Sabtu, 22 Januari 2011

Penegakan Hukum di Indonesia Meninggalkan Moralitas

Justice for All (geocities.com)


Paradigma hukum di Indonesia memang telah dijalankan, tetapi meninggalkan moralitas, karena hukum yang berjalan saat ini semakin memarjinalkan rakyat.

"Hukum telah diceraikan dari moralitasnya. Hukum yang berjalan saat ini lebih banyak berpihak pada penguasa, pengusaha, dan politisi," kata pengamat hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Prof Sudjito pada seminar refleksi kebangsaan: tinjauan kehidupan berbangsa masa kini dan ke depan, di Yogyakarta, Selasa (29/12).

Ia mengatakan, kondisi hukum di Indonesia akan semakin buram jika masih berkutat dengan penerapan paradigma hukum lama, yakni positivistik. Paradigma itu cenderung sekuler, materialistis, dan mengandung cacat ideologis.

"Rakyat membutuhkan keadilan substansial dan keadilan sosial yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan keadilan dari proses tawar-menawar dan pemberlakuan hukum formal," katanya.

Namun, menurut dia, hal itu diibaratkan "api jauh dari panggangan". "Jadilah penegakan hukum, `yes`, penegakan moral, `no`," katanya.

Meskipun demikian, bangsa ini tetap harus optimistis untuk mewujudkan hukum Indonesia yang lebih baik. Hal itu dilakukan dengan melakukan sebuah lompatan paradigma, dari paradigma lama yang positivistik ke paradigma baru, yakni paradigma holistik.

"Dengan demikian, hukum dapat dijalankan dan ditegakkan dengan baik berdasarkan moralitas," kata Guru Besar Fakultas Hukum UGM itu.

Sementara itu, pengamat ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM Ellan Satriawan mengatakan, pembangunan ekonomi yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan indikator kebendaan lainnya memang akan tumbuh dan berekspansi.

Orientasi pembangunan semacam itu, menurut dia, memang menumbuhkan perekonomian, tetapi juga melahirkan berbagai persoalan pembangunan yang kontraproduktif terhadap pembangunan ekonomi itu sendiri.

"Ketimpangan yang melebar antarkelompok pendapatan, antara desa dan kota, dan antarwilayah merupakan suatu indikasi bahwa pembangunan ekonomi kita masih berorientasi pada pertumbuhan kebendaan, belum sepenuhnya pada manusia," katanya.

Selain itu, pemerintah juga perlu mengawal pembangunan ekonomi dan membina hubungan dengan swasta secara proporsional. Selama ini, peran pemerintah dalam perekonomian sering tidak proporsional dan salah tempat.

Salah satu contohnya adalah sikap pemerintah dalam menghadapi usaha besar cenderung longgar, sementara saat berhadapan dengan usaha kecil dan koperasi, pemerintah terlalu dalam melakukan intervensi.

"Hal itu yang perlu kembali ditegaskan dan selanjutnya menjadikannya roh bagi desain dan implementasi kebijakan ke depan," katanya.

Sumber: primaironline.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar