Selasa, 04 Januari 2011

Nasib Rakyat Kecil Saat Harga Pangan Melambung

Dikala para politisi di parlemen sibuk berpolemik dan bertengkar membahas kasus Bank Century, yang ujung-ujungnya ingin menjatuhkan menteri, wapres, dan presiden, ada berita yang luput dari perhatian para elit politik padahal masalah ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Tahukah anda bahwa harga beras akhir-akhir ini naik cukup tajam. Satu kg beras kualitas sedang harganya sudah mencapai Rp6500 hingga Rp7000, diperkirakan harganya akan terus meroket. Minggu lalu saya beli beras jenis pandan wangi harganya sudah 170 ribu per 25 kg (biasanya hanya Rp 160 ribu), sementara di kios lain sudah mencapai Rp 180 ribu. Alhamdulillah, saya sendiri masih sanggup membeli beras semahal apapun kenaikannya, tapi bagaimana dengan rakyat miskin yang penghasilannya pas-pasan, yang sehari-harinya hanya punya penghasilan Rp10.000? Dapat apa dengan uang segitu untuk memberi makan keluarganya?

Beras, bagaimanapun sangat penting bagi orang-orang miskin, terutama di desa-desa. Jika orang-orang kaya di kota bisa membeli roti jika mereka bosan makan nasi, tidak demikian halnya dengan orang desa. Satu buah roti yang harganya Rp5000 mungkin hanya untuk dimakan seorang, tapi bagi orang desa uang lima ribu itu bisa membeli satu kg beras untuk makan berempat. Pameo “belum makan sebelum makan nasi” memang benar adanya. Bagi orang-orang desa yang bekerja keras membanting tulang untuk membeli satu cangkir beras, nasi adalah sumber tenaga dahsyat yang tidak tergantikan.

Apa jadinya jika beras mahal dan tidak mampu dibeli? Makan nasi menjadi barang mewah, namun “kreatifitas” (dalam tanda petik) selalu muncul untuk menyiasati hal ini. Apapun dilakukan mereka asal tetap makan nasi. Bagi orang miskin di Jawa, mereka sudah biasa makan nasi aking. Nasi aking adalah sisa nasi yang sudah basi, kemudian dijemur hingga kering, selanjutnya direndam beberapa malam agar lunak, baru kemudian dimasak. Perhatikan gambar seorang nenek yang makan nasi aking dengan cucu-cucunya di bawah ini:



Selain nasi aking, orang desa di Jawa sudah biasa makan nasi tiwul dan nasi jagung. Nasi tiwul adalah nasi yang dicampur dengan gaplek (singkong kering), sedangkan nasi jagung adalah nasi yang dicampur dengan tepung jagung. Biasanya, kalau beras sudah menipis, maka persediaan jagung kering yang ada di loteng rumah terpaksa diturunkan, kemudian biji jagungnya dipipil. Jagung ditumbuk, lalu beras dicampur dengan tepung jagung sebelum kemudian dimasak.

Jika harga beras tidak bisa dikendalikan, maka jangan heran akan muncul masalah sosial yang tidak kalah hebat dengan kasus Bank Century itu. Uang trilyunan rupiah “yang dirampok” Bank Century itu bisa membeli beras berjuta-juta ton untuk membantu orang-orang miskin yang tidak mampu membeli beras.

Sumber: rinaldimunir.wordpress.com

Food For All : Agar Tak Ada Lagi yang Meninggal Kelaparan di Negeri Ini!

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgtGiW8RH-gaYqdpvxoxoUx4M7XlmC7qitRMx0uBw9VfvqhZyPpoPBDGkPoL9jX6v-S_2ABDYIeDcP2OU9RZC5RZeK1A0R9SsRVAVc3KxifbbxkLUev0kVdFir-RswnEx-Ghy9dsYyADv2V/s1600/makan+tiwul.jpg



Seperti biasa setiap pagi saya membaca beberapa media sebelum mulai menulis untuk situs ini. Kadang berita-beritanya menjadi inspirasi untuk tulisan-tulisan di situs ini, kadang juga tidak ada yang bisa menjadi inspirasi. Khusus untuk pagi ini saya merangkai tiga berita dari dua surat kabar yaitu Republika dan Kompas, yang kalau dibaca satu per satu kelihatannya tidak nyambung – tetapi bila di cerna ketiganya sekaligus  dan dilihat dengan timbangan yang adil – baru kita akan bisa melihat adanya sesuatu yang menjadi tanggung jawab kita semua untuk memperbaikinya.

Judul berita berita tersebut adalah “Angka Kemiskinan Turun” (Headline, Republika 04/01/11) ; “Makan Tiwul, Enam Bersaudara Tewas” (Hal 11, Republika 04/01/11) dan “Harga Cabai Ikut Tekan Daya Beli” (Headline, Kompas 04/01/11). Jujur saya sampai merinding membaca berita pertama dan kedua tersebut pagi ini.

Di kala pemerintah melalui Menko Perekonomian mengklaim keberhasilan menurunkan jumlah penduduk miskin dari 14.1 % ke 13.3%, di negeri yang sama ada 6 orang bersaudara tidak mampu membeli beras. Karena ketidak mampuan ini, mereka harus makan tiwul – dan tiwul yang dimakan-pun bisa jadi bukan dari yang layak konsumsi sehingga merenggut jiwa-jiwa mereka.

Yah mungkin meninggalnya 6 orang karena makan tiwul beracun ini memang kecelakaan – dan pihak keluarga-pun tidak bisa menuntut siapa-siapa atas musibah yang dideritanya, tetapi tetap membuat saya merinding – mengapa?. Bahwasanya sampai ada 6 orang meninggal karena tidak bisa makan secara wajar, ada fardhu kifayah yang saya takut kita semua melalaikannya yaitu perintah untuk memberi makan. Saya takut kita semua termasuk orang-orang yang melalaikan agama karena kita tidak mendorong orang lain untuk memberi makan orang miskin.

Bila di Chile saja, Presiden-nya sampai ikut berjibaku memimpin langsung upaya penyelamatan satu demi satu sampai seluruh 33 jiwa yang terjebak di reruntuhan tambang bisa diselamatkan – at all cost !; mosok di negeri gemah ripah loh jinawi yang mayoritas menganut agama Islam – dimana di ajaran agama ini ada perintah langsung untuk memberi makan – kita sampai membiarkan ada 6 jiwa meninggal hanya karena tidak mampu membeli beras ?.

Lantas apa yang bisa kita lakukan ?, pemimpin-pemimpin negeri ini tentu memiliki tanggung jawab lebih.  Namun kita semua juga tidak bisa berlepas diri dari perintah Al-Qur’an dalam konteks memberi makan ini, perintah tersebut adalah untuk kita semua – bukan hanya untuk para pemimpin.

Konkritnya apa yang bisa kita lakukan ?. Dalam skala mikro, masing-masing kita bisa mulai mendata orang-orang disekitar kita, mulai karib kerabat, tetangga dan seterusnya.  Kemudian kita santuni mereka bila diantara mereka ada yang berpotensi kelaparan, bahkan akan lebih elegan lagi bila kita bisa memberikan atau mencarikan mereka pekerjaan – agar mereka bisa memberi nafkah untuk dirinya sendiri dan keluarganya secara berkelanjutan.

Bagaimana bila kita sendiri tidak bisa menyantuni, maka kita harus menyuruh orang lain yang mampu untuk menyantuni mereka – ini perintah di QS 107: 3. Gerakan individual satu persatu semacam ini mungkin kurang efektif, tetapi setidaknya kita mulai berbuat sesuatu sebelum ada korban lagi.

Gerakan yang bersifat terorganisir secara massal juga perlu kita lakukan, bagi yang punya kompetensi untuk memimpin LSM, mendesign dan membuat gerakan massal yang positif  dengan tema “Food For All – Pangan Untuk Semua” silahkan Anda gagas gerakan ini, insyaallah kami akan mendukung dengan menyediakan sarana dan prasarana seperti kantor, komunikasi, transportasi dlsb. Bagi yang berminat silahkan mengajukan proposal yang menyangkut program dan team-nya.

Selain yang bersifat gerakan individu dan masyarakat melalui LSM, program yang sifatnya strategis kedepan juga perlu digagas dan terus dikomunikasikan kepada para pihak yang berwenang di negeri ini. Akar masalah dari kemiskinan sampai orang tidak bisa makan secara proper harus bisa ditemukan dan diatasi.

Pengamatan saya yang sementara berdasarkan data yang disajikan oleh Kompas dalam berita tersebut diatas, yang kemudian saya lengkapi dengan sumber data aslinya (BPS) memang menunjukkan adanya sesuatu yang salah di negeri ini. Pangan yang seharusnya menjadi prioritas utama (top priority) dalam pengadaannya, seolah justru menjadi prioritas terakhir.

Hal ini bisa dibaca dari tingkat inflasi pangan yang tertinggi dibandingkan dengan komoditi lainnya. Ketika inflasi tahun 2010 secara umum dikatakan ‘hanya’ 6.96% , inflasi bahan pangan mencapai 15.64 % !. Bahkan selama 5 tahun terakhir dapat dilihat pada grafik dibawah , inflasi bahan pangan (garis merah) selalu lebih tinggi dari inflasi pada umumnya (garis hijau). Rata-rata inflasi bahan pangan 5 tahun terakhir mencapai 12%, sementara inflasi umum  ‘hanya’ 6.8%. Karena harga bahan pangan yang begitu tinggi kenaikannya tersebut diataslah yang menyebabkan enam orang meninggal karena tidak mampu membelinya.

Inflasi 2006-2010Sumber Data : Biro Pusat Statistik
 
Dalam teori harga yang terbentuk di pasar, bila supply lebih kecil dari demand – maka harga naik. Sedangkan demand tidak bisa banyak ditekan karena terkait dengan kebutuhan dasar penduduk negeri ini, maka supply bahan pangan yang terjangkau di dalam negeri harus digenjot. Yang terjadi kini nampaknya masih sebaliknya. Berdasarkan teori supply and demand tersebut, ironi akan nampak jelas karena pangan mengalami inflasi tertinggi (12 % rata-rata 5 tahun) sedangkan urusan transportasi telekomunikasi dan sejenisnya mengalami inflasi terendah (1.8% rata-rata 5 tahun) – maka tidak salah bila kita mengambil kesimpulan bahwa supply mobil, motor, handphone dlsb. nampaknya lebih banyak digenjot ketimbang memproduksi beras.

Jadi berdasarkan grafik tersebut diatas, siapapun pemimpin negeri ini mestinya harus ada effort yang luar biasa dalam membalik arah dan mulai  membangun ketersediaan bahan pangan yang cukup di negeri ini. Fokus di bahan pangan ini sekali lagi harus ada di Top Priority – karena ini diperintahkan langsung di Al-Qur’an – sebaliknya insyaAllah kita tidak berdosa bila ada penduduk negeri ini yang tidak memiliki mobil, motor, handphone dlsb.

Mudah-mudahan tulisan ini dapat meringankan tanggung jawab kita di akhirat nanti karena setidaknya kita telah ‘menyuruh’ orang lain untuk memberi makan, lebih dari itu kita juga ingin berbuat maksimal secara riil dengan gerakan ‘food for all’ – Ayo siapa yang mau dan mampu memimpin project amal ini ? – saya siap makmum di belakang Anda. InsyaAllah.

Oleh Muhaimin Iqbal   
Sumber: geraidinar.com

Bisnis Kemiskinan yang Menjanjikan

Sangat mengejutkan, jika kita melihat angka kemiskinan negara Indonesia tahun 2009 yang mencapai angka 33, 7 juta jiwa. Menurut perhitungan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) angka itu dapat terjadi jika ekonomi cuma tumbuh 4,5% dan inflasi lari sampai 9%. Meski angka ini dibandingkan dengan tahun 2008 tidak jauh berbeda yakni 34, 96 juta jiwa1.

Sebenarnya persoalan pengentasan kemiskinan merupakan cerita klasik yang dihadapi setiap negara, tidak terkecuali dengan Indonesia. Kemiskinan merupakan persoalan yang sangat kompleks dan sulit ditemukan benang merahnya meski generasi kepemimpinana telah berganti beberapa kali. Sangat mudah menemukan wajah kemiskinan di negeri yang konon memiliki hasil pribumi melimpah ruah. Di sudut ibu kota (Jakarta) ratusan bahkan ribuan warga miskin berjuang hidup ditengah kemegahan ibukota. Kolong jembatan, pinggir kali hingga emperan sebuah ruko merupakan tempat strategis untuk bisa menemukan mereka.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi-tshBZ20bi0utdMGafaOOPh0tNTn-PSebKLNcFs4itVNuHt4wBeKueP28iTOPK5O_-l9xic0hCJVELvfeP4GaNB_nhvEeTbZwNbmjq8Z_V_jIPGM_wa4AhR9b2h3lMSocgzBXCr-IeyfR/s400/Penggusuran+di+Jkt.JPG
Wajah kemiskinan ini justru semakin terlihat dengan adanya program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dikucurkan oleh pemerintah selama kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Ribuan orang tiba-tiba muncul sebagai keluarga yang tidak mampu (miskin) dengan harapan tercatat sebagai penerima bantuan langsung tunai yang dianggarkan tiap orang mendapatkan dana kucuran Rp. 300.000. Belum cukup sampai disitu, potret warga miskin justru akan terlihat dengan adanya proses kampanye yang dilakukan puluhan calon wakil rakyat yang akan melangkah ke kursi pemerintahan.

Potret kemiskinan dinegeri ini ternyata tidak hanya sebatas pada elit politik yang menjadi kemiskianan menjadi obyek, namun kemiskinan ini juga dilirik oleh produsen media massa sebagai seni yang menarik untuk dikaryakan di televisi. Pemilik media, mencoba mewujudkan adanya nilai seni dengan citra tinggi di balik rendahnya selera hidup orang-orang miskin. Akhirnya satu persatu program berbau kemiskinan dikemas oleh produsen media sedemikan rupa dengan harapan mampu meningkatkan rating. Belakangan, lahirlah acara yang berseliweran di televisi saat ini seperti ‘Minta Tolong’, ‘Bedah Rumah’, ‘Duit Kaget’, dan ‘Dibayar Lunas’ yang ditayangkan oleh RCTI, ‘Tukar Nasib’ dan ‘Pemberian Misterius’ di Stasiun SCTV, atau ‘Tangan di Atas’ dan ‘Jika Aku Menjadi’ yang tayang di Trans TV.

Acara-acara tersebut, umumnya menampilkan kehidupan orang-orang miskin. Harapannya dapat memancig rasa iba hingga tetesan airmata para penonton televisi. Meski ada juga acara yang sekedar menampilkan bagaimana bila si miskin ini “dikerjai”. Dalam sebuah acara, misalnya (uang kaget) orang miskin diberi uang jutaan rupiah untuk dibelanjankan harus dibelanjakan dalam hitungan menit saja. Saat itu juga, layar kaca pemirsa pun mempertontonkan wajah berkeringat dan tangan gemetaran si miskin saat memiliki setumpuk uang yang mesti dihabiskannya dalam hitungan waktu yang sesingkat-singkatnya pula. Dan situasi inilah yang menjadi hiburan tersendiri dan tidak menutup kemungkinanan penononton bisa sambil tertawa saat melihatnya.

Tontonan semacam itu (reality show) semakin menarik perhatian dengan permainan gambar yang diambil camera person, seperti rekaman kegaduhan atau keramaian disekitarnya, raut muka-mimik muka yang diambil secara dekat (close-up) dengan guratan-guratan muka, bibir yang gemetata dan matanya yang nanar ketika setumpuk uang diberikan kepadanya dan harus dibelanjakan barang apapun dengan waktu yang telah ditentukan. Tayangan tersebut dalam pandangan penulis bukan tidak ada yang positif, namun posisinya menyedihkan karena orang miskin kerap menjadi objek. Televisi sebagai media massa yang dianggap paling sempurna diantara media massa lain menjadikan kemiskinan sebagai obyek yang bisa dijual kepada khalayak bahkan pada awal-awal program semacam ini muncul mampu menaikkan rating. Tidak ada yang tahu, maksud dalam pembuat program reality show kemiskinan seperti saat ini namun yang bisa dilihat adalah program acara ini mampu mendatangkan keuntungan berlipat-lipat bagi pemilik media. Iklan yang masuk disela-sela acara reality show inilah yang membawa keuntungan yang menggiurkan bagi pemilik media.
Jika pemerintah tengah berupaya mencari penyelesaian untuk membantu mengurangi angka kemiskinan, namun televisi menjadikan kemiskinan melakukan proses transformasi barang dan jasa dari nilai gunanya menjadi komoditas yang berorientasi pada nilai tukarnya dipasar. Contoh diatas, merupakan salah satu betapa persoslan kemiskiaan sekalipun mampu menjadi obyek para pemeliki media untuk bisa menghasilkan keuntungan. Program acara reality show ‘kemiskinan’ hingga saat ini masih menduduki rangking tertinggi untuk dijadikan komoditas segala kepentingan individu. Dari suatu potret tentang kemiskinan timbul berbagai macam hal yang mampu menarik perhatian masyarakat mulai dari kelucuan-kelucuannya, simpati, perenungan hingga keuntungan yang lebih bersifat materi dan popularitas.


Televisi Dalam Bingkai Komodifikasi

Persoalan kemiskinan yang diangakat dalam kotak ajaib (televisi) merupakan salah sebuah bentuk komodifikasi yang mendominasi program acara televisi di negeri ini. Komodifikasi disini dapat diasumsikan proses transformasi barang dan jasa dari nilai gunanya menjadi komoditas yang berorientasi pada nilai tukarnya di pasar. Proses transformasi dari nilai guna menjadi nilai tukar, dalam media massa selalu melibatkan para awak media, khalayak pembaca, pasar, dan negara apabila masing-masing di antaranya mempunyai kepentingan (Mosco, 1996). Nilai tambah produksi berita akan sangat ditentukan oleh kemampuan berita tersebut memenuhi kebutuhan sosial dan individual

Menurut perbendaharaan kata dalam istilah Marxist komodifikasi adalah suatu bentuk transformasi dari hubungan, yang awalnya terbebas dari hal-hal yang sifatnya diperdagangkan, menjadi hubungan yang sifatnya komersil. (http://www.marxists.org/glossary/terms/c/o.htm). Dalam artian bahwa hubungan sosial ter-reduksi menjadi hubungan pertukaran. Komodifikasi (commodification); juga merupakan istilah yang hanya ada dalam konsep jual-beli di tahun 1977, namun mengekspresikan konsep fundamental atas penjelasan Karl Marx tentang bagaimana kapitalisme terbangun.

Komodifikasi ini merupakan salah satu cara yang bisa melakukakan pendekatan atau pintu masuk mempelajari media massa dalam pendekatan ekonomi politik. Menurut Mosco (1996), pengertian ekonomi politik bisa dibedakan dalam pengertian sempit dan luas. Dalam pengertian sempit berarti kajian relasi sosial, khususnya relasi kekuasaan, yang bersama-sama membentuk produksi, distribusi dan konsumsi sumber daya termasuk sumber daya komunikasi. Dalam pengertian luas kajian mengenai kontrol dan pertahanan kehidupan sosial. Selain komodifikasi ada 2 dua aspek yang bisa dilakukan untuk melakukan pendekatan seperti spasialisasi (spatialization); dan strukturasi. strukturasi (structuration).

Sebenaranya banyak cara untuk menentukkan bentuk komodifikasi di media massa. Iklan yang ada ditelevisi merupakan bentuk komoditas lainnya. Penenulis mengambil contoh iklan yang menempatkan komoditas ke dalam hubungan keluarga (versi televisi) yakni teh sariwangi yang menggambarkan bahwa hangatnya teh sariwangi sehangat keluarga. Hal ini menggantikan konsep nilai tukar dalam komodifikasi tadi, menjadi representasi dari moment kasih sayang dalam keluarga.

Ketika periklanan menggerakkan kekuatan dari komoditas untuk mempertinggi hubungan, sebaliknya periklanan sendiri menyembunyikan proses produksi dengan meniadakannya, membuatnya menjadi abstrak, atau menyisipkan estetika di dalamnya. Sebagai khalayak, kita hanya tahu tampilan luar dari suatu komoditas dalam sebuah iklan, tanpa pernah tahu bagaimana komoditas itu diproduksi.

Seperti dicontohkan diatas, industri media yang dibangun dengan semangat kapitalisme tentu akan menghasilkan pesan atau produk media yang berorientasi pada bertambahnya modal. Bukti untuk produk media berorientasi modal adalah banyaknya iklan komersial dan besarnya pengaruh iklan dalam penentuan suatu program. Mungkin sebagian besar isi media tidak secara eksplisit menunjukkan keberpihakannya. Tetapi secara halus pesan-pesan kapitalisme yang menuntun pada perilaku konsumtif masyarakat disisipkan melalui tayangan sinetron, acara gosip, kuis berhadiah, polling sms dan lain sebagainya.

Mosco dalam bukunya, The Political Economy Of Communicatin- Rethingking and Renewal menyatakan rumusan tentang politik ekonomi adalah kajian tentang hubungan-hubungan sosial, khususnya hubungan kekuasaan, yang bersama-sama dalam interaksinya menentukan aspek produksi, distribusi, dan konsumsi dari sumber-sumber yang ada. Jika diletakkan dalam lingkup komunikasi khsusnya industri media massa, maka yang dimaksud dengan produksi adalah surat kabar, buku, video, film dan sebagainya. Produk-produk inilah yang menjadi sumber (resources) yang distribusikan dan kemudian dikonsumsi oleh massa. Rangkaian produksi, distribusi, dan komsumsi dalam sebuah industri media ditentukan oleh relasi yang melibatkan pihak pengelola media, pihak pemodal atau kapitalis (penguasa dalam arti ekonomi bisnis) dan negara atau lebih tepatnya pemerintah (penguasa dalam arti politis).

http://matanews.com/wp-content/uploads/potret-kemiskinan-papua1.jpg
 
Perspektif Ekonomi Politik Dalam Bingkai Mosco

Sebenarnya pendekatan ekonomi politik sendiri merupakan bagaian dari disiplin ilmu yang berkembang sejak abad 18 terutama sebagai respon terhadap akeselarasi kapitalis. Ekonomi politik kritis adalah varian studi ekonomi politik yang mencoba bersikap kritis terhadap proses-proses liberal dengan mengedapankan aspek-aspek moral dan etika sosial. Untuk bisa melihat ekonomi politik dalam media, Golding Murdok melakukan dengan pendekatan pada tiga karakter sentral. Pertama, pendekatan ekonomi bersifat holistik.
Holistik disini lebih menekankan pada hubungan antara dinamika sosial, politik dan budaya dalam masyakat serta menghindari kecendrungan untuk mengabstraksi relasitas sosial kedalam toeri ekonomi atau teori politik. Kedua, pendekatan kritis ekonomi politik bersifat historis. Bukan hanya berkaitan dengan fokus perhatian terhadap proses dan dialektik sejarah melainkan secara memadai bagaimana perubahan dan dialektika yang terjadi berkaitan dengan posisi dan peranan media komunikasi dalam sistem kapitalis global. Ketiga, pendekatan kritis eknomi politik bersifat praksis. Pendekatan praksis memadang pengetahuan dalah produk dari interaksi dan dialektika antara teori dan praktik secara terus menurus.

Sementara Mosco dalam bukunya The Political Economy Of Cummunication (1996: 13) merumusan tiga karakter dalam pemahaman eknomi politik yakni realis, inklusif dan kritis. Dalam pemahanam realisme ini dapat dijelaskan pengaruh eknomi politik kritis sangat menghindari ketergantungan ekslusif terhadap teori abstak dan deskrpsi empiris (ekonomi politik dalam hal ini memberikan bobot yang sama terhadap pertimbangan teoritis dan empiris). Sementara inklusif berasal dari kesadaran bahwa kehidupan sosial yang tidak dapat dirangkum kedalam suatu teori. Tidak ada pendaketan yang paling tepat dan paling mendekati ideal dalam studi ekonomi politik komunikasi. Studi ekonomi politik sangat terbuka terhadap perdebatan-perdebatan multi perpektif dan lintas disiplin. Sementara watak atau sifat kritis ekonomi politik mewujud pada kepekaan terhadap berbagai bentuk ketimpangan ketidakadailan. Ekonomi politik memberi perhatian besar terhadap faktor ideologis dan politis yang pengaruhnya bersifat laten terhadap masyrakat.

Moscow juga menjelaskan, usaha untuk memahami proses relasional antara ideologi, media massa dan ekonomi politik media termasuk dalam kategori perspektif ekonomi politik. Vincent Mosco menyebutkan bahwa:
”…Ekonomi politik komunikasi berupaya menjadikan media bukan sebagai pusat perhatian, dengan konsentrasi lebih diarahkan pada kajian mengenai keterkaitannya dengan ekonomi, politik dan faktor-faktor lainnya. Menjadikan media bukan sebagai pusat perhatian berarti memandang sistem komunikasi sebagai terintegrasi dengan proses ekonomi, politik, sosial, dan budaya fundamental dalam masyarakat.”

Sebenarnya, perhatian ekonomi politik diarahkan pada kepemilikan, kontrol serta kekuatan operasional pasar media. Dari titik pandang ini, institusi media massa dianggap sebagai sistem ekonomi yang berhubungan erat dengan sistem politik. Karakter utama pendekatan ekonomi politik adalah produksi media yang ditentukan oleh: pertukaran nilai isi media yang berbagai macam di bawah kondisi tekanan ekspansi pasar dan juga ditentukan kepentingan ekonomi-politik pemilik modal dan pembuat kebijakan media. Berbagai kepentingan tersebut berkaitan dengan kebutuhan untuk memperoleh keuntungan, sebagai akibat dari adanya kecenderungan monopolistis dan proses integrasi, baik secara vertikal maupun horisontal.

Semantara itu secara makro, Peter Golding dan Graham Murdock (dalam Curran dan Gurevitch, 1991:15 – 32) menunjukkan bahwa perspektif ekonomi politik komunikasi massa bisa dibedakan menjadi dua macam paradigma yaitu perspektif ekonomi politik dalam paradigma liberal; dan perspektif ekonomi politik dalam paradigma kritis.

Perspektif ekonomi politik liberal berpusat pada isu proses pertukaran pasar di mana individu sebagai konsumen mempunyai kebebasan untuk memilih komoditas-komoditas yang sedang berkompetisi berdasarkan manfaat dan kepuasan yang ditawarkannya. Semakin besar kekuatan pasar memainkan perannya, semakin besar kebebasan konsumen untuk menentukan pilihannya.

Perspektif ekonomi politik liberal berpusat pada isu proses pertukaran pasar di mana individu sebagai konsumen mempunyai kebebasan untuk memilih komoditas-komoditas yang sedang berkompetisi berdasarkan manfaat dan kepuasan yang ditawarkannya. Semakin besar kekuatan pasar memainkan perannya, semakin besar kebebasan konsumen untuk menentukan pilihannya.

Dalam perspektif ekonomi politik kritis, perspektif ekonomi politik mengikuti Marx untuk memberikan perhatian pada pengorganisasin properti dan produksi pada industri budaya ataupun industri lainnya, bukannya pada proses pertukaran sebagaimana dilakukan liberalisme. Perspektif ini tidak mengabaikan pilihan-pilihan yang dibuat oleh produsen maupun konsumen industri budaya, akan tetapi apa yang dilakukan oleh produsen dan konsumen itu dilihat dalam struktur yang lebih luas lagi.

Golding dan Murdock menempatkan perspektif ekonomi politik media pada paradigma kritis. Golding dan Murdock berpendapat bahwa perspektif ekonomi politik kritis berbeda dengan arus utama dalam ilmu ekonomi dalam hal holisisme, keseimbangan antara usaha kapitalis dengan intervensi publik; dan keterkaitan dengan persoalan-persoalan moralitas seperti masalah keadilan, kesamaan, dan kebaikan publik (public goods).

Analisa ekonomi politik kritis memperhatikan perluasan “dominasi” perusahaan media, baik melalui peningkatan kuantitas dan kualitas produksi budaya yang langsung dilindungi oleh pemilik modal. Tentu saja, ekstensifikasi dominasi media dikontrol melalui dominasi produksi isi media yang sejalan dengan preferensi pemilik modal. Proses komodifikasi media massa memperlihatkan dominasi peran kekuatan pasar (dalam penelitian ini terlihat faktor militer yang menentukan makna dan isi pasar). Proses komodifikasi justru menunjukkan menyempitnya ruang kebebasan bagi para konsumen media untuk memilih dan menyaring informasi.

Dalam konstatasi di atas, maka tidak mengherankan apabila peran media di sini justru menjadi alat legitimasi kepentingan kelas yang memiliki dan mengontrol media melalui produksi kesadaran dan laporan palsu tentang realitas objektif yang sudah bias karena dibutnuk oleh kelompok kepentingan baik secara politik maupun ekonomis. Perjuangan kelas biasanya didasarkan pada antagonisme ekonomi-politik. Posisi dan peran media adalah menutupi dan merepresentasi secara bias dan manipulatif antagonisme tersebut. Ideologi dimanfaatkan untuk menghapus dan mengeliminasi perjuangan kelas. Kontrol atas kelas dibuktikan dengan mencocokkan ideologi yang tersirat dalam pesan media dengan kepentingan kelas yang dominan.

Perspektif ekonomi politik kritis juga menganalisa secara penuh pada campur tangan publik sebagai proses legitimasi melalui ketidaksepakatan publik atas bentuk-bentuk yang harus diambil karena adanya usaha kaum kapitalis mempersempit ruang diskursus publik dan representasi. Dalam konteks ini dapat juga disebut adanya distorsi dan ketidakseimbangan antara masyarakat, pasar dan sistem yang ada.

Sedangkan kriteria-kriteria yang dimiliki oleh analisa ekonomi politik kritis terdiri dari tiga kriteria. Kriteria pertama adalah masyarakat kapitalis menjadi kelompok (kelas) yang mendominasi. Kedua, media dilihat sebagai bagian dari ideologis di mana di dalamnya kelas-kelas dalam masyarakat melakukan pertarungan, walaupun dalam konteks dominasi kelas-kelas tertentu. Kriteria terakhir, profesional media menikmati ilusi otonomi yang disosialisasikan ke dalam norma-norma budaya dominan.

Perspektif ekonomi-politik kritis memiliki tiga varian utama. Ketiga varian tersebut adalah instrumentalisme, kulturalisme, dan strukturalisme. Dalam penelitian ini, varian yang digunakan adalah perspektif instrumentalisme. Perspektif ini memberikan penekanan pada determinisme ekonomi, di mana segala sesuatu pada akhirnya akan dikaitkan secara langsung dengan kekuatan-kekuatan ekonomi. Perspektif ini melihat media sebagai instrumen dari kelas yang mendominasi. Dalam hal ini kapitalis dilihat sebagai pihak yang menggunakan kekuatan ekonominya - untuk kepentingan apapun - dalam sistem pasar komersial untuk memastikan bahwa arus informasi publik sesuai dengan kepentingannya.

Dengan melihat kondisi diatas, revolusi perkembangan teknologi media massa mampu menunjukkan bahwa media massa pada akhirnya mencapai puncak perkembangan sebagai lembaga kunci dalam masyarakat modern. Media massa dapat tampil mempresentasikan diri sebagai ruang publik utama yang mampu menentukan dinamika sosial, politik dan budaya baik dalam lingkup lokal maupun secara global. Media massa yang dinyatakan lahir dari sebuah kapitalis modern ini tidak hanya digunakan sebagai medium untuk mengantarkan pesan antara pengirim dan penerima (komunikan) tetapi dapat berfungsi sebagai alat penundukan dan pemaksaan konsesus oleh kelompok secara ekonomi dan politik dominan. Media massa juga turut menyebarkan atau memperkuat struktur eknomoi politik tertentu selain menjalankan sebuah ideologis tertentu. Melalui kepemilikan dan produk-produk yang disajikan inilah, media menjadi sebuah perangkat ideologis yang melanggengkan dominasi kelas pemodal terhadap publik yang diperlakukan sebagai konsumen semata dan terhadap pemegang kekuasaan untuk memuluskan lahirnya regulasi-regulasi yang pro pasar (Sudibyo: 2004)

Seperti dijelaskan diatas, hadirnya media massa ternyata tidak hanya dimanfaatkan sebagai media penghantar pesan saja tetapi, media massa juga dipergunakan sebagai medium efektif pengiklan utama yang secara signifikan mampu mendorong penjualan produk dan jasa. Bahkan media massa juga mampu menghasilkan surplus dengan menjalankan peran penghubung antara produksi dan konsumsi. Media massa disini, tidak hanya memiliki fungsi sosial dan ekonomi, tetapi juga menjalankan fungsi ideologis sehingga diperlukan berbagai pendekatan tidak hanya dari sisi ekonomi tetapi juga politik atau biasa disebut dengan pendekatan ekonomi politik.

Selain dikemukan diatas, untuk bisa mempelajari dalam ada 2 hal yakni spasialisasi berhubungan dengan proses pengatasan atau paling tepat dikatakan sebagai transformasi batasan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial. Dapat dikatakan juga bahwa spasialisasi merupakan proses perpanjangan institusional media melalui bentuk korporasi dan besarnya badan usaha media (Mosco, 1996). Ukuran badan usaha media dapat bersifat horizontal maupun vertikal. Horizontal artinya bahwa bentuk badan usaha media tersebut adalah bentuk-bentuk konglomerasi, monopoli. Proses spasialisasi yang bersifat vertikal adalah proses integrasi antara induk perusahaan dan anak perusahaannya yang dilakukan dalam satu garis bisnis untuk memperoleh sinergi, terutama untuk memperoleh kontrol dalam produksi media.

http://mediaamalislami.files.wordpress.com/2010/08/kemiskinan1.jpg 
Semantara, strukturasi berkaitan dengan hubungan antara gagasan agensi, proses sosial dan praktek sosial dalam analisa struktur. Strukturasi merupakan interaksi interdependensi antara agen dengan struktur sosial yang melingkupinya (Mosco, 1996). Strukturasi mengandung tiga dimensi penting diantaranya, pemahaman (interpretation / understanding), yaitu menyatakan cara agen memahami sesuatu; moralitas atau arahan yang tepat, yaitu menyatakan cara bagaimana seharusnya sesuatu itu dilakukan; kekuasaan dalam bertindak, yaitu menyatakan cara agen mencapai suatu keinginan.

Tiga dimensi strukturasi tersebut mempengaruhi tidakan agen. Tindakan agen diperkuat oleh struktur pemahaman, moralitas, dan kekuasaan. Dalam hal ini agen menggunakan aturan-aturan untuk memperkuat tindakannya. Dalam satu kelompok yang telah terbentuk strukturnya, masing-masing individu saling membicarakan satu topik tertentu. Dalam strukturasi, hal ini tidaklah direncanakan dan merupakan konsekuensi yang tidak diharapkan dari perilaku anggota-anggota kelompok. Norma atau aturan yang ada diinterpretasi oleh tiap individu dan menjadi arahan tingkah laku mereka. Kekuatan yang mereka miliki memungkinkan mereka untuk mencapai tujuan dan mempengaruhi tindakan orang lain.


Kesimpulan

Kritikan terhadap acara televisi saat ini adalah tidak adanya siaran yang mendidik. Mulai dari sinetron hingga reality show, meski sedikit yang memberikan nilai pendidikan. Kemiskinan sebenarnya tidak layak dijadikan alat untuk mencari keuntungan segelintir orang, apalagi jika menimbulkan efek pengharapan orang miskin lain yang membuat mereka tidak produktif dan akhirnya bisa mengalami stress karena pengharapan yang tak kunjung datang tersebut. Menikmati siaran yang mengangkat kemiskinan mungkin baik jika hasilnya adalah tumbuh empati dan rasa ingin membantu. Namun jika tidak, tentu tetap tidak perubahaan pada bangsa ini. Kemiskinan kurang pantas dijadikan komoditas mencari keuntungan. Dan menjadi tidak pantas jika hanya sekedar menikmati tanpa timbul rasa empati atau keinginan untuk menolong.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dimungkinkan sekali turut melakukan pengawasan tentang program acara yang di televisi. Selama ini KPI baik yang dipusat atau Daerah dianggap lalai untuk melakukan kritik terhadap media massa yang terlalu berlebihan disuguhkan kepada masyarak tidak hanya kemiskinan tapi juga pada sejumlah program acara yang cukup berlebihan seperti kriminal dan acara pada bulan ramadhan yang terlalu ‘over acting’. Tidak hanya itu, pemilik televisi saat ini juga jauh lebih mementingkan keniakan rating dan keuntungan sebesar-besarnya daripada manfaatkan yang bisa diambil untuk masyrakat. Kepentingan ekonomi masih menjadi prioritas para pemilik media massa.


Noning Verawati, 
akrab dipanggil dengan sapaan Vera, lahir di Lampung, 5 Mei 1986. Lulus S1 pada program Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik tahun 2008 di Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Yogyakarta. Dua (2) tahun terakhir (2008-sekarang) berkarya di Radio UNISI 104.5 FM Yogyakarta. Selain berkarya di Media Massa, penulis juga tengah menyelesaikan pendidikan Pasca Sarjana di UGM Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Daftar Pustaka

Mosco, Vincent. The Political Economy of Communication. Sage Publication:New York, 1996.
Curran, James and Michael Gurevitch. Mass Media and Society . Edward Arnold:London, 1991.
Sudibyo, Agus dkk, Ekonomi Politik Penyiaran, Lkis: Yogyakarta, 2004.


Sumber: kompasiana.com

Siapa Bilang Tiwul Tidak Punya Gizi?

 
















Tiwul bukan menu baru bagi masyarakat Indonesia, khususnya di pulau Jawa. Sudah sejak lama makanan ini dikonsumsi oleh orang Papua, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Lampung. Siapa sangka bila ternyata tiwul yang identik dengan menu pokok marginal itu ternyata memiliki kalori dan gizi yang memenuhi standar untuk dijadikan makanan pengganti beras. Tapi tunggu dulu. Tiwul yang dimaksud tentu bukan tiwul sembarangan, tapi tiwul istimewa.
 
Dikatakan istimewa sebab tiwul itu diolah dengan berbagai bahan campuran full gizi. Bukan air tapi susu segar dicampur dengan telur. Waktu dihidangkan di meja makan pun temannya juga bukan ikan asin, tapi ayam bakar, sop kambing, kadang-kadang ikan bakar.
Tiwul adalah pilihan. Jika terjadi devisit beras, stabilitas dan ketahanan pangan keluarga tak akan terganggu sebab terdapat berbagai makanan pokok alternatif. Itu artinya ketergantungan terhadap padi sebagai bahan pangan pokok perlahan akan berkurang. Substitusi bahan pangan nonpadi yang tersedia secara regional sesuai dengan daya dukung agroekologi dan pranata budaya masyarakat ini, bagaimanapun, tetap memperhatikan kadar gizi makro dan mikro yang tinggi. Jangan sampai karena berganti tiwul, standar gizinya

Sumber kalori potensial nonpadi adalah jagung dan cassava. Produksi jagung domestik lebih rendah dari permintaan sehingga mesti dipenuhi dari jagung impor sekitar 1,5 juta ton per tahunnya. Sedangkan, produksi cassava masih surplus. Dari 100 persen produksi hanya 90 persen yang digunakan untuk pangan, pakan, dan industri.

Dari sisi kandungannya, cassava ternyata punya keunggulan daripada padi. Ia punya lebih banyak kandungan lemak, kalsium, zat besi, vitamin A dan C. Bila tepung cassava dicampur dengan 18 persen tepung kedelai maka tepung komposit tersebut menjadi bahan pangan pokok bergizi tinggi dan lebih lengkap jika dibandingkan dengan padi. Ditambah dengan telur maka lengkaplah tiwul itu memiliki kandungan protein sebesar 29 persen.

Cassava juga punya keunggulan lain yaitu kemampuan tanaman ini beradaptasi dengan lingkungan marginal. Ia juga bisa ditanam di berbagai medan secara lebih merata di seluruh wilayah di negeri ini. Jika dipanen hasilnya bisa mencapai 25 ton per hektare per 9 bulan atau 134 kkal/hari, sedangkan padi sawah dengan asumsi dua kali panen hanya 12 ton per hektare setara dengan 125 kkal/hari. Artinya, dengan pengolahan yang sederhana saja menjadi tepung komposit ubi kayu bisa menjadi bahan pangan bergizi tinggi dan lengkap.

Keunggulan tepung komposit inilah, ternyata, yang menjadi faktor pendorong PT. Bogasari untuk membangun industri tiwul instan di Gunung Kidul, Yogyakarta. Industri ini akan menambah keunggulan cassava sebagai sumber kalori alternatif utama. Oleh karena itu, peran cassava dalam sistem pangan global menuju tahun 2020 menjadi semakin penting. Pernyataan tersebut diperkuat oleh hasil pengumpulan data pola konsumsi penggunaan sumber kalori utama nonpadi di Papua, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Lampung.

Sumber: kadangtani.blogspot.com

Joki Narapidana, Sebuah Kronologis Mafia Hukum Yang Menghebohkan

http://static.republika.co.id/images/100322152305.jpg

Mafia hukum kembali menghebohkan dunia hukum dan peradilan di Indonesia. Ketika seorang “joki narapidana” tertangkap di Lembaga Pemasyarakatan (LP). Modus yang relatif termasuk baru ini menunjukkan bahwa seseorang terpidana dapat bebas hanya membayar 10 juta kepada orang lain untuk menggantikannya masuk penjara

Kebobrokan penegakan hukum di Bojonegoro, Jawa Timur terungkap ketika seorang pengusaha pupuk yang telah divonis penjara dalam dua perkara pupuk masing-masing 3,5 bulan dapat berkeliaran menghirup udara bebas.

Terpidana Kasiyem membayar orang lain untuk menggantikan hukumannya di dalam lembaga permasyarakatan (Lapas) Bojonegoro. Kasiyem pengusaha pupuk asal Desa Kalianyar Kecamatan Kapas seharusnya mendekam di Lapas Kelas IIA Bojonegoro sejak 27 Desember lalu. Namun dia menyewa orang menggantikan perannya menjadi tahanan lapas degan menjanjikan bayaran Rp10 juta.

Kasus narapidana yang ditukar di LP Bojonegoro,Jawa Timur. Pertukaran ini melibatkan Kasiem, 55, narapidana kasus pupuk bersubsidi yang diganjar hukuman 3 bulan 15 hari.Warga Desa Kalianyar, Kecamatan Kapas, Bojonegoro, ini kemudian meminta Karni, 49,warga Desa Leran,Kecamatan Kalitidu,Bojonegoro,untuk menggantikan posisinya di balik jeruji besi dengan imbalan Rp10 juta.
Kasus “joki napi” ini terbongkar ketika salah seorang tetangga narapidana membesuk Kasiem di LP pada Jumat (31/12) atau lima hari setelah Kasiem palsu mendekam di penjara. Setelah bertemu, Yayuk mengatakan kepada petugas LP bahwa yang meringkuk di penjara itu bukan Kasiem,melainkan orang lain. Ternyata pertukaran Kasiem dengan Karni terjadi di luar LP.

Putusan kasasi MA yang menjerat Kasiem turun pada 27 Desember 2010. Setelah terbit putusan itu, Kasiem dibawa ke LP kelas II A Bojonegoro oleh staf Kejari Bojonegoro Widodo Priyono untuk menjalani hukuman. Namun, pengacara terpidana Kasiem,Hasnomo, diduga bekerja sama dengan Widodo Priyono dalam mengatur rencana penukaran napi tersebut. Sampai di depan LP Bojonegoro, tepatnya di Jalan Diponegoro, Kasiem ditukar dengan Karni yang saat itu sudah menunggu di depan LP.

Pertukaran itu terjadi pada Senin (27/12) sekitar pukul 11.00 WIB hingga pukul 12.00 WIB. Karni yang berpura-pura menjadi Kasiem lalu dibawa ke dalam LP oleh Widodo Priyono. Petugas jaga di pintu depan LP sempat memeriksa Kasiem palsu itu.Namun, petugas tidak curiga.Kasiem palsu itu selanjutnya dibawa ke ruang registrasi ditemani Widodo. Abdullah menyatakan,Kasiem palsu alias Karni kemudian diperiksa Kasubsi Registrasi, Atmari. Pemeriksaan meliputi salinan putusan MA, berita acara putusan, dan pemeriksaan identitas terpidana.

Identitas terpidana itu tidak disertai foto bersangkutan.Saat ditanya,Kasiem palsu juga bisa menjawab dengan lancar sesuai salinan putusan tersebut. Petugas tidak curiga karena Kasiem (asli) belum pernah menjalani hukuman sehingga petugas LP lainnya tidak mengenal terpidana. Setelah itu, Kasiem palsu dijebloskan ke ruang tahanan tiga blok wanita. Begitu kasus ini terbongkar,petugas LP langsung menginterogasi Karni yang menggantikan posisi Kasiem.

Pada hari itu juga, Karni dikeluarkan dari LP dan petugas Kejari Bojonegoro bisa menangkap Kasiem asli dan menjebloskannya ke penjara.Kepala Kejaksaan Tinggi Jatim telah memeriksa enam orang dalam kasus ini.

Mereka adalah Kepala Kejaksaan Negeri Bojonegoro Wahyudi, Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Bojonegoro Hendro Sasmito, dan jaksa eksekutor Tri Murwarni. Kemudian,petugas pengawal tahanan Widodo Priyono, Kasubsi Registrasi LP Bojonegoro Atmari,dan tahanan pengganti,Karni. Hasilnya, Hendro,Tri Murwarni, dan Widodo Priyono terancam sanksi.

Dari hasil pemeriksaan sudah disimpulkan, dua jaksa tidak melakukan tugas dengan baik.. Kendati dua jaksanya dianggap menyalahi prosedur, kejaksaan tinggi belum menemukan ada konspirasi yang melibatkan jaksa. Dua jaksa ini tidak tahu ada penukaran tahanan,mereka hanya tidak melakukan pengawasan dengan benar. Idealnya, jaksa eksekutor ikut mengantar ke LP.

Saat mengantar tahanan ke LP,jaksa tidak ikut, pengawalan hanya oleh staf jaksa,Widodo Priyono. Saat itulah Widodo dibujuk oleh Hasnomo, pengacara Kasiem.Widodo kena bujuk dan menurut untuk diminta menukar tahanan. Sampai saat ini Widodo mengaku tidak mendapatkan imbalan.


Menkumham

Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar berharap pihak Kejaksaan memerintahkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dapat turut mengantar terpidana ke dalam Lembaga Pemasyarakatan.  “Memang kedepan harus ada protap khusus. Saya beraharap kedepan Kejasaan Agung bisa memerintahkan agar terpidana didampingi pihak kejaksaan hingga ke Lapas sertidaknya JPU,” jelas Patrialis. Selain itu, disertakannya foto terpidana serta dibubuhkannnya tanda tangan terpidana akan dikaji sebagai antisipasi kemungkinan terjadinya joki napi palsu. 

Sumber: mediaanakindonesia.wordpress.com

Dibuka Lowongan: Menjadi Joki Napi ala LP Bojonegoro


Lagi, sebuah “keajaiban” terjadi di penjara negeri ini. Setelah skandal pelesiran Gayus Tambunan ke Bali, meski ia sedang dibui di tahanan Brimob, kali ini sebuah kasus aneh tapi nyata yang lain terjadi lagi di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Bojonegoro, Jawa Timur.





Terbongkar Jumat pekan lalu, seorang narapidana bernama Kasiem (55 tahun) berhasil mengakali petugas dengan menyelundupkan seorang joki-napi bernama Karni (50) untuk menggantikan posisinya mendekam di kurangan dengan upah Rp10 juta saja. Kasiem terbelit kasus pupuk bersubsidi dan diganjar hukuman penjara tiga bulan 15 hari.
Yang “hebat”, akal-akalan ini baru terbongkar empat hari setelah Karni meringkuk di sel. Yang memergoki bukan petugas. Kasus itu terungkap saat anggota keluarga terpidana datang membesuk. Mereka kaget bukan buatan karena yang ada di dalam bui, bukanlah Kasiem, melainkan Karni yang seorang perempuan.

Para pejabat langsung kebakaran jenggot. Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar mengaku terperanjat mendengar kabar ini. "Saya juga terkejut. Ini modus operandi baru," katanya di kantornya di Jakarta, Senin, 2 Januari 2010.

Menteri Patrialis menerangkan kasus memalukan ini terjadi saat Kejaksaan Negeri Bojonegoro mengeksekusi hukuman pada 27 Desember 2010. Ketika itu, aparat kejaksaan membawa seseorang atas nama Kasiem binti Kasmuji ke dalam tahanan.

"Namanya siapa dan dibikin berita acaranya dan itu dihadiri petugas Kejaksaan Negeri Bojonegoro. Saat sudah dikonfirmasi, ya masuk seperti biasa, ditempatkan di blok wanita," katanya.

Patrialis menjelaskan, dalam proses eksekusi itu ada verifikasi data dan foto terpidana. Menurut dia, Kementerian Hukum dan HAM percaya penuh pada petugas kejaksaan yang melakukan eksekusi. "Kami kan hanya menerima laporan dari kejaksaan. Siapa orangnya pun saya tidak tahu," kata Patrialis. "Masak kami tidak percaya kejaksaan?"

Seperti atasannya, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Timur, Mashudi, tak ketinggalan mencak-mencak. Kepada wartawan, dia menyatakan ada mafia hukum yang ikut bermain. Tak jelas siapa yang dia maksud. "Kami turunkan tim untuk melakukan investigasi di Lapas,” katanya.

Mashudi berdalih penyelundupan joki-napi itu bukanlah tanggung jawab aparat lembaga pemasyarakatan. "Kami ini sifatnya pasif hanya menerima. Jadi, itu merupakan kesengajaan pihak yang mengantar. Saya protes keras dan meminta instansi terkait untuk mengusut sampai tuntas," katanya, berapi-api. 

Toh demikian, Mashudi mengakui petugas LP Bojonegoro bisa dikenai sanksi karena teledor dan baru mengetahui kejadian tersebut selang beberapa hari. "Karena ini sudah bermalam beberapa hari baru diketahui. Apalagi tingkat kepadatan LP Bojonegoro tidak begitu tinggi," katanya. "Saya minta semua yang terlibat diperiksa, termasuk Kepala LP, karena penerimaan dan pelepasan napi menjadi tanggung jawabnya."
Sebagai pihak yang mengeksekusi tahanan, Kejaksaan Agung pun langsung mengambil langkah. Jaksa Agung Basrief Arief sontak memerintahkan Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) Marwan Effendy untuk menginvestigasi.

"Jamwas sudah melaporkan bahwa dia sudah minta Asisten Pengawasan Jawa Timur untuk sementara melakukan pemeriksaan," kata Basrief di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan. "Para pelakunya pasti kami tindak tegas."

Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Mulyono,  menjelaskan pihaknya sejauh ini sudah memeriksa Kepala Kejaksaan Negeri Bojonegoro Wahyudi, Kepala Seksi Pidana Khusus Hendro Sasmito, dan jaksa Pidana Khusus, Widodo. Tiga lainnya juga turut diperiksa dan dipanggil. Mereka adalah Atmarai, petugas LP yang saat kejadian bertugas jaga; kuasa hukum Kasiem, Hasnomo; dan Kepala LP Bojonegoro.

Pada Senin, 3 Januari 2011, mereka diperiksa secara maraton selama enam jam, mulai pukul 08.00 WIB hingga 14.30 WIB.

Anggota parlemen tak ketinggalan angkat suara. Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santosa menyatakan kasus ini telah mencoreng tiga institusi hukum sekaligus--lembaga pemasyarakatan, kejaksaan, dan kepolisian. "Aneh, kok alat negara tidak bisa menengarai hal itu. Harus ada evaluasi total," dia menegaskan.

Keanehan itulah yang kini sedang diselidiki aparat. Kata Mulyono dari Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, pemeriksaan ditujukan untuk menjelaskan "kenapa bisa sampai terjadi peristiwa yang baru pertama kali terjadi di Indonesia ini."

Sumber: wartadelanggu.blogspot.com

Ironi Cabe di Negeri Agraris

http://www.pastinews.com/wp-content/uploads/2010/12/cabe1.jpg

Harga cabe terus mengalami kenaikan lebih dari 50-100% dari harga semula. Harga bahan pokok lainnya juga terus menanjak. Inikah ironi negeri agraris?

Indonesia merupakan negeri subur, namun harga cabe dan sembako terus melambung. Tak tanggung-tanggung, di beberapa daerah, salah satu jenis cabe bahkan naik hingga dua kali lipat, yakni cabe rawit merah yang mengalami kenaikan paling ekstrim, yang di saat kondisi normal Rp10-12 ribu kini naik menjadi Rp30-35 ribu per kilogram.

Selain itu, harga cabe merah yang sebelumnya di kisaran harga Rp20-22 ribu naik menjadi Rp35 ribu per kilogram. Sementara, harga cabe rawit menjadi Rp45-50 ribu, dari harga Rp25 ribu-Rp30 ribu perkilogram.
Para ahli melihat, banyaknya kegagalan panen akibat salah urus pertanian. Juga akibat cuaca yang ekstrim dan hujan yang terus-menerus di beberapa wilayah Indonesia, menyebabkan penurunan tingkat produksi beberapa komoditas utama.

Alhasil, pasokan lokal beberapa kebutuhan pokok menjadi berkurang, sehingga memicu kenaikan harga sejumlah bahank kebutuhan pokok di pasaran. Termasuk, bahan pokok cabe yang kenaikannya paling ekstrim dibandingkan bahan pokok lainnya.

“Salah urus pertanian merupakan pangkal persoalan mahalnya harga sembako atau kebutuhan pokok termasuk cabe,” kata Hira Jhamtani, Pemerhati Kehidupan, Aktivis Lingkungan & Analis Globalisasi.
Baru-baru ini Presiden SBY mencanangkan revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan. Hira Jhamtani menekankan bahwa revitalisasi adalah ‘menghidupkan atau mengaktifkan’ kembali, langkah yang mungkin tidak akan berhasil tanpa transformasi paradigma, kebijakan dan institusi menyeluruh.

Salah satu langkah revitalisasi adalah mengaktifkan kembali para penyuluh pertanian. Pertanyaannya kemudian apakah ada reformasi mengenai isi dan cara penyuluhan serta kesejahteraan penyuluh?

Di masa lalu, adalah rahasia umum bahwa penyuluh pertanian berhasil membuat petani menggunakan bahan-bahan kimia. Mereka kadang menjadi ‘agen’ pabrik bahan kimia daripada menjadi penyuluh yang sebenarnya. Di kawasan yang sulit dijangkau karena infrastruktur buruk, di NTT misalnya, para penyuluh hampir tidak pernah ke desa karena tidak dibekali sarana yang memadai.

Menurut Hira, Departemen Pertanian perlu mengubah seluruh kebijakannya, dari orientasi pertanian intensif dan monokultur ke arah pertanian berbasis petani dan lingkungan.

Juga sudah jadi rahasia umum bahwa Departemen Pertanian dengan mudah meloloskan varietas baru atau pestisida baru tanpa uji coba yang memadai. Atau mereka gagal mengawasi peredaran pestisida dan benih dari luar yang tidak pernah mendapatkan ijin.

Ia menyarankan tiga langkah reformasi. Pertama, kebijakan pertanian harus menjadi bagian dari pembangunan perdesaan yang ramah petani, ramah lingkungan dan adil dengan sasaran agar penduduk desa tidak harus keluar desa atau keluar kabupaten untuk mendapatkan pendidikan hingga SMU, atau untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan pelayanan informasi pasar.

Untuk itu, pembangunan infrastruktur (telepon, internet, listrik, jalan, teknologi pengolahan yang tepat guna) yang terkait perlu diintensifkan di pedesaan. Swasembada desa harus dijadikan tujuan utama.

Kedua, kebijakan pertanian tidak boleh bersifat seragam melainkan harus didasarkan pada keunggulan komparatif lokal. Target yang dibuat di tingkat nasional tidak harus dibebankan kepada tingkat lokal, terutama bila target tersebut dicapai melalui teknologi pertanian yang merusak sumber daya alam dan sistem lokal.
Ketiga, kebijakan pertanian harus dirumuskan melalui konsultasi partisipatif dengan para petani. Hal ini membutuhkan perubahan pandangan di mana petani perlu dianggap sebagai pemulia benih, peneliti dan produsen pangan yang harus dihargai. Hak sosial, ekonomi dan kultural mereka harus dilindungi dan dijadikan landasan pembuatan kebijakan.

Pemerintah sering memberikan insentif ekonomi berupa keringanan pajak, subsidi atau dukungan politik bagi perusahaan dan investasi di bidang industri. Hal yang sama perlu dilakukan bagi petani, yang jasanya justru lebih besar yaitu memberi pangan atau sembako kepada seluruh rakyat Indonesia!
“Hanya dengan cara itu, sangat mungkin harga sembako bisa distabilkan dan pertanian tak salah urus lagi,” kata Hira, aktivis lingkungan.

Sumber: inilah.com