Jumat, 25 Maret 2011

Pemerintah Ambangkan Kasus Ahmadiyah


http://matanews.com/wp-content/uploads/istana-negara.jpg 

Kendati ada desakan kuat dari masyarakat untuk membubarkan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), pemerintah pusat masih belum melakukan apa pun. Sementara potensi konflik sosial antara umat Islam dan JAI kian besar.

Untuk mengatasi masalah ini, beberapa pemerintah daerah seperti Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten, Provinsi Kalimantan Barat, dan banyak lagi Pemda di bawahnya, mengeluarkan Perda (Peraturan Daerah) dan Pergub (Peraturan Gubernur) yang melarang aktivitas Ahmadiyah di daerahnya.

Perda-perda itu bertujuan melindungi JAI dari amukan massa seperti yang terjadi di Cikuesik, Banten, beberapa waktu lalu, yang mengakibatkan tiga anggota JAI tewas. Dan menenangkan umat Islam yang resah dengan ajaran Ahmadiyah yang menyimpang dari ajaran Islam.

Ahmadiyah mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW, yaitu Mirza Ghulam Ahmad asal India, dan kitab sucinya adalah Tazkirah, yang mereka yakini merupakan kumpulan wahyu yang diterima Mirza dari Tuhan.

Bagaimanapun, tokoh LSM yang bergerak di bidang hukum dan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), menganggap pelarangan, pembubaran, atau membatasi aktivitas Ahmadiyah bertentangan dengan konstitusi dan HAM.

Pandangan ini nampaknya dipegang oleh pemerintah yang takut dikecam oleh komunitas internasional yang kini sedang menyorot masalah ini. Juga untuk menjaga citra Indonesia sebagai negara Muslim paling toleran terhadap pluralitas agama dan kepercayaan.

Terkait dengan sikap LSM bidang hukum dan aktivis HAM yang mendukung eksistensi Ahmadiyah, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Hasyim Muzadi mengatakan, orang yang mendukung penyebaran Ahmadiyah disebabkan mereka tidak merasa memiliki Islam.

Orang Islam tidak mungkin membiarkan saja kalau dalam Islam diangkat nabi baru selain Muhammad SAW. Menurut Hasyim, yang mendukung dibiarkannya penyebaran ajaran Ahmadiyah itu hanyalah Jaringan Islam Liberal (JIL) atau LSM yang mengatasnamakan hak asasi manusia.

Hasyim meminta agar penyebaran ajaran Ahmadiyah harus segera dihentikan agar tidak terus-menerus jadi sumber konflik di masyarakat, termasuk menjadi ajang politisasi pihak-pihak tertentu yang ingin mendompleng isu ini.
Kritik terhadap sekelompok orang yang berkedok HAM dalam membela Ahmadiyah juga disampaikan mantan ketua MPR, Hidayat Nur Wahid. Menurutnya, tidak etis kalau keberagaman selalu disandingkan dengan kebebasan berpendapat. Orang-orang yang membela keberagaman itu selalu berlindung di bawah UUD 1945 pasal 28 A dan E. Padahal, sebenarnya, persoalannya bukan kebebasan beragama, melainkan adanya penistaan terhadap Islam oleh JAI.

Melihat terbelahnya masyarakat dalam isu ini, pemerintah mengambil sikap mengambang. Para pembantunya mengeluarkan pernyataan yang bertentangan satu sama lain. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto menyatakan pemerintah tak bisa melarang sebuah kepercayaan.

Sedangkan mengenai munculnya peraturan-peraturan daerah tentang pelarangan aktivitas JAI, ia mengatakan, aturan-aturan tersebut harus mengacu pada dua landasan, yakni UUD 1945 serta SKB Tiga Menteri.

Di pihak lain, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menilai Pergub No 12 Tahun 2011 tentang Pelarangan Aktivitas Ahmadiyah yang dikeluarkan Gubernur Jawa Barat sudah sesuai dengan konstitusi dan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri.

Gamawan menilai ada tiga fakta yang menunjukkan Pergub Pelarangan Aktivitas JAI adalah turunan dari SKB. Pertama, aspek pembinaan; kedua, pelarangan untuk menyebarkan ajaran Ahmadiyah; dan ketiga, aspek pengawasan.

Sementara Jaksa Agung Muda Intelijen Kejaksaan Agung Edwin Pamimpin Situmorang menegaskan, hasil kajian Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Masyarakat menunjukkan JAI tidak patuh pada SKB Tiga Menteri. Padahal, SKB sudah sesuai dengan peraturan di atasnya, yakni UU No 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.

Jaksa Agung Basrief Arief juga mendukung kepala daerah yang mengeluarkan peraturan pelarangan aktivitas Ahmadiyah. Ia mengatakan, kepala daerah lebih mengetahui situasi keamanan di wilayahnya sehingga mengeluarkan peraturan tersebut. Keluarnya peraturan pelarangan Ahmadiyah di daerah, menurut Basrief, merupakan kewenangan pemerintah daerah untuk menjaga ketertiban masyarakat di wilayahnya.

Kalau Perda-perda pelarangan aktivitas Ahmadiyah saja sudah dianggap konstitusional dan sesuai dengan peraturan di atasnya, yakni UU No 1 PNPS Tahun 1965, tentu lebih mudah bagi pemerintah mengambil keputusan yang konstitusional. Tapi mengapa hal mengapa hal ini tidak dilakukan?

Menghadapi sikap mengambang pemerintah ini, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta agar pemerintah bersikap tegas dalam menyikapi Ahmadiyah. Tanpa ketegasan pemerintah justru dikhawatirkan akan membuat masyarakat berbuat sendiri-sendiri.

Karena itu, Ketua PBNU Slamet Effendy Yusuf menyatakan, pihaknya sepakat terhadap inisiatif sejumlah pemerintah daerah yang mengeluarkan larangan beraktivitas terhadap Ahmadiyah. KH Hasyim Muzadi malah menyatakan pemerintah pusat perlu meniru Pemprov Banten dan Jawa Timur, yang telah melarang aktivitas Ahmadiyah di wilayahnya.

Ketua PB NU Said Aqil Siradj juga mendesak pemerintah untuk bertindak tegas membubarkan Ahmadiyah.
Muzadi menilai, pemerintah masih bersikap maju mundur untuk membubarkan Ahmadiyah. Padahal, Ahmadiyah harus segera dibubarkan. Jangan dibiarkan menggantung seperti sekarang.

Sedangkan Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Jatim, Sudarto Hadi, berpendapat, akibat belum adanya tindakan konkret pemerintah pusat terhadap Ahmadiyah maka daerah mengambil keputusan sendiri di daerahnya masing-masing. Pemerintah seperti lepas tangan, lari dari tanggung jawab.

Apakah sikap tidak jelas pemerintah ini, yang tidak segera membuat aturan yang tegas terhadap aktivitas JAI, tersembunyi agenda politik yang akan dilakukan di kemudian hari? Sepertinya pemerintah sengaja mengambangkan isu ini karena suatu saat Ahmadiyah bisa saja digunakan untuk menutupi isu besar yang menyerang pemerintah.

Seharusnya pemerintah berani mengambil sikap tegas seperti yang dilakukan sejumlah kepala daerah.
Dalam keputusan pasti ada pro dan kontra, tetapi para kepala daerah itu berani mengambil keputusan karena selain mencegah timbulnya keresahan masyarakat yang berujung pada konflik sosial yang tinggal menunggu waktu saja, juga disebabkan para ulama sedunia, termasuk NU dan Muhammdiyah, sudah menegaskan bahwa Ahmadiyah itu sesat.

Untuk menghindari prasangka buruk itu, bahwa pemerintah sengaja mengambil sikap mengambang untuk tujuan lain di kemudian hari dan agar energi bangsa ini tidak terkuras secara tidak produktif dalam polemik kasus Ahmadiyah yang berkepanjangan, pemerintah pusat harus bersikap tegas.

Hanya sikap demikianlah yang segera akan mengakhiri persoalan Ahmadiyah yang sudah begitu banyak menguras energi pemerintah dan pemerintah dapat berkonsentrasi pada penyelesaian masalah-masalah lain yang begitu banyak dan rumit.

Dengan membiarkan masalah ini terus menggantung, konsentrasi pemerintah justru terpecah dan terpeliharanya hubungan tegang antara umat Islam dan JAI, yang sewaktu-waktu dapat meledak lagi menjadi kerusuhan sosial.

Smith Alhadar

Sumber: www.faktapos.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar