Jumat, 25 Maret 2011

Masjid Agung Demak



  
Sejarah Masjid Demak
Masjid Agung Demak adalah sebuah mesjid yang tertua di Indonesia. Masjid ini terletak di desa Kauman, Demak, Jawa Tengah. Masjid ini dipercayai pernah merupakan tempat berkumpulnya para ulama (wali) penyebar agama Islam, disebut juga Walisongo, untuk membahas penyebaran agama Islam di Tanah Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya. Pendiri masjid ini diperkirakan adalah Raden Patah, yaitu raja pertama dari Kesultanan Demak.

Bangunan yang terbuat dari kayu jati ini berukuran 31 m x 31 m dengan bagian serambi berukuran 31 m x 15 m. Atap tengahnya ditopang oleh empat buah tiang kayu raksasa (saka guru), yang dibuat oleh empat wali di antara Wali Songo. Saka sebelah tenggara adalah buatan Sunan Ampel, sebelah barat daya buatan Sunan Gunung Jati, sebelah barat laut buatan Sunan Bonang, sedang sebelah timur laut yang tidak terbuat dari satu buah kayu utuh melainkan disusun dari beberapa potong balok yang diikat menjadi satu (saka tatal), merupakan sumbangan dari Sunan Kalijaga. Serambinya dengan delapan buah tiang boyongan merupakan bangunan tambahan pada zaman Adipati Yunus (Pati Unus atau pangeran Sabrang Lor), sultan Demak ke-2 (1518-1521) pada tahun 1520.
 
Selayang Pandang

Masjid Agung Demak merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia. Masjid ini memiliki nilai historis yang sangat penting bagi perkembangan Islam di tanah air, tepatnya pada masa Kesultanan Demak Bintoro. Banyak masyarakat memercayai masjid ini sebagai tempat berkumpulnya para wali penyebar agama Islam, yang lebih dikenal dengan sebutan Walisongo (Wali Sembilan). Para wali ini sering berkumpul untuk beribadah, berdiskusi tentang penyebaran agama Islam, dan mengajarkan ilmu-ilmu Islam kepada penduduk sekitar. Oleh karenanya, masjid ini bisa dianggap sebagai monumen hidup penyebaran Islam di Indonesia dan bukti kemegahan Kesultanan Demak Bintoro.

Masjid Agung Demak didirikan dalam tiga tahap. Tahap pembangunan pertama adalah pada tahun 1466. Ketika itu masjid ini masih berupa bangunan Pondok Pesantren Glagahwangi di bawah asuhan Sunan Ampel. Pada tahun 1477, masjid ini dibangun kembali sebagai masjid Kadipaten Glagahwangi Demak. Pada tahun 1478, ketika Raden Fatah diangkat sebagai Sultan I Demak, masjid ini direnovasi dengan penambahan tiga trap. Raden Fatah bersama Walisongo memimpin proses pembangunan masjid ini dengan dibantu masyarakat sekitar. Para wali saling membagi tugasnya masing-masing. Secara umum, para wali menggarap soko guru yang menjadi tiang utama penyangga masjid. Namun, ada empat wali yang secara khusus memimpin pembuatan soko guru lainnya, yaitu: Sunan Bonang memimpin membuat soko guru di bagian barat laut; Sunan Kalijaga membuat soko guru di bagian timur laut; Sunan Ampel membuat soko guru di bagian tenggara; dan Sunan Gunungjati membuat soko guru di sebelah barat daya.


Keistimewaan

Luas keseluruhan bangunan utama Masjid Agung Demak adalah 31 x 31 m2. Di samping bangunan utama, juga terdapat serambi masjid yang berukuran 31 x 15 m dengan panjang keliling 35 x 2,35 m; bedug dengan ukuran 3,5 x 2,5 m; dan tatak rambat dengan ukuran 25 x 3 m. Serambi masjid berbentuk bangunan yang terbuka. Bangunan masjid ditopang dengan 128 soko, yang empat di antaranya merupakan soko guru sebagai penyangga utamanya. Tiang penyangga bangunan masjid berjumlah 50 buah, tiang penyangga serambi berjumlah 28 buah, dan tiang kelilingnya berjumlah 16 buah.

Masjid ini memiliki keistimewaan berupa arsitektur khas ala Nusantara. Masjid ini menggunakan atap limas bersusun tiga yang berbentuk segitiga sama kaki. Atap limas ini berbeda dengan umumnya atap masjid di Timur Tengah yang lebih terbiasa dengan bentuk kubah. Ternyata model atap limas bersusun tiga ini mempunyai makna, yaitu bahwa seorang beriman perlu menapaki tiga tingkatan penting dalam keberagamaannya: iman, Islam, dan ihsan. Di samping itu, masjid ini memiliki lima buah pintu yang menghubungkan satu bagian dengan bagian lain, yang memiliki makna rukun Islam, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Masjid ini memiliki enam buah jendela, yang juga memiliki makna rukun iman, yaitu percaya kepada Allah SWT, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, hari kiamat, dan qadha-qadar-Nya.

Bentuk bangunan masjid banyak menggunakan bahan dari kayu. Dengan bahan ini, pembuatan bentuk bulat dengan lengkung-lengkungan akan lebih mudah. Interior bagian dalam masjid juga menggunakan bahan dari kayu dengan ukir-ukiran yang begitu indah.

Bentuk bangunan masjid yang unik tersebut ternyata hasil kreativitas masyarakat pada saat itu. Di samping banyak mengadopsi perkembangan arsitektur lokal ketika itu, kondisi iklim tropis (di antaranya berupa ketersediaan kayu) juga mempengaruhi proses pembangunan masjid. Arsitektur bangunan lokal yang berkembang pada saat itu, seperti joglo, memaksimalkan bentuk limas dengan ragam variasinya.

Masjid Agung Demak berada di tengah kota dan menghadap ke alun-alun yang luas. Secara umum, pembangunan kota-kota di Pulau Jawa banyak kemiripannya, yaitu suatu bentuk satu-kesatuan antara bangunan masjid, keraton, dan alun-alun yang berada di tengahnya. Pembangunan model ini diawali oleh Dinasti Demak Bintoro. Diperkirakan, bekas Keraton Demak ini berada di sebelah selatan Masjid Agung dan alun-alun.

Di lingkungan Masjid Agung Demak ini terdapat sejumlah benda-benda peninggalan bersejarah, seperti Saka Tatal, Dhampar Kencana, Saka Majapahit, dan Maksurah. Di samping itu, di lingkungan masjid juga terdapat komplek makam sultan-sultan Demak dan para abdinya, yang terbagi atas empat bagian:

* Makam Kasepuhan, yang terdiri atas 18 makam, antara lain makam Sultan Demak I (Raden Fatah) beserta istri-istri dan putra-putranya, yaitu Sultan Demak II (Raden Pati Unus) dan Pangeran Sedo Lepen (Raden Surowiyoto), serta makam putra Raden Fatah, Adipati Terung (Raden Husain).

* Makam Kaneman, yang terdiri atas 24 makam, antara lain makam Sultan Demak III (Raden Trenggono), makam istrinya, dan makam putranya, Sunan Prawoto (Raden Hariyo Bagus Mukmin).

* Makam di sebelah barat Lasepuhan dan Kaneman, yang terdiri atas makam Pangeran Arya Penangsang, Pangeran Jipang, Pangeran Arya Jenar, Pangeran Jaran Panoleh.
* Makam lainnya, seperti makam Syekh Maulana Maghribi, Pangeran Benowo, dan Singo Yudo.

 
Arsitektur

Masjid ini mempunyai bangunan-bangunan induk dan serambi. Bangunan induk memiliki empat tiang utama yang disebut saka guru. Bangunan serambi merupakan bangunan terbuka. Atapnya berbentuk limas yang ditopang delapan tiang yang disebut Saka Majapahit.

Di dalam lokasi kompleks Masjid Agung Demak, terdapat beberapa makam raja-raja Kesultanan Demak dan para abdinya. Di sana juga terdapat sebuah museum, yang berisi berbagai hal mengenai riwayat berdirinya Masjid Agung Demak.

Bledug Kuwu Purwodadi



Alam indonesia kita sangatlah kaya akan keanekaragaman alam dan budaya, banyak sekali tempat-tempat wisata yang ada di Indonesia ini yang tidak banyak orang tahu, salah satunya adalah Tempat Wisata Bledug Kuwu yang ada di daerah Purwodadi Jawa Tengah.


Tempat wisata yang satu ini sangatlah unik, sangat berbeda dengan tempat wisata-wisata lainnya, tempat wisata ini bernama Bledug Kuwu. Jika di Amerika Serikat kita dapat menjumpai SALT LAKE (padang garam) yang berasal dari dangkalan laut kemudian berubah menjadi daratan luas, dan pada saat ini daratan tersebut sering digunakan sebagai ajang pengujian kendaraan tercepat didunia. Lain halnya dengan dangkalan laut yang terdapat di Indonesia, sekaligus merupakan keajaiban alam yang tidak dimiliki oleh negara-negara lain, namanya bledug kuwu, letaknya disamping desa kluwu, kecamatan kradenan kabupaten grobogan, juga karena suaranay yang secara periodik meletupkan bunyi bledug(seperti meriam yang terdengar dari kejauhan)dari gelembung lumpur bersamaan dengan keluarnya asap, gas dan air garam. Melalui proses tersebut menjadikan daratan bledug yang dulunya berada didasar laut, sekarang menjadi daratan yang mempunyai ketinggian kurang lebih 53m dari permukaan laut. Luas arealnya 45Ha dengan suhu minimum 31derajat celcius.






Untuk melalui Tempat Wisata Bledug kuwu ini kita harus menempuh jalan darat, dari semarang melalu purwodadi sampai ke desa Kluwu. Selama perjalanan kita disuguhi banyak sekali pemandangan alam yang sangat indah, hamparan sawah yang hijau dan langit yang biru. Pemandangan bukit-bukit yang begitu indah, sehingga perjalanan untuk menuju tempat wisata ini tidaklah terasa membosankan. Karena mata kita sangat segar karena memandang pemandangan alam yang serba hijau dan indah.






Sesampai di Bledug Kuwu, ada perbedaan yang sangat mencolok. Selama perjalanan kita disuguhi oleh pemandangan alam yang indah dan subur, tetapi sangat bertolak belakang dengan Bledug Kuwu. Daerah yang sangat tandus, panas, dan tidak subur. Tetapi ini menjadikannya sangat indah, dua sisi yang berbeda. Selain menikmati keindahan wisata Bledug Kuwu, ternyata disana banyak sekali penduduk desa yang mencari nafkahnya dari Bledug Kuwu sebagai petani garam. Dari sumber air garam bledug kuwu, petani garam mengolahnya hingga menjadi garam dapur. Kemashyuran rasa garam gledug kuwu pernah tercatat dalam sejarah keraton surakarta. Hal ini dapat dibuktikan melalui berbagai keterangan dari masyarakat sekitarnya. Didaerah ini terdapat gunungan-gunungan kecil yang puncaknya mengeluarkan lumpur berwarna kekuning kuningan.






Bledug Kuwu mempunyai keistimewaan tersendiri, apabila dilihat dari peta geologi Dr AJ Panekoek, bahwasanya tanah-tanah yang ada bledugnya adalah jenis Aluvial Plains(tanah endapatan atau tanah mengendap) bersamaan dengan meletupnya bledug, keluarlah uap, gas dan air garam. Suara bledug terjadi karena muntahnya kawah yang berupa lumpurdengan warna kelabu atau kelabu kehitam hitaman, tetapi kalau dicampur dengan air maka akan menjadi putih. Apabila diendapkan air endapan bledug kuwu adalah tanah kapur dan tepat sekali apabila disitu dulunya laut kemudian menjadi daratan, karena erosi dari gunung kapur sudah tentu tanah endapannya mengandung kapur.



Legenda: Ajisaka dan Kisah Naga Mencari Ayah *
 
Sebagaimana obyek-obyek wisata alam lainnya di tanah air, obyek wisata Bledhug Kuwu juga memiliki legenda yang cukup memikat yang melatar-belakangi kemunculannya.

Dikisahkan, pada sekitar abad ke-7 Masehi, daerah Grobogan termasuk dalam wilayah Kerajaan Medang Kamolan yang diperintah oleh Dinasti Sanjaya/Syailendra. Salah seorang raja dari dinasti ini adalah Dewata Cengkar, seorang yang konon amat gemar makan daging manusia. Karena kesukaan raja yang aneh tersebut, membuat rakyat merasa ketakutan. Mereka tidak ingin menjadi santapan sang raja yang haus darah itu. Berbagai cara dilakukan untuk melawan sang raja, tetapi semuanya sia-sia saja. Tak ada yang bisa mengalahkan kesaktian sang raja.

Beberapa waktu kemudian, muncullah Ajisaka, seorang pengembara, yang merasa prihatin dengan penderitaan yang dialami oleh rakyat. Ajisaka pun kemudian berusaha untuk menghentikan kebiasaan sang raja. Dengan disaksikan oleh ribuan pasang mata, Ajisaka pun menantang adu kesaktian dengan sang raja. Banyak orang yang menyangsikan kemampuan Ajisaka, mengingat tubuhnya yang kecil. Namun apa pun, masyarakat tetap menaruh harapan kepada Ajisaka.

Sang raja yang menerima tantangan Ajisaka hanya terbahak-bahak. Raja pun menawarkan, kalau seandainya Ajisaka mampu mengalahkannya, maka Ajisaka berhak memperoleh hadiah berupa separuh wilayah kerajaan. Sebaliknya, jika Ajisaka kalah, maka raja akan memakan tubuh Ajisaka.
Ajisaka pun menyanggupi semua tawaran sang raja. Adapun permintaan terakhir Ajisaka kepada sang raja adalah, jika dia kalah dan tubuhnya dimakan oleh sang raja, Ajisaka memohon agar tulang-tulangnya nanti ditanam dalam tanah seukuran lebar ikat kepalanya.

Tentu saja sang raja segera mengiyakan dan sama sekali tidak menduga bahwa ikat kepala Ajisaka itu adalah ikat kepala yang mengandung kesaktian. Ajisaka segera melepas ikat kepalanya dan kemudian menggelarnya di atas tanah. Ajaib, ikat kepala itu berubah menjadi melebar. Raja Dewata Cengkar menggeser tempat berdirinya. Hal itu berlangsung terus seiring dengan makin mebelarnya ikat kepala Ajisaka, sampai akhirnya Dewata Cengkar tercebur di Laut Selatan. Namun Dewata Cengkar tidak mati, sebaliknya, tubuhnya menjelma menjadi bajul (buaya) putih. Sepeninggal Dewata Cengkar, rakyat kemudian menobatkan Ajisaka sebagai raja di Medang Kamolan.

Pada saat Ajisaka memerintah Medang Kamolan, muncullah seekor naga yang mengaku bernama Jaka Linglung. Menurut pengakuannya, dia adalah anak Ajisaka dan saat itu sedang mencari ayahnya.

Melihat wujudnya, Ajisaka menolak untuk mengakuinya sebagai anak. Ajisaka pun berusaha menyingkirkan sang naga, tetapi dengan cara yang amat halus. Kepada sang naga, Ajisaka mengatakan akan mengakuinya sebagai anak, jika naga itu berhasil membunuh buaya putih jelmaan Dewata Cengkar di Laut Selatan.

Terdorong keinginan untuk diakui sebagai anak, Jaka Linglung pun menyanggupi permintaan Ajisaka untuk membunuh Dewata Cengkar. Jaka Linglung pun segera berangkat. Oleh Ajisaka, Jaka Linglung tidak diperkenankan melalui jalan darat agar tidak mengganggu ketenteraman penduduk. Sebaliknya, Ajisaka mengharuskan Jaka Linglung agar berangkat ke Laut Selatan lewat dalam tanah.
Singkatnya, Jaka Linglung pun sampai di Laut Selatan dan berhasil membunuh Dewata Cengkar. Sebagaimana berangkatnya, kembalinya ke Medang Kamolan pun Jaka Linglung melalui dalam tanah. Dan sebagai bukti bahwa dia telah berhasil sampai di Laut Selatan serta membunuh Dewata Cengkar, Jaka Linglung tak lupa membawa seikat rumput grinting wulung dan air laut yang terasa asin.

Beberapa kali Jaka Linglung mencoba muncul ke permukaan, karena mengira telah sampai di tempat yang dituju. Kali pertama dia muncul di Desa Ngembak (kini wilayah Kecamatan Kota Purwodadi), kemudian di Jono (Kecamatan Tawangharjo), kemudian di Grabagan, Crewek, dan terakhir di Kuwu (ketiganya masuk Kecamatan Kradenan). Di Kuwu inilah, konon Jaka Linglung sempat melepas lelah. Dan tempat munculnya inilah yang kini diyakini menjadi asal muasal munculnya Bledhug Kuwu.

Sumber: www.navigasi.net

Api Abadi Mrapen Purwodadi









Tiket masuk ditetapkan 500 perak suatu harga yang menurut saya pribadi teramat murah. Mobil pun segera parkir di sebuah area terbuka yang cukup luas untuk menampung kendaraan roda dua dan empat. Keluar dari mobil tentu hal yang pertama kali dicari adalah dimana lokasi keberadaan api mrapen. Sekilas mata memandang tidak ditemukan sama sekali kobaran api di area ini, dan ketika ditanyakan kepada salah seorang pengunjung, ia menunjuk pada setumpuk batu berwarna putih yang tersusun rapi membentuk kerucut.

"Mana apinya ?" ujar saya ketika melihat bagian atas batu yang sedikit berongga namun tak nampak
sedikitpun kobaran api. Seorang perempuan tua menghampiri dengan setumpukan daun kering dalam genggaman tangganya. Daun tersebut dengan hati-hati diletakkan di dalam rongga dan tak lupa meniupnya.







Sepintas sebuah jilatan api nampak membakar daun-daun kering tersebut. Rupanya api yang ada terlalu kecil untuk langsung dilihat, perlu ada "bahan bakar" terlebih dahulu agar tampak lebih berkobar. Dari sebuah koran online diperoleh info bahwa kecilnya kobaran Api Alam Mrapen disebabkan karena banyak penduduk sekitar menyalurkan api abadi tersebut untuk kepentingan rumah tangga. Warga mengambil api tersebut dengan cara mengebor tanah dan memasang pipa. Gas api abadi itu kemudian dialirkan ke rumah untuk memasak. Pemda setempat merasa kesulitan menertibkan pengambilan api abadi tersebut. Hal itu karena lokasinya bukan tanah milik pemda kabupaten melainkan milik perorangan. Pemda Kabupaten Grobogan pernah berupaya membeli lahan tersebut, namun itu urung dilakukan, diperkirakan karena belum ada kesepakatan harga.
 
Tak jauh dari lokasi berkobar api terdapat sebuah batu bobot, yang menurut penduduk setempat diyakini akan mampu mengabulkan semua permintaan siapa saja yang bisa mengangkat batu tersebut sambil duduk. batu itu sendiri terletak dalam sebuah cungkup dan terkunci rapat. Dari luar kita masih bisa melihat batu tersebut dari jendela kaca yang tersedia. Waktu saya mencoba melihat kedalam, nampak sekali batu tersebut dikeramatkan, terlihat dengan adanya taburan bunga setaman pada batu tersebut dan bau wangi-wangian yang masih perlahan tercium dari luar pintu.


















batu Bobot yang dikeramatkan oleh penduduk sekitar diletakkan 
didalam ruangan tertutup dan dikunci dari luar


Disamping batu bobot, di lokasi wisata Api Abadi Mrapen juga terdapat kolam kecil dengan air berwarna hijau beserta gelegak air di tengahnya.  Meskipun air tersebut tampak seperti mendidih, namun tidaklah panas karena gelembung-gelembung udara tersebut berasal dari gas yang berada dalam tanah. Letupan gas/gelembung-gelembung air itu akan  menyala bila terkena api, mungkin gas tersebut adalah merupakan gas yang sama dengan yang ada pada Api Alam Mrapen. Dari hasil penelitian di laboratorium terbukti air Sendang Dudo mengandung banyak mineral mulai dari kalsium, besi hingga magnesium. Karena kaya kandungan mineral air Sendang Dudo kerap digunakan untuk mengobati berbagai penyakit di kulit seperti gatal-gatal atau eksim.

Api Alam Mrapen pernah digunakan untuk menyalakan obor dalam kegiatan pesta olahraga international (Ganefo I) pada tanggal 1 November 1963 di Jakarta demikian pula untuk Pekan Olahraga Nasional (PON) X tahun 1989, dan PON XIV tahun 1996. Selain untuk kegiatan penyalaan api olahraga juga digunakan pula untuk upacara hari raya waisak.
 


















Sendang Dudo dengan gelembung air ditengahnya



Legenda,..

Menurut legenda, konon api abadi itu muncul setelah Sunan Kalijaga menancapkan tongkatnya ke dalam tanah. Saat itu, Sunan Kalijaga bersama pengikutnya sedang melakukan perjalanan panjang dan menginap di Desa Mrapen. Malam itu, banyak pengikutnya merasa kedinginan.      Karena merasa kasihan, pemuka agama Islam itu kemudian menancapkan tongkatnya ke tanah. Ketika tongkat dicabut, keluar api yang ternyata tak pernah padam. Karena berasal dari kata prapen yang berarti perapian, api abadi itu disebut mrapen.

Dilain hari Sunan Kalijaga minta dibuatkan sebilah keris pusaka pada Empu Supa yang tinggal tak jauh dari Sendang Dudo. Sebagai bahannya Sang Wali menyerahkan butiran besi sebesar biji kemiri. Melihat bahan sekecil itu Empu Supa tertawa geli karena mana mungkin besi sekecil itu bisa untuk dijadikan sebilah keris pusaka. Rupanya Empu Supa lupa bahwa yang dihadapi adalah Seorang Sunan Kalijaga yang sakti. Besi kecil yang dibakar diatas api alam mrapen untuk ditempa itu ternyata mengembang makin lama makin besar. Empu Supa cepat-cepat membawa besi membara itu ke Sendang Dudo untuk dicelupkan ke dalamnya agar dingin.

Begitu besi panas dimasukkan ke sendang air Sendang Dudo yang tadinya tanang dan jernih tiba-tiba menggelepak seperti mendidih dan berubah menjadi keruh. Entah apakah itu karena panasnya besi yang membara itu atau karena ampuhnya calon keris pusaka yang kelak setelah jadi bernama Kiai Sengkelat tersebut.

Sejak peristiwa itu air Sendang Dudo terus bergolak seperti mendidih kendati tetap dingin.

Sumber: www.navigasi.net

Masjid Ampel Surabaya

http://stat.ks.kidsklik.com/files/2009/11/masjid-sunan-ampel-surabaya.jpg

Tanah Ampilan

Bertolak dari sejarah, berdasar catatan dalam Kitab Pengging Teracah, setelah selesai mendatangi undangan Raja Brawijaya, penguasa Mojopahit, Sunan Ampel mendapat ganjaran Ampilan tanah untuk menyebarkan agama Islam di sisi utara tanah Jawa Timur.

Perjalanan Sunan Ampel kala itu dibarengi beberapa pengikut, diantaranya Ki Wirosaroyo. Wirosaroyo sebelumnya beragama Hindu. Setelah masuk Islam, ia menyatakan ingin ikut perjalanan Sunan Ampel ke Surabaya. Kebetulan ia punya anak gadis bernama Karimah (yang kemudian disunting Sunan Ampel). Sesuai tradisi Jawa, orang tua kadang dipanggil dengan nama anak pertamanya. Jadi Ki Wirosaroyo sering dipanggil dengan nama Pak Karimah, atau lebih populer lagi dengan sebutan Mbah Karimah.

“Sesampai di Surabaya, Sunan Ampel lebih dulu membangun tempat ibadah di Kembang Kuning. Nama Kembang Kuning konon berasal dari gebang kuning atau palm kuning yang waktu itu banyak tumbuh di kawasan ini. Versi lain menyebutkan, nama Kembang Kuning berasal dari hewan kumbang kuning,” jelas Amien.

Tempat ibadah yang didirikan Sunan Ampel bersama Ki Wirosaroyo ini, lanjutnya, berbentuk musholla kecil berukuran sekitar 12x12 meter dan sekilas mirip cungkup. Lantainya menyerupai siti inggil yang menurut kepercayaan sangat pas untuk munajat pada Ilahi. Setelah itu, Sunan Ampel melanjutkan perjalanan dan sempat pula membangun tempat ibadah di kampung Peneleh. Baru setelah itu, Sunan Ampel membangun masjid di Ampel Dento yang bertengger megah dan kian ramai hingga kini.

Jika mengunjungi masjid yang terletak di Jl. Ampel Suci 45 atau Jl. Ampel Masjid 53 ini, kita bisa melihat menara setinggi 30 meter di dekat pintu masuk sisi selatan. Di kompleks masjid, terdapat pula sumur dan bedug kecil peninggalan Sang Sunan, serta 16 tiang setinggi 17 meter (lengkap dengan ukiran kaligrafi bertuliskan Ayat Kursi) yang menyangga atap masjid seluas 800 meter persegi. Tak kalah menarik, kita bisa menyaksikan hiasan lambang Kerajaan Majapahit di bagian atas pintu yang mengelilingi Masid Ampel. Dipakainya rangkaian lambang itu, bisa jadi merupakan bentuk penghormatan Sunan Ampel pada Raja Mojopahit yang sudah berbaik hati memberi Ampilan tanah di Surabaya.

“Hingga sekarang, bangunan Masjid Ampel relatif masih sesuai aslinya. Ini sangat berbeda dengan Langgar Tiban di Kembang Kuning yang sudah berubah dari bangunan awalnya. Langgar itu sudah direnovasi total jadi Masjid Rahmat,” katanya. Renovasi total itu dilakukan, konon, untuk menghindarkan dari pengkultusan dan kesirikan yang bisa saja dilakukan oleh umat Islam.

Meski demikian, tak dipungkiri bila citra Masjid Ampel berselimut keagungan dan keajaiban. Termasuk cerita tentang Mbah Sholeh yang konon memiliki sembilan nyawa. Mbah Sholeh, kata sebuah riwayat, adalah pengikut setia Sunan Ampel, yang semasa hidupnya rajin membantu membangun dan membersihkan masjid.
Suatu ketika, Sunan Ampel tanpa sengaja berdesah, “Ah, seandainya Mbah Sholeh masih hidup, tentu pekarangan masjid tidak kotor begini”. Seketika itu, Mbah Soleh yang sudah meninggal, mendadak muncul dan segera membantu Sunan Ampel membersihkan masjid. Keajaiban itu berulang kali terjadi sampai sembilan kali, hingga wafatnya Sunan Ampel pada tahun 1478 di Ampel.

Mbah Sholeh pun yang meninggal tak lama kemudian dimakamkan di kompleks makam Masjid Ampel lama sebelah utara. Di sini, kita bisa melihat sembilan batu nisan yang berjejer rapi, sebagai tanda Mbah Sholeh pernah hidup dan mati sembilan kali. Di sisi barat masjid, ada makam Mbah Sonhaji atau juga dikenal dengan sebutan Mbah Bolong.

Menurut cerita, Mbah Bolong adalah orang yang berjasa menentukan arah kiblat dengan cara melubangi (mbolongi, jawa) dinding menggunakan jarinya untuk melihat Ka’bah di Mekkah. Selain makam Mbah Bolong, ada beberapa makam syuhada dan para santri Sunan Ampel. Beberapa meter dari makam-makam ini, terdapatlah makam Sunan Ampel, berdampingan dengan isteri pertamanya, Dewi Condrowati, salah satu putri Raja Brawijaya.

Masjid Menara Kudus





























Penyebaran agama Islam di Jawa dilakukan oleh para pedagang, yang dipelopori oleh Maulana Maghribi, yang lebih dikenal dengan nama Maulana Malik Ibrahim. Beliau menyebarkan Islam tidak hanya sendiri, melainkan bersama-sama dengan yang lain atau biasa disebut dengan Wali Songo. Wali-wali tersebut menyampaikan risalah Islam dengan cara yang berbeda, salah diantaranya adalah yang kita kenal dengan Ja'far Shodiq atau biasa disebut dengan Kanjeng Sunan Kudus.

Masjid Menara Kudus merupakan salah satu peninggalan sejarah, sebagai bukti  proses penyebaran Islam di Tanah Jawa. Masjid ini tergolong unik karena desain bangunannya, yang merupakan penggabungan antara Budaya Hindu dan Budaya Islam. Sebagaimana kita ketahui, sebelum Islam, Di Jawa telah berkembang agama Budha dan Hindu dengan peninggalannya berupa Candi dan Pura. Selain itu ada penyembahan terhadap Roh Nenek Moyang (Animisme) dan kepercayaan terhadap benda-benda (Dinamisme). Masjid Menara Kudus menjadi bukti, bagaimana sebuah perpaduan antara Kebudayaan Islam dan Kebudayaan Hindu telah menghasilkan sebuah bangunan yang tergolong unik dan bergaya arsitektur tinggi. Sebuah bangunan masjid, namun dengan menara dalam bentuk candi dan berbagai ornamen lain yang bergaya Hindu.





Menara mesjid Kudus yang bercorak Hindu, menyerupai bentuk candi. Konon dibawah menara Kudus, dulunya terdapat sebuah sumber mata air kehidupan.

Menurut sejarah, Masjid Menara Kudus didirikan oleh Sunan Kudus atau Ja'far Shodiq ialah putera dari R.Usman Haji yang bergelar dengan Sunan Ngudung di Jipang Panolan (ada yang mengatakan tempat tersebut terletak di sebelah utara Blora). Sunan Kudus kawin dengan Dewi Rukhil, puteri dari R.Makdum Ibrahim, Kanjeng Sunan Bonan di Tuban. R.Makdum Ibrahim adalah putera R.Rachmad (Sunan Ampel) putera Maulana Ibrahim. Dengan demikian Sunan Kudus adalah menantunya Kanjeng Sunan Bonang. Sunan Kudus selain dikenal seorang ahli agama juga dikenal sebagai ahli ilmu tauhid, ilmu hadist dan ilmu fiqh.

Karena itu, diantara kesembilan wali, hanya beliau yang terkenal sebagai "Waliyil Ilmi". Adapun cara Sunan Kudus menyebarkan agama Islam adalah dengan jalan kebijaksanaan, sehingga mendapat simpati dari penduduk yang saat itu masih memeluk agama Hindu. Salah satu contohnya adalah, Sapi merupakan hewan yang sangat dihormati oleh agama Hindu, suatu ketika kanjeng Sunan mengikat sapi di pekarangan masjid, setelah mereka datang Kanjeng Sunan bertabligh, sehingga diantara mereka banyak yang memeluk Islam. Dan sampai sekarang pun di wilayah Kudus, khususnya Kudus Kulon dilarang menyembelih sapi sebagai penghormatan terhadap agama Hindu sampai dengan saat ini.















































Penghormatan lain adalah diwujudkan dalam bentuk bangunan menara masjid yang bercorak Hindu. Menurut sejarah, masjid Kudus dibangun oleh Sunan Kudus pada tahun 956 H. Hal ini terlihat dari batu tulis yang terletak di Pengimaman masjid, yang bertuliskan dan berbentuk bahasa Arab, yang sukar dibaca karena telah banyak huruf-huruf yang rusak. Batu itu berperisai, dan ukuran perisai tersebut adalah dengan panjang 46 cm, lebar 30 cm. Konon kabarnya batu tersebut berasal dari Baitulmakdis (Al Quds) di Yerussalem - Palestina. Dari kata Baitulmakdis itulah muncul nama Kudus yang artinya suci, sehingga masjid tersebut dinamakan masjid Kudus dan kotanya dinamakan dengan kota Kudus.

Masjid Menara Kudus ini terdiri dari 5 buah pintu sebelah kanan, dan 5 buah pintu sebelah kiri. Jendelanya semuanya ada 4 buah. Pintu besar terdiri dari 5 buah, dan tiang besar di dalam masjid yang berasal dari kayu jati ada 8 buah. Namun masjid ini tidak sesuai aslinya, lebih besar dari semula karena pada tahun 1918 - an telah direnovasi. Di dalamnya terdapat kolam masjid, kolam yang berbentuk "padasan" tersebut merupakan peninggalan jaman purba dan dijadikan sebagai tempat wudhu. Masih menjadi pertanyaan sampai sekarang, apakah kolam tersebut peninggalan jaman Hindu atau sengaja dibuat oleh Sunan Kudus untuk mengadopsi budaya Hindu. Di dalam masjid terdapat 2 buah bendera, yang terletak di kanan dan kiri tempat khatib membaca khutbah. Di serambi depan masjid terdapat sebuah pintu gapura, yang biasa disebut oleh penduduk sebagai "Lawang kembar", konon kabarnya gapura tersebut berasal dari bekas kerajaan Majapahit dahulu, gapura tersebut dulu dipakai sebagai pintu spion.

Cerita mengenai menara Kudus pun ada berbagai versi, ada pendapat yang mengatakan," bahwa menara Kudus adalah bekas candi orang Hindu,". Buktinya bentuknya hampir mirip dengan Candi Kidal yang terdapat di Jawa Timur yang didirikan kira-kira tahun 1250 atau mirip dengan Candi Singosari. Pendapat lain mengatakan kalau dibawah menara Kudus, dulunya terdapat sebuah sumber mata air kehidupan. Kenapa? karena mahluk hidup yang telah mati kalau dimasukkan dalam mata air tersebut menjadi hidup kembali. Karena dikhawatirkan akan dikultuskan, ditutuplah mata air tersebut dengan bangunan menara. Menara Kudus itu tingginya kira-kira 17 meter, di sekelilingnya dihias dengan piringan-piringan bergambar yang kesemuanya berjumlah 32 buah banyaknya. 20 buah diantaranya berwarna biru serta berlukiskan masjid, manusia dengan unta dan pohon kurma. Sedang 12 buah lainnya berwarna merah putih berlukiskan kembang. Dalam menara ada tangganya yang terbuat dari kayu jati yang mungkin dibuat pada tahun 1895 M. Tentang bangunannya dan hiasannya jelas menunjukkan hubungannya dengan kesenian Hindu Jawa. Karena bangunan Menara Kudus itu terdiri dari 3 bagian : (1) Kaki (2) Badan dan (3) Puncak bangunan. Dihiasi pula dengan seni hias, atau artefix (hiasan yang menyerupai bukit kecil).



Ziarah kubur merupakan salah satu bentuk kunjungan yang banyak dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat dari dalam maupun luar kota






















Tampak dari depan sekilas memang masjid Menara Kudus ini kelihatan kecil, namun setelah masuk ke dalam luas sekali. Selain masjid, ternyata di belakang masjid adalah komplek makam Kanjeng Sunan Kudus dan para keluarganya. Pintu masuk makam terletak disebelah kanan masjid, kemudian setelah melalui jalan kecil kita akan melalui pintu kedua memasuki komplek yang didalamnya ada pondokan-pondokan. Ditengah-tengah  pondokan tersebut ada sebuah bangunan paling besar, konon kabarnya bangunan tersebut adalah tempat pertemuan para Walisongo sekaligus tempat Sunan Kudus memberikan wejangan kepada para muridnya. Disebelah utara sebuah komplek ini ada sebuah pintu kecil menuju ke komplek pemakaman Kanjeng Sunan. Komplek-komplek makam tersebut terbagi-bagi dalam beberapa blok, dan tiap blok merupakan bagian tersendiri dari hubungannya terhadap Kanjeng Sunan. Ada blok para putera dan puteri Kanjeng Sunan, ada blok para Panglima perang dan blok paling besar adalah makam Kanjeng Sunan sendiri. Uniknya adalah semua pintu penghubung antar blok berbentuk gapura candi-candi. Tembok-tembok yang mengitarinya pun dari bata merah yang disusun berjenjang, ada yang menjorok ke dalam dan ke luar seperti layaknya bangunan candi. Panorama yang nampak adalah komplek pemakaman Islam namun bercorak Hindu.

Kesan unik dan historis inilah yang sangat menarik para wisatawan religi maupun wisatawan biasa. Setiap hari tempat ini selalu ramai dikunjungi oleh para wisatawan, wisatawan yang berasal dari sekitar kota Kudus biasanya berkunjung pada hari biasa, hari Sabtu dan Minggu biasanya lebih banyak pengunjung dari luar kota. Tanggal 10 Syura' merupakan puncak keramaian di komplek masjid ini, dalam rangka khaul wafatnya Kanjeng Sunan Kudus. Walaupun mengandung keunikan yang khas, namun tata ruang sekitar masjid nampak amburadul. Karena terletak dipusat kota Kudus, hanya 5 menit dari alun-alun kota Kudus, masjid ini dikepung oleh perumahan penduduk yang cukup padat. Sehingga, mengurangi keindahan komplek bangunan Masjid Menara Kudus ini yang sekarang masuk sebagai salah satu cagar budaya. Selain itu, banyaknya pengemis yang berada disekitar masjid, juga dapat mengganggu para pengunjung yang datang. Agar terus terjaga kelestariannya, penataan ruang sekitar masjid harus diperbaiki kembali untuk mempertahankan kesan indah dan unik Masjid Menara Kudus ini.




Rumah Makan Soto Kudus Pak Ramidjan























Selain terkenal dengan jenang Kudusnya, makanan lain khas Kota Kudus adalah Soto Kudus. Sekarang ini Soto Kudus sudah hampir merambah kota-kota besar di seluruh Indonesia. Terasa ada yang berbeda dengan soto kudus lainnya ketika kita makan Soto Kudus "Pak Ramidjan" yang terletak di Jl.Jepara - Jember, Kudus ini. Tak jauh dari Masjid Menara Kudus kita bisa temukan tempat ini dengan gampang. Hanya 5 menit perjalanan, dan hampir setiap orang disekitar tempat tersebut mengenal tempat ini. Tempatnya biasa saja, tidak terkesan mewah atau unik, namun setelah mencicipi soto tersebut, rasanya membuat lidah bergoyang dan ingin nambah lagi.


Seperti kata Bu Hj.Nikmah, pengelola soto Pak Ramidjan," rata-rata orang yang sudah berkunjung kesini akan mengatakan, soto kudus pak Ramidjan ini yang paling lezat,". Dari aroma bumbu, memang soto Pak Ramidjan ini memberikan racikan bumbu yang berbeda dengan soto kudus lainnya, dan berani. Selain soto kudus, nasi pindang juga tersedia, tentunya terasa khas dan berbeda dengan yang lainnya. Karena dengan resep dan bumbu yang berbeda, rata-rata makanan yang tersaji di tempat ini mempunyai rasa yang lezat dan bisa membuat kita ketagihan untuk makan di tempat ini lagi. Apalagi harga yang tidak begitu mahal, dan sangat terjangkau, membuat orang-orang suka makan di tempat ini.

Sumber: www.navigasi.net

Masjid Cheng Ho Surabaya

http://farm4.static.flickr.com/3291/3150202359_ca37b5827e.jpg


Masjid Ceng Ho
Jalan Gading No.2 (Belakang Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa), Surabaya.

Masjid Cheng Ho, atau juga dikenal dengan nama Masjid Muhammad Cheng Ho Indonesia, ialah bangunan masjid yang menyerupai kelenteng (rumah ibadah umat Tri Dharma).

Masjid ini didominasi warna merah, hijau, dan kuning. Ornamennya kental nuansa Tiongkok lama. Pintu masuknya menyerupai bentuk pagoda, terdapat juga relief naga dan patung singa dari lilin dengan lafaz Allah dalam huruf Arab di puncak pagoda. Di sisi kiri bangunan terdapat sebuah beduk sebagai pelengkap bangunan masjid.

Nama masjid ini merupakan bentuk penghormatan pada Cheng Ho, Laksamana asal Cina yang beragama Islam. Dalam perjalanannya di kawasan Asia Tenggara, Cheng Ho bukan hanya berdagang dan menjalin persahabatan, juga menyebarkan agama Islam.

Pada abad ke 15 pada masa Dinasti Ming (1368-1643) orang-orang Tionghoa dari Yunnan mulai berdatangan untuk menyebarkan agama Islam, terutama di pulau Jawa. Yang kemudian Laksamana Cheng Ho (Admiral Zhang Hee) atau yang lebih dikenal dengan Sam Poo Kong atau Pompu Awang pada tahun 1410 dan tahun 1416 dengan armada yang dipimpinnya mendarat di pantai Simongan, Semarang. Selain itu dia juga sebagai utusan Kaisar Yung Lo untuk mengunjungi Raja Majapahit yang juga bertujuan untuk menyebarkan agama Islam.

Untuk mengenang perjuangan dan dakwah Laksamana Cheng Hoo dan warga Tionghoa muslim juga ingin memiliki sebuah masjid dengan gaya Tionghoa maka pada tanggal 13 Oktober 2002 diresmikan Masjid dengan arsitektur Tiongkok ini.

Masjid Muhammad Cheng Hoo ini mampu menampung sekitar 200 jama'ah. Masjid Muhammad Cheng Hoo berdiri diatas tanah seluas 21 x 11 meter persegi dengan luas bangunan utama 11 x 9 meter persegi. Masjid Muhammad Cheng Hoo juga memiliki delapan sisi dibagian atas bangunan utama. Ketiga ukuran atau angka itu ada maksudnya. Maknanya adalah angka 11 untuk ukuran Ka'bah saat baru dibangun, angka 9 melambangkan Wali Songo dan angka 8 melambangkan Pat Kwa (keberuntungan/ kejayaan dalam bahasa Tionghoa).

Perpaduan Gaya Tiongkok dan Arab memang menjadi ciri khas masjid ini. Arsitektur Masjid Cheng Ho diilhami Masjid Niu Jie (Ox Street) di Beijing yang dibangun pada tahun 996 Masehi. Gaya Niu Jie tampak pada bagian puncak, atau atap utama, dan mahkota masjid. Selebihnya, hasil perpaduan arsitektur Timur Tengah dan budaya lokal, Jawa. Arsiteknya Ir. Abdul Aziz dari Bojonegoro.

Hitungan atau angka pada bangunan masjid semuanya punya makna. Misalnya, bangunan utama seluas 11 x 9 meter. Angka 11 sebagai ukuran Ka'bah pada awal pembangunannya dan angka 9 merupakan simbol Wali Songo yang dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa.

Masjid Cheng Ho memiliki kolom sederhana dan dinding dilapisi keramik bermotif batu bata. Di beberapa bagian dihadirkan ornamen horizontal berwarna hijau tua dan biru muda. Pewarnaan itu diulang juga pada bentukan kuda-kuda yang dibiarkan telanjang pada bagian interior.



Ada juga bukaan lengkung pada dinding, ciri khas arsitektur India dan Arab. Pada bagian dalam masjid, terdapat podium. Di Tiongkok, podium ini dimaksudkan guna menghindari kelembapan. Podium Masjid Cheng Ho dibagi dua, tinggi dan rendah. Podium yang lebih tinggi terletak pada bangunan utama. Sedangkan yang rendah berada di sayap kanan dan kiri bagian utama masjid.

Masjid Cheng Ho mulai dibangun pada 10 Maret 2002 dan rampung serta diresmikan pada 13 Okrtober 2002, menghabiskan Rp 700 juta. Ukurannya sekitar 200 meter persegi dan hanya mampu menampung 200 jamaah. Masjid ini dikelola PITI Korwil Jawa Timur dan Yayasan Haji Muhammad
Cheng Ho Indonesia.

sumber : www.osdir.com

Warung Spesial Belut Surabaya



Di wilayah Surabaya bagian selatan ada sebuah warung makan yang patut untuk dikunjungi. Warung ini sebenarnya tidak terlalu besar seperti halnya restoran pada umumnya. Ruangan yang digunakannya hanya berukuran 6×4 meter saja. Peralatan yang digunakannya pun tidak terlalu mewah bahkan cenderung sangat sederhana. Dan bahkan pelanggan yang datang bukanlah golongan pejabat, konglomerat dan orang-orang yang berkantong tebal, melainkan dari golongan masyarakat menengah ke bawah seperti saya.

Warung ini bernama warung “Spesial Belut Surabaya”. Sesuai dengan namanya, warung makan ini menyajikan menu utama berupa belut yang diolah menjadi beberapa jenis masakan seperti pecel belut kering, pecel belut basah, pecel belut elek, belut saos inggris, dan lain-lain. Tidak hanya itu, warung yang terletak di Jl. Banyu Urip Kidul IV/39 Surabaya atau sering disebut Bok Abang itu juga menyediakan menu masakan lain seperti:  pecel lele dan burung dara goreng yang terkenal sangat gurih itu. Harga yang dipatok tidak terlalu mahal. Berikut ini menu dari beberapa jenis makanan di warung “Spesial Belut Surabaya” antara lain :

- Pecel Lele 
- Pecel Belut Kering 
- Pecel Belut Basah 
- Pecel Belut Elek 
- Belut Saos Inggris Basah 
- Belut Saos Inggris Kering 
- Burung Dara Goreng 
- Burung Dara Saos Inggris

Selain di sini, untuk menikmati makanan spesial belut ini bisa dijumpai di cabang lain yaitu di Jl. Ngagel Jaya Selatan 119 Surabaya. Uniknya, kalau Anda ingin membungkus makanan ini untuk dibawa pulang, akan dibungkuskan beserta coweknya.
 
Begitu juga untuk yang di Sidoarjo, di sebelah depot Langgeng di Sidoarjo, ternyata di sebelahnya ada Spesial Belut Surabaya H. Poer (saya singkat SBS) yang sudah lama pengen saya datangi. Sempat bingung mau masuk ke yang mana, tapi akhirnya saya memutuskan untuk makan di Depot Langgeng dan mbungkus di SBS ini.

Lumayanlah berarti saya tidak perlu menunggu lama, akhirnya saya memutuskan memesan pecel belut goreng kering yang gambarnya bisa diliat di bagian atas postingan ini. Sambelya saya milih yang sedang yang ternyata sama sekali gak pedas karena hanya terdiri dari 3 buah cabe rawit + 1 buah tomat yang sudah digoreng, Sayangnya sambelnya dikasih vetsin, so kalo bisa minta yang gak pake vetsin deh.

Gak lama, belutnya muncul dalam keadaan terpotong dan tergoreng kering disertai keprekan bawang putih yang turut digoreng bersama si belut. Wah, dah pengen nyomot nih… cuma sungkan.

Uniknya, untuk belut yang dibawa pulang dikemasnya ternyata bersama dengan cobek kecil tempat sambalnya, kemudian dilapis kertas coklat untuk belut goreng, dan dilapis kertas coklat lagi buat lalapannya, baru dibungkus plastik (halah gak ramah lingkungan banget ya?) Jadinya sampai di rumah belutnya gak jemek dan masih bisa ditata buat difoto sebelum dimakan.

Kalo soal rasa, belutnya crunchy banget, gak asin dan gak ada bau amis, pokoknya gak ada tampang belut deh dan tidak mengecewakan dalam soal rasa. Harga cukupan ya.. Gak pake nasi 12 ribu per porsi.


Pusat:
* Jl. Banyu Urip Kidul IV / 39 (Bok Abang) Surabaya
 

Cabang Utama:
* Jl. Ngagel Jaya Selatan No. 119 Surabaya
 
* Jl. H. R. Muhammad No. 249 Surabaya

Cabang lain yang terdekat.  
* Jl. KH. Mukmin 65, Sidoarjo
   Telp: 031-70108815

 * Jl. A. Yani 219, Surabaya
   (Seberang BCA A. Yani)

Dewan Revolusi Islam?

Negara ini memasuki tahapan akrobatik politik yang mengotori akal sehat. Isu miring Dewan Revolusi Islam (DRI) yang digelindingkan pun menjadi antiklimaks. Pepesan kosong.

Terlepas akurat atau tidaknya sumber yang dijadikan rujukan, isu DRI tetap sangat kentara pesanan asing. Yang penulis herankan, Al Jazeera ternyata sudah menjadi begundal mereka pula. Sangat disayangkan.
Umat Islam kini tidak berada vis-a vis berkonfrontasi dgn pemerintah. Bahkan ormas Islam militan seperti FPI kini mau berdialog dengan Mendagri, Menag, Seskab dan menyambangi pimpinan MPR/DPR. Ini suatu perkembangan yang baru. Biasanya agenda yang dibawa FPI adalah tentang Ahmadiyah. Ini sebenarnya akan bermakna positif terhadap kedua belah pihak. Suasana konfrontasi yang panas memang sering berubah menjadi cair, jika mereka saling dialog dan bertukar pikiran. Namun, jangan lupa, ada pihak yang menganggap ini kondisi harmonis ini sangat berbahaya, yakni mereka yang merasa paling dirugikan.

Jadi, menurut saya, isu DRI ini ditiupkan oleh gerombolan begundal anarkis yang merasa tersingkirkan ini. Merekalah sebenar-benarnya yang menyulutkan sumbu, mengadu domba, membuat teror dan keresahan.
Mungkin Anda masih kurang sependapat dengan asumsi saya di atas. Anda masih yakin bahwa FPI memang masih berniat mengadakan sebuah revolusi Islam. Ketahuilah, tanpa dukungan pasukan tentara, tidak akan mungkin suatu revolusi berjalan. Yang ada hanya tindakan bunuh diri (suicidal). Dan saya yakin pimpinan FPI tidak terlalu bodoh untuk memahami hal ini.
Wallahu a’lam

Dorespande


Sumber: kompasiana.com

Kisah Sukesi, Pendidikan Seks dalam Tradisi Jawa

13009350732013811402

Dasamuka, sang Pemangku Angkara sumber: wayang@wordpress


Kisah Sukesi.  Ini adalah bagian dari kisah epik Ramayana yang aslinya dituturkan oleh Valmiki (yang gak ada hubungannya sama Val Kilmer ya!) atau Walmiki, nun jauh di India sana. Ramayana ini, nasibnya sama seperti Mahabarata, sesampainya di Indonesia lalu di”aransemen” ulang, disesuaikan dengan budaya lokal dan kemudian dianggap sebagai “milik” sendiri. Susah untuk disebut sebagai plagiasi, karena Ramayana (dan Mahabarata) dikenal luas hampir di seluruh kawasan Asia Tenggara, wilayah yang pernah bersinggungan dengan Hindu, seperti Thailand, Laos, Birma, Malaysia bahkan sampai ke Filipina.

Kisah Sukesi adalah sempalan cerita (bhs Jawa: carangan). Disebut sempalan, karena cerita ini adalah cerita tambahan, tempelan atau sisipan dari kisah utama, hasil olah “aransemen” karya anak bangsa, yang justru tidak dikenal dalam kisah aslinya. Siapa pengarang atau penggubahnya, saya tidak tahu. Karena mungkin masa itu penggubah cerita tidak terlalu dihargai hak intelektualnya.

Setiap cerita sempalan, biasanya sarat pesan, penuh pitutur (petuah, nasehat) dan tuladha (contoh). Dengan kearifan tradisi, semua pesan ini dibungkus rapat dalam alur cerita yang indah. Kalau tidak jeli, semuanya akan berlalu begitu saja, tertutup oleh bungkus yang memang indah ini. Apalagi cerita ini, yang bertemakan petuah yang menyerempet-nyerempet hubungan antara lelaki dan perempuan. Dari dulu seks jadi hal tabu dibicarakan secara terbuka. Sarananya? Ya cerita macam inilah.

Kalau saya sebut di judul sebagai tradisi Jawa, sepertinya tidak tepat benar, karena cerita ini juga dikenal di Sunda dan Bali. Entahlah di Sasak dan Banjar yang juga mengenal wayang.

Wayang? Benar, cerita ini biasanya dipentaskan melalui pagelaran Wayang Orang atau Wayang Kulit (Jawa) dan Wayang Golek (Sunda). Judul ceritanya bisa macam-macam, tapi biasanya tidak jauh dari: Alap-alapan Sukesi (Kisah Sukesi), Laire Dasamuka (Lahirnya Dasamuka), Sastra Jendra, en so on, en so on. Kuno? Gak relevan lagi dengan kemajuan dan teknologi kekinian? Ah, simak dululah, baru komentar!
So?  Sekarang bolehkah saya persilahkan Ki Dalang naik panggung buat memulai ceritanya?



Ringkasan Cerita.

Prabu Sumali, raja Alengka sedang pusing berat. Anak perempuan semata wayangnya, Dewi Sukesi yang cantik bak bidadari ogah disuruh kawin, biar usianya sudah sangat cukup. Putri itu hanya mau menikah dengan laki-laki yang mampu menjelaskan padanya arti yang terkandung dalam surat Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Berkat ilmunya yang tinggi, Prabu Sumali sebenarnya tahu isi dan arti surat itu. Dia tahu juga siapa-siapa saja yang menguasai ilmu itu, tapi dia tahu betul bahwa menjelaskannya kepada siapapun adalah terlarang, karena itu rahasia Dewa.

Sudah ratusan kali dia menjelaskannya pada putrinya, tapi Dewi Sukesi tetap ngeyel dan keukeuh saja. Putrinya percaya, suatu hari akan datang laki-laki jodohnya yang sanggup menjelaskan padanya arti surat itu. Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu!

Meskipun tanpa Koran, tanpa Infotainment, tanpa Hape apalagi Internet, kabar itu sudah menyebar ke seluruh dunia (pewayangan). Tidak ada laki-laki yang tidak tertarik oleh wanginya mawar Alengka yang seksi dan semloheh ini. Bermacam bujukan, rayuan bahkan ancaman ditujukan kepada sang Putri dan bapaknya. Tapi Sukesi tetap bergeming. Dan meskipun gondok bin sebel, tapi tidak ada seorang calonpun yang berpikir untuk mengganggu stabilitas negara kuat seperti Alengka. Status quo Sang Dewi rasanya akan berkepanjangan.

Kabar ini akhirnya sampai juga ke negara Lokapala.

Prabu Danaraja, raja Lokapala yang baru saja duduk di tahta menggantikan ayahnya, masih bujangan ting ting. Cakepnya alamaaaak, kaya Brad Pitt. Segudang perempuan pasti mau kalau dia mengajak kawin. Masalahnya, sang Prabu Danaraja ini tergila-gila abis oleh Dewi Sukesi. Dia juga tahu persis, ayahnya yang baru saja meletakkan tahta dan menjadi pendeta itu, Begawan Wisrawa menguasai ilmu persuratan yang diminta itu.

Mulailah Sang Danaraja menggerilya bapaknya sendiri. Cara halus sambil mewek-mewek, sampai cara kasar mau bunuh diri. Nah lu.

Anak polah bapa kepradah. Anak bertingkah, ayahnyalah yang susah.

Meskipun tahu itu larangan Dewa, tapi harus berbuat apa? Ada pikiran untuk mengajari sang anak dengan ilmu itu, biar anaknya sendiri yang jalan, tapi bukannya larangan itu akan dilanggar dua kali? Akhirnya dengan sikap apa boleh buat, demi kebahagiaan sang anak, berangkatlah Begawan Wisrawa ke Alengka, melamar Sukesi untuk anaknya, Sang Danaraja.

Prabu Sumali di Alengka, senang betul menerima Wisrawa yang kakak seperguruannya itu. Pikirnya pas betul kalau Sukesi mendapatkan jodoh seorang Danaraja. Percaya penuh akan keluhuran budi dan bersihnya hati sang kakak seperguruan, Sumali mengijinkan Sukesi untuk diajak Wisrawa ke tempat terpencil agar tidak ada orang lain yang mendengar uraian surat itu.

Dan Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu itupun mulai kawedhar.


13009265801584395554
Dasamuka, sang Pemangku Angkara sumber: wayang@wordpress

Kahyangan, tempat Dewa bersemayam, ribut besar. Rahasia Dewa dibuka oleh anak manusia yang tak berhak menuturkannya! Batara Guru, penguasa tunggal Kahyangan yang marah bukan main lalu mengutus Batara Kamajaya dan Batari Ratih, pasangan Dewa dan Dewi Cinta untuk turun ke dunia, menghukum Wisrawa dan Sukesi. Pasangan yang nerak angger-angger (melanggar aturan) itu.

Usai mendengar uraian surat itu, Batari Ratih menyusup masuk ke jiwa Sukesi. Pandangan Sukesi yang semula melihat Wisrawa sebagai sosok ayah dan guru, segera berubah menjadi sosok kekasih. Seketika Sukesi ambruk ke pangkuan Wisrawa menyerahkan dirinya. Wisrawa yang kuat iman dan tinggi pekertinya kukuh menolak penyerahan ini sambil mengingatkan Sukesi bahwa dirinya hanyalah sekedar utusan. Utusan seorang pria yang jauh lebih pantas daripada dirinya untuk jadi suami Sukesi. Tapi Sukesi menyatakan bahwa sejak awal, dia hanya mau diperistri oleh seorang laki laki yang mampu menceritakan kepadanya rahasia surat itu. Tidak peduli dia utusan atau tidak.

(Ini adalah bagian yang paling indah dari cerita ini, kalau saja yang cerita adalah sang maestro, Ki Dalang Narto Sabdho alm. Sayang, saya tidak punya kemampuan dan kekayaan bahasa sebaik beliau)

Dalam kondisi ini Batara Kamajaya menyusup masuk dalam jiwa Wisrawa dan membobol pertahanannya. Kemudian segala macam pertimbangan, baik, buruk, benar, salah semuanya menghilang. Yang ada hanya nafsu. Dua mahluk itupun tenggelam dalam jerat asmara penuh angkara. (Ssssst, seperti film Indonesia, adegan macam ini lantas dipotong dan diganti klip lautan yang menggelora hehehe).

Apa mau, hubungan tak patut ini membuahkan keturunan. Sang jabang bayi lahir bersama bulan mati, hujan lebat, angin prahara dan petir bersahutan. Setan tertawa menandai lahirnya Raja Angkara di masa depan. Sang Dasamuka.

Usai kelahiran Dasamuka, pasangan ini masih saja tenggelam dalam nafsu, dan berturut-turut lahirlah buah nafsu itu, Kumbakarna kedua dan Sarpakenaka ketiga. 3 orang bayi berwujud raksasa dari pasangan manusia biasa.

Setelah kelahiran Sarpakenaka, Batara Kamajaya dan Batari Ratih menganggap hukuman telah cukup, dan mereka segera keluar dari jiwa sepasang manusia itu. Wisrawa dan Sukesi segera sadar dari jeratan nafsu yang membelit mereka. Penyesalan yang lahir praktis tidak ada gunanya. Mereka turun dari pengasingan dan menghadap Sumali yang apabolehbuat, akhirnya merestui hubungan itu dan menikahkan mereka.

Mereka bertobat dan mohon ampun atas dosa-dosa mereka. Setelah pertobatan dan restu ayahanda, pasangan ini melahirkan anak keempat berwujud manusia berwajah cakap. Sang Wibisana, yang kelak selalu mengingatkan kakak-kakaknya ketika bertindak salah.

Apa reaksi anak Wisrawa, Sang Danaraja?
Wancinipun meh ndungkap raina, sanghyang Aruna katingal abrit ing bangwetan, , ocehing peksi ing wit kanigara kados suwanten pangrengiking kidungipun tiyang nandhang branta. Pindha ungeling sulingipun tiyang, cekikering ayam wana ing pagagan, peksi merak nyengungong undang-undang, kombang mangrurah sekar ing kamar pasarean wangi. Uuuuunnnggggg…..


Pesan dalam cerita.

Pesan ini tersirat amat kuat kalau yang kita saksikan adalah pagelaran Wayang kulit yang lengkap (yang sampai pagi itu), tapi tidak sempat “keluar” di Wayang Orang atau Wayang Kulit yang instan, yang durasinya cuma 2-3jam itu.

Hubungan seks itu sebaiknya tidak melulu didasarkan atas nafsu semata. Di sana terkandung satu tujuan, titipan dari Sang Maha Pencipta, untuk melestarikan spesies kita, umat manusia. Doa, harapan dan kondisi mental yang kuat dari sang Calon Ayah dan Sang Calon Ibu yang mengiringi pembuahan sel telur oleh sperma akan membantu Sang Maha Pencipta meniupkan ruh yang baik kepada Sang Penerus.
Kalau hanya nafsu yang dikedepankan, Dasamuka lah wujudnya.  Nafsu akan membuahkan Angkara

Bijak dan masih relevan dengan kekinian kan?

Ahmad Jayakardi
Sumber: kompasiana.com

Sekolah itu Terasa Ringan Bila…..

http://www.sadargizi.com/wp-content/uploads/2010/06/anak-sekolah1.jpg


Sekolah itu terasa ringan bila bapak dan ibu guru di sekolah menyayangi peserta didiknya dengan sepenuh hati. Melayani mereka layaknya anak sendiri, dan memahami benar potensi unik peserta didiknya. Setiap anak memiliki kehebatan lebih dari satu potensi. Potensi unik inilah yang harus tergali di sekolah. Potensi unik itulah yang harus dikembangkan oleh para guru dalam pembelajarannya di sekolah.

Sekolah itu terasa ringan bila para orang tua memahami arti penting sebuah pendidikan. Tidak menyerahkan begitu saja pendidikan anaknya ke sekolah. Sebab pendidikan yang paling utama adalah pendidikan dalam keluarga. Bila keluarga kita baik, maka anakpun menjadi baik. Tetap mengawasi anak dan mengamati lingkungan pergaulannya. Anak itu terlahir seperti kertas berwarna putih. Peran bapak ibunya yang telah merubah warna putih itu menjadi warna lainnya.

Sekolah itu terasa ringan bila para peserta didik memahami untuk apa anak sekolah. Sekolah tak membuatmu kaya. Sekolah membuatmu menjadi manusia yang berkarakter, dan berintegritas tinggi. Asalkan kamu benar-benar memahami bahwa tujuan kita ke sekolah adalah meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan yang Maha Esa. Baru setelah itu meningkatkan keterampilan dan kepandaian. Apalah artinya kamu terampil dan pandai, tapi kamu tak menjadi orang bertakwa. Jujur dalam bertingkah laku, dan mampu menjadi manusia yang memiliki kerendahan hati. Tidak sombong, dan menguatamakan kolaborasi untuk mencapai tujuan. Korupsi di negeri ini terjadi karena sekolah telah melahirkan koruptor yang mengkorupsi uang rakyat.

sekolah itu terasa ringan bila kita para orang tua tak melulu menyalahkan sekolah sebagai biang keladi kenakalan anak anaknya. sebab kenakalan anaknya bisa jadi karena pendidikan di rumah kurang dibina dengan baik. pendidikan keteladanan adalah cara paling jitu di dunia agar anak menjadi manusia yang unggul.
Sekolah itu tidak terasa berat, yang membuat berat adalah para guru yang tak lagi tersenyum, dan para orang tua yang selalu mengeluh dan mengeluh. Mari kita bergandengan tangan, dan kita benahi kekurangan dalam dunia pendidikan kita dengan cara-cara bijaksana.

Orang tua, guru, dan peserta didik harus menyatu menjadi 3 kekuatan yang membawa sekolah memiliki budaya sekolah yang kokoh. Budaya sekolah yang terlahir dari kekuatan kasih sayang diantara mereka.
Mengeluh dan mengeluh bukanlah cara terbaik menyelesaikan masalah di sekolah. Cara yang paling jitu adalah mari kita perbaiki mulai dari diri kita sendiri untuk menjadi manusia yang dapat dijadikan panutan.

Pakar pendidikan Arif Rachman mengatakan, “Jadikanlah anak anak didik kita berakar moral dan agama, berbatang ilmu, beranting amal, berdaun silahturahmi, dan berbuah kebahagiaan di dunia dan akhirat”.

Wijaya Kusumah

Sumber: kompasiana.com

Pemerintah Ambangkan Kasus Ahmadiyah


http://matanews.com/wp-content/uploads/istana-negara.jpg 

Kendati ada desakan kuat dari masyarakat untuk membubarkan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), pemerintah pusat masih belum melakukan apa pun. Sementara potensi konflik sosial antara umat Islam dan JAI kian besar.

Untuk mengatasi masalah ini, beberapa pemerintah daerah seperti Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten, Provinsi Kalimantan Barat, dan banyak lagi Pemda di bawahnya, mengeluarkan Perda (Peraturan Daerah) dan Pergub (Peraturan Gubernur) yang melarang aktivitas Ahmadiyah di daerahnya.

Perda-perda itu bertujuan melindungi JAI dari amukan massa seperti yang terjadi di Cikuesik, Banten, beberapa waktu lalu, yang mengakibatkan tiga anggota JAI tewas. Dan menenangkan umat Islam yang resah dengan ajaran Ahmadiyah yang menyimpang dari ajaran Islam.

Ahmadiyah mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW, yaitu Mirza Ghulam Ahmad asal India, dan kitab sucinya adalah Tazkirah, yang mereka yakini merupakan kumpulan wahyu yang diterima Mirza dari Tuhan.

Bagaimanapun, tokoh LSM yang bergerak di bidang hukum dan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), menganggap pelarangan, pembubaran, atau membatasi aktivitas Ahmadiyah bertentangan dengan konstitusi dan HAM.

Pandangan ini nampaknya dipegang oleh pemerintah yang takut dikecam oleh komunitas internasional yang kini sedang menyorot masalah ini. Juga untuk menjaga citra Indonesia sebagai negara Muslim paling toleran terhadap pluralitas agama dan kepercayaan.

Terkait dengan sikap LSM bidang hukum dan aktivis HAM yang mendukung eksistensi Ahmadiyah, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Hasyim Muzadi mengatakan, orang yang mendukung penyebaran Ahmadiyah disebabkan mereka tidak merasa memiliki Islam.

Orang Islam tidak mungkin membiarkan saja kalau dalam Islam diangkat nabi baru selain Muhammad SAW. Menurut Hasyim, yang mendukung dibiarkannya penyebaran ajaran Ahmadiyah itu hanyalah Jaringan Islam Liberal (JIL) atau LSM yang mengatasnamakan hak asasi manusia.

Hasyim meminta agar penyebaran ajaran Ahmadiyah harus segera dihentikan agar tidak terus-menerus jadi sumber konflik di masyarakat, termasuk menjadi ajang politisasi pihak-pihak tertentu yang ingin mendompleng isu ini.
Kritik terhadap sekelompok orang yang berkedok HAM dalam membela Ahmadiyah juga disampaikan mantan ketua MPR, Hidayat Nur Wahid. Menurutnya, tidak etis kalau keberagaman selalu disandingkan dengan kebebasan berpendapat. Orang-orang yang membela keberagaman itu selalu berlindung di bawah UUD 1945 pasal 28 A dan E. Padahal, sebenarnya, persoalannya bukan kebebasan beragama, melainkan adanya penistaan terhadap Islam oleh JAI.

Melihat terbelahnya masyarakat dalam isu ini, pemerintah mengambil sikap mengambang. Para pembantunya mengeluarkan pernyataan yang bertentangan satu sama lain. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto menyatakan pemerintah tak bisa melarang sebuah kepercayaan.

Sedangkan mengenai munculnya peraturan-peraturan daerah tentang pelarangan aktivitas JAI, ia mengatakan, aturan-aturan tersebut harus mengacu pada dua landasan, yakni UUD 1945 serta SKB Tiga Menteri.

Di pihak lain, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menilai Pergub No 12 Tahun 2011 tentang Pelarangan Aktivitas Ahmadiyah yang dikeluarkan Gubernur Jawa Barat sudah sesuai dengan konstitusi dan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri.

Gamawan menilai ada tiga fakta yang menunjukkan Pergub Pelarangan Aktivitas JAI adalah turunan dari SKB. Pertama, aspek pembinaan; kedua, pelarangan untuk menyebarkan ajaran Ahmadiyah; dan ketiga, aspek pengawasan.

Sementara Jaksa Agung Muda Intelijen Kejaksaan Agung Edwin Pamimpin Situmorang menegaskan, hasil kajian Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Masyarakat menunjukkan JAI tidak patuh pada SKB Tiga Menteri. Padahal, SKB sudah sesuai dengan peraturan di atasnya, yakni UU No 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.

Jaksa Agung Basrief Arief juga mendukung kepala daerah yang mengeluarkan peraturan pelarangan aktivitas Ahmadiyah. Ia mengatakan, kepala daerah lebih mengetahui situasi keamanan di wilayahnya sehingga mengeluarkan peraturan tersebut. Keluarnya peraturan pelarangan Ahmadiyah di daerah, menurut Basrief, merupakan kewenangan pemerintah daerah untuk menjaga ketertiban masyarakat di wilayahnya.

Kalau Perda-perda pelarangan aktivitas Ahmadiyah saja sudah dianggap konstitusional dan sesuai dengan peraturan di atasnya, yakni UU No 1 PNPS Tahun 1965, tentu lebih mudah bagi pemerintah mengambil keputusan yang konstitusional. Tapi mengapa hal mengapa hal ini tidak dilakukan?

Menghadapi sikap mengambang pemerintah ini, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta agar pemerintah bersikap tegas dalam menyikapi Ahmadiyah. Tanpa ketegasan pemerintah justru dikhawatirkan akan membuat masyarakat berbuat sendiri-sendiri.

Karena itu, Ketua PBNU Slamet Effendy Yusuf menyatakan, pihaknya sepakat terhadap inisiatif sejumlah pemerintah daerah yang mengeluarkan larangan beraktivitas terhadap Ahmadiyah. KH Hasyim Muzadi malah menyatakan pemerintah pusat perlu meniru Pemprov Banten dan Jawa Timur, yang telah melarang aktivitas Ahmadiyah di wilayahnya.

Ketua PB NU Said Aqil Siradj juga mendesak pemerintah untuk bertindak tegas membubarkan Ahmadiyah.
Muzadi menilai, pemerintah masih bersikap maju mundur untuk membubarkan Ahmadiyah. Padahal, Ahmadiyah harus segera dibubarkan. Jangan dibiarkan menggantung seperti sekarang.

Sedangkan Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Jatim, Sudarto Hadi, berpendapat, akibat belum adanya tindakan konkret pemerintah pusat terhadap Ahmadiyah maka daerah mengambil keputusan sendiri di daerahnya masing-masing. Pemerintah seperti lepas tangan, lari dari tanggung jawab.

Apakah sikap tidak jelas pemerintah ini, yang tidak segera membuat aturan yang tegas terhadap aktivitas JAI, tersembunyi agenda politik yang akan dilakukan di kemudian hari? Sepertinya pemerintah sengaja mengambangkan isu ini karena suatu saat Ahmadiyah bisa saja digunakan untuk menutupi isu besar yang menyerang pemerintah.

Seharusnya pemerintah berani mengambil sikap tegas seperti yang dilakukan sejumlah kepala daerah.
Dalam keputusan pasti ada pro dan kontra, tetapi para kepala daerah itu berani mengambil keputusan karena selain mencegah timbulnya keresahan masyarakat yang berujung pada konflik sosial yang tinggal menunggu waktu saja, juga disebabkan para ulama sedunia, termasuk NU dan Muhammdiyah, sudah menegaskan bahwa Ahmadiyah itu sesat.

Untuk menghindari prasangka buruk itu, bahwa pemerintah sengaja mengambil sikap mengambang untuk tujuan lain di kemudian hari dan agar energi bangsa ini tidak terkuras secara tidak produktif dalam polemik kasus Ahmadiyah yang berkepanjangan, pemerintah pusat harus bersikap tegas.

Hanya sikap demikianlah yang segera akan mengakhiri persoalan Ahmadiyah yang sudah begitu banyak menguras energi pemerintah dan pemerintah dapat berkonsentrasi pada penyelesaian masalah-masalah lain yang begitu banyak dan rumit.

Dengan membiarkan masalah ini terus menggantung, konsentrasi pemerintah justru terpecah dan terpeliharanya hubungan tegang antara umat Islam dan JAI, yang sewaktu-waktu dapat meledak lagi menjadi kerusuhan sosial.

Smith Alhadar

Sumber: www.faktapos.com

Tunggangi Isu Ahmadiyah untuk Rebut Kekuasaan

 

















Pada Senin (21/03), televisi Aljazeera yang berbasis di Qatar memberitakan isu kontroversial mengenai adanya jenderal purnawirawan yang mendukung kelompok Islam garis keras di Indonesia untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Alasannya: ketidak becusan Yudhoyono mengurus pemerintahan, kasus Bank Century, kriminalisasi pimpinan KPK, kemiskinan, dan kasus korupsi. Mereka juga sudah bosan dengan kebohongan Yudhoyono dan sikapnya yang terlalu reformis.

Laporan itu ditulis oleh wartawan Aljazeera di Jakarta, Step Vaessen, yang diberi judul dalam bahasa Inggris, “Persekongkolan untuk Melemahkan Presiden Indonesia.”

Vaessen mengaku, awalnya ia ingin membuat laporan investigasi mengenai insiden Ahmadiyah di Cekuesik, Banten, yang menewaskan 3 anggota Ahmadiyah ketika mereka diserang oleh ratusan kaum Muslim. Dalam perkembangannya, dia menemukan keterkaitan antara kelompok jenderal purnawirawan dan ormas Islam yang hendak menggulingkan pemerintah.

Isu Ahmadiyah dijadikan pintu masuk untuk menggoyang Presiden setelah isu korupsi gagal memobilisasi rakyat. Kebetulan isu Ahmdiyah ini direspons oleh seluruh Muslim. Kelompok Islam garis keras yang dihubungi oleh jenderal purnawirawan adalah Gerakan Reformasi Islam (Garis) pimpinan Chep Hernawan.

“Dia memberikan support saja,” kata Hernawan, seperti dikutip dari laporan investigasi Aljazeera. Chep Hernawan yang kemarin, Rabu (22/03) dimintai konfirmasi, membenarkan adanya dukungan dari purnawirawan itu. “Sekitar satu atau dua bulan lalu bertemu, mereka memberikan dukungan moril dan siap membantu,” katanya.

Namun, rencana itu belum bisa dipastikan kapan bisa dilakukan. Pihaknya tengah melakukan berbagai persiapan. “Uang miliran juga kami siapkan dari dana infak umat Islam, bukan dari luar negeri,” katanya. Menurut dia, apabila Presiden bersikap tegas dengan membubarkan Ahmadiyah, akan lain ceritanya. “Kami siap mengawal Yudhoyono kalau ia membubarkan Ahmadiyah. Tapi, kalau tidak, dia harus turun,” katanya.

Isu Ahmadiyah ini memang menjadi persoalan besar bagi Presiden, dilemma yang sulit diatasi. Bila membubarkan organisasi ini, ia khawatir akan dituduh melanggar konstitusi yang memberi peluang bagi pihak-pihak yang tidak menyukainya untuk menjatuhkannya.

Memang para aktivis HAM dan ahli hukum senior seperti Adnan Buyung Nasution dan Mulya Lubis menganggap Presiden tidak dapat membubarkan Ahmadiyah karena itu bertentangan dengan Konstitusi yang menjamin kebebasan beragama. Pembubaran Ahmadiyah juga akan mencoreng citra Indonesia sebagai negara Muslim yang paling toleran dan dikecam oleh, terutama, negara-negara Barat.

Tetapi di lain pihak, bila membiarkan eksistensi Ahmadiyah, ia akan berhadapan dengan umat Islam. Terkait dengan isu ini, memang nyaris seluruh kelompok Islam di Indonesia mengecamnya dan menuntut pemerintah membubarkannya. Ahmadiyah adalah sempalan Islam yang menganggap pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad asal India, sebagai nabi dan kitab sucinya adalah tazkirah, yang diyakini pengikutnya sebagai wahyu yang diturunkan Tuhan kepada Mirza. Muhammad SAW tidak dianggap sebagai Nabi terakhir sebagaimana diyakini oleh seluruh aliran Islam di dunia.

Organisasi Konperensi Islam (OKI) menolak Ahmadiyah sebagai bagian dari umat Islam. Arab Saudi melarangnya, bahkan melarang anggotanya menunaikan ibadah haji. Pakistan membiarkannya hidup di negeri itu, tapi mengeluarkannya dari kelompok Islam.

Ahmadiyah dianggap agama tersendiri di luar Islam. Di Malaysia dan Brunei aliran yang bermarkas di London ini dilarang. Ahmadiyah masuk ke Indonesia sejak 1920-an. Tapi ditentang sebagai aliran sesat. Pada 1930-an Majlis Tarji Muhammdiyah menyatakan Ahmadiyah sebagai aliran sesat.

Sebenarnya ada UU No 1 Tahun 1965 tentang Penodaan Agama dan SKB Tiga Menteri yang bisa dipakai Yudhoyono untuk membubarkan sekte yang telah meresahkan masyarakat Islam ini. Namun, tetap saja Yudhoyono khawatir karena, bagaimanapun, dua hal itu masih berada di bawah konstitusi.

Dalam keadaan terjepit, Yudhoyono tertolong dengan kebijakan-kebijakan daerah yang mengeluarkan Perda dan Pergub, yang melarang aktivitas Ahmadiyah. Propinsi Jawa Timur, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Lampung, dan sejumlah daerah lain mengeluarkan Perda yang terbukti berhasil menenangkan masyarakat. Setidaknya, untuk sementara ini.

Lepas dari masalah konstitusi, UU, dan Perda tentang agama, pertanyaan yang muncul: mungkinkah kaum Muslim Indonesia, khususnya yang beraliran keras, bersama-sama dengan jenderal purnawirawan mengambil alih kekuasaan di Indonesia? Apakah hal ini rasional dan realistik? Rasanya tidak realistik dan irrasional. Jangankan kelompok Islam radikal, seluruh kaum Muslim – dalam hal ini Islam santri – bersatu untuk mendirikan Negara Islam pun merupakan hal yang mustahil.

Apalagi gagasan mendirikan Negara Islam di tanah air sudah mati. Dari partai-partai berbasis Islam (PKB, PPP, PKS, PBB, PAN) yang ada sekarang, hanya PPP yang berasaskan Islam. Sementara mereka semua kini berada di barisan Setgab Koalisi Partai-partai Politik Pendukung Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Wakil Presiden Boediono.

Jumlah suara mereka di parlemen pun tidak sampai 30 persen. Terkait dengan Ahmadiyah, mereka yang di parlemen tidak mendesak Presiden membubarkan Ahmadiyah. Pada tataran organisatoris, Muhammdiyah tidak meminta pembubaran Ahmadiyah. Jadi, siapa pendukung Islam garis keras untuk mengambil alih kekuasaan? Jenderal purnawirawan pun tidak punya pengaruh di masyarakat.

Ide mendirikan Negara Islam di tingkat nasional maupun internasional memang sudah surut. Masyarakat Islam Iran, yang 32 tahun lalu melakukan revolusi Islam, yang berujung pada pendirian Republik Islam Iran, kini mulai berubah. Sebagian masyarakat mulai memberontak ingin mendirikan negara demokrasi.

Di negara-negara Arab, mulai dari Maroko di Barat hingga Bahrain di timur, kini bergejolak menuntut penggantian rezim dan reformasi. Rezim Mesir pimpinan Hosni Mobarak dan rezim Tunisia pimpinan Presiden Zein el-Abidin Ben Ali telah jatuh oleh revolusi menuntut pendirian negara demokrasi.

Dari gejolak yang sedang berlangsung di Bahrain, Arab Saudi, Yordania, Yaman, Suriah, Libya, Aljazair, dan Maroko, tidak sekali pun kelompok Islam menuntut pendirian negara Islam. Mereka menyadari globalisasi tidak memungkinkan lagi ide ini diterapkan.

Demokrasi adalah sistem politik yang terbaik di antara sistem yang terburuk. Maka kemakmuran dan kehidupan yang lebih beradab hanya dimungkinkan oleh berdirinya negara demokrasi yang membuka lebar-lebar pintu kebebasan yang memungkinkan setiap individu mengaktualisasikan dirinya dan mengekspresikan gagasannya.

Pendirian Negara Islam hanya akan menghambat pertumbuhan sebuah negara menuju kemakmuran dan kemajuan dan menodai dan mengungkung Islam itu sendiri. Timur Tengah, tempat lahirnya agama Islam dan peradaban yang gemilang, sudah lama mengalami stagnasi peradaban karena dihambat oleh rezim diktator yang korup. Negara Timur Tengah yang maju hanya Israel dan Turki, yang merupakan negara demokrasi.

Jadi, menunggangi isu Ahmadiyah untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah hanya angan-angan kosong. Apalagi hal ini dilakukan oleh Islam garis keras yang minoritas dari mainstream Islam Indonesia. Kalau mau berkuasa, dirikan partai politik untuk bersaing dalam pemilu. Untuk menjatuhkan Presiden, silakan tunggu sampai tahun 2014. Ini prosedur demokrasi. Presiden bisa dijatuhkan di tengah jalan kalau ia benar-benar telah melanggar konstitusi atau mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang membahayakan kedaulatan negara, Pancasila, dan NKRI.

Di alam demokrasi selama 12 tahun terakhir sejak runtuhnya Orde Baru, kaum Muslim mendapat keuntungan besar. Mereka bisa mengaktualisasikan dirinya dan mengekspresikan aspirasinya secara terbuka, secara individu maupun partai politik yang tumbuh di mana-mana. Mulai dari kelompok konservatif radikal hingga kelompok liberal boleh hidup di negeri ini tanpa halangan apa pun.

Bahkan bisa mendeklarasikan Dewan Revolusi Islam yang berniat mengambil alih kekuasaan bila terjadi kekosongan pemerintahan. Semua ini tidak mungkin dilakukan pada zaman Orde Baru. Jadi, mempertahankan demokrasi berarti membela Islam dan kepentingan kaum Muslim.

Smith Alhadar
Sumber: www.faktapos.com

Teror Bom dan Doktrin Kematian?




Jihad dan doktrin kematian adalah dua hal yang saling mengikat dalam pemahaman kelompok Islam gerakan dan kelompok Islam ideologis. Maka membaca isu teror bom yang saat ini merebak di seantero Jakarta, seolah menggurat rasa curiga bahwa benarkah teror bom tersebut bersumber dari kelompok Islam gerakan? Pasalnya, peristiwa demi peristiwa tersebut ibarat gertakan sambal dan cenderung menyembulkan isu dengan pesan murahan yang mudah ditangkap publik.

Sepintas jika dibaca, teror bom yang terjadi di Kantor Berita 68-H Utan Kayu, Jakarta Timur seolah-olah dialamatkan pada Ulil Abshar Abdallah, akibat distorsi pikiran-pikiran liberalnya yang selama ini terkesan memarjinalkan umat Islam. Sehingga peristiwa teror bom tersebut memperhadapkan Ulil dengan kelompok yang diklaim sebagai Islam radikal, fundamentalis dan pelabelan lainnya. 

Dengan demikian, ledakan bom yang terjadi di Kantor Berita 68-H tersebut, dengan mudah dituduhkan pada kelompok Islam gerakan yang menyimpan dendam terhadap Ulil Absar dan kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL). Demikian juga teror bom terhadap Ahmad Dhani, pentolan grup band Dewa 19. Pemusik itu selama ini diidentikkan dengan perilakunya yang nyeleneh dan cenderung melecehkan simbol-simbol sakral ummat Islam.

Dari dua peristiwa tersebut, menggambarkan bahwa ada desain kondisi yang dikemas. Artinya, teror bom saat ini seolah-olah disebabkan oleh geramnya kelompok Islam gerakan terhadap oknum-oknum yang dianggap mendistorsikan kesakralan ajaran Islam.

Dalam teori intelijen, prakondisi seperti dalam dua peristiwa teror di atas, merupakan cara melokalisir kejahatan. Meski dengan cara rekayasa intelijen. Prinsipnya adalah kejahatan dengan motif apa pun tidak akan terkuak, ketika tidak dilokalisir.

Tapi tanpa disengaja, kedua peristiwa dramatis di atas, hampir bersamaan dengan hebohnya pemberitaan media asing dan Wikileaks yang memojokkan Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudoyono (SBY) terkait beberapa kasus di Indonesia. Demikian pun hebohnya kontroversi reshufle kabinet koalisi. Dengan maraknya isu teror bom tersebut, menenggelamkan isu-isu sebelumnya yang kian memojokkan pemerintahan SBY.

Tak salah jika kita bisa simpulkan bahwa, fenomena teror bom saat ini adalah 'perang isu'. Bukan ekspresi radikalisme keberagamaan yang kita kira selama ini. Sebab doktrin jihad adalah doktrin kematian. Bukan hanya untuk menghasilkan anasir-anasir isu demi konspirasi politik tertentu.

Jihad yang selama ini terkanalisasi dalam pelabelan negatif kelompok fobia tertentu, adalah bersandar pada faham-faham perlawanan yang ekstrem terhadap kolonialisasi dandespotisme. Olehnya itu, melawannya dianggap 'jihad' dan yang mati di jalan perlawanan tersebut disebut 'syuhada'.

Olehnya itu, jika kita membaca sepintas beberapa isu teror bom yang diberitakan selama ini, maka perlu berpikir dua kali untuk mengatakan bahwa teror tersebut merupakan ulah dari kelompok Islam gerakan. Demikian pula sebaliknya, isu teror bom yang marak saat ini bisa saja merupakan konspirasi pengalihan isu terkait kegagalan pemerintahan SBY?
Wallahu a'lam bishowab.


Abdul Munir Sara

Peminat sosial keagamaan

Sumber: www.detiknews.com

Soal Terorisme, Pemerintah Harus Jujur

http://l.yimg.com/bt/api/res/1.2/TkHTr2R_YkIMCxbwarLcog--/YXBwaWQ9eW5ld3M7Zmk9ZmlsbDtoPTEzODtweG9mZj01MDtweW9mZj0wO3c9MTkw/http://media.zenfs.com/id-ID/News/republika/paket_bom_ilustrasi_110315172022.jpg

Wartawan kawakan Australia yang pernah bertugas di Indonesia, David Jenkins, dalam bukunya yang berjudul 'Soeharto & Barisan Jenderal Orba', mengupas sebuah fakta adanya pihak intelijen di balik aksi Komando Jihad. Komando Jihad diciptakan dengan tujuan untuk mendiskreditkan umat Islam.

Disebutkan dalam buku itu, bila paham akan seluk beluk Dinas Intelijen Indonesia serta filosofi kelompok elite sekitar Soeharto, percaya bahwa sangat mungkin Komando Jihad diciptakan sebagai taktik menghadapi Pemilu 1977. Komando Jihad dijadikan sarana bagi Kopkamtib untuk menangkap dan menindak politisi-politisi Islam saat itu.

Lebih lanjut dalam buku itu disebut, pada tahun 1978 Mantan Perdana Menteri Muhammad Natsir menyatakan bahwa Pemimpin Komando Jihad Ismail Pranoto, yang dijatuhi hukuman seumur hidup pada September 1979, sebenarnya 'seorang agen provokator yang didalangi Ali Murtopo.'

Berdasarkan pengalaman dan teori intelijen tersebut kita bisa membaca mengapa saat-saat ini marak ancaman teror bom dengan menggunakan metode mengirim lewat bingkisan (buku). Teror bom lewat kiriman sebuah bungkusan yang pertama kali dialamatkan kepada Ulil Abshar Abdalla itu menyebar ke berbagai tempat dan daerah. Tidak hanya yang dirasa oleh para musuh teroris, namun orang yang tidak mengerti apa-apa pun juga mendapat kiriman.

Mendapat sebaran ancaman teror, tentu membuat polisi, Densus 88, dan Gegana pun dibuat sibuk. Dan dari sekian ancaman tersebut, polisi mampu menjinakan bingkisan yang dicurigai sebagai bom itu. Akibat dari maraknya teror bom buku itu, masyarakat menjadi was-was, akhirnya fokus perhatian yang sebelumnya ditujukan kepada masalah bocoran Wikileaks, beralih ke masalah ancaman terorisme.

Belajar dari apa yang dikupas oleh Jenkins dalam bukunya, menjadi pertanyaan, mengapa jika Densus 88 berhasil mengungkap pelaku terorisme di Indonesia dengan sukses, namun kejadian itu terus berulang. Benarkah rantai terorisme sangat panjang sehingga teroris tetap survive sehingga eksistensi mereka tetap ada dan bebas berkelana? Mengapa terorisme tidak bisa diberantas sampai ke akar-akarnya? Ataukah kelompok terorisme itu diada-adakan?

Peristiwa terorisme di Indonesia kalau diselusuri, mempunyai rantai kejadian yang panjang dan berskala besar, seperti Bom Bali I, Bom Hotel JW Marriots I dan II, Bom Ritz Carlton serta Bom Kedubes Australia. Aksi-aksi terorisme itu setara dengan Bom Madrid, Spanyol, dan aksi terorisme di sebuah hotel di Mumbai, India. Meski berskala besar dan terjadi secara ajeg atau periodik, namun polisi mampu mengungkap dan menangkap pelaku-pelakunya. Penggerebekan pun dilakukan secara terus menerus, sehingga kita saksikan Densus melakukan operasinya di Temanggung dan Wonosobo, Pamulang, Ciputat, Aceh, dan berbagai tempat lainnya.

Bila teroris mampu terus mengembangkan jaringannya, berarti teroris lebih pintar daripada Densus. Teroris lebih pintar daripada aparat, itu bisa jadi, namun bisa jadi masalah terorisme di Indonesia diselesaikan secara tidak tuntas dan dibiarkan menggantung dan akan dimainkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
 
Bila Komando Jihad diciptakan untuk mendiskreditkan ummat Islam dan menangkap politisi Islam. Maka terorisme yang terjadi saat ini, bila dengan mengacu pada teori intelijen, bisa jadi untuk mengalihkan perhatian dari apa yang selama ini dihadapi oleh kasus yang menimpa pemerintah, misalnya soal mafia pajak dan bocoran Wikileaks. Untuk mengalihkan perhatian itu maka dicari sesuatu yang bisa menimbulkan rasa penasaran dan kekhawatiran di pihak masyarakat. Dengan mengalihkan perhatian maka kasus-kasus yang menimpa pemerintah akan semakin meredup.

Dengan demikian ada dugaan bahwa aksi-aksi terorisme muncul karena by design, terorisme yang sudah diatur sedemikian rupa dengan tujuan untuk mengalihkan perhatian terhadap isu-isu yang besar yang dihadapi oleh pemerintah. Para teroris atau orang yang dituduh teroris dibiarkan berkelana dan ketika 'dibutuhkan', mereka diburu, disergap, dan ditembak.

Selepas Bom JW Marriott dan Ritz Carlton tahun 2009, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar, saat itu, mengakui ledakan bom yang terjadi tidak terdeteksi oleh pihaknya. Lebih lanjut dia mengatakan peristiwa itu bisa saja terjadi di negara manapun termasuk di negara superpower.

Pantaskah seorang kepala BIN mengatakan demikian, apa saja kerja aparat penanggulangan teroris yang disebut telah melakukan berbagai latihan dan sudah berpengalaman dengan kejadian-kejadian sebelumnya. Bahkan selepas Bom Bali I, polisi dan TNI sering melakukan latihan antiteror dan kerjasama penanggulangan antiteror dengan berbagai negara dan dengan biaya yang sangat besar. Misalnya saja kerjasama penanganan terorisme antara Indonesia dan Amerika Serikat yang dijalin sejak tahun 2005 sampai September 2008 dengan biaya bantuan Amerika Serikat sebesar 400.000 US$.

Oleh sebab itu di sini perlu kejujuran pemerintah dan aparat dalam masalah terorisme. Apakah benar maraknya terorisme ini murni dari gerakan terorisme dari pantauan intelijen sehingga mereka bisa menebar terornya dengan sesuka hati. Bila hal ini terjadi, berarti kerja aparat dan bantuan yang sudah diberikan oleh Amerika Serikat, Australia, dan negara lainnya, menjadi sia-sia. Ataukah terorisme yang marak kali ini merupakan upaya untuk mengalihkan isu atau untuk menambah citra jelek salah satu kelompok.

Pemerintahlah yang dalam hal ini bisa menjawabnya. Bila pemerinah tidak jujur dan serius dalam masalah terorisme, tentu hal ini selain akan menambah citra pemerintah yang tidak mampu bekerja, juga akan merugikan masyarakat. Contoh gampangnya, akibat terorisme, pembinaan sepakbola nasional menjadi terganggu. Ledakan bom di hotel Ritz Carlton dan JW Marriott, beberapa waktu yang lalu, membatalkan kunjungan MU FC ke Jakarta. Demikian pula maraknya bom buku, membatalkan kunjungan pemain Timnas Belanda Giovannie Van Bronckhorst yang hendak berkunjung ke Jakarta, Ambon, dan Surabaya, Indonesia.

Oleh sebab itu kita mengharap pemerintah lebih arif dan menggunakan logika yang panjang ketika dirinya dirundung masalah. Jangan karena untuk mengalihkan perhatian, dilakukan dengan cara-cara yang tidak hanya merugikan masyarakat, namun juga merugikan dirinya sendiri. Sejarah akan mencatat dalam era pemerintah ini, terorisme marak dan pemerintah tidak mampu memberantasnya.

Ardi Winangun 

Ppernah bekerja di Civil-Military Relations Studies (Vilters).

Sumber: www.detiknews.com