Kamis, 27 Januari 2011

Nirwan Bakrie: Wasit Memang Agak Rawan



FIGUR sentral Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) bukanlah Nurdin Halid. Meski resminya hanya menjabat wakil ketua umum, pengusaha Nirwan Dermawan Bakrie, 59 tahun, yang banyak berperan pada induk organisasi sepak bola Indonesia itu. Tangannya ada di mana-mana: Badan Tim Nasional, PT Liga Indonesia, sampai Yayasan Sepak Bola Indonesia When I'm 64. Yayasan ini sedang membangun kompleks Akademi Sepak Bola di lahan 25 hektare milik keluarga Bakrie, di Jonggol, Jawa Barat.

Nurdin mengakui peran besar Nirwan dan keluarganya. Ketika lolos ke final Piala Federasi Sepak Bola ASEAN, Desember lalu, tim nasional khusus berkunjung ke rumah kakak Nirwan, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie. "PSSI berterima kasih atas segala sumbangsih luar biasa keluarga Bakrie untuk kami," kata Nurdin ketika itu.

Bukan sekadar pengurus elite PSSI, Nirwan pun diduga mendukung Arema, klub asal Malang peserta Liga Super Indonesia. Pada musim kompetisi 2009-2010, tim itu pun menjadi juara liga. Jumat pekan lalu, selama hampir dua jam, Nirwan melayani wawancara wartawan Tempo Rofiqi Hasan, di Bakrie Estate, vila pribadi yang asri, tepat di tengah kompleks Hotel Pan Pacific Nirwana Bali Resort miliknya. Hiruk-pikuk Kongres PSSI sama sekali tidak merisaukan dia.



Praktek suap marak di Liga Super Indonesia?
Semua diawasi Komisi Disiplin. Tapi memang susah mengatur soal suap, karena sulit dibuktikan. Kadang terdengar tapi tidak tahu lagi. Tapi saya lihat, kalau suap antarpemain lebih sedikit, karena tanggung jawab mereka ke klub cukup berat. Nah, kalau wasit memang agak rawan, karena mereka bisa mempengaruhi pertandingan. Ini bisa kelihatan dari adil-tidaknya dia memimpin. Itu kita evaluasi.

Ada informasi petinggi PSSI punya klub-klub tertentu yang "dikawal" khusus?
Kalau niatnya membela bekas klub, bisa saja. Tapi, kalau wasit dan Komisi Disiplin tegas, tidak akan ada masalah.

Anda ikut membiayai dan mengawal klub Arema Indonesia sampai jadi juara Liga Super musim lalu?
Saya dengar itu. Tapi itu tidak benar. Saya memang punya perusahaan di Malang yang menjadi sponsor Arema. Jumlahnya juga kecil, hanya 5 persen dari puluhan miliar kebutuhan Arema. Jadi tidak masuk ke manajemen. Bukan saya yang mem-back up Arema. Kalau kepemilikan, saya hanya punya Pelita Jaya.

Waktu PT Bentoel meninggalkan Arema, Anda memang diminta membantu?
Waktu itu Badan Liga Indonesia yang mencarikan sponsor. Yang mengikat kontrak, ya, klub itu. Pak Andi (Andi Darussalam Tabusalla, Presiden Direktur PT Liga Indonesia) membantu Arema bukan sebagai orang dekat saya, tapi sebagai Direktur Badan Liga.

Tapi, dengan adanya dukungan Anda dan Andi Darussalam, klub lawan dan wasit jadi segan mencurangi Arema....
Tidak ada itu. Itu saya dengar juga. Termasuk soal jadi juara itu, ya. Arema hanya bisa juara kalau dia menang terus. Kualitas mereka memang bagus.

Klub milik Anda, Pelita Jaya, kabarnya juga "diselamatkan" dari degradasi dengan mengorbankan Persebaya?
Saya dengar itu. Saya sih gampang saja, waktu itu saya minta Pelita menang terus, supaya bisa playoff. Saya tidak bisa memaksa satu tim menang atau kalah. Tidak boleh. Apalagi semua anggota PSSI. Saya dengar semua isu itu. Saya sih tidak terlalu memikirkan. Asal tak melanggar peraturan, saya jalan terus saja.

Banyak orang ingin Nurdin Halid turun dari kursi Ketua Umum PSSI....
Coba lihat prestasi dia. Soal bekas narapidana, peraturan FIFA membolehkan. Apalagi anggota tetap memilih dia. Kalau soal tak disukai, semua Ketua Umum PSSI pernah diminta turun di tengah jalan.

Anda tidak mau jadi ketua umum?
Itu butuh kehadiran fisik 24 jam sehari. Kalau di negara lain, ada acara, ketua umum bisa diwakili. Di sini tidak bisa. Tapi saya siap membantu semuanya.

Sumber: tempointeraktif

Aneka Akting Lapangan Rumput (2)



Di Divisi Utama dan Liga Super, suap minimal Rp 25 juta per pemain. Kongkalikong lebih sulit dilakukan di level ini. "Sebab, banyak sorotan media, mereka menjadi selektif," katanya. Para calo mendapat jatah 20-30 persen dari nilai suap, dibayar tunai, tak pernah transfer. Pembayaran 10 persen di muka, dan sisanya setelah klub "pengguna jasa" menang.

Pengurus klub tak memberikan arahan detail urusan akrobatik yang harus dilakukan pemain. "Mereka paham situasi," katanya. Ada seribu cara membuat pertandingan kacau demi menguntungkan klub yang bayar.
Berpura-pura dan marah paling mudah dilakukan. Aksi ini membuat pemain diganjar kartu atau menaikkan emosi dan menurunkan semangat tim. Modus lain yang paling sering dilakukan adalah bermain kasar di daerah penalti sendiri. Bisa juga pura-pura tak mampu membendung bola lawan.

Ada trik sejak 1980-an yang masih dipakai para penjaga gawang "bayaran" hingga sekarang. Kiper menyatukan telunjuk dan jari tengah dalam satu lubang jari sarung. Lalu jari manis disatukan dengan kelingking, juga di satu lubang. Alhasil, dua lubang jari sarung kosong. Tentu saja, bola gampang lolos dari tangkapan. Setelah kebobolan, kiper akan segera pasang tampang kesal dan kecewa. Ia melepas dan membuang sarung tangannya.

Beberapa pemain asing pun bisa dibeli. Nilai kontrak para pemain asing tak berbeda dengan pemain lokal kelas menengah ke bawah. Sebagian mendapat bayaran sekitar Rp 150 juta setahun. Selain pas-pasan, pembayarannya pun tak sesuai dengan kontrak.

Pemain asing asal Paraguay, Roberto Acosta, saat bermain di Deltras pada 2008 mengeluhkan 25 persen atau Rp 50 juta sisa kontrak belum dilunasi menjelang kontrak berakhir. Padahal 25 persen dari kontrak biasa diterima di awal kompetisi dan 75 persen diterima tiap bulan sebagai gaji.

Mantan General Manager Deltras George Handiwiyanto saat serah-terima kepengurusan menerima banyak sekali keluhan pemain asing. Menurut George, ada pemain yang dikontrak Rp 100 juta dan hanya menerima setengahnya. "Separuhnya dinikmati agen dan oknum pengurus klub, itu masuk kantong pribadi," kata George.

Hal senada diungkapkan mantan Manajer Persitara, Harry Ruswanto. Pemotongan kontrak pemain asing biasa dilakukan. Kalau pemain berkeberatan kontraknya dipotong, angka dalam kontrak dinaikkan. Bila harga pemain Rp 200 juta, kontrak yang tertera Rp 300 juta. Sisanya Rp 100 juta untuk kepentingan agen dan pengurus.

George sempat melaporkan masalah kontrak dan pertanggungjawaban keuangan yang tak beres di Deltras. Namun penyelidikan Kejaksaan Negeri Sidoarjo menguap. "Kasus ini sudah selesai, saya tidak ingin ada apa-apa lagi pada diri saya," ujar George. Soal kasus kontrak, Roberto yang sekarang bermain untuk klub di Vietnam tak memberikan jawaban atas konfirmasi Tempo lewat surat elektronik.

Tak semua pemain asing kaya mendadak setelah dikontrak klub di Indonesia. Mereka pun bersedia menerima "penghasilan tambahan". Menurut seorang pengurus klub, pemain asing dapat dihubungi lewat para agen. "Biasanya agen enggak enak menolak permintaan klub," katanya.

Klub menghubungi agen bila lawan mainnya memiliki pemain dari agen yang sama. Selain itu, kedua pemain asing tersebut berasal dari negara yang sama. "Mereka sulit diawasi, apalagi bila menggunakan bahasa asing yang tak dikenal," katanya.

Sub-agen yang banyak mengorbitkan pemain asing kelas menengah, Julian Baros, membantah tuduhan itu. "Tak pernah ada yang menawari saya cara seperti itu," katanya. Agen senior Eko Soebekti juga mengatakan tidak ada permainan seperti itu.

Sumber: tempointeraktif.com

Aneka Akting Lapangan Rumput (1)



Sepak bola lekat dengan jalan hidup Vigit Waluyo. Ayahnya, H M. Mislan, merupakan tokoh legendaris pendiri klub Delta Putra Sidoarjo-disingkat Deltras. Kini ia pun menjadi figur penting dalam persepakbolaan Jawa Timur. Selain memimpin pengurus Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia Jawa Timur, ia mengelola sejumlah klub "binaan".

Vigit menangani antara lain Persikubar Kutai Barat, Mojokerto Putra, Mitra Kutai Kartanegara, dan Deltras Sidoarjo. Ia juga menangani Persiwangi Banyuwangi dan menjadi Manajer PSIR Rembang. Dengan posisinya, ia tak kesulitan ketika menangani Persebaya Surabaya, yang pengurus lama klubnya bergabung ke Liga Primer Indonesia dan berganti nama menjadi Persebaya 1927. Ia segera memboyong para pemain dan pelatih Persikubar ke Surabaya.

Para pemain di klub binaan Vigit rata-rata berusia tua buat ukuran sepak bola. Tapi bukan sekadar teknis yang dituntut. Mereka jagoan "nonteknis", istilah yang sering dipakai buat menyebut urusan menyuap wasit dan pemain. "Dia punya puluhan pemain sepak bola, yang selalu mengikutinya ke mana pun," kata seorang pemasok pemain asal Jawa Timur.

Vigit siap "menangani" klub bergantung pada dana yang ditawarkan. Satu klub sepak bola di Jawa Timur pernah meminta bantuannya dengan tawaran Rp 10 miliar. "Saya tidak mau menanggapi tuduhan macam-macam," katanya ketika dimintai konfirmasi soal suap-menyuap. "Kalau memang materi pemain dan pelatihnya bagus, pasti menang."

Pemain merupakan unsur penting dalam patgulipat pengaturan hasil pertandingan. Bagaimana caranya? Kejadian Agustus tahun lalu ini bisa menjadi contoh. Ketika itu, lima orang pemain Persis Solo-Nova Zaenal Muttaqin, Haryadi, Eko Kancil, Andry, dan Tommy Haryanto-dihubungi nomor tak dikenal yang mengaku Manajer Persiku Kudus. Penelepon meminta mereka tak tampil pada laga playoff Divisi Utama di antara kedua klub di Stadion Jatidiri, Semarang.

Mereka diimingi uang setara dengan sisa gaji yang belum mereka terima dari Persis. Mereka juga akan direkrut ke Persiku pada musim selanjutnya. "Kami tak tahu apakah itu benar Manajer Persiku Kudus atau bukan. Saat kami coba hubungi balik, nomornya tak aktif," kata Nova, gelandang serang yang kini bergabung ke PSIM Yogyakarta.

Seorang pengurus klub yang biasa menjalankan trik "membeli" pemain mengatakan operasi selalu dilakukan rapi dan tanpa jejak. Tawaran tak pernah disampaikan melalui SMS. "Kalaupun perlu menelepon, akan menggunakan nomor yang tak akan dipakai lagi," katanya. Modus ini yang dipakai buat mendekati lima pemain Persis.

Menurut pengurus itu, trik "membeli" pemain membantu timnya melaju ke Liga Super. Selama bertarung di Divisi II pada 2002 hingga lolos Divisi Utama pada 2008, klubnya memanfaatkan jasa para calo penghubung beberapa pemain yang bisa "dibeli". Klub juga memelihara "tim buser wasit", kelompok wasit yang dapat disuap. "Ini cara kami berjuang dalam sistem yang kotor," katanya.

Permainan gelap ini banyak dilakukan lewat perantara yang merangkap sub-agen, yang menawarkan transfer pemain ke klub tapi tak mengantongi lisensi. "Mereka memiliki lobi dan jaringan kuat dengan para pemain," kata sumber yang sama.

Permainan kotor melibatkan tiga-lima pemain, yang menerima suap Rp 5-25 juta per pemain pada kompetisi Divisi 1 dan 2. Pada tingkat divisi ini, gaji para pemain sering terlambat. Klub yang mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah terikat sistem keuangan daerah yang pencairannya pada bulan tertentu.

Sumber: tempointeraktif.com

Uang Aman Pemimpin Lapangan

 
 
MATAHARI baru tergelincir ketika Sigit Wido keluar dari Hotel Mirah, Bogor. Ditemani seorang rekan, Wakil Sekretaris Umum Persatuan Sepak Bola Palangkaraya itu meluncur ke pusat keramaian di sisi utara kota. Kurang dari seperempat jam, taksi Bluebird mereka sampai di sebuah mal. Temannya menghubungi satu nomor, lalu mereka masuk ke tempat perniagaan itu.
 
Di antara etalase toko, dua pejabat klub sepak bola Persepar itu melihat tiga orang. Satu di antaranya memiliki ciri yang disebut penerima telepon: berpakaian gelap dan bersandal Adidas. Dialah Suwandi, wasit yang akan memimpin pertandingan Persepar melawan PSB Bogor, esok harinya. Dua lainnya hakim garis buat pertandingan yang sama. Mereka lalu saling menyapa, sebisa mungkin tak menarik perhatian orang lain. Kembali menyusuri selasar mal, iringan kecil ini menuju tempat sayur dan buah, lalu berhenti di pajangan pakaian.
 
Sigit mengambil tiga jas dan membayar di kasir. Rekannya memasukkan buntelan plastik berisi Rp 12 juta ke busana berlengan panjang itu, lalu menyerahkannya ke Suwandi. Sang wasit pun berjanji, pertandingan esok hari akan "lancar". "Kami bertemu ekstra-hati-hati agar tak ketahuan lawan," kata Sigit, mengenang peristiwa awal Juli 2008 itu.
 
Menurut Sigit, uang pelicin disodorkan agar wasit berlaku netral. Syukur-syukur wasit berpihak buat timnya. Tentu saja, karena bermain tandang, Sigit mendekati wasit dengan diam-diam. Kalau sampai tim lawan memergoki mereka, urusannya bisa berabe.
 
Esok harinya, klub dari Kalimantan Tengah itu dapat menahan gempuran tuan rumah. Pertandingan di Stadion Pajajaran yang disaksikan ratusan penonton itu berakhir seri, 0-0. Hasil ini membuat Persepar bertahan di papan atas klasemen Divisi I Liga Indonesia.
 
Sejumlah pemain PSB Bogor tak terima. Wasit dianggap tidak adil, banyak membuat keputusan yang menguntungkan tim tamu. Wasit Suwandi dan dua asistennya dipukuli. Para pemain Persepar tak berani ke luar stadion. Beruntung, polisi dapat mencegah amuk lebih besar. Mendapat pengawalan ketat, akhirnya pemain Persepar bisa ke luar lapangan dua jam kemudian.
 
Kepada Tempo, Jumat pekan lalu, Suwandi menyangkal menerima uang dari Persepar. "Saya memang ke mal waktu itu, tapi shopping saja, beli-beli celana, kaus," katanya.
 
KLUB bola Palangkaraya itu masuk Divisi I Liga Indonesia sejak 2007. Hingga kompetisi tahun lalu, Sigit mengatakan kerap menyelipkan suap. Menurut dia, tim yang hebat bukan jaminan bisa bertengger di peringkat atas. Karena itu, perlu "jalur lain" buat mengamankannya. Penyuapan wasit, kata Sigit, lazim dilakukan hampir semua klub-dari Liga Super hingga divisi paling bawah. "Kalau tidak, jangan harap bisa menang," ujarnya.
 
Suap diperlukan agar wasit tidak asal cabut kartu atau menunjuk titik penalti yang menguntungkan lawan. Dari semua pertandingan di kandang pada musim lalu, Persepar tak pernah kalah dan hanya sekali seri. Ketika bertandang, mereka juga jarang pulang dengan tangan hampa. Sebagian besar berakhir imbang.
 
Cerita suap ini tersebar di beberapa klub. Ilham Arief Siradjuddin, Ketua Umum PSM Makassar, menyatakan wasit perlu "didekati dengan baik". Manajer klub harus menjamu ekstra pemimpin pertandingan itu. "Terkait dengan 'kesejahteraan'," katanya.
 
Bila hal itu tidak dilakukan, wasit sering bertingkah aneh dan kerap merugikan klubnya. Dia memberikan contoh pertandingan PSM Makassar melawan Semen Padang FC pada Sabtu, akhir November tahun lalu. Wasit Aeng Suarlan membatalkan gol Andi Oddang pada menit ke-37. Aeng menganggap Andi lebih dulu terperangkap offside.
Pendukung PSM jengkel. Amarah suporter makin tersulut ketika pada menit ke-70 tangan Park Chul-hyung, pemain belakang Semen Padang FC, menyentuh bola di dekat gawang. Alih-alih memberikan tendangan penalti buat tuan rumah, Aeng Suarlan tak meniup sempritannya. Penonton melempar botol minuman ke lapangan. Kerusuhan pecah. Puluhan fan PSM dari tribun utara masuk ke lapangan, mendobrak terali pembatas sekitar empat meter.

Sumber: tempointeraktif.com

Dana Ajaib Raja Penalti


Lelaki yang biasanya garang di tepi lapangan itu tertunduk lesu ketika jaksa membacakan tuntutan di Pengadilan Negeri Samarinda, Kalimantan Timur. Rabu pekan lalu, mengenakan hem biru dipadu celana gelap, Aidil Fitri sesekali mengusap dahi, meski tidak ada keringat di keningnya. Senyumnya kecut.

Sejak pertengahan tahun lalu, lelaki gempal itu duduk di kursi terdakwa. Dipimpin oleh ketua majelis hakim Parulian Lumbantoruan, bekas manajer kesebelasan Persisam Putra Samarinda ini didakwa menyelewengkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Rp 1,784 miliar.

Sore itu, jaksa penuntut umum Andi Dahreen menuntutnya dua tahun penjara. Lelaki 46 tahun kelahiran Balikpapan ini juga harus mengembalikan dana Rp 1,784 miliar-sebulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Seusai sidang, Aidil berucap, "Saya akan menerima apa pun keputusan hakim."

Perkara Aidil hanyalah satu dari banyak perkara serupa, yakni korupsi dana APBD sepak bola. Kasus ini bermula ketika Persisam berlaga di Divisi Utama 2007-2008. Ketika itu, Persisam menerima kucuran dana dari Pemerintah Kota Samarinda Rp 12 miliar. Tahun berikutnya, klub yang dijuluki Elang Borneo itu disuntik Rp 25 miliar. Seluruh aliran duit tadi buat menopang kegiatan Persisam selama mengikuti kompetisi Divisi Utama. Nyatanya, fulus bocor di mana-mana.

Aidil-bekas Ketua Pemuda Pancasila dan Ketua Dewan Perwakilan Cabang Partai Patriot-merekayasa nilai kontrak pemain dan pelatih. "Rata-rata digelembungkan Rp 50-100 juta per orang," kata Arna Effendi, bekas sekretaris tim Persisam, yang juga menjadi tersangka dalam kasus ini.

Bekas pelatih Persisam, Eddy Simon Badawi, misalnya, meneken kontrak Rp 325 juta per tahun pada akhir 2008. Faktanya, duit yang diterimanya cuma Rp 225 juta. Begitu pula mantan pemain Persisam, Victor Simon, yang dikontrak Rp 275 juta per musim, tapi hanya menerima Rp 175 juta. Bahkan bekas pemain Persisam, Puji Listiono, dalam berita acara pemeriksaan mengaku pernah menandatangani kuitansi kosong.
Arna Effendi mengatakan kontrak pemain dan pelatih dibuat rangkap. Begitu pula dengan laporan keuangan: ada yang asli, ada yang fiktif dengan kuitansi palsu.

Menurut Andi Dahreen, selisih duit yang digelembungkan ada yang masuk kantong sejumlah anggota Dewan Samarinda yang meninjau pusat pelatihan Persisam di Solo pada Januari 2008. Ada pula yang masuk kantong Aidil-di antaranya untuk membeli cincin dan mobil Suzuki Swift keluaran 2008 serta membayar uang muka rumah.

Sisanya dikuras untuk melayani pengurus pusat PSSI yang berkunjung ke Samarinda dan menyediakan aneka rupa servis buat wasit saat bertanding di kandang. Maklum, Aidil ketika itu masih menjadi Ketua PSSI Samarinda. Hasilnya, entah kebetulan entah tidak, selama 15 kali bertanding di kandang, Persisam diberi hadiah penalti 20 kali oleh wasit. Maka juara Divisi Utama musim 2008-2009 ini dijuluki Raja Penalti.

Semrawutnya pengelolaan keuangan klub bukan cuma milik Persisam-yang setelah musim 2008-2009 promosi ke Liga Super Indonesia. Buktinya, minim sekali kesebelasan di Indonesia yang punya laporan keuangan yang diaudit berkala. Hal ini terungkap dari hasil uji tuntas keuangan yang dilakukan auditor internasional terhadap 16 klub sepak bola di Tanah Air yang berlaga di Liga Super dan divisi di bawahnya sepanjang 2009-2010.

Laporan keuangan mereka tidak memenuhi standar akuntansi, sekadar pakai program Microsoft Excel yang bisa dihapus dan diubah siapa saja sehingga kesahihannya diragukan. Laporan keuangan PSMS Medan dan Arema Indonesia masuk kategori ini.

Situasi ini diperparah oleh perubahan manajemen klub yang tidak diikuti pengalihan pembukuan dan pelaporan administrasi ke manajemen baru. Klub-klub yang bertanding di liga naungan PSSI itu juga tidak punya code of conduct dan prosedur operasional standar. "Bahkan ada orang yang punya otoritas tapi tidak masuk struktur."

Orang-orang seperti inilah, kata sejumlah praktisi yang malang-melintang di dunia bola, yang kerap mengawal dan menjanjikan klub meraih kemenangan. Tentu saja tidak gratis. Itu sebabnya, banyak fulus berceceran, yang pemakaiannya sulit dipertanggungjawabkan-istilahnya "biaya-biaya nonteknis".
Dari 16 klub yang ditelisik, cuma empat kesebelasan yang berbadan hukum. Dari empat klub itu, cuma Arema dan Persebaya yang memiliki nomor pokok wajib pajak. Tidak mengherankan bila klub-klub sepak bola ini tidak pernah membayar pajak.

Bahkan ada klub yang sudah berbadan hukum justru dibubarkan demi memperoleh dana APBD. Ini terjadi pada PT Delta Putra Sidoarjo-badan hukum Deltras Sidoarjo-yang dibubarkan tiga tahun lalu. Manajemen klub ini dikuasai oleh keluarga Vigit Waluyo.

Di klub ini, dana dari pemerintah kabupaten-melalui Komite Olahraga Nasional Indonesia daerah-masuk rekening pribadi Vigit. Penarikan uang hanya dilakukan oleh Vigit dan Ayu Sartika Virianti, anak Vigit yang juga menjadi manajer tim. Tidak ada rekening bank atas nama Deltras, juga tidak ada laporan keuangan. Ditemui di Surabaya awal bulan ini, Vigit menyanggah semua informasi itu. "Saya tidak mau menanggapi tuduhan macam-macam," kata Ketua PSSI Jawa Timur itu.

Nah, pemakaian yang tidak jelas juntrungannya itu memang sebagian besar berasal dari dana APBD. Dari uji tuntas tadi terlihat, lebih dari separuh pendapatan klub ditopang oleh anggaran pemerintah daerah-kecuali Persib, Semen Padang, dan Arema. Dari situ, 60-70 persen dikeluarkan buat belanja pemain, yang tidak jarang digelembungkan, seperti kasus Aidil. Sisanya buat kebutuhan klub sehari-hari. Sementara itu, pemasukan dari Badan Liga Indonesia dan PSSI tidak signifikan.

Ironisnya, setelah kenyang makan duit rakyat bertahun-tahun, klub-klub ini selalu mengalami defisit di akhir kompetisi. Deltras, misalnya, defisit Rp 946 juta di akhir Liga Super 2009-2010.

Menurut Apung Widadi, peneliti Indonesia Corruption Watch, kucuran dana dari pemerintah daerah ini juga rawan dipolitisasi pejabat daerah, yang biasanya menjadi pengurus teras klub. Itu sebabnya, tidak sedikit politikus daerah yang mati-matian memperjuangkan agar klub menerima suntikan dana dari pemerintah daerah. "Dengan harapan, prestasi yang dicapai klub bisa mendongkrak popularitas," kata sejumlah manajer yang ditemui Tempo.

Buktinya, banyak pengurus klub yang kemudian sukses dalam pemilihan kepala daerah. Bambang D.H., ketika itu Ketua Umum Persebaya, misalnya, sukses menjadi Wali Kota Surabaya pada 2005 setelah setahun sebelumnya klub itu menjuarai Liga Indonesia. Jhon Richard Banua tiga tahun lalu berhasil menjadi Wakil Bupati Jayawijaya setelah menjadi Manajer Persiwa Wamena. "Melalui bola mereka bisa mencari suara," kata Harry Ruswanto, bekas Manajer Persitara, yang pernah dilamar oleh beberapa partai politik untuk menjadi anggota Dewan.

Menurut Subardi, anggota Komite Eksekutif PSSI, pemakaian dana publik itu sah-sah saja, asalkan bisa dipertanggungjawabkan. Ia tidak setuju bila dana APBD dihapus begitu saja. "Nilainya masih belum seberapa karena sepak bola merupakan hiburan rakyat yang bisa mempersatukan bangsa," kata anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Daerah Istimewa Yogyakarta periode 2004-2009 ini.

Seorang manajer klub mengatakan dana anggaran daerah sudah menjadi candu buat para pegiat bola. Padahal haram hukumnya buat perusahaan terbuka menerima dana tersebut. Agar bisa menerima kucuran dana, perusahaan terbuka menjalin kerja sama dengan pemerintah daerah membentuk klub. Lalu anggaran disalurkan ke klub tadi melalui KONI daerah. "Ini cara paling baik untuk melakukan manipulasi," katanya.
Status perusahaan terbuka itu, kata dia, cuma formalitas agar klub bisa berlaga di liga profesional. Toh, PSSI tidak pernah mau tahu sumber dana klub.

Sumber: tempointeraktif.com

Buntut Investigasi Tempo, PSSI Minta Bantuan Kepolisian RI

 
Cover Majalah Tempo
 
TEMPO Interaktif, Jakarta - Ketua Umum Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI), Nurdin Halid, berterima kasih pada Majalah Tempo terkait hasil investigasinya yang dimuat di edisi 24-30 Januari 2011. Terkait hal itu, PSSI membentuk tim pengacara. Pengacara PSSI itu bukan bertugas menuntut Majalah Tempo, tapi meminta Markas Besar Kepolisian RI untuk menyelidiki hasil investigasi Tempo.

"Bukan Tempo yang kita adukan. Kami minta bantuan ke Mabes Polri untuk menyelidiki hasil investigasi. Kami bukan membuat laporan pidana," kata Nurdin saat jumpa pers di kantornya, Rabu (26/1) petang.

Nurdin mengklaim selama ini PSSI telah bekerja keras melalui Satuan Tugas PSSI membongkar kasus suap sejak tahun 2008. Namun, menurutnya, tim yang dibentuknya itu masih kesulitan membongkar adanya praktek-praktek tersebut. "Sampai saat ini pengurus PSSI hanya mendengar teriakan (suap) itu, tapi belum ada seorang pun lapor ke PSSI," kata politikus kelahiran Sulawesi Selatan pada 1958 ini.

Untuk itu, Nurdin melanjutkan, PSSI meminta Mabes Polri menyelidiki kasus tersebut. "Sekaligus ingin membuktikan pada masyarakat Indonesia PSSI serius. Kami meminta Mabes Polri karena mereka mempunyai kemampuan lebih," katanya.

Tim pengacara bentukan PSSI akan ke Mabes Polri, Senin pekan depan. Sehari sebelum tim pengacara menemui Mabes Polri, Nurdin akan mengumumkan anggota tim tersebut. Setelah menyiapkan semuanya, Nurdin melanjutkan, mereka akan menjelaskannya.

Nurdin mengomentari sampul Majalah Tempo yang bergambar kaos tim nasional Merah bertulis KORUPSSI Priiiit...! Banyak sandiwara di lapangan bola. "Cover mengerikan bukan main, tapi isinya tidak sesuai," kata Nurdin yang mengaku telah membaca ke-15 halaman Tempo yang memuat tulisan investigasi.

"Saya ingin mengetahui kebenarannya," tambah Nurdin. Apabila penyelidikan Mabes Polri tidak menemukan apa yang ditulis Tempo, Nurdin mengaku belum tahu tindakan PSSI selanjutnya. "Nanti tindak lanjut dari pengacara, saya belum bisa berandai-andai," ungkapnya.

Penanggung jawab tim investigasi Majalah Tempo, Arif Zulkifli, menanggapi positif langkah PSSI. "Tempo dengan investigasi itu tengah menjalankan kewajiban sebagai media karena bagaimana pun ada kepentingan publik dalam isu PSSI. Jika ada pihak lain yang akan melanjutkan investigasi, tentu saja kami akan terbuka dan memberikan aspirasi," kata Penanggung Jawab Redaktur Eksekutif Majalah Tempo tersebut.

Sumber: tempointeraktif.com

Garuda Pelipur Lara


Cinta itu buta. Dikalahkan telak 3-0 oleh tim nasional Malaysia, para suporter tim sepak bola Indonesia, yang khusus terbang ke Bukit Jalil, Kuala Lumpur, buat mendukung kesebelasan pujaannya, tidak lantas kecewa dan patah hati. 

Ahad malam pekan lalu, kurang-lebih satu jam setelah pertandingan, suasana murung meliputi interior shuttle bus berwarna putih yang membawa para pemain. Wajah mereka tertunduk, masing-masing terbenam dalam pikir-annya. Di dalam bus, hanya Oktavianus Maniani yang kelihatan membalas lambaian para fan. Tapi di luar sana suasana berbanding terbalik. Para suporter bergerombol di depan bus yang mulai bergerak lambat, seraya meneriakkan yel-yel, mengibarkan merah-putih, membentangkan spanduk pujian dan pembangkit semangat, serta menyanyikan Garuda di Dadaku. Beberapa kali bus yang dikawal dua voorrijder itu harus berhenti. 

Kebobolan tiga gol tanpa balas dalam jangka 12 menit di babak kedua membuat keder para pemain, yang pada lima laga sebelumnya selalu menang. "Di ruang ganti stadion, mereka terlihat amat terpukul," ujar Iman Arif, Deputi Bidang Teknik Badan Tim Nasional. Dan rupanya kisah tragis ini tak berakhir di situ. Kemurungan yang sama terjadi tiga hari kemudian, di ruang ganti Senayan. Kali ini kapten tim Firman Utina tampak berkaca-kaca. Pemain yang masih didera cedera lutut ini gagal menceploskan bola dari titik penalti di laga Senayan. 

Indonesia akhirnya menang 2-1, tapi keunggulan itu tak cukup buat menutupi defisit gol di Kuala Lumpur. Empat kali masuk final, empat kali pula tim nasional Indonesia menempati posisi runner-up. Tapi kali ini berbeda. Meski gagal merebut gelar juara, penampilan tim nasional di Piala Suzuki AFF (Federasi Sepak Bola ASEAN) membangkitkan gairah pencinta sepak bola Tanah Air. Setelah Indonesia mengempaskan Laos dan Malaysia masing-masing 6-0 dan 5-1, Stadion Utama Gelora Bung Karno selalu dipadati penonton, tak terkecuali para pesohor dunia hiburan dan pejabat negara. Para pemain, bahkan pelatih dan jajaran asisten tim, mendadak bak selebritas, dimintai tanda tangan, foto bersama, dan ditemui petinggi negeri. 

Seusai pembubaran tim, Kamis pekan lalu, lobi Hotel Sultan tempat pasukan Garuda menginap dipenuhi ratus-an orang yang ingin melihat para pemain meninggalkan hotel. Sebagian beruntung bisa menyapa dan berfoto bersama anggota tim yang berkumpul di restoran yang berada satu lantai di bawah lobi. Semua seakan jatuh cinta pada penampilan tim nasional dalam tujuh pertandingan kemarin dan sepakat: era baru sepak bola Indonesia telah dimulai.

Desember 2009, sepak bola Indonesia berada di titik nadir. Inilah prestasi terburuk yang pernah dicatat tim nasional Indonesia: juru kunci penyisih-an grup SEA Games 2009. Yang menyedihkan, tim asuhan pelatih Benny Dollo ini takluk 0-2 oleh tuan rumah Laos, tim anak bawang yang bersama Kamboja selalu menjadi lumbung gol di Asia Tenggara. Kemenangan Laos-yang mencapai semifinal setelah menjadi juara grup disebut-sebut sebagai buah disiplin yang diterapkan pelatih barunya, Alfred Riedl.

Seusai pertandingan memilukan itu, manajer tim Indonesia, Andi Darussalam, sempat berbincang dengan Riedl. "Saya memberi selamat dan menanyakan kemungkinan dia bisa melatih Indonesia," kata Andi. Tapi yang membujuk pelatih asal Austria itu untuk menangani Indonesia tak lain rekan sebangsanya yang lebih dulu menetap di negeri ini, Wolfgang Pikal. "Pikal tahu saya sedang tak terikat kontrak dan memberi kabar bahwa Indonesia mencari pelatih," kata Riedl, yang dihubungi Pikal awal tahun lalu.

Pikal, yang bukan siapa-siapa di Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia, tak bisa serta-merta membawa Riedl ke Jakarta. "Ia hanya memberi cakram padat berisi informasi sepak bola Indonesia," kata Riedl. Masa penantian Riedl pun usai ketika Iman Arif ditunjuk sebagai Ketua Badan Tim Nasional. "Dengan Iman, hanya butuh seminggu untuk menangani kontrak," katanya. Riedl menyebutkan bahwa pemilik saham klub Liga Championship Inggris (satu level di bawah Liga Premier) Leicester City itu sangat mengerti keinginannya dan keperluan tim nasional. 

Sumber: tempointeraktif.com

Kompetisi dengan Spesialis Blunder dan Kado Penalti


JAUH hari sebelum dibuka, sudah terasa Kongres Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia akhir pekan lalu di Hotel Pan Pacific Nirwana Bali Resort, Tanah Lot, Bali, bakal berlangsung panas. Sehari sebelum acara, petugas keamanan hotel menghalau siapa pun yang tak berkepentingan. Polisi bertebaran di mana-mana. Belasan wartawan bahkan sempat diusir karena tak punya kartu izin meliput Kongres PSSI. Organisasi yang dipimpin Nurdin Halid itu memang sedang gonjang-ganjing, antara lain, karena lahirnya kompetisi tandingan Liga Primer Indonesia (LPI).

Pertikaian klub pendukung Liga Super Indonesia, yang bernaung di bawah PSSI, dengan klub yang "hijrah" ke Liga Primer menambah ketegangan kongres. Ada kabar ratusan suporter Bonek-pendukung klub Persebaya Surabaya, yang pindah ke LPI-akan menggelar unjuk rasa di Bali. Bonek memprotes kebijakan Ketua Umum PSSI Nurdin Halid yang membekukan keanggotaan Persebaya dan melarang eks Ketua Persebaya Saleh Ismail Mukadar menghadiri kongres. "Begini jadinya kalau PSSI dipimpin orang seperti Nurdin," ujar Saleh pedas. Bersama sejumlah pendukungnya, Saleh diam-diam sudah masuk arena kongres di hotel milik keluarga Bakrie itu. "Nurdin selalu bikin aturan sendiri," kata Saleh dengan kesal.

PSSI juga membekukan keanggotaan PSM Makassar, Persis Solo, Persibo Bojonegoro, dan Persema Malang. Selain Persis Solo, tiga klub itu sudah pindah ke Liga Primer Indonesia. Sejak awal Januari lalu, meski tidak direstui PSSI, liga yang digagas Gerakan Reformasi Sepak Bola Nasional dan pengusaha Arifin Panigoro itu memang sudah bergulir. Meski tak diundang, semua klub yang dicoret PSSI sudah merapat ke Bali. "Kami menganggap surat pembekuan ini tidak sah," kata Ketua Umum Persibo Taufik Risnendar.

Dari luar arena kongres, serangan terhadap PSSI tak kalah gencar. Sejumlah mantan pengurus PSSI-antara lain Sumaryoto, Tondo Widodo, dan Abu Bakar Assegaf-menggugat kepengurusan Nurdin Halid di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. "Mereka cacat hukum dan harus mundur secepatnya," kata Harjon Sinaga, kuasa hukum para penggugat.

Meskipun PSSI dirundung setumpuk masalah, sepak bola Indonesia dua bulan terakhir ini mendadak jadi buah bibir masyarakat. Ditangani pelatih asing Alfred Riedl, tim nasional mencapai final Piala Federasi Sepak Bola ASEAN, Desember lalu. Ketika tim nasional "tewas" di tangan negeri jiran Malaysia, publik kembali menyorot kepemimpinan buruk Nurdin Halid.

Selama tujuh tahun Nurdin memimpin PSSI, boleh dikata tak ada prestasi membanggakan. Indonesia tak sekali pun merebut Piala ASEAN. Satu dekade terakhir, Indonesia cuma jadi penggembira di panggung sepak bola dunia. Kompetisi kacau-balau, diwarnai kericuhan, baku hantam, juga dugaan pengaturan hasil pertandingan.

Pada pertengahan 2010, sebuah kantor auditor internasional diundang mencari tahu apa yang salah dengan pengelolaan klub-klub di Indonesia. Auditor itu memeriksa 16 klub-sebagian besar bertarung di Liga Super Indonesia, kompetisi divisi utama di negeri ini-dan menemukan fakta memprihatinkan. Meski menelan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sampai puluhan miliar setiap tahun, hanya tiga klub yang punya laporan keuangan teraudit. Bahkan hanya empat klub yang berbadan hukum. Selebihnya tak jelas bentuk organisasinya.

Semua klub tidak punya sistem pembukuan standar. "Laporan keuangan hanya dibuat dengan program Excel dan bisa diakses siapa saja tanpa proteksi memadai," tulis laporan itu. Semua klub tidak punya aset. Stadion, asrama, dan kendaraan merupakan pinjaman pemerintah daerah. Manajemen dan pemain datang dan pergi. Sebagian pemain dan pelatih tak punya kontrak hitam di atas putih. Laporan setebal 165 halaman itu menunjukkan betapa kacau manajemen sepak bola di negeri ini.

Tak mungkin prestasi lahir dari keadaan runyam begini. Ada indikasi, dalam kompetisi, semua bisa diatur. Segala cara dianggap halal, termasuk mengatur wasit, kartu kuning dan merah, juga skor pertandingan. Bahkan pengaturan diduga sampai pada penentuan klub juara. Kemenangan diraih lewat jalan apa saja, demi mempertahankan kucuran anggaran (APBD) dan prestise daerah.

Sumber: tempointeraktif.com

Tempo Bongkar Habis Kebobrokan “KoruPSSI” Laga ISL!


tempointeraktif.com

Tulisan saya terdahulu tentang PSSI Langgar FIFA Statutes, Ngaku Saja Lah! ternyata mendapat respon yang sangat besar baik dari jumlah pembaca maupun jumlah respon komentarnya. Mayoritas pembaca mengiyakan berbagai pelanggaran PSSI terhadap statuta FIFA sekaligus mereka men-support untuk membongkar lagi kebobrokan pada kompetisi ISL dibawah asuhan PSSI.

Ternyata minggu ini majalah Tempo membongkar habis KORUPSSI pada laga ISL. Berbagai bentuk kongkalikong serta kecurangan pada setiap pertandingan ISL di bongar habis-habisan. Mulai dari sandiwara pemain, wasit, agen, pelatih sampai deal-deal tingkat tinggi permainan skor pertandingan sepak bola. Intinya semua pertandingan dalam ISL sudah diatur, mungkin skor-nya pun sudah diatur lewat deal-deal di belakang meja.

1295939019948669509

Fifa.com

Inilah bukti nyata pelanggaran Statuta FIFA kelas berat yang selama ini dilakukan oleh PSSI, benar-benar Edan…..!!!

Inilah link untuk Laporan Utama Majalah TEMPO minggu ini:

Kompetisi dengan Spesialis Blunder dan Kado Penalti

Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia menggelar kongres tahunan di Hotel Pan Pacific Nirwana Bali Resort, Tanah Lot, Bali. Ketua Umum PSSI Nurdin Halid harus mempertanggungjawabkan kerjanya, dari prestasi tim nasional yang merosot sampai tudingan kompetisi yang bisa diatur. Suap dan mafia pertandingan merajalela. Ikuti investigasi Tempo soal jejaring rasuah di klub-klub sepak bola kita.

Dana Ajaib Raja Penalti

Pengeluaran klub yang bersumber dari APBD tidak jelas pencatatannya. Dipakai buat menggelembungkan kontrak, biaya nonteknis, hingga mendongkrak citra.

Uang Aman Pemimpin Lapangan

Kericuhan laga sepak bola sering dipicu keputusan wasit yang kontroversial. Diatur segelintir orang, uang dan lobi menentukan hasil akhir pertandingan.

Aneka Akting Lapangan Rumput

Para pemain menjadi bagian terpenting dalam kongkalikong pengaturan hasil pertandingan. Pemain asing pun bisa disuap.

Nirwan Bakrie:
Wasit Memang Agak Rawan


Arofiq
Sumber: kompasiana.com