Kamis, 09 Juni 2011

Ketika Keadilan (masih) Menjadi “Barang Mahal”

“Setelah selesai nanti, kamu mau menjadi apa?” tanya seorang teman kepada rekannya. “Aku mau menjadi seorang Pengacara,” jawabnya. “Kenapa tidak menjadi Hakim saja. Kamu pantas menjadi seorang Hakim!” tegasnya. “Ah.. Saya tidak punya cukup uang untuk menjadi Hakim.”


Seperti itulah percakapan dua rekan saya di tengah teriknya sinar matahari siang itu di Fakultas Hukum Unhas, Selasa, (19/4).

Harus diakui, penegakan hukum (law enforcement) di negeri ini masih diselimuti segudang permasalahan. Berbagai bukti telah tersaji, baik berdasarkan pengamatan langsung, melalui pemberitaan media, hingga wacana yang berkembang dalam masyarakat, telah cukup membuat kita miris akan kelangsungan negara hukum (rechstaat) ini. 

Lihat saja “opera penegakan hukum” yang selama ini dipertontonkan. Artalita Suryani, seorang terpidana suap atas Jaksa Urip yang diberi fasilitas mewah selama dalam tahanan. Plesiran terpidana kasus mafia pajak, Gayus Tambunan ke luar negeri, dengan terlebih dulu menyogok sejumlah petugas. Dan terakhir, terkuaknya pergantian narapidana (joki napi) di Lapas Bojonegoro, menjadi serangkaian potret buram sistem hukum kita.

Hal yang sangat kontradiktif dengan posisi hukum dihadapan masyarakat kecil. Masih membekas di benak kita akan vonis pidana penjara yang diterima Mak Mina, seorang nenek berumur 55 tahun, yang dituntut karena telah mencuri tiga buah kakao. Atau kasus Prita Mulya Sari beberapa waktu lalu, yang mengusik rasa keadilan kita. Mereka adalah korban diskriminasi hukum, yang lebih berpihak pada kalangan “berduit”.

Mak Mina dan Prita Mulya Sari mewakili kalangan rakyat tak berpunya, yang mendapat perlakuan diskriminasi hukum. Sementara Artalita dan Gayus adalah kalangan berpunya yang mendapat keistimewaan di depan hukum. Lantas, bagaimana dengan prinsip “persamaan di depan hukum” (equality under the law) yang selama ini didengungkan?


Krisis Moralitas

Dinamika yang terjadi dalam proses pencarian keadilan pada pranata hukum kita telah berkembang menjadi begitu kompleks. Keadilan sepertinya menjadi sesuatu yang langka dan sulit ditemukan. Kalaupun ada, harus “dibeli” dengan harga yang cukup mahal. Maka tak heran, yang dapat menikmati keadilan di negara hukum ini hanyalah segelintir orang, yaitu orang-orang yang mempunyai cukup uang untuk membelinya. Namun sebaliknya, praktik korupsi justru tumbuh subur dan semakin terjaga kelestariannya. 

Standar moralitas penegak hukum terbukti sangat rendah, terlebih jika mengamati realitas penegakan hukum kita saat ini. H. L.A. Hart (1965) mengatakan bahwa untuk menciptakan keadilan, hukum harus meliputi tiga unsur nilai, yakni kewajiban, aturan, dan moral. Karenanya, hukum tidak dapat dipisahkan dari dimensi moral (Imam Mustofa, 2007:3).

Jadi apabila ingin menciptakan keadilan dalam masyarakat, maka unsur moral harus terpenuhi. Belum terciptanya rasa keadilan atau dengan kata lain gagalnya penegakan hukum dalam masyarakat kita sampai saat ini, tidak terlepas oleh krisis moralitas yang melanda aparat penegaknya.

Mengutip apa yang disampaikan Prof. Satjipto Rahardjo, bahwa para penyelenggara hukum di negeri ini hendaknya senantiasa merasa gelisah apabila hukum belum mampu membuat rakyat bahagia.

Namun sayangnya, sekali lagi, aparat penegak hukum kita sepertinya masih enjoy dengan sistem yang terbangun saat ini, sekalipun disadari rusak. 


Keadilan Transaksional 

Keadilan adalah akhir dari proses hukum. Namun untuk mewujudkan hal tersebut, masih melewati proses panjang. Diawali dari proses pendidikan hukum di jenjang perkuliahan, hingga pada pembentukan karakter penegak hukum; Polisi, Jaksa, Hakim dan Pengacara, yang profesional dan berintegritas. Semuanya dilakukan secara bertahap, demi satu tujuan mulia, mewujudkan keadilan di tengah-tengah masyarakat.

Terkait proses rekruitmen, sedari awal saja sudah menuai banyak masalah. Utamanya terkait praktik nepotisme dan politik uang. Nepotisme terkait dengan sistem politik kekerabatan dalam perekrutan. Sementara politik uang, sudah menjadi “rahasisa umum” bahwa untuk dapat lolos seleksi, seorang calon harus “menyumbang” sekian juta, sekalipun dengan kualitas yang minim. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada juga diantara aparat penegak hukum yang profesional, berintegritas serta tetap menjunjung tinggi etika profesi, namun harus melawan ‘status quo’ yang sudah tercipta sebelumnya. 

Quo vadis praktik nepotisme dan politik uang di atas, yang selama ini merongrong wibawa penegakan hukum, serta mengusik rasa keadilan kita (common sense). Jadi, wajar saja apabila nada pesimis akan keadilan di negeri hukum ini masih setia bergema dari para pencari keadilan (justiciable). Ironis memang.

Kendati beragam fakta di atas tersaji di depan mata, pihak-pihak terkait tampaknya tutup mata dengan praktik buruk yang telah menjadi kebiasaan (custom) dalam kultur hukum kita, dan telah berlangsung lama. Ibarat pepatah “anjing menggonggong kafilah berlalu”, suara-suara yang meminta diadakan reformasi segera ditelan buta dan oleh tulinya tembok birokrasi. Sehingga tak ayal, aparat yang menjadi output dari kultur yang tidak bersih itu pun berwatak transaksional. Inilah yang kemudian penulis maksud sebagai Keadilan Transaksional. Saat segalanya diukur dengan uang. Saat dimana uang menjadi “raja”, dan penegak hukum yang bermental korup menjadi “budaknya”. 

Kondisi seperti yang digambarkan di atas sungguh-sungguh berimplikasi negatif terhadap moralitas penegakan hukum di negeri ini. Ada beberapa hal yang bisa dijadikan indikator. Pertama, pendekatan dalam rekrutmen instansi hukum lebih menonjol aspek nepotisme (kekeluargaan) dan politik uang (budaya sogok), serta mengesampingkan faktor kualitas. Seperti banyaknya jumlah aparat yang ada tidak sebanding dengan kualitas kinerja. 

Kedua, praktik korupsi karena penyalahgunaan jabatan (abuse of power) di dalam dunia hukum, seolah dianggap sebagai hal yang wajar dan sah-sah saja menurut para pelakunya. Kondisi ini dimaklumi mengingat proses sebelum menjadi penegak hukum umumnya, ditentukan oleh dua hal utama; kekerabatan dan politik uang. Untuk faktor kedua, lumrah kemudian actor penegak hukum akan berpikir untuk mengganti biaya yang telah dikeluarkan selama menjalani proses awal (rekruitmen), dengan menggunakan segala cara ketika telah menjabat.

Lalu apakah quo vadis sistem penegakan hukum (law enforcement system) kita selamanya akan seperti ini? Saya kira sudah saatnya untuk bertindak. 


Solusi Komprehensif

Berpijak pada pemaparan berbagai realitas yang telah tersaji, maka sudah saatnya reformasi di internal penegak hukum dimulai dari sekarang. Dengan mereformasi; institusi, watak serta mentalitas penegak hukum, sudah selayaknya aparatur hukum lebih mengedepankan nilai-nilai keadilan, yang termanifestasi ke dalam proses rekruitmen yang bersih dan transparan, karena proses rekruitmen adalah pondasi yang akan menguatkan penegakan hukum di masa mendatang.
Selain itu, dibutuhkan keberanian dan keseriusan untuk melawan sistem hukum yang telah mengakar (akut) ini. Jika diibaratkan sebuah bangunan, proses rekruitmen menjadi titik sentral dan cerminan terhadap bangunan hukum di negeri hukum ini.

Disamping itu, salah satu aspek penting dalam rangka penegakan hukum adalah penegakan hukum yang berbasis moral. Tanpa didukung kesadaran moral dari para aparatnya, non sense suatu norma hukum dapat berjalan dengan baik. Karena itu, jika aspek moralitas sudah terpenuhi, maka praktik “tawar-menawar harga” dalam proses rekruitmen instansi hukum, hingga plesiran seorang terpidana, tidak akan ditonton lagi. Semoga!

Menarik apa yang dikatakan Imam Muhammad Baqir, seorang ulama besar islam, yang mengatakan, “Orang yang paling besar penyesalannya di hari akhir adalah orang yang sudah mengenal keadilan, lalu ia menyalahinya dan menjalankan sebaliknya.”

Ahsan Yunus
Sumber: kompasiana.com

Merasakan Denyut Pasar Beringharjo Yogyakarta

Pasar Beringharjo masih menjadi tujuan utama berbelanja buat mereka yang bertandang ke Yogyakarta. Meski di Jalan Malioboro juga terdapat banyak toko batik dan suvenir, tetapi mereka masih belum dapat menandingi pasar Beringharjo.

Pada akhir pekan, lorong-lorong penjual batik di lantai dasar pasar ini pasti akan penuh sesak. Anda harus siap berdesakan dengan penjaja batik yang menawarkan dagangannya — juga dengan dua arus pengunjung yang berbelanja di lorong-lorong sempit itu.


Bagian depan Pasar Beringharjo. Foto: Tempo/Hariyanto

Di pasar ini, Anda bisa berbelanja mulai dari batik yang sudah jadi (baik dalam bentuk kain, cap maupun tulis). Beragam motif batik seperti Lasem, Madura, Bantul juga tersedia. Bahkan pakaian santai, daster, celana longgar, sampai gaun-gaun dan kemeja batik resmi juga dapat dicari.

Salah satu tempat yang bisa jadi pilihan adalah gerai batik Soenardi. Mereka punya dua los di lantai dasar pasar ini; satu di sebelah selatan pasar dan satu lagi di utara. Kedua los itu menyediakan koleksi yang berbeda. Kain-kain batik tulis dijual seharga Rp 110 ribu, sementara cap dijual mulai dari Rp 70 ribuan.

Jika Anda ingin mencari batik khas Bantul (yang selalu berwarna coklat tua dengan sisa kain dibiarkan putih), ada sebuah kios yang khusus berjualan itu. Sayangnya, kios ini tidak bernama atau bernomor. Untuk mendapatkan kios ini, masuklah dari pintu utama pasar di bagian depan lalu belok kiri di lorong kelima. Kios batik khas Bantul akan ada di sisi kiri Anda, dijaga oleh dua ibu tua yang berkebaya, kain dan sanggul.

Anda tinggal memilih dari beragam motif klasik seperti sidomukti, kawung, parang dan galaran. Per lembar kain batik dijual seharga Rp 65 ribu. Penjual batik khas Bantul dengan bangga mengatakan, mereka tidak menjual batik cap di kios mereka.


Berbagai macam batik yang bisa Anda temukan di Pasar Beringharjo. Foto: Tempo/Panca Syurkani

Di lantai tiga pasar, Anda akan menemukan tas-tas anyaman dari eceng gondok. Desain dan pewarnaannya pun cukup modern serta bergaya. Tas kecil yang bisa memuat dompet dan telepon genggam serta pernak-pernik lain sudah bisa Anda dapatkan dengan harga Rp 15 ribu.

Jika barang antik adalah minat Anda, berjalanlah ke bagian utara pasar. Koin uang kuno (benggol) juga dijual per paket mulai dari Rp 15 ribu, tergantung kelangkaannya. Di sana, pernik dapur seperti penggiling kopi pun bisa Anda dapatkan dengan harga murah. Selain itu, masih ada rempah-rempah kering, berbagai macam jamu, beragam aksesoris baju pengantin, sampai penganan seperti cendol dan sate gajih (lemak) yang harumnya menyebar di lorong-lorong pasar.

Pasar Beringharjo sebenarnya bukan hanya soal berbelanja, tapi juga manusia-manusia di dalamnya. Salah satu yang paling mengesankan (sekaligus membuat terenyuh) adalah para penjaja jasa gendong belanjaan atau mbok-mbok gendong yang berusia renta (60 tahun ke atas). Anda bisa mengenali mereka dari selendang yang tersampir di salah satu bahu. Mereka juga kadang akan mendekati Anda untuk menawarkan jasa menggendong atau memanggul dengan imbalan beberapa ribu rupiah saja.

Oleh Isyana Artharini
id.travel.yahoo.com

Pantai Siung, Pesona Baru Yogyakarta

Pantai Siung adalah salah satu pantai di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Meski termasuk yang paling baru dikenal, pantai ini telah menjadi andalan wilayah tersebut. Belum lama ini, saya mengunjungi pantai itu dan menyadari potensi wisata yang dimilikinya.

Siung terletak di Kecamatan Tepus, sekitar 70 km dari Yogya. Berbeda dengan pantai-pantai yang telah lebih dahulu dikenal seperti Parangtritis, Siung termasuk pendek. Pantai ini terletak di cekungan yang panjangnya hanya sekitar 300-400 m. Namun justru di sinilah letak keistimewaannya.

Pantai pendek ini dikelilingi oleh karang-karang besar berwarna kehitaman, yang sebagian besar ditumbuhi vegetasi dan lumut hijau. Paduan laut biru jernih dan karang kehijauan menambah keindahan panorama tempat ini.


Pantai Siung. Foto: Puput Aryanto

Siung bukanlah pantai yang paling ideal untuk berenang karena menghadap langsung ke Samudera Hindia. Topografi pantai yang berkarang dan berbatu serta ombak yang besar pun menyulitkan Anda untuk berenang. Tak heran pemerintah setempat memasang tanda larangan berenang. Namun, tentu Anda masih bisa bermain-main air di pinggir pantai.

Keistimewaan lain dari pantai ini adalah masih banyaknya pepohonan di pinggir pantai. Anda tinggal menyewa tikar dari penduduk sekitar dan berteduh di bawah pohon-pohon itu.

Selain cocok sebagai tempat melarikan diri dari kesibukan sehari-hari, Siung sangat sesuai bagi Anda yang memiliki hobi fotografi. Pantai yang pendek dan dibatasi karang-karang justru merupakan objek foto yang sangat menarik.

Bila tidak keberatan mengeluarkan keringat, Anda dapat mengikuti jalan setapak di sisi kiri pantai untuk mencapai puncak tebing. Sekitar 10-15 menit dibutuhkan hingga sampai ke puncak. Dari sana, akan terlihat keseluruhan pantai dan karang-karang besar di sisi kiri dan kanan. Juga terlihat Pantai Wediombo yang berada di sisi sebelah timur Siung.

Selain menjadi objek wisata dan foto yang menarik, daerah di sekeliling Pantai Siung juga sering dijadikan tempat latihan panjat tebing. Mahasiswa pencinta alam di Yogya — dan bahkan luar kota — sering berlatih di sini, memanfaatkan tebing-tebing dengan ukuran bervariasi dan jalur yang beragam.

Karena baru dikenal beberapa tahun belakangan ini, Siung belum banyak dikunjungi wisatawan. Air lautnya masih jernih, karang-karangnya pun masih bebas dari tangan-tangan jahil manusia.

Penduduk setempat telah membangun warung, toilet dan mushola di pantai ini. Berbeda dengan tempat wisata kebanyakan, harga-harga di pantai ini masih tergolong normal sehingga pantai ini dapat menjadi opsi jalan-jalan murah bagi Anda.

Bila perut mulai melilit, Anda dapat mendatangi salah satu warung yang berjajar di pinggir pantai. Biasanya mereka menyediakan mi instan, nasi dan lauk, serta es kelapa muda. Anda juga dapat meminta penjaga warung untuk memasakkan ikan yang baru ditangkap nelayan.

Sayangnya, di daerah ini banyak nelayan menangkapi bayi hiu padahal hewan itu adalah salah satu spesies yang dilindungi.


Menuju Siung


Dengan kendaraan pribadi dari Yogya, Anda tinggal menuju ke Jalan Wonosari. Dari Yogya hingga ke Wonosari, ibukota Gunungkidul, dibutuhkan waktu sekitar 1-1,5 jam perjalanan. Hati-hati terhadap jalan yang menanjak dan berliku.

Sampai di Wonosari, Anda tinggal mengikuti jalan ke arah Pantai Baron hingga persimpangan yang menuju ke Pantai Siung. Total waktu yang dibutuhkan untuk mencapai Siung sekitar 2-2,5 jam tergantung moda transportasi dan kecepatan kendaraan Anda.

Bila Anda memilih kendaraan umum, Anda harus naik bis ke terminal Wonosari. Di sana Anda harus berganti dengan minibus arah Tepus atau Jepitu. Di perhentian terakhir Anda harus menyewa ojek.

Karena jalur transportasi umum masih kurang memadai, cara ini tidak disarankan. Anda yang berasal dari luar kota lebih baik menyewa motor/mobil di Yogya, dan menempuh perjalanan sendiri hingga lokasi yang dituju.

Jangan khawatir, seperti hampir keseluruhan wilayah Yogyakarta, akses jalan hingga ke tempat-tempat terpencil – termasuk Siung dan pantai-pantai di sekitarnya – adalah jalan aspal halus. 

Dengan kendaraan pribadi, Anda juga akan lebih mudah untuk mengunjungi pantai-pantai lain di wilayah itu, antara lain Sundak, Krakal, Wediombo dan Sadeng. Mari kita ke Yogya!

Harga tiket (pungutan resmi)
Orang   Rp 1000
Mobil    Rp 1500
Motor   Rp 1000

Parkir
Mobil    Rp 5000
Motor   Rp 2000 



Oleh Olenka Priyadarsani
id.travel.yahoo.com 

Benci Rindu pada Pak Harto-Selamat Ultah 8 Juni 1921-2012

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjcFYgSFUCql9J0bRrH0zc4EqgoMec68qbo7cIAnP45mr_XDgfZpXOVwTMl7psyMYVCQOcUT0cXQjqiNRRzKfFsKub5xv-1Mukl46MhnR3PujtRT3WHLCMpl_7AVyJ-AUFpoPtLIV8nOYzQ/s1600/suharto.jpg
BENCI DAN RINDU PADA PAK HARTO
Tom Saptaatmaja

Masih ingat, siapa takoh besar yang lahir 8 Juni hari ini? Benar, Soeharto. Sosok yang lahir pada 8 Juni 1921 dan wafat 27 Januari 2008 itu adalah sosok besar yang pernah memimpin Indonesia.Sejarah tidak mungkin akan menghapus.Bahkan hari-hari ini, di saat harga sembako kian mahal,banyak orang merindukan atau kangen berat pada Pak Harto.

Memang Pak Harto selalu penuh kontroversi.Tokoh-tokoh besar sepanjang sejarah memang selalu mengundang kontroversi. Tanpa kontroversi yang membelah publik dalam dua kubu yang mengagumi dan membenci,maka kebesaran sang tokoh malah patut dipertanyakan.

Kita masih ingat,sejak 100 hari wafatnya hingga saat ini, para pengagum Soeharto terus mendesakkan keinginan agar pemerintah SBY segera menganugerahkan gelar pahlawan nasional pada Soeharto. Alasannya, Soeharto dipandang sebagai putra terbaik bangsa yang pernah memimpin dan mempertahankan kesatuan Negara.

Sebenarnya usulan memberi gelar kepahlawanan itu sah-sah saja diajukan Berdasar Undang-Undang no 33 tahun 1964, terdapat tiga kriteria untuk penetapan pahlawan nasional yakni warga negara Indonesia, berjasa dalam membela bangsa dan negara, tidak pernah cacat dalam perjuangannya.

Oleh kubu yang membenci Pak Harto, sosok satu ini dinilai sudah banyak cacatnya sehingga tak layak diberi gelar pahlawan nasional. Ini bisa dirunut dari saat ketika Pak Harto meraih kursi RI-1 lewat Supersemar 1966.Lewat surat itu, Pak Harto bisa dikatakan mengambil alih posisi Bung Karno sebagai Presiden. Ironisnya, dalam beragam kesempatan pasca Supersemar, Bung Karnopun membantah posisinya telah diambil alih Soeharto.

Toh fakta kemudian berbicara, setelah menggenggam Supersemar, Soeharto mampu merekayasa Sidang Umum MPRS pada Juni 1966 dengan dua TAP (TAP MPRS No IX/1966 dan TAP MPRS No XV/1966 yang mengukuhkan posisinya. Dengan dua TAP itu, pada 12 Maret 1967, Soeharto dilantik sebagai Penjabat Presiden, dan akhirnya pada 27 Maret 1968 dilantik sebagai Presiden RI kedua oleh MPRS, lalu dipilih kembali oleh MPR pada 1973 hingga 1998.

Begitulah, langkah Pak Harto meraih RI 1 mengesankan tidak ada pertumpahan darah atas Bung Karno. Namun bagi para pendukung Bung Karno atau yang dicap PKI, darah itu tetap tertumpah.Angkanya jutaan. Sebagian lain hingga kini jadi “eksil” di Eropa dan bagian lain dunia. Masalah PKI ini hingga sekarang membelah bangsa ini dalam dendam, seperti drama karya Michael Christopher yang berjudul “The Black Angel” tentang kebencian yang tak bertepi.


Machiavelli

Kelihaian Soeharto dalam meraih kekuasaaan bisa dilihat dari beragam persepektif. Tapi entahlah dalam hal ini, penulis teringat pemikiran dasar Niccolo Machiavelli tentang politik. Seperti diketahui, filsuf berdarah Yahudi bernama Italia yang hidup pada 1469-1527 sangat diagungkan oleh para diktator yang doyan menghalalkan berbagai cara, seperti tampak dari karya abadinya Il Principe.

Memang sejatinya, lewat karya-karyanya, Machiavelli layak disebut sebagai peletak dasar ilmu politik dan pemikir awal yang mendorong terjadinya proses sekularisasi (desakralisasi) politik. Tapi publik termasuk para ditator atau politisi banal negri ini (termasuk mungkin Pak Harto) terlanjur lebih menyukai tafsir Machiavelli sebagai penganjur politik yang menghalalkan semua cara. Dalam upaya meraih dan mempertahankan kekuasaan, segala cara bisa ditempuh, mulai dengan berbohong hingga membunuh serta menyingkirkan segenap lawan politik (Buku Il Principe).

Kalau kita menyimak 32 tahun kekuasaan Pak Harto, praksis (teori dan praktik) politik “machiavellian” dengan mengabaikan etika atau moral amat menonjol. Semua hal terpusat pada Soeharto dan bagaimana kekuasaannya bisa dilanggengkan di tangannya. Memang ada pemilu atau parpol, tapi semua diskenario demi menunjukkan dia seorang demokrat.Padahal nyatanya tak ada demokrasi. Mediapun dibungkam..Kalau macam-macam, dibreidel. Penyingkiran lawan politik seperti pembuangan ke Buru, Penembakan Misterius (Petrus) dan penculikan para mahasiswa, sungguh mengabaikan etika. Martabat manusia bisa dikorbankan demi kekuasaan. Tidak heran korupsi dan segala bentuk KKN lain mulai tumbuh subur justru di era Pak Harto. Tidak ehran,pasca wafatnya, suara anti Suharto begitu dominan.Pak hato benar-benar dibenci.

Dan jujur saja, praksis politik di tanah air hingga saat ini masih bercorak “machiavellian”. Jajaran birokrasi dari era Pak Harto belum tersentuh reformasi, kendati wacana reformasi birokrasi kerap diwacanakan. Orientasi politik masih pada jabatan alias kekuasaan.Bukan kesejahteraan rakyat. Kesejahteraanpun hanya dirasakan segelintir orang yang beruntung memegang kekuasaan.Mereka tidak mengenal krisis, meski dunia tengah dilanda krisis pangan dan energi.

Aparat hukumpun doyan memanipulasi hukum sehingga jual beli perkarapun seperti kasus terbaru tertangkap tangannya Hakim PN Jakarta Syarifudin oleh KPK(2 Juni 2011). Keadilanpun makin menjadi “barang langka”. Para wakil rakyatpun hanya berorientasi UUD (Ujung-Ujungnya Duit), seperti dinyanyikan Slank.Atau mungkin seperti disuarakan Permadi,sebenarnya kini tak ada wakil rakyat?Yang hada hanya wakil partai,sehingga tiap anggota DPR/D hanya sibuk berjuang demi partainya,bukan demi rakyat.

Pantas tak ada empati untuk rakyat yang seharusnya mereka wakili. Persetan, wong cilik korban busung lapar atau gizi buruk. Persetan upah rendah buruh, meski Istana Presiden kerap jadi sasaran unjukrasa para buruh.Paling kemiskinan malah jadi jualan politik demi kekuasaan.


Kangen Berat

Lihat wong cilik terus menjerit akibat mahalnya harga sembako, minyak tanah atau listrikHidup makin berat bagi mereka. Jadi turunkan segera harga sembako!Jangan salahkan wong cilik jika mereka kini rindu berat pada Pak Harto,karena dijamannya harga beras amat murah,bahkan Indonesia swasembada beras dan dipuji FAO di Roma pada 1985. Minyak tanah masih murah,sementara kini memakai kompor gas harus siap mati.

Di jaman Pak Harto, segalanya berjalan stabil, tak ada teror, bom atau senjata rakitan.Kaum minoritas juga dilindungi sehingga tempat ibadah juga tak dibakar. Jumlah penduduk juga belum membengkak, kepemilikan asing belum merajalela seperti sekarang, pembangunan diprogram secara sistematis.Ada fokus jelas ke masa depan Indonesia mau seperti apa.Masa depan Indonesia,seharusnya semanis dan sewibawa senyum Pak Harto!

Begitulah sosok Pak Harto, selalu mengundang benci dan rindu.

Sumber: kompasina.com

Pancasila Disekolahkan

1307558428481416577

Admin/Kompas-Photo Agus Susanto

Beberapa hari lalu saya sempat baca di teks news salah satu televisi bahwa Pancasila akan dimasukkan ke kurikulum pendidikan. Saya tak tahu pendidikan tingkat apa yang dimaksud; apakah tingkat dasar, menengah, atas, atau perguran tinggi. Saya juga tak tahu apakah meng-kurikulum-kan pancasila ini sebagai mata ajaran khusus atau diselipkan dalam mata pelajaran yang sudah  lebih dulu ada.

Saya tidak tertarik untuk mencari tahu lebih lanjut apa maksud dari memasukkan pancasila ke dalam kurikulum itu. Saya hanya berharap seandainya hal itu telah menjadi kebijakan dan yang ditempuh adalah menyelipkannya pada mata pelajaran yang sudah kian ada, semoga saja diselipkannya bukan pada mata pelajaran matematika.

Saya sangat mengkhawatirkan, jika Pancasila diselipkan pada mata pelajaran Matematika maka beban para siswa akan sangatlah berat. Berdasarkan pengalaman saya menempuh sekolah dan pengamatan saya pada anak-anak saya serta generasi pada umumnya yang sedang menempuh sekolah sekarang ini, saya menyimpulkan bahwa matematika adalah pelajaran yang paling tidak disukai sekaligus mata pelajaran yang paling sulit.

Cobalah kawan kompasianer bayangkan…. Matematika yang sangat rasional itu saja sudah sulit, kalau ditambahkan dengan Pancasila yang sulit dilaksanakan sejak dicetuskan, maka akan terjadilah kesulitan kuadrat pada otak para siswa yang sedang belajar. Kesulitan saja sudah menjadi masalah, maka kalau sudah dikuadratkan tentunya akan menjadi masalah yang lebih besar. Benar-benar mengkhawatirkan.
Oh ya… beberapa waktu yang lalu saya juga baca berita bahwa Mahfud MD membuka acara Cerdas Cermat Pancasila tingkat sekolah dasar di pinggiran kota Jakarta. Nah, ini mungkin bagian dari uji coba mengasah keilmuan Pancasila pada anak sekolah dasar, sebelum akhirnya dijadikan kurikulum secara permanen dalam mata pelajaran.

Mungkin tahun ajaran baru yang tinggal beberapa bulan lagi menjadi tahun ajaran penting dalam dunia pendidikan. Barang kali mulai tahun ajaran ini, Pancasila secara resmi masuk sekolah. Ya, benar-benar masuk sekolah.

Sementara pancasila menjadi ramai di sekolah, lalu kapan Pancasila masuk istana? Kapan Pancasila masuk parlemen? Kapan pula Pancasila masuk Pengadilan?

Kelihatannya, memang beginilah cara para cendikiawan negeri ini menyikapi setiap masalah. Yakni, dengan cara melemparkannya pada generasi yang akan datang tanpa mau bersusah payah memulai tindakan konkrit. Sebagaimana kegagalan pemberantasan korupsi, lalu untuk menunjukkan komitmen maka sikap anti korupsi disisipkan pada kurikulum (masuk sekolah juga deh). Begitu juga saat terjadi kegagalan membenahi lingkungan hidup maka lingkungan hidup masuk dalam kurikulum. Pembenarannya adalah, agar generasi muda menyerap nilai-nilai — lingkungan hidup, anti korupsi, pancasila, dan lain-lain agenda isu –  dan mempraktekkannya pada era mereka kelak.

Meng-kurikulum-kan setiap isu dan persoalan yang kita hadapi saat ini adalah gagasan yang kelihatannya sangat mulia. Tapi dibalik itu kita lupa bahwa anak-anak yang sedang belajar, justru lebih banyak belajar pada tindakan orang tua dan pemimpinnya dari pada belajar pada buku. Dibalik gagasan mulia itu pula, sesungguhnya kita menumpuk persoalan dan melemparkannya pada generasi yang akan datang. Dibalik gagasan mulia itu kita telah mengupayakan sebuah alibi cuci tangan yang manis dan indah.

Khusus dalam persoalan Pancasila, mengkurikulumkan dan mencerdas-cermatkan Pancasila sebagai bentuk implementasi komitmen para petinggi negara, adalah sebuah tindakan penyesatan. Penyesatan, karena Pancasila eksistensinya paling utama seharusnya ada pada lembaga negara dan pada kebijakan para penyelenggara negara, bukan di bangku sekolahan. Jika Pancasila memang dianggap sebagai nilai-nilai luhur yang telah hidup dan berkembang dan dianut oleh rakyat Indonesia, maka seharusnya ia tak perlu diajarkan melainkan tinggal dipraktekkan. Oleh karena Pancasila adalah dasar negara maka praktek tersebut hanya bisa dibuktikan dan diujikan dalam penyelenggaraan negara, bukan pada perilaku individu anak bangsa.

Penyesatan Pancasila melalui tindakan penyekolahan dan kurikulum pernah dilakukan oleh era Orde Baru. Saat itu Pancasila sempat menjadi mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Pancasila dibahas dan dihapalkan di sekolah-sekolah. Tetapi pada saat yang sama ketidakadilan dalam penyelenggaraan pemerintahan terjadi. Pada saat yang sama kritik dibungkam dan mufakat dilaksanakan tanpa musyawarah. Pada saat Pancasila dipelajari di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, pada saat yang sama kita dihantui pertikaian dengan dalih SARA (suku, agama, ras dan antara golongan). Begitu pun dengan keyakinan akan Tuhan sering kali dibatasi. Walhasil, pendidikan Pancasila itu akhirnya justru menegasi Pancasila itu sendiri karena adanya kesenjangan yang nyata antara dunia kelas dan dunia diluar kelas. Apakah SBY dan para pejabat negara ingin mengulangi modus yang gagal ini?

Wahai SBY, Wahai Mahfud, Wahai para pemimpin rakyat Indonesia… ketahuilah, bahkan Bung Karno Sang Penggali Pancasila itu tak memasukkan Pancasila sebagai kurikulum pelajaran sekolah. Beliau cuma mengingatkan kita untuk bekerja keras mewujudkan nilai-nilai Pancasila serta merumuskan formula Trisaksi untuk tercapainya Pancasila yakni: Berdaulat dibidang Politik, Berkepribadian di bidang kebudayaan, serta Berdikari di bidang ekonomi.

Fidel Gipati Diawa

Sumber: kompasiana.com

Pak Harto Menginspirasi Iwan Fals

http://media.vivanews.com/thumbs2/2010/10/18/97886_presiden-soeharto_300_225.jpg http://t0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTRPN1q1svoGd_BuO-3zexhJykwuXpc7ggzEpzVqeml2EXun5yrgA

Buku setebal 600 halaman berjudul “Pak Harto, The Untold Stories” baru saja diluncurkan dan dihadiri banyak tokoh yang tentu saja dekat dengan Pak Harto semasa hidup. Buku yang menceritakan kenangan para tokoh Orde Baru ketika dekat dengan Pak Harto ini tentu menarik untuk disimak, mengingat Pak Harto adalah mantan Presiden Indonesia ke dua dan berkuasa selama 32 tahun. Buku tersebut juga, katanya disertai foto-foto yang belum pernah beredar di media, koleksi dari salah satu putri Pak Harto.

Pak Harto memang cukup fenomenal sebagai presiden di era Orde Baru, bahkan sekarang pun masih banyak yang merindukan sosok seperti Pak Harto untuk memimpin Indonesia kembali. Lalu apa hubungannya dengan Iwan Fals?

Iwan Fals pun tokoh yang kharismatik, ekspresif, dengan kreatifitas yang unik serta memiliki nasionalisme yang tak diragukan lagi, syair-syair lagunya telah mengatakan isi hatinya dan mampu membangkitkan reformasi di Indonesia. Sudah banyak sekali sisi-sisi Iwan Fals yang sudah diterbitkan menjadi buku, skripsi atau pun reportase yang tak pernah dilewatkan oleh para fansnya. Begitulah karisma salah satu the legend Indonesia, superstar yang kita punya.

http://budiarto.org/blog/wp-content/uploads/2007/05/iwan_fals.jpg http://fadjroel4president2009.files.wordpress.com/2009/04/time.jpg?w=150&h=187


Pak Harto sebagai Presiden, Iwan Fals menapaki karir di era beliau. Keduanya menjadi besar dalam perspektif yang berbeda, yang satu sudah dinobatkan sebagai JENDRAL BESAR , satunya lagi ditetapkan sebagai PAHLAWAN BESAR ASIA.Presiden Soeharto tentu sudah menjadi pahlawan bagi mereka yang setuju dengan kebijakan-kebijakan beliau saat memimpin dulu, walau legitimasi gelar pahlawan belum resmi dikeluarkan pemerintah. Sementara Iwan Fals sudah ditetapkan sebagai Pahlawan Besar Asia oleh majalah Time Asia.

Sebutan pahlawan tentu tak jauh dari perjuangannya dalam membela bangsa dan negara, kalau perlu nyawa dipertaruhkan. Lantas apa pengorbanan Iwan Fals dibandingkan Pak Harto untuk bangsa dan negara ini? Lewat KARYA, saya kira itulah yang menjadikan Iwan Fals ditetapkan sebagai Pahlawan Besar Asia, karya-karyanya memberi pengaruh besar di tengah masyarakat luas. Apakah Iwan Fals atau Pak Harto dalam berkarya itu untuk memburu GELAR PAHLAWAN? Saya kira mereka berdua mimpi pun tidak. toh akhirnya Iwan Fals memang lebih dahulu mendapatkan GELAR PAHLAWAN daripada Pak Harto. Yang satu masih hidup sudah dapat gelar pahlawan, yang satu sudah meninggal belum dapat gelar pahlawan dari pemerintah.

Era kepemimpinan Pak Harto memang ada masa “keterbukaan”, namun realisasinya jauh dari harapan dan kenyataan. Pers banyak kena bredel, gerakan-gerakan mahasiswa terpasung, Iwan Fals tetap berkarya walau sering kena CEKAL juga, namun semangat perlawanan atas ketidakadilan dari realitas sosial dan politik menjadi inspirasi lagu-lagunya. Bahkan tak jarang karena lagunya dianggap menyinggung “penguasa” maka Iwan harus berurusan dengan pihak berwajib. Sebab banyak karya-karyanya yang diotak-atik oleh masyarakat penggemarnya sebagai bentuk protes kepada dinasti Cendana waktu itu, maka membuat daftar cekalnya makin berderet saja menimpanya.

http://images.detik.com/content/2011/06/08/10/Buku-Pak-Harto-(Ian)-dalam.jpg



Terbitnya buku  “Pak Harto, The Untold Stories”  mengingatkan saya akan lagu terakhir Iwan Fals di Album Keseimbangan yang berjudul JENDRAL TUA, tak pelak lagi syair lagu tersebut terinspirasi dari Pak Harto, tentu saja sudah melewati fase perjalanan batin di masa lalunya, melewati antropologi politik dalam lingkup kekuasaan rezim Orde Baru yang dikomandani Pak Harto sebagai Jendral Besar, yang masih menyimpan banyak tanya itu. Simaklah syair dan lagunya itu dalam balutan langgam yang cukup jenaka.


JENDRAL TUA 

Penyanyi : Iwan Fals
Album : Keseimbangan
Judul lagu : Jendral Tua


Jendral tua foto ditengah keluarga
Tersenyum dingin memandang kamera
Istrinya mati, anak dan adiknya dipenjara
Apa jadinya dan apa isi hatinya
Jendral tua masih tampan dan perkasa
Tersebar kabar banyak yang jatuh cinta
Oh medan laga, menganga minta digoda
Oh kuru setra, pada perang saudara
Jendral tua bererot jasa didadanya
Menagih janji pada ibu pertiwi
Mungkinkah ia seorang prajurit sejati
Kalaulah iya, wah sungguh celaka
Jendral tua legenda hidup nyata
Ahli strategi jago sudah teruji
Melahap sepi, didalam kamarnya sendiri
Masihkah ia, tergoda oleh dunia
Jendral tua semoga kuat imanmu
Tetaplah begitu dan tetap disitu
Cahaya itu, ingatkan aku pada bapakku
Tetap begitu, tetap di pertapaan sucimu
Jendral tua kini tinggal cerita
Diperut Lawu rumah abadimu
Janjikan madu, dan racun bagi anak cucumu
Bagai sembilu, perihkan tulang sumsumku
Tinggalkan soal, yang rumit bagi para begundal
Semoga saja, yang ditinggal tak jadi sundal
Sundal…!


http://img19.picoodle.com/img/img19/3/12/23/blijunk/f_Soehartom_7816723.jpg http://koran.republika.co.id/images/news/2009/04/20090420182055.jpg
Illustrasi :us.nasional.vivanews.com, mandun6.wen.ru,bekatul.info, fadjroel4president2009.wordpress.com,

Tante Paku

Sumber: kompasiana.com

Bencana Tatanegara

Pembagian kekuasaan—berwujud tiga kelembagaan—dalam negara demokrasi modern, diikuti kesadaran bahwa setiap individu dalam setiap lembaga itu sama-sama bisa menyimpang, cenderung korup. Itu artinya, efektivitas pembagian tugas itu hanya bisa berjalan kalau-kalau secara rasional fungsi saling mengawasi, bahkan kerja sama di antara lembaga itu memadai. 

Pembagian tugas itu umum kita kenal dengan istilah fungsi legislatif (pembuat aturan), eksekutif (pelaksana aturan), dan yudikatif (pengawas pelaksanaan aturan). Andai ada satu atau dua di antara lembaga itu yang korup, maka satu di antaranya yang akan langsung mengoreksi, pun sebaliknya. 

Fungsi saling koreksi, saling mengingatkan menjadi penting bagi ketiganya dalam melaksanakan tugas kenegaraan. Maka, adalah bencana besar kalau-kalau ketiga lembaga ini di satu titik sama-sama mengalami degradasi. Karena sudah barang tentu tidak ada lagi sarana legal yang bisa diharapkan untuk memperbaiki, selain revolusi legal rakyat jelata

Konteks Indonesia, secara keseluruhan, hampir di semua lini ketiga lembaga itu korup. Ini haruslah dibaca sebagai tanda-tanda kita hendak menuju kiamat sebagai negara-bangsa. Kalaupun tidaklah runtuh, masa depan Indonesia akan terus terpuruk. Tidak akan ada perubahan mendasar menuju perbaikan, andai situasi buruk ini terus berjalan. Kita perlu melakukan sesuatu.

Mari kita cermati kondisi ketatanegaraan Indonesia, sebagai organisasi kelembagaan. Di area eksekutif, artinya sebagai pelaksana aturan, sudah tak terbantahkan lagi, bahwa area itu telah lama mengalami pembusukan. Mungkin di lembaga kepresidenan belum pernah ada satu kasus hukum yang mencederai lembaga itu. Tetapi, bagaimana dengan pelaksana tugas eksekutif lainnya, semisal Gubernur dan Bupati atau Wali Kota. Fakta yang ada, 16 Gubernur di Indonesia pada tahun 2010 dilaporkan terjerat kasus hukum. Malahan, Bupati atau Wali Kota, jumlahnya amat besar, 150-an tersangkut skandal korupsi. 

Legislatif juga tak lepas dari skandal suap, bahkan seks. Para pemangku jabatan yang merasa diri sebagai wakil rakyat itu kini didera isu calo anggaran pembangunan daerah. Mereka, utamanya yang menjadi Anggota Badan Anggaran, oleh Wa Ode Nurhayati, disebut-sebut kerap merampok uang pambangunan daerah 7% hingga mencapai 15%. Setiap daerah yang memperoleh Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID), wajib bagi daerah itu untuk dipotong atau menyetor sejumlah dana kepada anggota dewan tertentu. 

Akibat praktik percaloan itu, 120 kabupaten kota dan 10 provinsi yang seharusnya mendapat anggaran DPID akhirnya tidak kebagian. Bayangkan, 120 kabupaten kota dan 10 provinsi tak kebagian dana penyesuaian infrastruktur daerah 2011. Celakanya, tidak seorang pun anggota DPR dari daerah pemilihan di 120 kabupaten kota dan 10 provinsi itu yang protes. Aneh! 

Lain lagi dengan area yudikatif, tak kalah rusak. Hari-hari ini lembaga kehakiman lagi ditampar kasus hakim Syarifuddin Umar, yang tertangkap tangan menerima suap Rp250 juta di kediamannya. Kasus memalukan itu muncul di tengah kampanye pembersihan yang gencar dilakukan Mahkamah Agung (MA). MA selama 2010 telah menindak 107 hakim, sedangkan 2009 sebanyak 78 hakim. Dari 107 kasus itu, sebanyak 35 hakim mendapat sanksi berat, 12 hakim kena sanksi sedang dan 60 hakim kena sanksi ringan.

Dalam soal penegakan hukum, bukan saja hakim, namun semua lini lembaga penegak hukum kita, baik di Kepolisian, Kejaksaan, bahkan Pengacara secara nyata juga rusak dan mengalami pembusukan. Sebelumnya, kasus rekening gendut, milik sejumlah petinggi Polri sempat mencuat, namun kini tak jelas lagi rimbahnya. Pun, kasus Cirus Sinaga, sebagai Jaksa, telah mencoreng wajah Kejaksaan kita. Konteks Pengacara, Haposan Hutagalung, adalah bukti kecil saja betapa tak kalah berpotensi bobroknya sudut dunia hukum yang satu ini. 

Gambaran fakta buram penegakan hukum kita ini hanya kian membuktikan bahwa hukum di Indonesia untuk—mungkin bakal lama—waktu mendatang masih akan seperti ini: tak jelas dan hanya akan dipenuhi retorika penegakan hukum palsu. Hukum yang berkeadilan masih akan sekadar mimpi. Apalagi, kalau kerusakan sistem ketetatanegaraan kita, mulai dari legislatif, eksekutif, hingga yudikatif memang sangatlah buruk rupa!


Ambil momentum

Secara dramatis, Suara Pembaruan (SP), melalui Tajuk Rencana, Selasa (07/06/2011), menurunkan rasa keprihatinannya. Berjudul “Hakim Penjaja Hukum”, SP hendak mendorong agar lembaga yudikatif, khususnya MA, agar menjadikan kasus hakim—maaf—tidak punya malu itu, menjadi momentum pembersihan di dalam institusinya itu. Langkah MA me-nonaktifkan sementara hakim Syarifuddin Umar, demi kelancaran pemeriksaan, adalah tepat. Tapi itu saja tidaklah cukup. 

Kita perlu mengawasi agar proses hukum yang berjalan tidaklah menyimpang ke kiri dan ke kanan, harus tuntas. Kalaupun harus disangkutpautkan dengan kasus-kasus lain juga perlu, selama ada bukti yang cukup. Ini menjadi wajar, sebab hakim Syarifuddin ini, juga dikenal sebagai pengadil yang suka membebaskan tersangka kasus korupsi—terhitung sekitar 39-an terdakwa yang bebas di tangannya. Kasus bebasnya Gubernur Bengkulu Agusrin Najamudin, yang juga kader Partai Demokrat (PD), adalah satu diantara contoh kasus vonis bebas yang oleh banyak pihak dirasa vonis yang aneh dan ganjil. ICW mencatat ada 12 kejanggalan dalam vonis bebas itu (Lengkapnya lihat di sini). 

Adalah memungkinkan kalau-kalau vonis bebas itu juga perlu kita ragukan kebenarannya, dan disikapi secara serius, utamanya oleh Komisi Yudisial (KY), mengingat belum lama sesudah vonis bebas, fakta suap terhadap hakim Syarifuddin itu terkuak. Mungkinkan kalau vonis bebas Gubernur Bengkulu juga sarat dengan manipulasi putusan? Sangat mungkin!

Di bagian yang sama, bagi SP, “negeri ini tidak akan menjadi negara yang maju dengan rakyat yang secara sukarela mematuhi hukum apabila masih ada hakim yang justru menjajakan hukum dan memperdagangkan keadilan.” Benar, sebab walau adalah kewajiban warga negara untuk taat hukum, tetapi dalam kerangka ketatanegaraan ada lembaga resmi yang lebih dituntut terdepan dalam soal taat hukum, yakni lembaga yudikatif. 

Karena posisi penting itulah, maka menjadi kemestian bagi mereka yang diberi hak dan wewenang dalam soal-soal hukum untuk tampil menjadi teladan. Kalau pemegang hak menegakan hukum malah sering menjadi pelaku pelanggar hukum, maka jangan salahkan kalau-kalau publik suatu saat akan melakukan pelanggaran yang sama, bahkan itu dilakukan secara sengaja.
Tak ada solusi legal lain menuju perbaikan penegakan hukum, berujung kesejahteraan bangsa ini, selain melalui pembenahan kinerja dan pembersihan oknum-oknum busuk di ketiga lembaga negara demokrasi itu (legislatif, eksekutif, dan utamanya yudikatif). Karena tanpa pembenahan yang bersifat segera, proses demokratisasi kita akan jalan di tempat. Warga yang taat hukum akan juga kian jenuh, sebab merasa terus dipermainkan. 

Dan ini yang kita takutkan, bahwa koreksi publik dalam bentuk revolusi legal bisa mencuat dan akan dianggap sebagai solusi rugi sesaat. Dan lagi-lagi, kalau ini yang terjadi, maka kepentingan bangsa pula yang akan dirugikan. Tentu itu terlalu mahal, jadi mari kita menghindarinya, melalui wujudnyatakan komitem berbenah di semua lembaga negara itu. 

R Graal Taliawo

Sumber: kompasiana.com

Dieng, Gunung Tua yang Sedang Bergolak

http://ysc.web.id/wp-content/uploads/2009/05/dieng-merah-putih.jpg


Dataran tinggi Dieng lebih dikenal sebagai lokasi wisata ketimbang sebuah kompleks gunungapi tua dengan segala seluk beluknya. Secara geologi Dieng merupakan sebuah kompleks gunungapi tua yang berada di Jawa Tengah.Lokasi wisata ini sudah dikenal didalam maupun luar negeri. Berita tentang naiknya status Waspada (level 3) kompleks Gunung Dieng ini tentunya banyak mengundang pertanyaan. Apa sebenernya kompleks gunung Dieng ini.

Menurut catatan VSI (Vulkanological Survey Indonesia) kompleks gunungapi ini dikenal dengan :
  • Nama : G. Dieng (Nama Lain : Gunung Parahu)
  • Lokasi : Koordinati : 7°12′ LS dan 109°54′ BT .
    Nama kota Dieng Kulon. Kota terdekat Banjar-negara (kota Kabupaten)
  • Ketinggian : 2565 m. dpl.
  • Tipe Gunungapi : Strato, dengan lapangan solfatara dan fumarola, serta banyak kawah (cone).


Bahaya gas beracun

Kawah Sinila yang pernah mengeluarkan gas beracun pada tahun 1979

Gunungapi Dieng memang berupa kompleks gunung api yang memiliki banyak kawah.  Diantaranya nama kawahnya adalah : Timbang,  Sikidang, Upas, Sileri, Condrodimuko, Sibanteng dan Telogo Terus. Yang membahayakan dari Gunung Dieng ini adalah hembusan gas beracun yang berupa CO2. Emisi gas yang dihasilkan oleh beberapa kawah sudah diketahui sejak lama (Bemmelen, 1949; Allard dkk., 1989).

Pada tahun 1979, terjadi erupsi freatik pada kawah Sinila, menghasilkan gas-gas, hususnya CO2. Akumulasi gas CO2 yang cukup tinggi tersebut bergerak menuruni lereng dan lembah serta meliwati jalan perkampungan, menyebabkan terbunuhnya 142 penduduk yang tinggal disekitar daerah letusan tersebut.


Sejarah Geologi Kawasan Gunung Dieng

Kegiatan gunungapi pada komplek G.Dieng dari yang tua hingga yang termuda dapat dibagi dalam tiga episoda yang didasarkan pada umur relatif, sisa morfologi, tingkat erosi, hubungan stratigrafi dan tingkat pelapukan.

http://www.ulb.ac.be/sciences/cvl/DKIPART1.pdf
Peta kawah-kawah di Kompleks Gunung Dieng


Formasi pra Kaldera, dindikasikan oleh kegiatan vulkanik dari Rogo Jembangan, Tlerep, Djimat dan vulkanik Prau. Produknya tersebar dibagian luar dari komplek Dieng.

Formasi setelah Kaldera, diperlihatkan oleh aktivitas vulkanik yang berada didalam kaldera. Diantaranya, Bisma-Sidede, Seroja, Nagasari, Pangonan, Igir Binem dan Vulkanik Pager Kandang. Produknya berupa piroklastik jatuhan yang menyelimuti hampir seluruh daerah, dikenal juga sebagai endapan piroklastik daerah Dieng yang tak terpisahkan. Kegiatan saat ini ditandai oleh lava berkomposisi biotit andesit berasosiasi dengan jatuhan piroklastik. Aktivitas terahir ditandai oleh erupsi-erupsi preatik.

Episoda pertama (Formasi Pra Kaldera)

Produk piroklastika Rogojembangan (Djimat) menutupi daerah utara dan selatan komplek, kemungkinan terbentuk pada Kuarter bawah (Gunawan, 1968).
Kawah Tlerep yang terdapat pada batas timur memperlihat terbuka kearah selatan membentuk struktur dome berkomposisi hornblende andesit.
Krater vulkanik Prau terletak kearah utara dari Tlerep.Setengah dari kawah bagian barat membentuk struktur kaldera. Prau vulkanik menghasilkan endapan piroklastik dan lava andesit basaltis.


Episoda ke dua

Peta Bencana Sinila 1979

Beberapa aktivitas vulkanik berkembang didalam kaldera, diantaranya:
  • G. Bisma, yaitu kawah tua yang terpotong membuka kearah barat, dengan produknya berupa lava dan jatuhan piroklastik.
  • G. Seroja memperlihatkan umur lebih muda dengan tingkat erosi selope yang kurang kuat dibandingkan G.Bisma. Produknya berupa lava berkomposisi andesitis dan endapan piroklastika.
  • G.Nagasari, yaitu gunungapi composite, terdapat diantara Dieng-Batur dan berkembang dari utara ke selatan.
  • G. Palangonan dan Mardada memiliki kawah yang berlokasi kearah timur dari Nagasari, masih memperlihatkan morfologi muda (bertekstur halus), serta menghasilkan lava dan endapan piroklastika.
  • G. Pager Kandang (Sipandu) memiliki kawah pada bagian utara. Solfatara dan fumarola tersebar sepanjang bagian dalam dan luar kawah dengan suhu 74oC, serta batuan lava berkomposisi basaltis, yang tersingkap di dinding kawah.
  • G. Sileri, merupakan kawah preatik yang memperlihatkan aktivitas hydrothermal berupa airpanas dan fumarola. Kawah ini telah aktif sejak dua ratus tahun terahir, menghasilkan piroklastika jatuhan.
  • G. Igir Binem, adalah gunungapi strato yang memiliki dua kawah, disebut dengan telaga warna, yang tingkat aktivitas hidrothermalnya cukup kuat.
  • Group G. Dringo-Paterangan terletak didalam daerah depresi Batur, terdiri dari kawah komposite, menghasilkan lava andesitis dan piroklastik jatuahan.


Episoda ketiga

Peta Geologi Dieng yang dibuat oleh Pak Sukhyar (1994), kini Kepala Badan Geologi.

Aktivitas gunungapi pada episoda ini, menghasilkan lava andesit biotit, jatuhan piroklastik dan aktivitas hydrothermal.


 Sejarah Letusan Dieng

Sejak tahun 1600, kegiatan G.api Dieng tidak memperlihatkan adanya letusan magmatik, tetapi lebih didominasi oleh aktivitas letusan freatik atau hydrothermal, sebagaimana diperlihatkan oleh beberapa aktivitas yang telah diperlihatkan dalam sejarah letusan.

Tahun Nama Gunung/Kawah Aktivitas letusan Produk Letusan/korban
1450 Pakuwojo Letusan normal Abu/Pasir  ?
1825/1826 Pakuwojo Letusan normal Abu/Pasir  ?
1883 Kw.Sikidang/Banteng Peningkatan kegiatan Lumpur kawah
1884 Kw.Sikidang Letusan normal ?
1895 Siglagak Pembentukan celah Uap belerang
1928 Batur ? Letusan Normal Lumpur dan batu
1939 Batur Letusan normal Uap dan Lumpur,5 orang meninggal
1944 Kw.Sileri Gempabumi dan letusan Lumpur/59 meninggal,38 luka-luka, 55 orang hilang
1964 Kw.Sileri Letusan normal lumpur
1965 Kw.Condrodimuko/Telaga Dringo Hembusan fumarola, lumpur (?) Uap air dominan
1979 Kw.Sinila Hembusan gas racun Gas CO2, CO ?, CH4,Korban 149 meninggal
1990’s Kw. Dieng Kulon Letusan freatik lumpur
Karakter Letusan : Dominan letusan freatik dan gas (terutama CO2)(Sumber VSI)


Kawah di Gunung Dieng

Erupsi freatik cukup sering terjadi di dataran tinggi Dieng, hal ini  diperlihatkan oleh jumlah kawah yang terbentuk, yaitu ± 70 buah dibagian timur dan tengah komplek, serta  ± 30 buah dibagian barat sector Batur. Sedikitnya 10 erupsi freatik telah terjadi dalam kurun waktu 200 tahun terahir.Letusan freatik inilah yang merupakan bentuk bahaya dari kompleks Gunung Dieng.

Menurut VSI erupsi freatik komplek Dieng dapat dibagi dalam dua katagori:
  1. Erupsi tampa adanya tanda-tanda (precursor) dari seismisity, yaitu hasil dari proses “self sealing” dari solfatar aktif (erupsi hydrothermal).
  2. Erupsi yang diawali oleh gempabumi lokal  atau regional, atau oleh adanya retakan dimana tidak adanya  indikasi panasbumi dipermukaan. Erupsi dari tipe ini umum terjadi di daerah Graben Batur, sebagaimana diperlihatkan oleh erupsi freatik dari vulkanik Dieng pada Pebruari 1979.
Aktivitas erupsi di komplek Dieng termasuk dalam katagori kedua.


Aktifitas Gunung Dieng Mei 2011 (Kawah Timbang).

Gunung Dieng saat ini dalam status waspada. Terutama pada daerah  Kawah Timbang. Sudah dimulai evakuasi warga oleh PMI. Berdasarkan data terakhir pada pos Pengamatan Gunung Api (PGA) Dieng, terjadi peningkatan kandungan gas CO2 pada pukul 11.17 WIB, Sabtu 28 Mei 2011, sebanyak 0,86 persen volume. Sedangkan batas aman kandungan CO2 hanya 0,5 persen volume.

Sumber: rovicky.wordpress.com

Hukum Kepiting: Halal atau Haram?

PERBINCANGAN seputar hukum makan kepiting pada masyarakat Islam Indonesia selama ini terasa setengah hati dan kontroversial. Banyak yang bertanya, tapi dapat jawaban sekenanya. Ada yang yakin hukumnya haram, halal, atau makruh, tapi tidak dilengkapi kajian memadai. Nelayan di Ujung Pangkah, Gresik, Jawa Timur, misalnya, juga mengakui bahwa soal ini masih simpang-siur. Namun berdasarkan pengalaman seadanya, mereka memilih berpendapat halal.

"Di sini hampir sembilan puluh persen nelayan memilih halal," kata Haji Nur Arifin, seorang nelayan. "Sepengetahuan saya, kepiting hanya hidup di air," Arifin menambahkan. Berbeda dengan pendapat KH Mutawakil Alalloh yang memandang kepiting haram dimakan. Pengasuh Pesantren Zainul Hasan Genggong, Probolinggo, Jawa Timur, ini beralasan, kepiting bisa hidup di darat dan air (amfibi). Ia menganalogkan dengan haramnya katak yang juga binatang amfibi. "Untuk lebih hati-hati, saya memilih haram," katanya.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) diam-diam melakukan kajian lebih teliti untuk merumuskan fatwa halal-haramnya kepiting. Ketua MUI Prof. Dr. Umar Shihab mengemukakan itu dalam Muktamar VIII Alkhairaat di Palu, Senin pekan lalu. Sebenarnya Umar hanya memaparkan lembaga MUI secara umum. Ketika dijelaskan bahwa MUI mempunyai Komisi Fatwa ada hadirin yang bertanya fatwa terbaru MUI. "Paling akhir, Komisi Fatwa memutuskan fatwa tentang kepiting," jawab Umar.

Rupanya, kajian kepiting ini disebabkan membanjirnya produk berbahan baku kepiting yang mengajukan sertifikasi halal ke Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) dan MUI. "Kami ragu hukum kepiting, karena di masyarakat masih ada silang pendapat, maka kami tanyakan ke Komisi Fatwa," kata Osmena, Wakil Sekretaris LPPOM. Maka, 29 Mei lalu, Komisi Fatwa mengundang Prof. Dr. Hasanuddin AF, Dekan Fakultas Syari'ah Universitas Islam Negeri Jakarta, untuk presentasi makalah berjudul "Kepiting: Halal atau Haram?"

Dalam makalahnya, Hasanuddin menyebutkan tiga patokan untuk menyatakan halal atau haramnya makanan. Pertama, ada dalil berupa nash (Al-Quran atau hadis) yang menyatakan makanan itu halal. Kedua, ada nash yang menyatakan haram. Ketiga, tidak ada nash yang menyatakan haram atau halal. Makanan yang dinyatakan halal oleh nash, antara lain, binatang laut. "Semua jenis binatang laut hukumnya halal kecuali yang mengandung racun dan membahayakan jasmani rohani kita," tulis Hasanuddin.

Hasanuddin merujuk Al-Quran surah Al-Maidah ayat 96: "Dihalalkan bagimu binatang buruan laut, sebagai makanan yang lezat bagimu ..." Hadis riwayat Abu Hurairah juga menyebutkan bahwa Rasulullah bersabda, "Laut itu airnya suci dan bangkainya halal." Sedangkan makanan yang ditetapkan haram oleh nash antara lain bangkai, darah, dan daging babi (Al-Maidah ayat 3). Hadis riwayat Ahmad bin Hanbal mengecualikan, ada dua bangkai (ikan dan belalang) dan dua darah (hati dan limfa) yang halal.

Haram-Halal Kepiting









Ada lagi makanan yang dinyatakan haram berdasarkan hadis. Misalnya, hadis riwayat Muslim melansir pernyataan Ibnu Abbas bahwa Rasulullah mengharamkan setiap binatang buas yang bertaring dan jenis burung yang bercakar tajam. Bagaimana dengan makanan yang didiamkan nash: tidak diharamkan dan tidak dihalalkan? Hasanuddin mengacu pada kaidah bahwa hukum dasar segala sesuatu adalah halal, selama tidak ada nash yang mengharamkan.

Kaidah itu disarikan dari surah Al-Baqarah ayat 29, "Dialah Allah yang menciptakan segala yang ada di bumi ini untuk kalian semua." Serta dari hadis riwayat Ibnu Majah dan Turmuzi, "Halal adalah apa yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya, haram adalah yang diharamkan Allah dalam kitab-Nya, sedangkan apa yang tidak dinyatakan halal atau haram, maka itu termasuk yang dimaafkan untuk kalian makan." Di sinilah Hasanuddin menempatkan hukum kepiting.

"Kepiting termasuk binatang yang tidak ditegaskan oleh nash tentang halal atau haramnya," tulis Hasanuddin. Maka ketentuan hukumnya kembali kepada hukum asal segala sesuatu yang pada dasarnya adalah halal --sepanjang tidak berdampak buruk bagi jasmani dan rohani. Hasan menyarankan dilakukan uji laboratorium untuk memastikan apakah kepiting aman dikonsumsi atau tidak. Makalah guru besar ushul fikih ini mengundang perdebatan baru tentang hukum makhluk amfibi.

Argumen mereka yang menilai kepiting haram adalah karena statusnya yang diduga amfibi. Pandangan demikian banyak dipegangi ulama pesantren penganut mazhab Syafi'iyah. "Di madrasah-madrasah Alkhairaat, baik aliyah, tsanawiyah, maupun ibtidaiyah, selalu diajarkan bahwa binatang yang hidup di dua alam hukumnya haram," kata Ketua Pengurus Besar Alkhairaat Prof. Dr. Huzaimah Tahido.

Ketua Komisi Fatwa KH Makruf Amin dan beberapa anggota komisi seperti KH Ghozali Masruri juga cenderung ke pendapat itu. Kiai Makruf menyitir kitab Nihayatul Muhtaj karya Imam Romli yang menyebutkan bahwa makhluk yang bisa hidup langgeng (hayyan daiman) di air dan darat hukumnya haram. "Kitab-kitab fikih Syafi'iyah kebanyakan menyatakan begitu, dan kitab Nihayah ini yang paling tegas," kata Makruf. Ibnu Arabi, menurut Hasanuddin, juga berpendapat demikian.


Haram-Halal Kepiting










Namun Hasanuddin menandaskan bahwa pendapat yang mengharamkan makhluk amfibi tidak memiliki dasar yang kuat dalam nash. "Lagi pula apa hubungannya antara halal-haram dengan kondisi bisa hidup di laut dan di darat?" tanya Hasanuddin. Menurut guru besar Fakultas Syari'ah IAIN Surabaya, Prof. Syechul Hadi Permono, ajaran bahwa makhluk amfibi itu haram bukan berasal dari Al-Quran, melainkan dari agama Yahudi.

Perdebatan internal ahli agama ini kemudian dikonfrontasikan dengan penjelasan pakar kepiting dari Institut Pertanian Bogor (IPB). MUI menghadirkan Dr. Sulistiono dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB, 15 Juni lalu. Ia membawa makalah berjudul "Eko-Biologi Kepiting Bakau". Pembantu Dekan III FPIK ini membatasi bahasan pada jenis kepiting yang banyak dikenal masyarakat. Di Indonesia ada 2.500-an spesies, sementara di dunia lebih dari 4.500 spesies.

Dari ribuan spesies itu, ada tiga jenis kepiting yang dikenal masyarakat Indonesia. Pertama, rajungan, yang hidup di perairan laut. Kedua, kepiting kecil yang hidup di darat, biasa dipakai makanan ternak. Ketiga, kepiting yang hidup di tambak air payau, sering disebut kepiting tambak atau kepiting bakau. Masyarakat mengenal kepiting tambak ini hanya satu jenis. "Bentuknya memang persis sama tapi sebenarnya ada empat jenis," kata Sulistiono.

Keempatnya paling banyak dikonsumsi masyarakat karena dagingnya yang enak. Empat jenis kepiting itu adalah Scylla serrata, Scylla paramamosain, Scylla tranquebarica, dan Scylla olivacea. Ada dua hal untuk membedakan keempatnya, yaitu duri yang ada di sikut dan duri di dahinya (lihat tabel ciri-ciri). Menurut Sulistiono, dari keempat jenis itu, yang paling banyak dikonsumsi adalah Scylla serrata dan Scylla tranquebarica. "Di daerah Cilacap, Scylla tranquebarica ini sudah menjadi makanan sehari-hari," katanya.


Haram-Halal Kepiting










Sulistiono memastikan bahwa kepiting bukan hewan amfibi seperti katak. Katak bisa hidup di darat dan air karena bernapas dengan paru-paru dan kulit. Kepiting hanya bernapas dengan insang. Kepiting memang bisa tahan di darat selama 4-5 hari, kata Sulistiono, karena insangnya menyimpan air, sehingga masih bisa bernapas. "Tapi kalau tidak ada airnya sama sekali, akan terjadi evaporasi, akhirnya akan mati. Jadi, kepiting tidak bisa lepas dari air," kata Sulistiono kepada Tata Haidar Riza dari Gatra.

Komisi Fatwa MUI akhirnya menetapkan empat jenis kepiting itu halal karena jenis binatang air. "Di luar itu, kami akan teliti lagi status hukumnya," kata Kiai Makruf. Sulistiono juga belum bisa memastikan jenis yang lain. "Selain keempat jenis itu, saya nggak tahu pasti. Yang jelas, jenisnya buanyak sekali, tapi penelitiannya masih sedikit," katanya. Bahkan untuk kepiting jenis pemakan kelapa, MUI belum memutuskan statusnya. Yang pasti, kepiting jenis beracun dinyatakan haram.

Sampai akhir pekan lalu, MUI belum mengeluarkan fatwa tertulis. "Kami masih menunggu kelengkapan data tentang ciri-ciri spesies yang halal dan yang beracun dari pakarnya," kata Sekretaris Komisi Fatwa, Maulana Hasanuddin. MUI kemudian akan menyebarkannya ke masyarakat.


[Asrori S. Karni, Amran Amier (Palu), dan Rachmat Hidayat (Surabaya)]
[Agama,
GATRA Nomor 34 Beredar 08 Juli 2002] 


Jakarta, 12 Juli 2002 00:36
Sumber: www.gatra.com

Ijtihad Tentang Hukum Memakan Katak dalam Agama Islam

PENDAHULUAN

Negara Indonesia yang terletak di garis Khatulistiwa memiliki daratan dan lautan yang cukup luas (sekitar 5 juta KM²) dikaruniai oleh alam yang indah, tumbuhan yang beraneka ragam dan juga hewan yang beraneka rupa oleh Alah SWT, Dzat Yang Maha Segalanya. Karena itulah, Indonesia (pernah) disebut sebagai Jamrud Khatulistiwa .

Pun dengan kehidupan masyarakatnya sendiri, Indonesia adalah negara yang penuh dengan keberagaman suku, yang tentunya akan semakin nampak indah pula jika sudah tak ada lagi peperangan atau pun konflik antar suku. Suku-suku itu pun sampai sekarang ada yang masih setia memeluk peraturan yang ditetapkan nenek moyangnya terdahulu, misalkan, suku Baduy di Jawa Barat yag tak pernah boleh memakai alas kaki, harus menikah dengan sesama Baduy, dan lainnya. 

Suku-suku yang masih tinggal di pedalaman mengandalkan hidupnya dari alam, mereka memakan binatang melata yang hidup di alam, termasuk katak. Tidak hanya suku-suku itu, masyarakat perkotaan juga gemar mengkonsumsi katak, bahkan, ada rumah makan yang menjadikan katak sebagai menu andalan mereka.
Permasalahannya, apakah mengkonsumsi katak itu diperbolehkan atau halal menurut Islam? Bagaimanakah ketetapan hukum Islam mengenai hal itu? Perlukah diadakan Ijtihad? Bagaimanakah pandangan atau ketetapan dari ulama-ulama besar?



PEMBAHASAN

Jika masalah taqlid dan ijtihad harus ditelusuri ke belakang, barangkali yang paling tepat ialah kita menengok ke zaman ‘Umar ibn al-Khathtab, Khalifah ke II. Bagi orang-orang muslim yang datang kemudian, khususnya kalangan kaum Sunni, berbagai tindakan ‘Umar dipandang sebagai contoh klasik persoalan taqlid dan ijtihad. Salah satu hal yang memberi petunjuk kita tentang prinsip dasar ‘Umar berkenaan dengan persoalan pokok ini ialah isi suratnya kepada Abu Musa al-Asy’ari, gubernur di Basrah, Irak:                                       “Adapun sesudah itu, sesungguhnya menegakkan hukum (alqadla) adalah suatu kewajiban yang pasti dan tradisi (Sunnah) yang harus dipatuhi. Maka pahamilah jika sesuatu diajukan orang kepadamu. Sebab, tidaklah ada manfaatnya berbicara mengenai kebenaran jika tidak dapat dilaksanakan. Bersikaplah ramah antara sesama manusia dalam kepribadianmu, keadilanmu dan majlismu, sehingga seorang yang berkedudukan tinggi (syarif) tidak sempat berharap akan keadilanmu. Memberi bukti adalah wajib atas orang yang menuduh, dan mengucapkan sumpah wajib bagi orang yang mengingkari (tuduhan). Sedangkan kompromi (ishlah, berdamai) diperbolehkan diantara sesama orang Muslim, kecuali kompromi yang menghalalkan hal yang haram dan mengharamkan hal yang halal. Dan janganlah engkau merasa terhalang untuk kembali pada yang benar berkenaan dengan perkara yang telah kau putuskan kemarin tetapi kemudian engkau memeriksa kembali jalan pikiranmu lalu engkau mendapat petunjuk kearah jalanmu yang benar; sebab kebenaran itu tetap abadi, dan kembali kepada yang benar adalah lebih baik daripada berketerusan dalam kebatilan. Pahamilah, sekali lagi, pahamilah, apa yang terlintas dalam dadamu yang tidak termaktub dalam Kitab dan Sunnah, kemudian temukanlah segi-segi kemiripan dan kesamaannya, dan selanjutnya buatlah analogi tentang berbagai perkara itu, lalu berpeganglah pada segi yang paling mirip dengan yang benar. Untuk orang yang mendakwahkan kebenaran atau bukti, berilah tenggang waktu yang harus ia gunakan dengan sebaik-baiknya. Jika ia berhasil datang membawa bukti itu, engkau harus mengambilnya untuk dia sesuai dengan haknya. Tetapi jika tidak, maka anggaplah benar keputusan (yang kau ambil) terhadapnya, sebab itulah yang lebih menjamin untuk menghindari keraguan, dan lebih jelas dari ketidakpastian (al-a’ma, kebutaan, kegelapan) … Barang siapa telah benar niatnya kemudian teguh memegang pendiriannya, maka Allah akan melindunginya berkenaan dengan apa yang terjadi antara dia dan orang banyak. Dan barang siapa bertingkah laku terhadap sesama manusia dengan sesuatu yang Allah ketahui tidak berasal dari dirinya (tidak tulus), maka Allah akan menghinakannya …”

Dari kutipan surat yang lebih panjang itu ada beberapa prinsip pokok yang dapat kita simpulkan berkenaan dengan masalah taqlid dan ijtihad.  

Prinsip-prinsip pokok itu ialah:
Pertama, prinsip keotentikan (authenticity). Dalam surat ‘Umar itu prinsip keotentikan tercermin dalam penegasannyabahwa keputusan apapun mengenai suatu perkara harus terlebih dahulu diusahakan menemukannya dalam Kitab dan Sunnah.

Kedua, prinsip pengembangan. Yaitu, pengembangan asas-asas ajaran dari Kitab dan Sunnah untuk mencakup hal-hal yang tidak dengan jelas termaktub dalam sumber-sumber pokok itu. Metodologi pengembangan ini ialah penalaran melalui analogi. Pengembangan ini diperlukan, sebab suatu kebenaran akan membawa manfaat hanya kalau dapat terlaksana, dan syarat keterlaksanaan itu ialah relevansi dengan keadaan nyata.

Ketiga, prinsip pembatalan suatu keputusan perkara yang telah terlanjur diambil tetapi kemudian ternyata salah, dan selanjutnya, pengambilan keputusan itu kepada yang benar. Ini bisa terjadi karena adanya bahan baru yang datang kemudian, yang sebelumnya tidak diketahui.

Keempat, prinsip ketegasan dalam mengambil keputusan yang menyangkut perkara yang kurang jelas sumber pengambilannya (misalnya, tidak jelas tercantum dalam Kitab dan Sunnah), namun perkara itu amat penting dan mendesak. Ketegasan dalam hal ini bagaimanapun lebih baik daripada keraguan dan ketidakpastian.

Kelima, prinsip ketulusan dan niat baik, yaitu bahwa apapun yang dilakukan haruslah berdasarkan keikhlasan. Jika hal itu benar-benar ada, maka sesuatu yang menjadi akibatnya dalam hubungan dengan sesama manusia (seperti terjadinya kesalahpahaman), Tuhanlah yang akan memutuskan kelak (dalam bahasa ‘Umar, Allah yang akan “mencukupkannya”).
Dari prinsip-prinsip itu, prinsip keotentikan adalah yang pertama dan utama, disebabkan kedudukannya sebagai sumber keabsahan. Karena agama adalah sesuatu yang pada dasarnya hanya menjadi wewenang Tuhan, maka keotentikan suatu keputusan atau pikiran keagamaan diperoleh hanya jika ia jelas memiliki dasar referensial dalam sumber-sumber suci, yaitu Kitab dan Sunnah. Tanpa prinsip ini maka klaim keabsahan keagamaan akan menjadi mustahil. Justru suatu pemikiran disebut bernilai keagamaan karena ia merupakan segi derivatif semangat yang diambil dari sumber-sumber suci agama itu.


PENGERTIAN IJTIHAD

Menurut bahasa, ijtihad berarti “pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit.” Atas dasar ini maka tidak tepat apabila kata “ijtihad” dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang mudah/ringan. Pengertian ijtihad menurut bahasa ini ada relevansinya dengan pengertian ijtihad menurut istilah, dimana untuk melakukannya diperlukan beberapa persyaratan yang karenanya tidak mungkin pekerjaan itu (ijtihad) dilakukan sembarang orang.

Dan di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan para sahabat Nabi. Mereka memberikan batasan bahwa ijtihad adalah “penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitab-u ‘l-Lah dan Sunnah Rasul, baik yang terdekat itu diperoleh dari nash -yang terkenal dengan qiyas (ma’qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari hikmah syari’ah- yang terkenal dengan “mashlahat.”

Dalam kaitan pengertan ijtihad menurut istilah, ada dua kelompok ahli ushul flqh (ushuliyyin) -kelompok mayoritas dan kelompok minoritas- yang mengemukakan rumusan definisi. Dalam tulisan ini hanya akan diungkapkan pengertian ijtihad menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas.

Menurut mereka, ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fxqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hokum syara’ (hukum Islam).

Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pelaku utihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain.
2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i, yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i’tiqadi atau hukum khuluqi,
3. Status hukum syar’i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah
dhanni.

Jadi apabila kita konsisten dengan definisi ijtihad diatas maka dapat kita tegaskan bahwa ijtihad sepanjang pengertian istilah hanyalah monopoli dunia hukum. Dalam hubungan ini komentator Jam’u ‘l-Jawami’ (Jalaluddin al-Mahally) menegaskan, “yang dimaksud ijtihad adalah bila dimutlakkan maka ijtihad itu bidang hukum fiqih/hukum furu’. (Jam’u ‘l-Jawami’, Juz II, hal. 379).

Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara pihak yang mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat yang nyeleneh atau syadz ini dipelopori al-Jahidh, salah seorang tokoh mu’tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini bukan saja menunjukkan inkonsistensi terhadap suatu disiplin ilmu (ushul fiqh), tetapi juga akan membawa konsekuensi pembenaran terhadap aqidah non Islam yang dlalal. Lantaran itulah Jumhur ‘ulama’ telah bersepakat bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang hukum (hukum Islam) dengan ketentuan-ketentuan tertentu.



MEDAN IJTIHAD

Di atas telah ditegaskan bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang hukum. Lalu, hukum Islam yang mana saja yang mungkin untuk di-ijtihad-i? Adakah hal itu berlaku di dunia hokum (hukum Islam) secara mutlak?

Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad dibenarkan, serta perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad ditolerir, dan akan membawa rahmat manakala ijtihad dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di medannya (majalul ijtihad). Lapangan atau medan dimana ijtihad dapat memainkan peranannya adalah:
1. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan oleh nash al-Qur’an atau Sunnah secara jelas.
2. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum diijma’i oleh ulama atau aimamatu ‘l-mujtahidin.
3. Nash-nash Dhanny dan dalil-dalil hukum yang diperselisihkan.
4. Hukum Islam yang ma’qulu ‘l-ma’na/ta’aqquly (kausalitas hukumnya/’illat-nya dapat diketahui mujtahid).

Jadi, kalau kita akan melakukan reaktualisasi hukum Islam, disinilah seharusnya kita melakukan terobosan-terobosan baru. Apabila ini yang kita lakukan dan kita memang telah memenuhi persyaratannya maka pantaslah kita dianggap sebagai mujtahid di abad modern ini yang akan didukung semua pihak. Sebaliknya ulama telah bersepakat bahwa ijtihad tidak berlaku atau tidak dibenarkan pada:
1. Hukum Islam yang telah ditegaskan nash al-Qur’an atau Sunnah yang statusnya qath’iy (ahkamun manshushah), yang dalam istilah ushul fiqih dikenal dengan syari’ah atau “ma’ulima min al-din bi al-dlarurah.”
Atas dasar itu maka muncullah ketentuan, “Tidak berlaku ijtihad pada masalah-masalah hukum yang ditentukan berdasarkan nash yang status dalalah-nya qath’i dan tegas.” Bila kita telaah, kaidah itulah yang menghambat aspirasi sementara kalangan yang hendak merombak hukum-hukum Islam qath’i seperti hukum kewarisan al-Qur’an.
2. Hukum Islam yang telah diijma’i ulama.
3. Hukum Islam yang bersifat ta’abbudy/ghairu ma’quli ‘lma’na (yang kausalitas hukumnya/’illat-nya tidak dapat dicerna dan diketahui mujtahid).

Disamping ijtihad tidak berlaku atau tidak mungkin dilakukan pada ketiga macam hukum Islam di atas, demikian juga ijtihad akan gugur dengan sendirinya apabila hasil ijtihad itu berlawanan dengan nash. Hal ini sejalan dengan kaidah, “Tidak ada ijtihad dalam melawan nash.”



PERBEDAAN YANG DITOLERIR

Ijtihad dilegalisasi bahkan sangat dianjurkan oleh Islam. Banyak ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi yang menyinggung masalah ini. Islam bukan saja memberi legalitas ijtihad, akan tetapi juga mentolerir adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad. Hal ini antara lain diketahui dari Hadits Nabi yang artinya,
“Apabila seorang hakim akan memutuskan perkara, lalu ia melakukan ijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala (pahala ijtihad dan pahala kebenarannya). Jika hakim akan memutuskan perkara, dan ia berijtihad, kemudian hasil ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala (pahala ijtihadnya).” (Riwayat Bukhari Muslim).

Benarkah katak halal dimakan? Sedangkan Rasulullah s.a.w. sendiri melarang membunuhnya? Dalam al-Quran disebut hanya babi saja yang haram dimakan. Sedangkan semua hewan lain halal dimakan belaka kecuali jika merupakan
1. Bangkai
2. Darah yang mengalir
3. Binatang yang disembelih bukan karena Allah
4. Binatang yang mati karena dicekik atau tercekik
5. Binatang yang mati karena dipukul
6. Binatang yang mati karena jatuh dari tempat yang tinggi
7. Binatang yang mati karena ditanduk ketika berlaga dan
8. Binatang yang mati dimakan binatang buas.
Semua hukum tersebut disebut dengan jelas dalam dua ayat ini. Dalam ayat pertama Allah berfirman: Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan kepada kamu memakan bangkai, dan darah, dan daging babi, dan binatang-binatang yang disembelih tidak karena Allah maka siapa terpaksa (memakannya karena darurat) sedang ia tidak mengingininya dan tidak pula melampaui batas (pada kadar benda yang dimakan itu), maka tidaklah ia berdosa. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani. (al-Baqarah: 173).
Dalam ayat kedua pula Allah berfirman: 
Diharamkan kepada kamu (memakan) bangkai (binatang yang tidak disembelih), dan darah (yang keluar mengalir), dan daging babi (termasuk semuanya), dan binatang-binatang yang disembelih karena yang lain dari Allah, dan yang mati tercekik, dan yang mati dipukul, dan yang mati jatuh dari tempat yang tinggi, dan yang mati ditanduk, dan yang mati dimakan binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih (sebelum habis nyawanya), dan yang disembelih atas nama berhala; dan (diharamkan juga) kamu merenung nasib dengan undi batang-batang anak panah. Yang demikian itu adalah perbuatan fasik. Pada hari ini, orang-orang kafir telah putus asa (daripada memesongkan kamu) dari agama kamu (setelah mereka melihat perkembangan Islam dan umatnya). Sebab itu janganlah kamu takut dan gentar kepada mereka, sebaliknya hendaklah kamu takut dan gentar kepada-Ku. Pada hari ini, Aku telah sempurnakan bagi kamu agama kamu, dan Aku telah cukupkan nikmat-Ku kepada kamu, dan Aku telah redakan Islam itu menjadi agama untuk kamu. Maka siapa yang terpaksa karena kelaparan (memakan benda-benda yang diharamkan) sedang ia tidak cenderung hendak melakukan dosa (maka bolehlah ia memakannya), karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani. (al-Maidah: 3)
Semua hukum yang disebut dalam dua ayat al-Quran di atas tidak disebut bahwa katak haram dimakan. Jika meneliti nas dan dalil dari hadis pula tentang hukum makan katak didapati bahwa Rasulullah tidak pernah memperuntukkan hukum yang jelas tentangnya. Sebaliknya yang ada ialah hadis yang memperuntukkan hukum larangan membunuh katak.
Dalam salah sebuah hadis itu disebutkan: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar dan Abdur Rahman bin Abdul Wahhab, mereka berdua telah berkata telah memberitahu kepada kami Abu Aamir al-Aqdi telah memberitahu kepada kami Ibrahim bin al-Faqhl daripada Said bin al-Maqburi daripada Abu Hurairah katanya bahwa Rasulullah telah menegah daripada membunuh surah (sejenis burung), katak, semut dan pelatuk. (Riwayat Ibn Majah)
Dalam hadis yang lain disebutkan: Telah berkata telah memberitahu kepada kami daripada Ibn Abu Zib dan Yazid telah berkata telah memberitahu kepada kami Ibn Abu Zib dari Said bin al-Musaiyyib dari Abdul Rahman bin Uthman telah berkata telah menyebut seorang ahli perubatan berada di sisi Rasulullah dan dia telah menyebut katak akan dijadikan ubat, maka Rasulullah melarang membunuhnya. (Riwayat Ahmad)
Dalam sebuah hadis lagi disebutkan: Telah memberitahu kepada kami Ubaidullah bin Abdul Majid telah memberitahu kepada kami Ibn Abu Zib dari Said bin Khali dal-Qarizi dari Said bin al-Musaiyyib dari Abdul Rahman bin Uthman bahwa Rasulullah telah melarang membunuh katak. (Riwayat an-Nasai).
Ada juga beberapa hadis yang menyebut bahwa suara katak pada musim hujan merupakan tasbih kepada Allah.Berdasarkan hadis-hadis itu menyebabkan setengah ulama termasuk Imam asy-Syafie berijtihad dan menganggap bahwa karena Rasulullah melarang membunuh katak, maka hukum makannya pun dianggap haram.
Bagaimanapun, ketiga-tiga hadis melarang membunuh katak serta beberapa hadis yang menyebut bahwa katak itu sebagai tasbih kepada Allah adalah hadis yang lemah disebabkan terdapat dasar-dasar yang lemah dan tidak boleh dipercayai. Dalam hadis pertama sebagai contoh terdapat Ibrahim bin al-Fadhl yang disifat oleh Ibn Hanbal sebagai daif dan an-Nasai pula menganggap dasar itu bukan thiqah (tidak boleh dipercayai).Dalam kedua-dua hadis berikutnya terdapat pula Said bin Khalid yang disifat oleh an-Nasai sebagai daif.
Apa yang boleh disimpulkan daripada semua hadis berkenaan ialah selain ia tidak menyebut hukum pengharaman makan katak secara terang-terang, ia juga tergolong daripada hadis yang lemah atau daif. 

Pandangan ulama:
Ada beberapa ulama mengkategorikan katak seperti ikan dan hewan-hewan yang tinggal dalam air.
Mengenai kategori ini ada nas yang umum daripada ayat al-Quran dan hadis ditafsirkan (bukan secara terang-terang dan muktamad) bahwa semua hewan yang tinggal dalam air adalah harus dimakan.
Nas yang umum daripada al-Quran itu bermaksud: Dihalalkan bagi kamu binatang buruan laut, dan makanan yang didapati dari laut, sebagai bekal bagi kamu (untuk dinikmati kelazatannya) dan juga bagi orang-orang yang dalam pelayaran; tetapi diharamkan atas kamu memburu binatang buruan darat selama kamu sedang berihram. Oleh itu, bertakwalah kepada Allah, yang kepada-Nya kamu akan dihimpunkan. (Al-Maidah: 96)
Nas yang umum daripada hadis pula seperti hadis riwayat Imam Ahmad, At-Tarmizi, Imam Malik, ad-Darimi dan lain-lain yang bermaksud: Ia (laut) bersih airnya dan halal bangkainya.
Berdasarkan nas daripada al-Quran dan hadis yang umum ini serta hukum yang diambil daripada kaedah syariah asal setiap sesuatu itu harus, maka dapat dikatakan semua hewan yang tinggal dalam air harus dimakan termasuk katak. Bagaimanapun, hukum halal ijtihad seperti ini adalah terserah kepada adat dan pertimbangan kita masing-masing. Jika ada orang dalam keadaan terdesak, bukan saja katak tetapi buaya pun boleh dia makan.
Sementara itu ada beberapa ulama mengkategorikan katak dari golongan hewan dua alam. Hewan jenis dua alam ini dianggap haram dimakan oleh beberapa ulama dan hukum ijtihad ini jika dilaksanakan sepenuhnya, maka beberapa jenis ketam, siput dan kerang tidak boleh dimakan.
Dalam penelitian penulis didapati hukum haram dimakan hewan dua alam tidak ada dalam al-Quran dan hadis, tetapi ia merupakan hukum ijtihad beberapa ulama berdasarkan adat tempat dan persekitaran yang mereka tinggal.
Secara umumnya mayoritas (jumhur) ulama menganggap semua hewan laut (air), sama ada ikan dan binatang-binatang lain harus dimakan. Hukum mayoritas ulama ini berdasarkan ayat 96 daripada surah al-Maidah dan hadis yang menyebut bahwa bangkai laut adalah halal seperti tersebut di atas.
Bagaimanapun, beberapa mazhab seperti mazhab Syafie dan mazhab Hambali berbeda dengan mayoritas ulama karena mereka menganggap katak haram dimakan disebabkan ada hadis-hadis yang melarang membunuhnya.
Tetapi seperti telah disebut di atas bahwa kedudukan semua hadis yang melarang membunuh katak itu adalah tidak kuat belaka.
Agak perlu disebut juga nukilan Imam al-Bukhari berhubung hukum makan katak ini. Imam al-Bukhari dalam kitab sahihnya ketika mengurai ayat 96 daripada surah al-Maidah itu menyebut bahwa asy-Syabi (Aamir bin Syarahil) berkata: Jika ahli keluargaku makan katak, niscaya aku memberi mereka makannya. Pada waktu yang sama al-Bukhari juga menyebut bahwa al-Hassan (al-Hassan bin Abi al-Hassan Yassar al-Basri) menganggap tidak mengapa jika ada orang mahu makan kura-kura.
Berikut secara ringkasnya disebut pandangan pelbagai mazhab mengenai hukum makan katak ini.
1. Mazhab Syafie:
Ulama-ulama mazhab Syafie berpendapat katak tidak harus dimakan karena selain berdasarkan hadis-hadis yang disebut di atas, katak juga tergolong kategori khaba’ith, iaitu binatang yang kotor, keji, buruk dan tidak baik. Pendapat mazhab Syafie ini memang sesuai dengan kebanyakan adat bangsa di dunia ini termasuk orang Melayu yang penulis percaya jarang ada yang tertarik untuk makan katak terutama katak puru. 

2. Mazhab Hanafi:
Mazhab Hanafi berpendapat hanya ikan saja yang halal dimakan dari semua jenis hewan yang tinggal dalam air. Katak, kura-kura, anjing laut, buaya dan sebagainya haram dimakan.
3. Mazhab Maliki: 
Mazhab Maliki berpendapat bahwa katak sama seperti udang, ketam, kura-kura dan sebagainya boleh dimakan. Mereka berpendapat begitu karena tidak ada nas dan dalil yang jelas daripada al-Quran dan hadis yang mengharamkan makan katak.
Perlu diterangkan bahwa setahu penulis tidak ada orang bermazhab Maliki yang makan katak, kura-kura dan sebagainya. 

4. Mazhab Hambali:
Para ulama mazhab Hambali pula berpendapat bahwa katak dan semua hewan yang hidup di dua alam tidak halal dimakan kecuali jika ada jalan sembelihannya.
Bagaimanapun, dikecualikan jika hewan yang hidup di dua alam itu tidak berdarah seperti ketam dan beberapa serangga. Tetapi katak dan kura-kura yang tergolong daripada hewan yang hidup di dua alam yang berdarah, macam mana boleh disembelih? Katak yang tidak mempunyai leher dan kura-kura pula menyembunyikan lehernya dalam perisainya menyusahkan untuk disembelih. Apakah itu menjadi antara punca menyebabkan katak haram dimakan? Penulis tidak pasti.
Hewan yang hidup di dua alam yang lain seperti udang, ketam dan sebagainya walaupun tidak disembelih tetapi halal dimakan pada mazhab Hambali karena tidak berdarah.
Begitulah kedudukan hukum makan katak dalam al-Quran, hadis dan fikah (ijtihad) para ulama pelbagai mazhab.


KESIMPULAN 

Ijtihad adalah pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit.Hukum makan katak itu terserah kepada pertimbangan masing-masing dan adat kebiasaan yang diamakanl dalam masyarakat. Jika ada yang berselera dan adat kebiasaan masyarakatnya pula tidak menganggap menjadi jejik dan keji, maka dianggap boleh makan. Jika sebaliknya, maka dianggap tidak boleh makan.


DAFTAR PUSTAKA
Web gaul.com, diakses pada 28 Nopember 2006
Astorajabat.com, diakses pada 28 Nopember 2006

Sumber: didikharianto.wordpress.com