Sabtu, 27 November 2010

Puluhan Semburan Muncul Dekat Lumpur Lapindo

 

















Asap yang mengepul dari pusat semburan itu, tak hanya dari pusat semburan saja, melainkan di beberapa titik dekat semburan juga benyak terpantau semburan berasap yang jumlahnya lebih dari satu.

Pertama terpantau ada dua kik semburan, tidak lama kemudian tiga kik. Pada hari berikutnya, juga tampak empat sampai lima titik semburan terpantau juga mengeluarkan asap seperti pusat semburan.

Namun semburan itu tak berlangsung lama, hanya bertahan beberapa jam dan setelah itu tidak terlihat lagi. Humas BPLS Ahmad Zulkarnaen, sifatnya fluktuatif dan pihak BPLS kini sedang mencari tahu munculnya fenomena itu.

"Apakah ada hubungannya aktiftas Bromo atau tidak, masih belum diketahui secara jelas," ujarnya kepada wartawan Sabtu (27/11/2010).

Meski ada fenomena seperti itu, BPLS memperkirakan volume lumpur yang keluar dari pusat semburan masih berkisar mencapai 10 sampai 15 ribu meter kubik perhari. Munculnya fenomena ini juga mengundang perhatian para pegawai tanggul dan juga warga yyang ketepatan melintas diatas tanggul.

Pantauan dilapangan, kini semburan yang muncrat di pusat semburan masih tetap ada satu semburan yang keluar ditengah-tengah kolam lumpur yang luasnya sudah mencapai 620 hektar lebih itu.
Badan Penanggiulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), sampai kini belum bisa menyimpulkan fenomena banyaknya muncul semburan di pusat semburan yang terjadi akhir-akhir ini. 

Bromo Erupsi Lagi, Asap Semakin Tebal

 







































Gunung Bromo mengalami erupsi lagi siang ini disertai dengan kepulan asap hitam mengarah barat daya atau Malang.

Menurut Gede Suantika ketua tim tanggap darurat Kepala Bidang Mitigasi Bencana Geologi PVMBG menyatakan letusan kali ini asap hitam pekat mengarah ke Malang.

"Kami himbau warga di sekitar lereng khususnya Malang menggunakan masker," kata Gde Suantikan, Sabtu (27/11/20010).

Erupsi gunung Bromo masih terus berlajut dan diperkirakan energi yang dikeluarkan gunung Bromo masih tersimpan di perut bumi.

Gunung Bromo Meletus Lagi Sabtu Pagi

Gunung Bromo
Sebagian besar jatuhan material masih di kawah Bromo.

Gunung Bromo Sabtu, 27 November, kembali meletus dengan kepulan abu tebal hitam mencapai ketinggian 600 meter.
Letusan itu terjadi sekitar pukul 05.00 WIB dan terus berlangsung selama beberapa jam.

"Kepulan abu tebal hitam mencapai ketinggai 600 meter dan jatuhan materialnya sebagain besar di kawah Bromo," tutur Ketua Tim Tanggap Darurat Gunung Bromo, Gede Suantika, kepada BBC Indonesia.

Menurut Gede Suantika letusan terbaru ini belum membutuhkan perluasan daerah bahaya yang sudah ditetapkan saat ini, yaitu tiga kilometer.

"Jadi daerah bahaya masih di dalam samudera pasir. Ancaman bahaya belum sampai ke luar radius tiga kilometer."

Ditambahkan bahwa letusan kecil yang berlangsung lama ini juga dilihat sama seperti model letusan pada tahun 2000. Status Gunung Bromo ditingkatkan dari Siaga menjadi Awas sejak Selasa (23/11) pukul 16.30 WIB. Dalam letusan tahun 2004, dua wisatawan asing tewas akibat tertimbun pasir sementara dan lima lainnya cedera.


Pagi Tadi, Gunung Bromo Meletus Lagi

Gunung Bromo Foto Terbaru
 



















Sabtu (27/11/2010) sekitar pukul 05.09 WIB, Gunung Bromo kembali meletus. Dalam letusan dalam skala kecil (minor) ini, Bromo menyeburkan asap tebal abu-abu kehitaman, dengan tekanan sedang dengan ketinggian 600 hingga 700 meter.

Menurut Gede Suantika, Kepala Bidang Mitigasi Bencana Geologi PVMBG, letusan subuh tadi ke arah barat daya, atau ke arah Malang, serta ke Barat atau ke Pasuruan. Dari hasil pengamatan vulkanik, telah terjadi gempa vulkanik dangkal dengan amplitudo 7-36 mm, sebanyak 8 kali dengan lama rentang gempa 10-20 detik.

Serta gempa vulkanik dalam sebanyak  kali, dengan amplitudo 38 mm selama 28 detik. “Letusan masih dalam sekala kecil, tapi tanpa disertai dentuman,” terangnya.

Sementara gempa tremor terus terjadi, dengan amplitudo 2-10 mm. Gunung Bromo juga mengalami deformasi, mengembang dengan jau rata-rata 0,6 mikro radian per hari

Kepulan Asap Bromo Capai 300 Meter

http://static.inilah.com/data/berita/foto/1009102.jpg 


Kendati menunjukkan penurunan aktifitas vulkanik, Gunung Bromo terus mengeluarkan asap tebal.
Pukul 21:51 WIB, Jumat (26/11/2010), kepulan asap putih Bromo mencapai ketinggian 300 meter.

Data itu didapat beritajatim.com dari Pos Pemantauan Gunung Bromo di Cemorolawang, Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jumat tengah malam. "Kita masih belum tahu apakah bakal terjadi letusan susulan atau Bromo tenang dan untuk sementara 'tidur'," kata Mulyono, petugas di Pos Pantau di Cemorolawang, Jumat malam.

Data pada pukul 19:48 sampai 21:51 menunjukkan telah terjadi 8 kali gempa vulkanik, amplitudo maksimal 16-38 mm. Selain itu, terjadi gempa tremor terus-menerus dengan amplitudo 3012 mm. "Memang terjadi penurunan aktifitas vulkanik Bromo. Tapi, kita harus terus waspada," tambah Mulyono.

Pada kepulan asap putih yang keluar dari Bromo mencapai ketinggian 300 meter. Kepulan asap ini berbeda saat Bromo meletus pukul 17:22, Jumat (26/11/2010) sore, yang mengeluarkan asap berwarna coklat kehitam-hitaman.

Status Gunung berapi itu hingga kini masih "Awas!", dan kepada warga lereng gunung dan wisatawan dilarang menaiki gunung hingga ke puncak kawah.

Sumber: inilah.com

Gunung Bromo Meletus

Gunung Bromo Meletus
Gunung Bromo di Probolinggo, Jawa Timur (Jatim) meletus dengan mengeluarkan material vulkanis hingga radius 2 kilometer (km) sekitar bibir kawah, Jumat (26/11) sekitar pukul 17.45 WIB. Letusan ini yang pertama sejak Bromo dinyatakan awas.

Ketua Tim Tanggap Darurat Gunung Bromo Gede Suantika yang dihubungi Media Indonesia mengatakan letusan kecil ini diprediksi sebagai letusan awal dan ada kemungkinan terjadi letusan besar selanjutnya.

Material vulkanis yang teramati dari dampak letusan adalah debu berwarna hitam keabu-abuan dengan tekanan sedang hingga kuat arah barat kawah. Letusan ini tidak pernah terjadi sejak Bromo berstatus awas.

"Gunung Bromo meletus. Letusan kecil atau minor tapi kontinyu menyemburkan material vulkanis debu hitam keabu-abuan, menyerupai cerobong pabrik," tegasnya.

Ia menyatakan kemungkinan akan terjadi letusan besar selanjutnya, sebab gempa tremor sudah mencapai 15 mm. Gempa tremor itu bisa meningkat drastis mencapai 40 mm saat terjadi letusan eksplosif seperti tahun 2000 dan 2004.

Sebelumnya pantauan visual dari pos pantau di Dusun Cemorolawang, Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, menyebutkan gunung setinggi 2.329 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu masih menyemburkan debu vulkanis berwarna putih tebal bertekanan lemah setinggi 150-200 meter dari bibir kawah.

Pantauan kegempaan laporan Jumat (26/11) pukul 00.00-12.00 WIB menyebutkan gempa vulkanik dangkal yang terekam alat seismograf PS-2 sebanyak 69 kali. Sedangkan gempa tremor menerus dengan amplitudo maksimum 3-6 mm. "Status Bromo masih awas. Potensi meletus tetap besar," katanya.

Sumber: mediaindonesia.com

Gunung Bromo Meletus







Sebelum Gunung Bromo meletus pada  Jumat, 26 November 2010 pukul 17.22 WIB kondisinya fluktuatif. Dalam kurun waktu itu belum terlihat tanda erupsi, meski telah terjadi gempa vulkanik dangkal.

Pengamatan dan Pos Pantau Gunung Bromo di Desa Ngadisari, Sukapura, Probolinggo, Jawa Timur memberikan keterangan, sejak pukul 00.00 hingga 12.00 tercatat terjadi 50 kali gempa vulkanik dangkal dengan amplituda 6 milimeter hingga 36 milimeter. Dibarengi dengan terjadinya gempa tremor kisaran 1,5 milimeter hingga 5 milimeter.

Dari catatan pos pantau, gempa vulkanik di Bromo mengalami peningkatan dibanding hari-hari sebelumnya. "Itu, disebabkan karena adanya penyumbatan lubang kawah," kata penjaga pos pantau Achmad Subhan, Jumat 26 November 2010.

Hingga malam ini letusan Gunung Bromo, masih berlangsung. Letusan diiringi hembusan material abu dan asap.

"Hembusannya cukup kuat, dengan kandungan material abu pekat," terang Achmad Subhan kepada
VIVAnews.

Dia mengatakan, kondisi lautan pasir (Kaldera) telah dikosongkan dari berbagai kegiatan. Karena di lautan pasir itulah banyak material jatuh di lokasi tersebut.

"Abu yang terbawa angin bisa mencapai 10 km atau sampai ke Kota Malang," kata Subhan.

Sejak beberapa hari kemarin di radius 3 kilometer atau di areal lautan pasir telah dikosongkan. Sejumlah petugas dari TNI dan Polri tampak melakukan penjagaan. Masyarakat diminta tidak panik menghadapi letusan gunung ini.

Sumber: vivanews.com

Dorojatun: Raja Jawa dan ke-Indonesiaan ‘Yogyakarta’

http://garduopini.files.wordpress.com/2010/03/lambang_yogya1.jpg

Pada waktu kecil Sri Sultan Hamengkubuwono IX (selanjutnya HB IX) bernama raden Mas Dorojatun. Satu hal yang mungkin dipandang tidak biasa, Dorojatun sejak berumur 4 tahun sudah dititipkan pada keluarga Belanda untuk mendapatkan asuhan yang maju. Oleh keluarga Belanda yang mengasuhnya, Dorojatun kecil diperlakukan sebagai anak Belanda dan disebut Henkie. Dalam keluarga itu, Henkie mengenal dan mempraktikkan tata cara hidup orang-orang Belanda.

Setelah tamat Europeese Lagere School (ELS, Sekolah Dasar untuk Anak Eropa), Dorojatun meneruskan pelajaran ke Hogere Burger School (HBS, gabungan SMP dan SMA) di Semarang dan kemudian di Bandung. Lalu pada tahun 1931 berangkat ke Belanda untuk meneruskan pelajaran Gymnasium (setingkat SMA) untuk mempersiapkan diri memasuki Rijkuniversiteit di Leiden, mengambil jurusan Indologi (Ilmu tentang Indonesia) dan kemudian ekonomi. Ketika menjadi jelas Perang Dunia II akan pecah sementara ayahnya, HB VIII, merasa agak kurang sehat, Dorojatun dipanggil pulang pada tahun 1939. HB VIII menyambut kedatangan putranya di Jakarta. Dan menjadi nyata bahwa Dorojatun akan menjadi penggantinya ketika HB VIII memberikan keris Jaka Piturun, salah satu pusaka karaton Yogyakarta kepadanya. Bagi masyarakat Jawa, penyerahan suatu pusaka karaton oleh raja kepada putranya dianggap sebagai mandat, dalam hal itu pengangkatannya sebagai putra mahkota


Pendidikannya dalam sekolah-sekolah modern di Indonesia dan Belanda sangat jelas membentuk kepribadiannya. Sekolah-sekolah itu biasa dianggap sebagai sumber pandangan yang modern. Oleh karena itu, ia memiliki wawasan yang tampak begitu maju meninggalkan wawasan kebanyakan bangsawan, bahkan orang Jawa pada umumnya.


Karena Dorojatun adalah putra raja, maka darah kebangsawanannya tidak diragukan lagi. Ia adalah bangsawan asli dari Kerajaan Yogyakarta. Dalam pandangan banyak orang, kerajaan adalah benteng feodalisme, pusat kekuasaan sosial yang reaksioner. Oleh karena itu, mustahil kalau dari kalangan demikian muncul wawasan modern, yang menyenangi perubahan-perubahan. Mustahil juga kiranya kalau dari kalangan tersebut muncul pandangan yang demokratis apalagi sikap serta jiwa nasionalisme. Selain itu, kerajaan-kerajaan yang masih ada, termasuk Yogyakarta dan Pakualaman, dapat bertahan karena “kebaikan” pemerintah Belanda. Oleh karena itu, kerajaan-kerajaan tersebut pasti dipengaruhi oleh “kebaikan” Belanda. Dengan kata lain, terdapat pandangan umum bahwa kerajaan-kerajaan tersebut sekedar menjadi boneka Belanda. Jadi, adalah suatu kewajaran bila kerajaan-kerajaan tersebut berbaik hati kepada Belanda dan kurang memiliki nasionalisme.

HB IX justru akan muncul sebagai bangsawan yang menjadi kampiun dalam mendobrak pandangan umum tersebut. Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan membahas secara khusus tentang nasionalisme HB IX.

 

Nasionalisme HB IX

Meskipun Dorojatun (nama kecil HB IX) tidak terlihat secara aktif dalam pergerakan kebangsaan, akan tetapi sulitlah dibantah adanya pengaruh wawasan kebangsaan dalam dirinya. Pada waktu ia masih belajar di HBS pastilah ia mengikuti perkembangan pergerakan kebangsaan itu. Demikian juga selama ia belajar di Belanda, sulit untuk dapat mengatakan bahwa ia sama sekali mengabaikan pergerakan kebangsaan, justru karena di Belanda ia bebas bergaul dan belajar. Statusnya sebagai bangsawan  asli mungkin membatasinya untuk aktif dalam politik. Kalau ia aktif tidak mustahil pihak Belanda akan menghambat gerak bebasnya, dan mungkin justru menghalangi perkembangan peranannya dalam masa kemudian. Karena aktifnya Dorojatun, lalu Belanda memvetonya untuk menjadi raja, sebab akhirnya, seperti yang terjadi di kerajaan Surakarta yang menjadi pengganti PB X adalah putra yang bukan pilihannya, melainkan pilihan Belanda. Yang pasti selama di Belanda ia sudah memasang bendera merah putih di mobilnya.

Paham kebansgaannya mencuat segera setelah ia mendapat kepastian dari ayahnya, bahwa dialah calon HB IX. Dalam perundingan dengan Gubernur Yogyakarta ia berusaha untuk tidak semata-mata menjadi objek ketentuan-ketentuan dalam kontrak politik yang harus ia tandatangani.

Sesudah kontrak politik ia tanda tangani, dalam temu wicara tanggal 18 Agustus 1986 ia mengaku belum pernah membaca kontrak politik itu, ia dinobatkan oleh Gubernur Adam menjadi raja Yogyakarta pada tanggal 18 Maret 1940. dalam pidato penobatan itu ada dua hal penting yang memperlihatkan paham kebangsaannya. 
Pertama, adalah kalimat yang berbunyi :”Walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, namun pertama-tama saya adalah dan tetapa dalah orang jawa.” Kedua, adalah ucapanya yang berisi janji perjuangan :”Izinkanlah saya mengakhiri pidato saya ini dengan berjanji, semoga saya dapat bekerja untuk memenuhi kepentingan nusa dan bangsa, sebatas pengetahuan dan kemampuan yang ada pada saya.”

Kutipan-kutipan  itu sepertinya pernyataan biasa saja. Akan tetapi terbukti kemudian bahwa kalimat-kalimat itu penuh makna, yaitu wawasan kebangsaan. Kutipan yang pertama memperlihatkan teguhnya kepribadian, ia tidak kehilangan identitas karena menikmati pendidikan Barat yang sebenarnya.

Kutipan yang kedua mengandung makna tekad perjuangannya untuk nusa dan bangsa. Meskipun dalam kutipan yang pertama HB IX menyebut diri orang Jawa, sedangkan dalam kutipan kedua tidak dengan terang ia menyebut nusa dan bangsa Indonesia, tetapi sulitlah kiranya untuk mengartikan bahwa nasionalisme HB IX adalah nasionalisme sempit, nasionalisme kedaerahan Jawa. Apalagi sejarah kemudian menunjukkan bahwa kejawaannya adalah dalam rangka keindonesiaan: ia adalah orang Jawa yang berkebangsaan Indonesia.

Jiwa kebangsaannya terlihat juga dengan sikapnya yang tegas menolak ajakan Belanda untuk mengungsi ke Australia kalau Jepang menduduki Indonesia. Mengomentari ajakan Belanda untuk mengungsi  HB IX menyatakan:”Apa pun yang terjadi, saya tak akan meninggalkan Yogya. Justru bila bahaya memuncak, saya wajib berada di tempat demi keselamatan karaton dan rakyat”.



Sejarah kemudian membuktikan bahwa HB IX berpegang pada ucapannya. Prinsip sabda pandhita ratu tan kena wola-wali (pendeta dan raja harus memegang teguh ucapan atau janjinya) ia wujudkan. Selama revolusi kemerdekaan ia tetap berada di karaton. Apakah keberadaannya di karaon hanya untuk melindungi karaton? Ternyata tidak. Ia berada di karaton bukan hanya untuk melindungi karaton, tetapi juga rakyat, gerilya dan akhirnya RI.

Ia memang orang Jawa, akan tetapi berjuang untuk negara dan bangsa Indonesia. Ia memang seorang bangsawan, yang sering dianggap feodal, tetapi berjuang untuk rakyat. Ia memang seorang raja, tetapi berjuang untuk republik.

Melalui keikutsertaannya dalam perjuangan, tampaknya ia berpegang pada prinsip sedikit bicara banyak bekerja. Ia tidak memperlihatkan diri sebagai nasionalis, democrat dan sosialis vokal, tetapi yang ia hasilkan, atau yang rakyat, bangsa dan pemerintah RI peroleh jauh melebihi perolehan pemimpin Indonesia lain yang banyak bicara tentang hal-hal itu. Perjuangan HB IX mungkin juga merupakan perwujudan dari suatu ajaran etika Jawa, sepi ing pamrih rame ing gawe (demi kepentingan umum).

Wawasan kebangsaan HB IX juga terlihat dari sikap tegasnya yang mendukung RI dengan sangat konsekuen. Pada tanggal 18 Agustus 1945 ia (bersama Paku Alam VIII) mengirim telegram ucapan selamat atas terselenggaranya proklamasi kemerdekaan kepada Bung Karno dan Bung Hatta. Dua hari kemudian ia (bersama PA VIII juga) mengirim telegram ucapan selamat atas dipilihnya Bung Karno dan Bung Hatta menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI. Dalam telegramnya yang kedua ia menyatakan sanggup berdiri di belakang kepemimpinan mereka.

Pemerintah pusat menghargai sikap tegas HB IX (dan PA VIII). Karena itu sudah sejak 19 Agustus 1945 Presiden Sukarno mengeluarkan Piagam Kedudukan yang berisi penetapan kedudukan HB IX sebagai Kepala Daerah Kerajaan Yogyakarta yang merupakan daerah RI, dengan tugas mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga untuk keselamatan daerah Yogyakarta sebagai bagian RI.

Piagam itu memang baru disampaikan kepadanya pada tanggal 6 September 1945 oleh Menteri Negara Sartono dan A.A. Maramis. Tanggal itu mengikuti Amanat HB IX tertanggal 5 September 1945 yang menyatakan bahwa kerajaan Yogyakarta adalah daerah Istimewa yang merupakan daerah dari RI. Dinyatakan juga bahwa segala kekuasaan dan urusan pemerintahan berada di tangannya dan hubungan Yogyakarta dengan RI bersifat langsung, serta ia bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI.

Mengapa ia menyampaikan pernyataan beberapa kali hanya dalam waktu dua minggu? Pernyataannya tanggal 18 dan 20 Agustus adalah pernyataan yang dikeluarkan secara pribadi, tanpa dukungan rakyat, sedangkan Amanat tanggal 5 September 1945 dikeluarkan setelah mendengarkan pendapat Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta (KNID) yang telah dibentuk pada tanggal 24  Agustus 1945. Dengan Amanat 5 September  1945 pada hakikatnya sudah terjadi jumbuhing kawula (kawula dalem atau rakyat) dan gusti (ngarsa dalem, raja). Telegram dengan bunyi yang sama disampaikan juga pada tanggal yang sama oleh PA VIII (jadi pada tanggal 18 dan 20 Agustus serta 5 September 1945 PA VIII mengeluarkan pernyataan dengan bunyi yang sama dengan yang dikeluarkan HB IX, tetapi secara terpisah).

Kedudukan Yogyakarta sebagai daerah RI akan menjadi lebih kokoh dengan Amanat Bersama HB IX dan PA VIII bertanggal 30 Oktober 1945 menanggapi perkembangan kehidupan kenegaraan RI, terutama setelah dikeluarkannya Maklumat pemerintah No. X (eks) tanggal 16 Oktober 1945 dan perebutan senjata yang berhasil pada tanggal 6/7 Oktober 1945. pernyataan itu berisi pokok kesediaan kerajaan Yogyakarta dan Pakualam untuk menaati UUD-RI, membentuk Badan pekerja KNID sebagai badan perwakilan rakyat dan HB IX dan PA VIII sebagai Kepala Daerah Istimewa. Dalam amanat itu tidak disebut pengaturan status HB IX dan PA VIII, tetapi secara de facto HB IX bertindak sebagai Kepala daerah dan PA VIII sebagai Wakil Kepala daerah. Singkat kata, integrasi demikian itu sungguh memperkokoh status kerajaan Yogyakarta dan Pakualaman sebagai bagian dari RI dan status HB IX dan PA VIII yang secara de facto menjadi Kepala dan Wakil Kepala Daweah Istimewa Yogyakarta.

Wawasan kebangsaan HB IX juga terlihat dari pidato radio yang diucapkan beberapa saat sesudah proklamasi, yang di antaranya berbunyi sebagai berikut :

Proklamasi kemerdekaan ini tidak akan hanya diucapkan dengan kata-katas aja, melainkan akan diwujudkan dengan perbuatan. Perbuatan-perbuatan untuk membuktikan bahwa bangsa Indonesia tidak hanya ingin dan mau, akan tetapi dapat dan tahan memiliki kemerdekaan. Nasib Nusa dan Bangsa adalah di tangan kita, tergantung kepada kita sendiri.
Maka tiada kecualinya kita harus bersedia dan sanggup mengorbankan kepentingan masing-masing untuk kepentingan kita bersama ialah menjaga, memelihara dan membela kemerdekaan Nusa dan Bangsa. Tiap-tiap golongan harus sanggup mengesampingkan kepentingan, sanggup untuk mencapai persatuan yang bulat dan kokoh, sehingga bangsa Indonesia bisa mendapatkan senjata untuk mempertahankan republiknya;  agar dapat mempertanggung jawabkan pada generasi-generasi bangsa Indonesia yang akan datang, dan agar dapat membuat sejarah yang gemilang …..

Bagaimana mungkin HB IX dpat begitu mantap memihak RI? Bagaimana mungkin ia mempunyai wawasan yang begitu tepat? Jelas semua itu dilakukan dengan perhitungan yang tepat karena ia mengikuti perjuangan kemerdekaan. Dan dalam fase terakhir  (finishing touch) lahirnya RI, kerajaan Yogyakarta mengirimkan wakilnya dalam Badan Pertimbangan (Chuo Sangi In) dan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pimpinan Radjiman Wedyodiningrat dan kemudian Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Adapun wakil yang dimaksud adalah B.P.H. Purboyo, kakak HB IX. Dalam BPUPKI duduk pula adik HB IX, B.P.H Bintoro sebagai anggota. Lewat wakilnya, HB IX mengetahui semua perkembangan yang terjadi dalam proses lahirnya RI.

Ambrosius Oky Sumantri
disunting dari G. Moedjanto

Sumber: garduopini.wordpress.com

Soekarno – Hatta: “Dwitunggal Yang Berbeda”

http://garduopini.files.wordpress.com/2010/03/1hatta111.jpg
Oleh:  Ambrosius Oky Sumantri  

Soekarno dan Hatta merupakan dua tokoh besar yang telah meletakkan dasar-dasar pemikirannya bagi bangsa ini. Keduanya bahkan menjadi symbol persatuan bagi rakyat Indonesia. tidak hanya pada masa awal-awal kemerdekaan, namun jauh sebelum bangsa ini mendapatkan kedaulatannya sebagai negara bangsa yang merdeka.

Meski demikian, keduanya (Soekarno-Hatta) merupakan pribadi yang berbeda dan saling bertolak belakang antara prinsip-prinsip dan pemikiran-pemikiran mereka, terutama dalam membaca serta menanggapi persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa ini. Bahkan, perbedaan diantara keduanya mencapai puncaknya dengan pengunduran diri Hatta sebagai Wakil Presiden tahun 1956, bahkan dari segala bentuk macam jabatan pemerintahan.

Benih-benih perbedaan ini tampaknya telah ada sejak bangsa ini berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Polemik antara keduanya kembali muncul pada masa-masa awal demokrasi mulai dipraktikkan di Indonesia, dan terus berlanjut hingga masa-masa selanjutnya ketika Soekarno menjadi pemimpin tunggal bangsa ini. Lalu, apa yang melatarbelakangi polemik antara kedua tokoh ini?


Soekarno-Hatta merupakan peletak dasar bagi bangsa Indonesia melalui pemikiran-pemikiran serta perjuangan mereka. Persoalan-persoalan yang dihadapi kedua bapak bangsa ini terutama mengenai perbedaan prinsip dan pandangan soal bangsa Indonesia. Perbadaan yang telah ada sejak bangsa ini berjuang untuk lepas dari belenggu kolonialisme.

Tulisan ini secara singkat, mencoba menelusuri pemikiran-pemikiran antara Soekarno dan Hatta yang menjadi dasar polemik antara keduanya. Jika mencoba dilihat, pertentangan-pertentangan yang terjadi antara Soekarno dan Hatta sebenarnya telah ada atau dimulai sejak era pergerakan nasional hingga kembali muncul pada era awal kemerdekaan (era demokrasi parlementer hingga era demokrasi terpimpin). Benih-benih polemik atau pertentangan-pertentangan antara Soekarno dan Hatta tidak bisa dilepaskan dengan perjalanan bangsa Indonesia dalam kaitannya dengan usaha bangsa ini membangun dan membentuk pemerintahan yang demokratis. Persoalan politik dan pemerintahan menjadi isu yang paling banyak menumbuhkan polemik di antara keduanya. Keduanya mempunyai cara pandang dan strategi politik yang berbeda tentang bagaimana membangun bangsa ini.


Benih-Benih Polemik dan Perbedaan Pandangan.

Secara garis besar dapat dikatakan, bahwa perbedaan-perbedaan atau pertentangan-pertentangan yang terjadi antara dua bapak bangsa kita (Soekarno-Hatta) lebih ditimbulkan karena keduanya mempunyai perbedaan pandangan yang kerap kali menjadi sumber polemik antara keduanya. Pertentangan kedua tokoh besar ini sangatlah prinsipiil, yakni mengenai dasar-dasar pemikiran, tentang strategi perjuangan pada era pergerakan nasional, dalam memandang soal bentuk negara dan susunan/bentuk pemerintahan, terutama pada masa sistem demokrasi mulai diterapkan di Indonesia (masa demokrasi parlementer sampai masa demokrasi terpimpin). Perbedaan prinsip dan pandangan kedua bapak bangsa ini terhadap bangsa Indonesia sangat mempengaruhi kehidupan bangsa Indonesia sekitar awal-awal kemerdekaan dan era-era 1950-an sampai dengan 1960-an awal, terutama dalam kehidupan bernegara.


“Pasangan bangsa yang lebih dikenal dengan Dwitunggal ini ibarat uang  bermata dua, Dwitunggal tetapi dua sosok yang berbeda.”

Pemikiran-pemikiran keduanya yang mendasar turut mempengaruhi sikap dan karakter keduanya dalam bernegara. Perbedaan diantara keduanya dapat dilihat dari sifat kepemimpinannya masing-masing. Jika Soekarno seorang yang revolusioner, Hatta adalah seorang yang reformis. Soekarno sangat gandrung dengan persatuan, sedangkan Hatta memandang bahwa persatuan hanyalah sebagai alat unruk mencapai cita-cita bangsa. Soekarno menghendaki bentuk negara kesatuan, sedangkan Hatta sangat menginginkan bentuk negara serikat. Soekarno anti dengan model demokrasi parlementer, sedang Hatta adalah seorang pendukung model demokrasi parlementer. Soekarno berpandangan bahwa sistem pemungutan suara (voting) merupakan suatu bentuk tirani mayoritas, namun Hatta menganggap voting merupakan bentuk paling relistis bagi bangsa ini sebagai alat atau jalan untuk mencapai mufakat.
Polemik antara keduanya begitu terasa ketika bangsa ini sedang mencari bentuk yang sesuai soal sistem demokrasi yang akan dijadikan dasar dalam menjalankan pemerintahan. Persoalan politik dan bentuk pemerintahan merupakan wacana yang menjadi sumber polemik di antara kedua bapak bangsa ini. Pertentangan dan perbedaan pandangan antara Soekarno dan Hatta soal pemerintahan dan ide demokrasi menunjukkan betapa berbedanya pemikiran dan prinsip-prinsip dua tokoh ini. Namun, sebenarnya perbedaan antara kedua bapak bangsa ini bahkan telah tampak sejak masa perjuangan, era pergerakan nasional. perbedaan.

Perbedaan pandangan Hatta dengan Soekarno yang pertama muncul sekitar tahun 1930an (antara 1932-1933), ketika dihadapkan dengan bentuk perjuagan bangsa yang cooperativf atau non-cooperatif (co atau non-co) terhadap pemerintah Hindia-Belanda yang ketika itu mulai memberi tekanan terhadap gerakan-gerakan kebangsaan. Hatta maupun Soekarno sebenarnya mempunyai pandangan yang sama soal bentuk dan haluan perjuangan yang harus ditempuh, yakni sikap non-cooperatif. Akan tetapi, yang menjadi sumber polemik adalah ketika Hatta melihat sikap Soekarno dalam praktek politik non-cooperatif yang dilnilai tidak menjalankannya secara konsekuen. Hatta melihat sikap Soekarno yang lunak terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Hindia-Belanda, terutama sikap Soekarno ketika dia dijatuhi hukuman penjara oleh pemerintah kolonial karena tulisan-tulisannya di media massa yang dianggap melawan kebijakan politik non-cooperatif pemerintah Hindia-Belanda, namun Soekarno meminta pengampunan dan minta dibebaskan serta bersedia untuk mengontrol gerakan-gerakan kebangsaan yang semakin besar ketika itu. Hatta menilai bahwa sikap Soekarno tersebut justru menunjukkan sikap perjuangan yang cooperatif dan dinilai dapat melunturkan konsep dan semangat perjuangan bangsa. Bagi Hatta, sikap konsisten dan tegas dalam perjuangan manjadi dasar yang kuat untuk mewujudkan kemerdekaan. Meski harus ditangkap dan keluar-masuk penjara itu bukan persoalan, justru itu merupakan semangat yang harus ada dalam diri jika perjuangan ingin terus berjalan (memang suatu sikap yang ditunjukkan Hatta kemudian ketika di keluar-masuk penjara).

Soekarno menanggapi pandangan Hatta tersebut dengan mengemukakan bahwa menurutnya bentuk non-cooperatif bukan berarti harus bersikap radikal terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial. Menurutnya, sikap seperti yang dilakukannya tersebut justru untuk tetap supaya perjuangan terus berjalan. Pemimpin-pemimpin pergerakan kebangsaan harus lepas dari belenggu penjara kolonial supaya dapat terus melanjutkan perjuangan dengan terus membakar semangat rakyat. Jika kehilangan tokoh-tokoh pemimpin, siapa yang akan melanjutkan perjuangan. Akan tetapi, polemik tersebut dapat segera dihindari oleh kawan-kawan pergerakan supaya tidak menimbulkan perpecahan. Akhirnya, karena keduanya mempunyai tujuan dan kepentingan yang sama, yakni menuju Indonesia merdeka, pertentangan di antara keduanya pun dapat segera dihilangkan.

Meskipun demikian, dengan adanya persoalan tersebut menunjukkan bahwa keduanya mempunyai dasar pemikiran yang berbeda. Dimana dasar pemikiran mereka itu mempengaruhi cara pandang keduanya dalam menghadapi persoalan-persoalan bangsa. Ini dapat menimbulkan adanya benih-benih polemik antara keduanya.


Perbedaan Pandangan Pada Masa Kemerdekaan.

Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa benih polemik itu dapat muncul ketika ada suatu momen atau persoalan politik mendasar yang dihadapi bangsa ini dan menuntut adanya jalan keluar. Setelah merdeka, sifat dan karakter yang dipengaruhi oleh perbedaan dasar pemikiran antara Soekarno dan Hatta kembali muncul.
Polemik ini muncul kembali sekitar tahun 1950-an yakni pada masa berjalannya Demokrasi Parlementer. Sumber polemikny adalah dasar demokrasi dan bentuk pemerintahan yang sesuai bagi Indonesia. Antara Hatta dengan Soekarno mempunyai perbedaan dalam memandang soal ide demokrasi dan bentuk demokrasi yang sesuai dalam kaitannya menjalankan pemerintahan. Keduanya mempunyai cara pandang yang berbeda.

Pemikiran Hatta soal demokrasi lebih mendasarkan pada konsep demokrasi kerakyatan yang mendasarkan ide ini pada kebebasan dan kesempatan bagi rakyat di dalam pemerintahan (kedaulatan rakyat). Dimana pada relita dan prakteknya, sistem parlementer menjadi bentuk yang paling tepat bagi pemerintahan Indonesia mengingat pluralitas serta luasnya kewilayahan Indonesia. Sehingga kepentingan-kepentingan rakyat dapat terakomodasi dan terwakili oleh wakil-wakilnya di dalam parlemen. Namun, Hatta menegaskan bahwa sistem parlementer yang diterapkan berbeda dengan sistem parlementer Barat yang mendasarkan pada liberalisme.

Sedangkan bagi bangsa Indonesia sistem parlementer yang diterapkan mendasarkan pada dasar kehidupanmasyarakat Indonesia itu sendiri, yakni kebiasaan hidup musyawarah yang telah menunjukkan sifat demokratis. Sedangkan Soekarno berpandangan bahwa sistem demokrasi yang sesuai bagi bangsa ini adalah demokrasi yang harus menyatukan segala bentuk macam perbedaan dan menyatukan pandangan tentang Indonesia namun tetap di bawah satu pemimpin yang mampu mengakomodasi kepentingan bangsa. Pemikiran Soekarno ini yang nantinya menciptakan konsepsinya tentang demokrasi terpimpin.

Begitulah pertalian Soekarno dengan Hatta, seolah sebuah siklus. Berawal dari dwi-tunggul, kemudian dwi-tunggal, dan akhirnya menjadi dwi-tanggal. Dwitunggul, karena kedua tokoh besar ini masing-masing telah menjadi pelopor atau mempunyai peran besar dalam perjuangan kelompok nasionalis kebangsaan pada masa pergerakan kebangsaan (menjadi tonggak). Keduanya mempunyai tujuan yang sama, yakni mencapai Indonesia merdeka, namun keduanya mempunyai cara dan pandangan yang berbeda di dalam pencapaiannya sehingga keduanya pun sempat berpolemik (adu ilmu, bahkan pengaruh) bahkan terjadi pertentangan politik. Mereka kemudian menjadi Dwitunggal, dimana keduanya dapat bersatu dan menghilangkan segala perbedaan demi cita-cita bersama, Indonesia merdeka. Bahkan keduanya menjadi simbol persatuan bagi rakyat, tidak hanya di masa-masa perjuangan kemerdekaan tetapi hingga masa awal-awal kemerdekaan.

Tetapi, pada akhirnya keduanya pun berakhir dengan menjadi Dwitanggal, ketika keduanya tidak dapat sepaham lagi dalam banyak persoalan, yang dihadapi bangsa ini pada masa-masa berikutnya, seperti yang terjadi pada masa pergerakan.

Hal ini ditunjukkan dengan sikap keduanya yang kerap kali bersilang pendapat dan bahkan saling mengkritik pemikiran-pemikiran atau ide-ide serta sikap masing-masing. Soekarno memandang Hatta seorang yang suka menonjolkan keilmuannya, terlalu teoritis dan terlalu berpandangan atau berorientasi ke Barat. Hatta balik mengkritik Soekarno dengan mengatakan, tujuan Soekarno selalu baik, namun langkah-langkah yang ditempuh untuk mencapai tujuannya itu seringkali justru menjauhkan dirinya dari tujuannya tersebut. Begitulah keduanya sering saling mengkritik.

Meskipun demikian, kedua bapak bangsa ini telah menorehkan sejarah yang luar biasa bagi bangsa ini. Sejarah telah memberikan pelajaran yang sangat berharga atas pemikiran dan tindakan dari kedua tokoh ini.oleh karena itu, pemikiran-pemikiran kedua tokoh ini perlu dilihat, ditelusuri serta dipelajari kembali sebagai sebuah kajian yang menarik. Sebab, bagaimanapun juga Soekarno dan Hatta telah mewariskan ajaran-ajaran mendasar yang penting dan berguna bagi generasi bangsa ini.

Akan tetapi jika dicermati, timbul satu pertanyaan, mengapa pertentangan atau perbedaan pandangan yang menjadi pembahasan dari penulisan ini. Bukan bermaksud untuk mencari siapa yang lebih benar. Bukan pula untuk justru semakin mempertajam pertentangan atau perbedaan di antara keduanya, apalagi di antara penganut-penganut ajaran-ajaran kedua bapak bangsa ini. Melainkan, penulis berupaya menarik suatu pelajaran dari pertentangan kedua bapak bangsa tersebut, untuk melihat suatu proses dialektika guna menghasilkan sebuah sintesa tentang bagaimana seharusnya membangun bangsa ini.


REFERENSI:
Deliar Noer: Biografi Politik Mohammad Hatta
Rikard Bagun: Bung Hatta
Wawan Tunggul Alam: Demi Bangsaku:Pertentangan Soekarno vs Hatta

Sumber: garduopini.wordpress.com

Hatta Kecipratan Kencing Soekarno

Iwan Kamah - Jakarta


Kalau menyebut Soekarno, pasti mutlak akan menambahkan dengan kata Hatta dibelakangnya. Sebaliknya pun begitu. Keduanya seperti senyawa. “Soul mate”, kata orang menjuluki. Soekarno tanpa Hatta, seperti ban tanpa mobil. Mobil tanpa ban, ya ‘gak ada gunanya juga. Seperti Hatta tanpa Soekarno. Begitu senyawanya hubungan kedua orang itu, hingga menjadi satu individu: SOEKARNO HATTA.


‘Dikenali’ 

Tak banyak diantara kita yang ingin tahu, kapan sebenarnya Mohammad Hatta bertemu Soekarno pertama kali. Mereka diperkenalkan bukan dalam sebuah sekolah/institusi atau ketemu di jalan. Atau pun ngobrol kebetulan lagi antri, sambil tukar kartu nama atau pun saling barter nomor telepon. Mereka bertemu secara maya melalui argumentasi perang kata dalam berbagai tulisan. Meski beda watak dan pembawaan, ekspresi mereka sama: anti penindasan. Bukan kemerdekaan! Lho koq?  Soal ini mereka beda mata angin.

“Pendidikan rakyat dulu, baru merdeka”, pendapat Hatta. “Oh tidak! Merdeka dulu baru pendidikan”, Soekarno ngotot. “Jalan Bung (Hatta) akan tercapai kalau hari kiamat”, tegas Soekarno memberi alasan. Analoginya, kabur dulu dari penjara. Masalah pakai baju atau tidak, mau lari kemana, setelah itu makan apa, itu urusan no. 17. Yang penting, kabur dulu! Merdeka. Keduanya sama-sama benar. Yang salah siapa? Ya kita sekarang! Kenapa nggak mau pinter-pinter meski sudah merdeka dibebaskan Soekarno Hatta sebagai bangsa,



Hatta bertemu pertama kalinya dengan manusia yang bernama Soekarno di Bandung. Dia diantar oleh seorang nasionalis yang juga kawan Soekarno pada tahun 1933. Masa itu mereka lagi getol-getolnya melawan penindasan dengan ketajaman berpikir. Pertemuan itu membuat mereka berada dalam satu perahu, tapi lain pemandangan. Hatta memandang ke kanan, Soekarno ke kiri, tapi perahu tetap ke depan. Ke arah kebebasan bangsa.

Soekarno sangat memerlukan Hatta dan begitu sebaliknya. Waktu pulang dari pembuangan di Bengkulu tahun 1942 (sebelumnya di Flores), tak ada yang menjemput Soekarno di Pasar Ikan, sebuah pelabuhan kapal kayu di Jakarta. Dengan pertolongan seorang nelayan, Soekarno minta dipanggilkan Anwar Tjokroaminoto, yang memang bekas iparnya. Anwar itu saudara kandung Utari, istri pertama Soekarno, yang juga putri dari pejuang Haji Oemar Said Tjokroamninoto (Maia Ahmad Dhani juga cicitnya Oemar Tjokroaminoto, tapi saya ‘gak tahu dari anak Pak Tjokro yang mana). Lalu Soekarno juga minta dipanggilkan Mr. Sartono, pengacara yang pernah membelanya melawan penguasa kolonial di pengadilan yang tak adil di Bandung beberapa tahun lalu. Tapi ada satu orang lagi yang dimohon Soekarno untuk datang menjemput, ya Hatta.
Bahkan ketika Jumat pagi hari tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno yang sedang demam meriang sambil  tidur-tiduran di kamarnya, hanya menunggu Hatta untuk membacakan naskah proklamasi. Untungnya Hatta orang yang super super super disiplin, jadi dia datang tepat waktu. ‘Gak kebayang kalau Hatta molor dan baru datang pukul 1 siang. Alasan ngantuk atau ketiduran misalnya (saat itu bulan puasa dan Hatta pulang pagi abis begadang menyusun naskah proklamasi). Kalo Hatta telat datang, detik-detik bersejarah proklamasi kita mungkin bukan pukul 10, tapi pukul 1 siang, sesuai datangnya Hatta. Begitu pentingnya Hatta bagi Soekarno.




‘Dikencingi’ 

Hari Rabu, 8 Agustus 1945, dr. Soeharto, dokter kesayangan Soekarno, mendapat perintah dari majikannya. “To, besok kita pergi ke luar negeri. Sama Bung Hatta!”, ajak Soekarno. Sang dokter panik dan ketakutan. Hari gini ke luar negeri? Pikir dr. Soeharto yang gundah dengan ajakan yang penuh bahaya, di saat Indonesia masih menjadi teater perang antara Jepang dan Sekutu.

Kemana”, tanya dokter penasaran.

“Rahasia. Pokoknya ke luar negeri”, jawab Soekarno singkat. 

Esoknya, Soekarno, bersama Hatta dan KRT Radjiman Wediodiningrat (saat itu tokoh senior dalam gerakan kemerdekaan), juga dr. Soeharto pergi menemui Marsekal Hisaichi Terauchi, panglima tentara Jepang yang menguasai Asia Tenggara. Mereka berempat ke Dalat, markas Terauchi, di pinggiran kota Saigon (sekarang Ho Chi Minh City), Vietnam, dalam rangka pembentukan sebuah badan yang mempersiapan kemerdekaan.
Tanggal 13 Agustus 1945, mereka kembali ke Jakarta dengan mampir ke Singapura terdahulu, menggunakan sebuah pesawat pembom bermesin ganda. Tanpa kursi. Tanpa toilet. Yang ada cuma kursi untuk tiga orang di belakang pilot. Dinding pesawat pun bolong-bolong bekas terkena peluru tentara Sekutu, sehingga bisa membekukan orang bila sedang di udara.

Nah, dalam perjalanan ke Singapura itu, Soekarno kebelet mau pipis. Wah, gawat! Gak ada toilet atau apa saja dech yang bisa dijadikan “toilet darurat”. Terpaksa, Soekarno melepas hajat kecilnya yang gak bisa ditahan lagi, dekat lubang yang bolong di bagian belakang pesawat. Angin pun sedang bertiup kencang di atas ketinggian udara. Byuuuur… air seni Soekarno nyiprat kemana-mana, dan butir-butiran halus air seni itu tampias terkena tiupan angin kencang yang mengenai Hatta dan penumpang lain.


‘Dinikahkan’ 

Kalau saja Hatta itu perempuan atau sebaliknya Soekarno seorang perempuan, mungkin mereka berpacaran dan menikah. Sebuah perumpamaan untuk melukiskan hubungan yang mesra seirama tapi tetap berbeda. Ya beda, dua orang yang berasal dari kultur sosial jauh saling berseberangan. Soekarno luwes (kalo mau ‘gak dibilang genit) sama wanita. Hatta sebaliknya, kaku dan bisa merah mukanya bila berhadapan dengan wanita, apalagi yang manis sebaya.




Saking kakunya dengan lawan jenis, Hatta yang tersita pikiran cemerlangnya untuk kebebasan Indonesia, lupa dengan perempuan. Mikirin pacaran intens saja tidak, apalagi berumah tangga. “Nanti saja dech kalau Indonesia sudah merdeka”, kata Hatta kalau ditanya kapan menikah.

Akhirnya Indonesia merdeka juga. Tanda-tanda Hatta mau melirik perempuan belum nampak. Sekitar sebulan setelah dia dan Soekarno memerdekakan Indonesia, Soekarno kepikiran juga dengan partnernya, yang akhirnya bersedia menepati janji kawinnya. Hatta sudah punya incaran gadis, tapi kurang berani untuk melamar.

Pada menjelang tengah malam di kota Bandung yang diselimuti udara dingin, Soekarno kebetulan sedang di kota itu. Jarum jam menunjuk angka 11. Artinya sudah larut untuk ukuran Bandung kala itu. Orang pun sudah siap bermimpi pulas di tempat tidur. Tiba-tiba saja, Soekarno mengajak sahabat karibnya dr. Suharto, untuk pergi ke rumah keluarga Abdul Rahim. Rumahnya kalo sekarang di Jalan Pajajaran no 11.

Malam begini bertamu?”, tanya sang dokter keheranan.

“’Gak apa-apa. Mereka kenalan lama saya sejak dulu”, jawab Soekarno enteng. Dokter Suharto masih penasaran diajak bertamu larut malam. Pasti ganggu tuan rumah, pikirnya Apalagi saat itu tentara Jepang masih berkeliaran yang mencekam warga. Sepertinya ada yang kepepet untuk dibicarakan Soekarno dengan pasutri Abdul Rahim.

“Tentang Bung Hatta”, akhirnya Soekarno menjelaskan alasannya bertamu malam-malam ke rumah orang. Waktu Hatta bersama Soekarno meninjau Instituut Pasteur di Bandung, Hatta kesemsem dengan seorang gadis yang bekerja disitu. Gadis itu setelah diselidiki Soekarno, ternyata anaknya pasutri Abdul Rahim. Namanya Rahmi. “Ya, Hatta memilih anakku sendiri”, ujar Soekarno yang sudah mengental kenal lama orang tua Rahmi.

Begitu Soekarno mengetuk pintu dan berdiri di depan rumah, Ibu Rahim (ibunda Rahmi) segera keluar. Prat! Soekarno didamprat tuan rumah! Iyalah, malam-malam koq ganggu  orang mau tidur, apalagi orang Bandung masih ngeri kalo-kalo yang datang itu tentara Jepang. Maklum, Indonesia baru sebulan merdeka. Jadilah Ibu Abdul Rahim, sebagai warga negara Indonesia pertama yang mendamprat Presiden Republik Indonesia! Kebetulan sekali saya sekantor dengan cicitnya yang cantik dari Ibu Rahim, si “wanita pemberani’ itu.





Setelah memeluk Ibu Rahim, Soekarno menjelaskan kedatangannya. “Saya melamar Rahmi untuk Hatta”, katanya. Akhirnya Soekarno dipersilahkan menemui yang bersangkutan di kamarnya. Soekarno berbincang serius secara singkat dengan Rahmi. Namun sebelum Soekarno masuk ke kamar, adik kandung Rahmi, Titi, mencegahnya. “Jangan mau, dia (Hatta) jauh lebih tua dari kamu”. Hatta beda usia 24 tahun dengan Rahmi. Titi kelak jadi istri Soebijakto, KSAL 1974-1978 dan juga ibunda dari koreografer Jay Soebijakto.

Sebelum pamit, Soekarno memeluk hangat Rahmi dan Titi, dua gadis yang sudah seperti anaknya sendiri.
Bagai kisah HC Andersen, akhirnya Hatta menikahi Rahmi bulan November 1945 di vila Hatta yang sejuk di Megamendung, Jawa Barat, hanya disaksikan keluarga dekat, dan sahabat sejatinya, Bung Karno dan Fatmawati. Nah, untuk pertama kalinya Presiden RI menjadi mat comblang. “Aku adalah satu-satunya kepala negara yang juga menjadi calo dalam mengatur perkawinan”, kata Soekarno yang juga menjodohkan Ir. Rooseno, teman kuliahnya yang mendapat julukan Bapak Beton Indonesia, serta serentetan daftar orang yang ingin menunggu dijodohkannya.


‘Dijauhi’ 

Hatta dan Soekarno seperti koin bermuka ganda. Satu tapi beda. Kenyataan ini sudah diketahui publik dan Soekarno sendiri sering menggembar-gemborkan pertentangan antara mereka. Tapi bukan perbedaan sebagai sahabat dan pribadi. “Hatta sering tidak seirama denganku”, kata Soekarno menilai sahabat kentalnya. Perbedaan dalam pandangan politik itu, kian lama menggunung dan mudah dilihat orang. Hasilnya, Hatta tak mau lagi mendampingi Soekarno menjadi nakhoda Indonesia. Hatta mundur sebagai wakil presiden pada akhir tahun 1956. Padahal meski berbeda, Hatta menyukai Soekarno. Buktinya, ketika ibukota Indonesia pindah ke Jogjakarta, Hatta lebih senang ikut Soekarno dan membiarkan PM Sutan Sjahrir sendirian di Jakarta. Padahal Sjahrir dan Hatta banyak se-ide, bahkan se-kampung.

Sejak Hatta mundur, Soekarno berjalan sendirian. Tak ada lagi orang sebagai “second opinion-nya” Soekarno.  Dan ini secara perlahan mengantarkan Soekarno ke ujung jalan akhir kekuasaannya. Hatta makin menjauhi Soekarno dan menghiasi keretakan itu dengan tulisan dan opini yang kritis pedas kepada sahabatnya. Kritik santun untuk menuntun sahabatnya agar berjalan sesuai idealisme yang pernah mereka bangun bersama. Pernah sebuah majalah keagamaan dilarang terbit Soekarno, karena memuat tulisan Hatta yang mengkritik Soekarno. Sejak itu dwitunggal menjadi dwitanggal. Berakhirlah Dynamic-Duo yang pernah dimiliki Indonesia. Tapi sekali lagi, mereka tidak berpisah sebagai sahabat. Sebagai pribadi mereka tetap berkawan akrab. Dengan sangat elegan, mereka berdua bisa membedakan wilayah pribadi dan wilayah politik. Beda jauuuuh dengan kita sekarang.


‘Dihormati’ 

Begitu hormatnya Soekarno dengan Hatta, dia memerintahkan pengawal kepresidenan untuk tetap menjaga keselamatan keluarga Hatta, meski tidak lagi sebagai wakil presiden. “Jaga Bung Hatta baik-baik”, pesan Soekarno kepada kepala pengawalnya, Mangil Martowidjojom setelah Hatta mundur. 




Bila Hatta sakit, Soekarno sigap membesuknya dan kadang bercengkrama di rumah Hatta di Jalan Diponegoro, yang cuma 25 meter jaraknya dari rel kereta api. Bahkan sering Soekarno pamit dulu ke Hatta, bila ingin berkunjung ke luar negeri. Saling hormat kedua orang ini, menular sampai ke keluarga. Kedua keluarga mereka sudah seperti sedarah, padahal belum ada perkawinan antara anggota keluarga mereka.

Ketika Soekarno sudah tak berdaya, Hatta-lah yang mewakili keluarga Soekarno untuk urusan keluarga, seperti pernikahan. Hatta juga yang membela mati-matian Soekarno yang sudah tiada, bila ada pemutarbalikan sejarah yang sering dilakukan ‘sejarawan pesanan’, yang mencoba ‘membunuh’ atau menghilangkan peran Soekarno dalam drama sejarah Indonesia. Suatu hari, pernah Hatta menulis kesaksian alibi sejarah di atas kertas bermaterai, untuk membela sahabatnya itu. Hatta sosok tegas yang lembut super sopan. “Bung Hatta orangnya tenang tapi menghanyutkan”, komentar Guntur tentang sahabat ayahnya itu.

Julukan yang mereka dapat pun aneh dan unik: PROKLAMATOR. Tidak pernah akan ada orang Indonesia dapat predikat itu. Pahlawan nasional bisa membludak. Presiden dan wakil presiden akan membengkak jumlahnya. Tapi proklamator, hanya punya SOEKARNO dan HATTA (ada juga sich ‘proklamator lain’ di Indonesia, seperti upaya separatis kemerdekaan di beberapa daerah Indonesia).  Lucunya, gelar itu baru diberikan secara resmi oleh pemerintah, 41 tahun setelah Indonesia merdeka. “It’s too late”, kata orang. “Ngapain aja pemerintah semala ini?”, begitu segelintir komentar.


Hatta dan Soekarno ibarat malam dan siang. Beda, Tapi dua-duanya berguna. Kita tak bisa hidup tanpa tidur di malam senyap. Namun tak mungkin pula menjalani seluruh hidup hanya dengan tidur-tiduran di kegelapan hari.

Sebagai sahabat sejati, ada awal bagi Soekarno dan Hatta membangunnya. Tapi persahabatan sejati mereka tidak akan pernah berakhir. Tidak akan pernah! Sampai kapanpun… Mereka SATU. 

________________________________________________________
CATATAN Z : FOTO-FOTO DOK HARIAN KOMPAS DAN GETTY Images
MODERATOR - Penggagas KoKi : ZEVERINA

Sumber: community.kompas.com