Berbagai kisah sedih yang dialami oleh TKI dan bagaimana bangsa ini memberikan "solusi" seakan-akan membuat kita nelangsa.

Sumiati dan Kikim Komalasari, memulai kembali "drama usang" penyiksaan TKI di luar negeri. Sumiati seorang pembantu rumah tangga di Arab Saudi asal NTB, digunting bibirnya. Kikim Komalasari dibunuh dengan benda tumpul (ada yang menyebut digorok setelah diperkosa). Mereka "meregang nyawa" dan tersakiti di negeri orang lain. Kebuasan seperti itu bukan sekali ini saja terjadi. Beberapa tahun yang lalu tentu kita masih ingat kemalangan serupa yang menimpa Nirmala Bonet di Malaysia. Masalah yang selalu mengemuka adalah minimnya perlindungan terhadap TKI yang mengakibatkan begitu mudahnya hak-hak asasi mereka dilanggar. Pemerintah dan agen penyalur TKI selalu menjadi kambing hitamnya. Sejauh ini mereka memang kambing hitam yang sesungguhnya, namun ada sesuatu yang nampaknya luput dari perhatian publik. Ada sesuatu yang jauh lebih besar dan esensial melatarbelakangi rentetan kejadian-kejadian serupa ini. Kedudukan pembantu rumah tangga dalam struktur sosial selalu berada di bawah. Mereka dianggap orang dengan tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah. Mereka juga sering dianggap orang yang 'tidak tahu apa-apa', awam, lugu. Pada situasi seperti ini secara alamiah akan terbentuk suatu hubungan majikan-pembantu yang tak ubahnya seperti tuan-budak di abad pertengahan. Jika ditelusur lebih dalam lagi, terdapat kemungkinan adanya norma-norma lokal tertentu yang memberi 'pembenaran' terhadap perilaku ini. Di Arab Saudi tidak jarang kita mendengar bahwa 'pembantu perempuan' sama dengan 'budak' di mana majikan laki-laki memiliki hak menyetubuhinya.

Seperti lazimnya hubungan tuan-budak, tidak ada sehelai pun batas perlakuan yang boleh maupun yang tidak boleh dilakukan seorang tuan kepada budaknya. Budak adalah barang di mana tuannya memiliki hak penuh atasnya. Jika premise ini ditarik dari skala individu tiap-tiap pembantu kepada skala komunitas pembantu dari Indonesia, maka akan nampak bahwa bahwa sesungguhnya gejala yang sama terjadi pada hampir semua, jika tidak dapat dikatakan semua, pembantu rumah tangga Indonesia yang bekerja di luar negeri. Pola hubungan tuan-budak tidak selalu berakhir pada kekerasan fisik. Beberapa atau mungkin banyak di antara mereka diperlakukan sangat baik oleh tuannya. Diberi uang lebih, pakaian, fasilitas kesehatan, dan lain-lain. Perlakuan semacam ini tidak berarti mereka memiliki kedudukan sama dengan tuannya, sebab secara faktualnya kehidupan para budak (pembantu) itu 100% berada di tangan majikan (tuan)nya. Tidak ada daya sedikit pun dari mereka untuk secara leluasa melakukan apa yang mereka rasa ingin atau perlu mereka lakukan. Toh, pada abad pertengahan tidak jarang kita dengar kisah tuan-tuan yang begitu baik pada budak-budaknya.

Dengan demikian, bangsa ini sesungguhnya telah mengalami pelecehan atas kehormatan dan kedaulatannya. Para pembantu itu tidak dapat dipungkiri adalah representasi bangsa yang terbesar jumlahnya di luar negeri. Maka jelaslah, bahwa peristiwa-peristiwa 'kecil' penyiksaan TKI itu sesungguhnya adalah suatu penggalan drama saja dari keseluruhan cerita bahwa bangsa ini tidak memiliki nilai kehormatan di mata bangsa lain. Situasi ini benar-benar diperparah dengan ketidakmampuan pemerintah memberi perlindungan dan pembelaan pada para pembantu itu. Tidak mengherankan jika kemudian kasus-kasus kekerasan terus saja terjadi, sebab ketidakmampuan pemerintah ini memberi pesan yang jelas bahwa keseluruhan bangsa ini sebenarnya sudah takluk pada kekuatan majikan-majikan di luar negeri. Jika para pembantu itu adalah budak dari tiap-tiap majikannya, maka pemerintah Indonesia adalah budak dari pemerintah negara majikan-majikan itu. Titik.
 
Oleh : Muhammad Ilham
Referensi : beberapa data diambil dari detik.com
ilhamfadli.blogspot.com

Nasib TKI, Siapa yang Peduli?

 
 
Masih terngiang ditelinga kita  akan nasib seorang Sumiati yang malang, TKI yang bibirnya digunting oleh majikannya yang biadab di Arab Saudi, kini muncul pula berita yang mengenaskan, jasad seorang TKI yang diduga bernama  Keken Nurjanah, TKI asal Cianjur, Jawa Barat, ditemukan dalam tong sampah umum. Keken kabarnya dibunuh  3 hari sebelum Hari Raya Qurban oleh majikannya di Kota Abha yang juga dinegara Arab Saudi.

Kasus pemotongan bibir Sumiati belum tuntas ditangani oleh pihak-pihak yang berkompeten, kesehatannya belum pulih benar, dan baru beberapa jam yang lalu bibir yang tergunting itu belajar makan secara normal, kini sudah datang pula kabar duka yang menimpa TKI disana. Ironisnya kabar tersebut dikirimkan secara berantai oleh relawan pospertki PDI-P di Abha ke Korwil PDI-P di Arab Saudi dan diteruskan ke berbagai media di Indonesia.

Sedang dimana Konjen RI di Abha, kesibukan apa yang dilakukan oleh Dubes kita di Arab Saudi, bagaimana Marti Natalegawa menangani WNI yang berada diluar negeri, sehingga berita terbunuhnya  seorang anak bangsa tak terdengar oleh mereka, dan yang lebih  memilukan lagi mayatnya dibuang kedalam tong sampah, bagaimana ini bisa terjadi, dan ketika dikonfirmasi ke Kemlu jawabnya koq malah baru mau cek kebenarannya, enteng sekali, padahal bangsa ini sudah dipermalukan sedemikian rupa.

Kasus terbunuhnya Keken ini tidak hanya merupakan tindakan kriminal belaka, tapi lebih dari itu adalah penghinaan yang luar biasa terhadab bangsa dan negara ini. Pembunuhan disatu sisi merupakan tindakan kriminal dan disisi lain membuang mayat kedalam tong sampah  merupakan penghinaan yang tak bisa ditolerir. Meskipun pelakunya bukan  negara, tetapi seorang warga Arab saudi, tapi tindakan itu sama saja melecehkan bangsa ini dimana mayat warganya cukup dilempar begitu saja kedalam timbunan sampah yang kotor dan bau.

Dari dulu hingga sekarang, sejak zaman rezim orde baru hingga ke Pemerintahan yang terkini,  kita  tetap saja tak berubah. Urusan TKI masih saja centang perenang, bagaikan benang kusut yang tak jelas ujung pangkalnya. Para Elite negeri ini tak pernah mau belajar dari pengalaman masa lalu, pengalaman pahit yang menimpa para TKI tak pernah membuat kita sadar dan berbenah diri.

Seyogyanya, dengan banyaknya kasus penganiayaan terhadap TKI diluar negeri, Pemerintah (Kemenaker) harus bisa mengambil langkah, membuat kebijakan yang menjamin kemananan dan keselamatan mereka dalam bekerja diluar negeri, sehingga bangsa ini tidak menjadi seekor keledai yang terjebak secara berulang-ulang pada lobang  yang sama. Itupun jika kita masih mau menyebut diri kita sebagai bangsa yang peduli akan nasib para TKI, jika tidak , ………… maka perlu dipertanyakan kembali “apakah kita masih memiliki akal dan pikiran yang sehat ?”

Asmari Rahman  

Sumber: kompasiana.com

Uang, Panglima Hukum


Pengakuan polos Gayus Tambunan, aktor kasus mafia pajak, membenarkan dirinya pada foto saat berada di Denpasar, Bali, semakin menguatkan hukum belumlah menjadi panglima di negeri ini. Sebaliknya, biusan Gayus dengan segepok uang malah tetap menjadi panglima terhadap aparat hukum untuk tidak berkutik di negeri ini.

Banyak kasus hukum saat dihadapkan dengan para tersangka berkantong tebal menjadi mati suri. Keadaan ini mengindikasikan ada yang salah dengan perangkat-perangkat penegaknya.

Ada empat pilar penegak hukum di negeri ini, polisi, hakim, jaksa, dan pengacara. Keempat pilar inilah yang bertanggung jawab penuh atas penegakan hukum dan menjadikan hukum sebagai panglima di negeri ini.

Bila keempat pilar atau salah satu saja masih bobrok, penegakan hukum di Indonesia bisa dibilang tidak akan pernah berjalan secara maksimal. Hukum tidak akan pernah tegak, melainkan bengkok dan lunglai.

Kasus Gayus yang bergayung sambut dari makelar pajak dan lenggang kangkung keluar dari penjara dengan menyuap aparat membuktikan penegakan hukum di negeri ini masih sangat jauh dari harapan.

Kasus Gayus bisa dijadikan bukti nyata dan konkret bahwa virus mafia hukum sudah menyebar ke mana-mana. Pilar penegak hukum di negeri ini, yang seharusnya menjadi penjaga kewibawaan hukum, dengan ikhlas menukar harga dirinya demi sejumlah uang.

Begitu mudah terlihat dari sepak terjang Gayus mempermainkan hukum di negeri ini yang tidak berhenti hanya pada masalah pajak. Dengan gampang Gayus keluar masuk tahanan, bahkan dengan santainya bisa menonton pertandingan tenis internasional di Bali.

Apa yang diungkapkan Buyung Adnan Nasution, Kuasa Hukum Gayus, bahwa yang bebas keluar dari tahanan ternyata tidak hanya Gayus, Susno, dan Willardi, tapi Aulia Pohan besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), membuat hukum mudah diperjualbelikan sangat tidak mungkin terbantahkan.

Ironis dan menyedihkan. Begitu gampangnya aparat penegak hukum negeri ini diatur oleh orang yang berkantong tebal atau yang memiliki jabatan tinggi. Mereka demikian mudah mempermainkan hukum , sementara di sisi lain begitu banyak masyarakat kecil yang mengalami ketidakadilan hukum.

Hukum di negeri hanya tajam saat mengurusi orang kecil, tapi seketika menjadi tumpul saat dihadapkan pada pencuri uang negara seperti Gayus dan gerombolannya. Substansi hukum yang sebenarnya bermuara pada keadilan kini berpindah haluan menjadi pembela yang punya uang atau menjadikan uang adalah panglima. Rakyat kecil tidak punya hak apa-apa di mata hukum. Inikah cermin negara hukum yang diagung-agungkan?

Bila hukum hanya membela yang punya uang,  bagaimana nasib rakyat kecil negeri? Memang tak semua penegak hukum di negeri ini bobrok. Masih ada pendekar-pendekar hukum sejati yang berbuat atas nama hukum dan keadilan. Merekalah pilar sesungguhnya dari negara yang menjadikan hukum sebagai panglima.

Institusi-institusi penegak hukum di negeri ini sudah selayaknya introspeksi diri. Reformasi penegak hukum yang selama ini didengungkan, sudah saatnya dilaksanakan secara konsekwen. Oknum-oknum nakal yang rela menggadai harga diri hukum bangsanya dengan sejumlah uang mesti segera dilenyapkan.

Pembersihan oknum nakal penting untuk mewujudkan institusi penegak hukum yang bersih dari praktik mafia yang selama ini banyak terjadi. Penting untuk mewujudkan supremasi hukum yang berasaskan keadilan. Dan, hanya dengan begitu hukum di negeri ini dapat menjadi panglima yang berdiri di atas kebenaran dan keadilan.


Sumber: media.hariantabengan.com

Ketika Hukum Dipermainkan




Buruknya supremasi hukum di negeri ini mengindikasikan ada yang salah dengan perangkat-perangkat penegaknya. Dalam penegakan hukum, dikenal istilah caturwangsa, yakni empat pilar penegak hukum yang terdiri dari polisi, hakim, jaksa, dan pengacara.

Empat pilar ini bertanggung jawab penuh atas penegakan hukum dan menjadikan hukum sebagai panglima di negeri ini. Bila empat pilar atau salah satu dari mereka bobrok, maka penegakan hukum di Indonesia bisa dibilang tak akan berjalan secara maksimal. Maraknya mafia hukum adalah bukti bila penegakan hukum di negeri ini masih jauh dari kata sempurna. Mafia hukum tidak akan ada bila para penegak hukumnya menjalankan tugas sebagaimana mestinya.

Kasus mafia pajak yang menimpa Gayus Tambunan adalah salah satu contoh begitu bobroknya moral penegak hukum di negeri. Dan kasus Gayus bisa dijadikan bukti bila virus mafia hukum sudah menyebar ke mana-mana. Empat pilar penegak hukum di negeri ini yang seharusnya menjadi penjaga kewibawaan hukum malah rela menukar harga diri mereka demi sejumlah uang. Sepak terjang Gayus dalam mempermainkan hukum di negeri ini tak berhenti di masalah pajak saja. Dengan gampang Gayus bisa keluar tahanan bahkan ditengarai berada di Bali menonton pertandingan tenis.

Sungguh ironis dan menyedihkan, begitu gampangnya aparat penegak hukum negeri ini diatur oleh orang seperti Gayus. Saat Gayus dengan enaknya mempermainkan hukum negeri ini, di sisi lain banyak masyarakat yang mengalami ketidakadilan hukum. Hukum di negeri hanya tajam saat mengurusi orang kecil, tapi seketika menjadi tumpul ketika dihadapkan pada pencuri uang negara seperti Gayus dan gerombolannya. Substansi hukum yang sebenarnya bermuara pada keadilan kini berpindah haluan menjadi pembela yang punya uang.

Sedangkan rakyat kecil tak punya hak apa-apa di mata hukum. Inikah cermin negara hukum (rechstaat) yang diagung-agungkan? Bila hukum hanya membela yang punya uang, maka bagaimana nasib rakyat kecil negeri ini yang “dimiskinkan” oleh keadaan? Memang tak semua penegak hukum di negeri ini bobrok. Masih ada pendekar-pendekar hukum sejati yang berbuat atas nama hukum dan keadilan. Merekalah pilar sesungguhnya dari negara yang menjadikan hukum sebagai panglima.

Institusi-institusi penegak hukum di negeri ini sudah selayaknya berintrospeksi diri. Reformasi penegak hukum yang selama ini didengungkan, sudah saatnya dilakukan. Oknum-oknum nakal yang rela menggadai harga diri hukum bangsanya dengan sejumlah uang mesti segera dilenyapkan. Pembersihan oknum nakal ini penting dilakukan untuk mewujudkan institusi penegak hukum yang bersih dari praktik mafia yang selama ini banyak terjadi.

Karena, bila institusi penegak hukumnya bersih, mewujudkan supremasi hukum yang berasaskan keadilan akan mudah dilakukan. Dan tentunya hukum di negeri ini akan benar-benar menjadi panglima yang berdiri di atas kebenaran dan keadilan.

Saiful Bahri
Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta 


Sumber: kampus.okezone.com

Kajian Fenomologi Kasus Gayus dan Sumiati



Written by Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si   

“Stop Segera TKI ke Arab Saudi”, begitu bunyi headline Kompas, 20 November 2010. Tulisan itu berangkat dari fakta bahwa kasus demi kasus kekerasan yang menimpa para tenaga kerja Indonesia di luar negeri terus saja terjadi. Naluri kita sebagai bangsa terusik mendengar dan melihat dari tayangan televisi tentang penderitaan secara fisik dan psikis yang dialami saudara-saudara kita di negeri orang demi sesuap nasi untuk menyambung hidup. Beberapa di antaranya malah ada yang meninggal dunia. Belum lagi yang mengalami pelecehan seksual – sampai ada yang pulang membawa anak tanpa ayah yang jelas. 

Kekerasan demi kekerasan yang menimpa para tenaga kerja di luar negeri sungguh membuat martabat dan harga diri bangsa ini sedemikian rendah. Kasus yang menimpa Sumiati (23), warga Kabupaten Dompu, NTB  baru-baru ini memperpanjang daftar keprihatinan kita yang mendalam. Perlindungan terhadap TKI dari pemerintah, dalam hal ini Kementerian Tenaga Kerja, juga sangat lemah, sehingga setelah ada kejadian pemerintah baru ramai-ramai mengambil langkah penyelesaian. Kesannya pemerintah sangat reaktif dan tidak antisipatif.

Sebagai misal, terakit kasus Sumiati, Presiden segera menggelar Rapat Kabinet khusus untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan mengundang para menteri terkait.  Tetapi akar persoalan mengenai TKI secara keseluruhan tampaknya tidak tersentuh. Karena tidak ada grand design pembangunan ketenagakerjaan, tampaknya kasus demi kasus mirip Sumiati akan terus terjadi. Saya pun bertanya apa permsalahan TKI  yang sudah sekian lama terjadi tidak cukup menjadi pelajaran bagi bangsa ini untuk membangun sistem ketenagakerjaan Indonesia yang lebih bermartabat.

Tulisan ini mencoba mengurai kasus Sumiati dan tenaga kerja Indonesia di luar negeri pada umumnya dengan cara pandang fenomenologi dan menghubungkannya dengan si mafia pajak Gayus Tambunan. Lho apa hubungannya? Pengkaji ilmu sosial mengenal fenomenologi sebagai sebuah perspektif yang sangat handal untuk membaca makna sebuah peristiwa secara komprehensif. Berpikir fenomenologis artinya berpikir analitis dan cerdas untuk mengeksplorasi dan menggali makna di balik sebuah peristiwa  secara utuh. Fenomenologi sediri artinya berpikir tentang fenomena, yang artinya kejadian. Fenomenologi adalah sebuah perspektif sosial yang digagas oleh seorang ahli matematika dan filsuf dari Jerman bernama Edmund Husserl (1859-1938) yang intinya bahwa aneka peristiwa kehidupan (duka, bahagia, malapetaka, pengalaman hidup) semuanya tidak pernah berdiri sendiri. Meminjam istilah Riyanto  (2009: 2-3), “dalam fenomenologi, aneka peristiwa kehidupan tidak terpisah satu sama lain. Tidak ada peristiwa sekecil apapun yang tidak bermakna”.

Sebagai contoh, kemacetan lalu lintas di Porong akibat lumpur Lapindo, kata Riyanto (2009) bukan peristiwa yang sama sekali terpisah dari aneka kasus korupsi di Jakarta. Begitu juga peristiwa seorang ibu di Malang dua tahun lalu yang tega membunuh semua anaknya sebelum akhirnya dia bunuh diri, kasus meninggalnya beberapa orang saat antri berebut pembagian zakat di Pasuruan dua tahun lalu, tragedi Mbah Minah yang dihukum gara-gara mengambil tiga buah kakao, Pritasari yang divonis bersalah karena mengeluhkan pelayanan yang tidak profesional melalui dunia maya dan membayar beberapa juta rupiah kepada Rumah Sakit Internasional, dan penolakan warga sekitar gunung Merapi untuk mengungsi karena memikirkan ternaknya dan berbagai kasus sejenis lainnya, dalam pandangan fenomenologi, bukan peristiwa yang berdiri sendiri. Selalu ada akar permasalahan yang membuka mata kita tentang hamparan derita yang saling terkait.

Menggunakan nalar filsafat fenomenologi, maka bisa dieksplorasi lebih jauh bahwa kasus yang menimpa Sumiati di Saudi dan para tenaga kerja Indonesia lainnya di luar negeri juga bukan peristiwa tunggal yang terpisah dari rentetan peristiwa-peristiwa besar di Tanah Air, seperti kasus korupsi dan mafia pajak yang dilakukan Gayus Tambunan yang merugikan negara miliaran rupiah. Logikanya sederhana. Jika tidak ada orang-orang seperti Gayus Tambunan, Anggodo, mantan Jaksa Urip Tri Gunawan, Ayin, Hamka Yandu, pengemplang dana BLBI, dan skandal Bank Century yang merugikan negara miliaran rupiah dan kasus-kasus sejenis lainnya oleh para koruptor yang sekarang mendekam di penjara,  maka Sumiati dan 4, 5 juta tenaga kerja lainnya tidak perlu lagi bekerja di luar negeri. Sebab, dana yang mereka korupsi mestinya bisa untuk mengembangkan industri yang menampung jutaan tenaga kerja, dan untuk pembangunan sarana dan prasarana publik untuk menghidupkan roda perekonomian rakyat. Sayangnya, dana tersebut hanya dinikmati oleh segelintir orang yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, yang lebih parah lagi korupsi juga mengakibatkan citra negeri ini buruk di mata para investor asing sehingga mereka enggan menanamkan modalnya di Indonesia. Buktinya, Indonesia masih bertengger pada papan atas sebagai salah negara paling korup di dunia.  Akibatnya, lapangan kerja sulit dan pengangguran menggunung karena tidak ada kepercayaan internasional dalam investasi. Korupsi sungguh perbuatan keji dan bisa digolongkan sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa yang pelakunya mestinya bisa dihukum mati, karena merugikan orang banyak. Koruptor adalah penjahat-penjahat kerah putih yang menggerogoti dana negara yang notabene adalah dana masyarakat.

Gayus adalah sekadar contoh seorang aktor jahat yang mencabik-cabik rasa keadilan. Bagaimana tidak. Seorang pegawai rendah di Direktorat Jenderal Pajak yang tugasnya mengumpulkan dana dari wajib pajak dan menjadi dana negara malah main kong kalikong dengan para wajib pajak. Karena ulah Gayus, para wajib pajak bisa melenggang tanpa bayar pajak karena sudah membayar upeti kepada Gayus. Lewat upeti haram yang dikumpulkan seorang Gayus yang pegawai rendahan itu bisa kaya raya dengan sekian banyak rumah mewah, mobil, dan dana simpanan deposito miliaran rupiah. Hebatnya lagi dengan status tahanan, Gayus dengan enaknya bisa keluar dari tahanan untuk menonton pertandingan tenis internasional di Bali. Pertanyaannya, sendirikah Gayus?

Jika fenomenologi dijadikan sebagai alat analisis sebagaimana diurakan di muka, semua aksi Gayus baik korupsinya maupun keluarnya dari tahanan bukan peristiwa tunggal. Tidak mungkin Gayus melakukan  itu semua secara sendirian. Siapa yang melepas Gayus, siapa yang mem-back up Gayus  tatkala main mata dengan para wajib pajak adalah serentetan pertanyaan yang bisa diurai untuk dicari jawabnya jika para aparat penegak hukum memang punya keinginan kuat untuk membongkar kasus Gayus secara tuntas.
Kasus pengadilan atas Mbah Minah yang tidak bisa baca dan tulis sehingga tidak bisa melakukan pembelaan hanya gara-gara masalah yang sangat sepele,  vonis terhadap Pritasari, dan penyiksaan yang menimpa Sumiati di Saudi Arabia juga tidak lepas dari kondisi rapuhnya nilai keadilan dan perlindungan hukum terhadap warga negara. Gayus, Mbah Minah, Pritasari, dan Sumiati sekadar eksemplar dari persoalan bangsa yang  lebih luas dan serius, yakni kerakusan, ketidakadilan, dan kemiskinan. Tampaknya potret suram negeri ini masih akan lama menempel pada wajah bangsa yang banyak dirundung duka ini. Saya tidak tahu bagaimana ketiga masalah tersebut (kerakusan, ketidakadilan, dan kemiskinan) dapat diselesaikan dengan cepat. Sayang, fenomenologi tidak menjangkau  sampai ke solusi terhadap persoalan, tetapi membaca mata rantai munculnya persoalan.

Malang, 20 November 20120

Daftar Bacaan
Orleans, Myron. 2006.  “Phenomenology”,  (in Edgar F. Borgatta and Rhonda J.V. Montgomery, ed.)., Encyclopedia of Sociology. Fifth Edition. New York: Macmillian Rerefence USA.

Riyanto, Armada. 2009. “Politik, Sejarah, Identitas, Postmodernitas: Rivalitas dan Harmonitasnya di Indonesia (sketsa –filosofis- fenomenologis)”, Pidato Pengukuhan Guru Besar, di STFT  Widya Sasana, Malang,  29 November 2009.

Sumber: mudjirahardjo.com