Rabu, 01 Desember 2010

Sinode Vatikan: Politik Islam 'Ancaman Bagi Semua'

Sinode Vatikan: Politik Islam 'Ancaman Bagi Semua'
 
 
Kebangkitan politik Islam di Timur Tengah merupakan 'ancaman bagi semua,' kata pelapor utama untuk Vatikan sinode dalam konferensi pemimpin Kristen bulan ini, Senin (11/10) kemarin.

Koptik Alexandria di Mesir, Antonio Naguib mengatakn penduduk di Timur Tengah, baik itu Kristen, Yahudi dan Muslim, semuanya harus 'menghadapi arus ekstrimis bersama-sama. Dia mengugkapkan banyak orang Kristen yang beremigrasi dari Timur Tengah karena konflik Israel-Palestina, perang di Irak, situasi ekonomi, meningkatnya fundamentalisme Islam dan pembatasan kebebasan.

Sinode dibuka dengan massa pada hari Minggu dan berakhir pada 24 Oktober. Naguib juga mengkritik situasi di Wilayah Palestina. "Hidup ini sangat sulit dan kadang-kadang tidak bisa diterima disana. Dan posisi Kristen Arab ini sangat halus," katanya.

Ia juga menambahkan bahwa kondisi saat ini di daerah "didukung oleh fundamentalisme."

Sumber: republika.co.id

Pimpinan Rabi Internasional Panik: Islam Mulai Menguasai Eropa

Pimpinan Rabi Internasional Panik: Islam Mulai Menguasai Eropa
 Anti-Islam di Brussels

Salah satu tokoh  dari komunitas Yahudi internasional, Rabi David Rosen, telah memperingatkan bahwa Eropa dalam risiko besar: "dikuasai" oleh Islam. Satu-satunya cara untuk melepaskannya, kata dia, "Eropa harus menenemukan kembali akar Kristen."

Berbicara kepada wartawan pada pertemuan di Yerusalem, Rabi Rosen, direktur urusan antar-agama di organisasi Yahudi Amerika yang berbasis di Washington, American Jewish Congress, ia mengatakan bahwa sebagian besar masyarakat sekuler dan liberal Eropa Barat berada di bawah ancaman oleh cepatnya pertumbuhan masyarakat Islam yang tidak ingin mengintegrasikan dengan tetangga mereka.

"Saya menentang dinding pembatas. Kemanusiaan adalah komponen saya yang paling penting. Tapi masyarakat Barat sangat jelas tidak memiliki identitas yang kuat. Saya ingin orang-orang Kristen di Eropa untuk menjadi lebih Kristen ... mereka yang tidak memiliki identitas yang kuat mudah dikuasai oleh orang-orang yang melakukannya," kata rabbi.

"Saya rasa ada kesempatan cukup baik bahwa cucu Anda, jika mereka bukan Muslim, harus kembali memiliki iman Katholik yang kuat," katanya kepada seorang reporter Italia. "Saya tidak berpikir identitas semacam ini cukup kuat untuk menantang."

Pandangan Rabi Rosen didukung oleh sejumlah komentator Yahudi, yang melihat pertumbuhan demografi Muslim di Eropasejalan dengan pertumbuhan demografi Arab di Israel.

"Anda memiliki masalah yang Anda tidak melihat. Anda cinta dengan ide multibudaya, tapi Anda tidak memahami Arab. Dalam era liberalisme, bagaimana Anda melindungi diri ANda dari kontrak (dengan Islam)?" kata Moti Cristal, negosiator Israel dan konsultan penyelesaian konflik sektor swasta di Nest Consulting.

Nachman Shai, seorang anggota parlemen partai Kadima di Israel, mencatat bahwa identitas Eropa Barat terancam oleh kelompok-kelompok Islam radikal.

"Jika Anda mengikuti arus utama di dunia Arab, dan Anda semua memiliki komunitas Muslim di negara Anda sendiri sekarang ini dan Anda membaca tentang perkembangan terkini, Anda dapat melihat bahwa Muslim kini berjalan ke arah ekstrem, tidak ke ke arah kompromi. Mereka memperjuangkan tradisi mereka sendiri. Mereka menjaga cara mereka sendiri dan mereka menjadi lebih religius dan lebih radikal," katanya.

Ia menjelaskan bahwa Israel dikelilingi oleh militan Islam, membentang dari Iranhingga Suriah, dari Hizbullah di Libanon hingga Hamas di Gaza.

Ia juga meminta Eropa mencermati Turki yang kini "bergerak ke kanan". Ia mengingatkan pada ambisi Perdana Menteri Recep Tayip Erdogan untuk menjadi pemimpin baru dunia Muslim.

"Suriah adalah link lain poros kejahatan, yang dimulai di Iran, berjalan melalui Lebanon dan kemudian sayangnya, suatu hari, Turki juga," tambah  Shai.

Sumber: republika.co.id

Simalakama Demokrasi Indonesia


Wacana praktik demokrasi di Indonesia berkembang sejak tahun 1955, saat di mana pemilu perdana negeri ini dilaksanakan. Tercatat dalam sejarah, pemilu perdana Indonesia ini diadakan dua kali. Yang pertama adalah pada tanggal 29 September untuk memilih anggota DPR dan 15 Desember, pemilu kedua yang diadakan untuk memilih anggota Dewan Konstituante.

Sejarah demokrasi Indonesia, secara kasar memang hanya bisa merujuk pada saat pemilu pertama dilaksanakan. Akan tetapi, sebagaimana disinggung oleh Tempo Interaktif, tidak dapat dikatakan bahwa sebelum pemilu itu Indonesia belum berdemokrasi. Karena, bahwa sejak awal berdirinya pemerintahan, tepatnya tiga bulan setelah diplokamirkan, Indonesia sudah mencanangkan keinginan kuat untuk mengadakan pemilu. Hal itu dicantumkan dalam Maklumat X, atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai politik.

Demokrasi di Indonesia terus dan masih berjalan, belajar dan bergerak menuju kedewasaannya. Dimulai sejak awal pemilu perdana, sebagaimana penulis sebut di atas, hingga hari ini, saat pesta demokrasi bangsa ini baru saja usai. Namun ada yang menarik dari perjalanan demokrasi di Indonesia. Sebagaimana disinggung dalam buku diktat kuliah tingkat II Universitas Azhar, Dirosah fi Nuzum Islamiyyah halaman 44, bahwa berdemokrasi adalah salah satu bentuk ijtihad berpolitik sebuah negara.

Sama seperti ketika Ummat memilih Abu Bakar dengan suara mayoritas. Atau kemudian seperti ketika Abu Bakar yang menunjuk langsung Umar ra, sebagai penggantinya. Ataupun ketika ijtihad Umar ra menetapkan beberapa calon, untuk kemudian dipilih sebagai penggantinya. Terlihat bukan, bahwa ijtihad sistem politik dalam Islam sangat terbuka dan tidak kaku.

Bagaimana dengan demokrasi di Indonesia? Salah satu hal yang menarik dari demokrasi di Indonesia, adalah terkait sistem presidensial negeri ini. Sebagaimana disebut Eep Saefullah Fatah, salah satu pengajar ilmu politik di Universitas Indonesia, bahwa sesungguhnya Kabinet SBY-Kalla hanya bekerja pada tahun 2007. "Tahun 2004-2005 dihabiskan untuk konsolidasi yang berlarut-larut. Sementara tahun 2008-2009 digunakan untuk memecah diri, bersiap-siap menghadapi pemilu berikutnya," begitu sebut Eep Saefullah dalam Laporan Khusus majalah Gatra, Nomor 34 beredar Kamis, 2 Juli 2009. Untuk kemudian, penulis menyebutnya sebagai salah satu buah simalakama dari sistem demokrasi Indonesia.


Sejarah pemilu di Indonesia

Sebelum kita menilai lebih jauh bentuk dan analogi simalakama demokrasi di Indonesia, ada baiknya kita berkenalan sebentar dengan beberapa fase berdemokrasi yang telah dialami negeri ini. Untuk lebih mudahnya penulis akan membagi fase ini berdasarkan pemilu-pemilu yang telah dilaksanakan.

Pada masa-masa awalnya, menurut Maklumat X sebagaimana penulis sebut di atas, pemilu perdana seharusnya diadakan bulan Nopember 1946, akan tetapi karena masih belum siapnya pemerintah pada masa itu, dan masih sibuknya pemerintah dalam hal konsolidasi internal, maka pemilu pada tahun 1946 itu pun urung dilaksanakan. Barulah kemudian pada tahun 1955 pemilu di Indonesia bisa terlaksana dengan hasil memuaskan. Tampak dari sikap dunia Internasional yang memberi pujian atas hasil dan jalannya pemilu perdana ini.

Akan tetapi sangat disayangkan, bahwa kisah sukses pemilu perdana tersebut tidak dilanjutkan pada pemilu-pemilu selanjutnya pada masa demokrasi terpimpin di bawah Sukarno. Sejarah demokrasi terpimpin ini dimulai sejak keluarnya dekrit 5 Juli 1959, yang dikeluarkan Sukarno karena DPR menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Hingga kemudian Sukarno membentuk DPR Gotong Royong dan MPRS (MPR Sementara). Sejak itulah peta politik Indonesia berubah dari demokrasi, menjadi otoriter di bawah pimpinan Sukarno. Inilah masa yang kita kenal sebagai Orde Lama.

Namun MPRS pula yang kemudian memberhentikan Sukarno dan mengangkat Suharto sebagai presiden baru pada tahun 1967. Pada awalnya MPRS dalam sidangnya di tahun 1966 telah mengamanatkan pelaksanaan pemilu pada tahun 1968, namun belum dapat dilaksanakan. Karena kemudian dalam SI MPRS tahun 1967, presiden Suharto menetapkan bahwa pemilu baru akan dilaksanakan pada tahun 1971.

Anehnya, meski dalam aturannya para pejabat negara diharuskan netral, akan tetapi pada prakteknya para pejabat pemerintah justru memihak pada salah satu peserta pemilu, yakni Golkar. Pemerintah kala itu, bahkan merekayasa pemilu dengan berbagai aturan yang menguntungkan Golkar. Salah satunya adalah kewajiban pegawai negeri untuk memilih kelompok peserta pemilu berlambang beringin itu. Dan sejak itulah Golkar - belum disebut partai - selalu menjadi pemenang pemilu hingga tahun 1997. Walhasil secara tidak langsung, hal ini membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah kendali Golkar. Inilah masa politik yang kita kenal dengan nama Orde Baru.

Baru kemudian setelah dilengserkannya Suharto pada 21 Mei 1998, pemilu-pemilu selanjutnya dapat berjalan jauh lebih demokratis. Sebut saja pemilu 1999, meski mendapat banyak tekanan dan dihantam berbagai krisis, pemilu kali itu dapat berjalan damai. Bisa dikatakan sukses, meski di sana ada beberapa riak kecil, akan tetapi kemudian dapat diselesaikan dengan efektif. Sejak masa itulah, pemilu dan demokrasi Indonesia berjalan lebih baik dan stabil. Hal ini banyak disebabkan karena telah dibentuknya beberapa lembaga independen seperti KPU dan Bawaslu, sebagai alat penjamin terlaksananya pemilu dengan jujur dan adil. Inilah periode politik yang kita sebut sebagai Era Pasca Reformasi.

Hanya saja dalam kacamata penulis, pada pemilu tahun 2009 ini, terlihat beberapa kejanggalan terkait pelaksanaan pemilu. Khususnya isu tentang independensi dan profesionalisme KPU yang dipertanyakan berbagai pihak. Dimulai dari kisruh DPT, pengubahan jadwal kampanye, hingga yang terbaru adalah kasus IFES, lembaga luar negeri yang dianggap menjadi sandaran utama penghitungan suara KPU.


Demokrasi dan Islam

Pada asalnya, memang istilah demokrasi begitu asing dalam Islam. Ulama ummat baru memperbincangkan bahasan konsep ini sejak masa transliterasi buku-buku Yunani pada jaman dinasti Abbasiyah. Selanjutnya tema demokrasi menjadi bahasan pokok sejak jaman pertengahan oleh para filosof, seperti Ibn Sina, dan Ibn Rusyd, yang kemudian menyebutnya sebagai politik kolektif.

Islam tidak mengenal istilah demokrasi kecuali hanya dalam prinsip dan tidak dalam bentuk sistem pemerintahan. Inilah yang kemudian membuat demokrasi menjadi asing bagi umat ini. Sedangkan dalam prinsip, Islam hanya mengenal kebebasan, yang juga menjadi pilar utama demokrasi. Prinsip ini bahkan diwarisi umat sejak jaman Nabi Muhammad saw. Termasuk di dalamnya kebebasan memilih pemimpin, mengelola negara secara bersama-sama (syuro), kebebasan mengkritik penguasa, dan kebebasan berpendapat.

Sifat asing inilah yang kemudian memicu perbedaan pendapat di kalangan Ulama terkait isu demokrasi ini. Apakah dalam Islam mengakui demokrasi atau tidak? Pada asalnya - menurut penulis - bahwa harus diakui, demokrasi mengandung beberapa prinsip yang juga diakui oleh Islam. Sebut saja prinsip kebebasan, musyawarah dan baiat atau legimitasi kekuasaan oleh rakyat. Bukti-bukti sejarah dengan jelas mencatat adanya sifat demokrasi di bawah pemerintahan Rasulullah - di luar otoritas keagamaan beliau. Seperti misalnya pengangkatan Bilal sebagai muazin, suatu posisi strategis bagi seorang mantan budak di tengah-tengah masyarakat paternalistik Arab, yang masih menjunjung tinggi status sosial suku dan prinsip-prinsip non-egaliter.

Hal ini - prinsip demokrasi - yang kemudian juga berlanjut dalam sistem politik umat pasca wafatnya Nabi Muhammad. Bahkan bentuk sistem politik kala itu sangatlah luas dan tidak kaku. Sebagaimana yang penulis ungkit di atas, bahwa sistem pengangkatan yang dipakai oleh khulafa ur rasyidin sebagai pengganti Rasulullah, tidaklah sama. Maka tidak salah bila kemudian, Tim Penulis diktat kuliah Univ. Azhar, menyebutkan bahwa inilah yang disebut sebagai kebebasan berijtihad politik dalam Islam.

Apakah akan menjalankan sistem politik seperti yang dipergunakan Abu Bakar, atau Umar, Usman, Ali atau bahkan berbentuk dinasti seperti pada masa Ummayyah dan Abbasiyah. Karena, pada hakikatnya masyarakat yang dihadapi, dalam budaya dan kondisi psiko-sosiologi dan historiknya berbeda satu sama lain. Maka tinggal diterapkan, sistem politik mana yang kira-kira cocok dengan masyarakatnya. Asalkan, dalam prinsip kerjanya tetap menjunjung tinggi prinsip dan asas dalam Islam, seperti yang penulis singgung di atas. Dengan begini, bukan Islam yang kemudian menjadi bungkus demokrasi, tapi menjadikan demokrasi sebagai bungkus bagi substansi Islam.


Simalakama Demokrasi Indonesia

Setelah tadi sempat berjalan ke belakang untuk melacak demokrasi dalam Islam, kini saatnya kita kembali pada topik permasalahan, tentang demokrasi di Indonesia.  Menurut kacamata penulis, sebagaimana telah disinggung di atas tentang perjalanan pemilu di Indonesia, demokrasi yang ada di Indonesia sendiri masih cukup jauh dari kata ideal. Masih ditemui beberapa faktor yang membuat demokrasi di Indonesia belum bisa berjalan sempurna.

Beberapa fakta tersebut diantaranya terkait akuntabilitas anggota DPR yang rendah. Pernyataan ini berdasarakan penelitian yang dilakukan oleh Direktorat Politik, Komunikasi dan Informasi BAPPENAS yang mengambil sampel antara tahun 1973 - 2003. Akuntabilitas ini dapat dilihat dari rendahnya tanggung jawab DPR kepada rakyat, yang tampak dari sedikitnya kunjungan DPR kepada konstituennya atau rakyat. Juga karena tidak adanya laporan-laporan terbuka DPR akan kinerja mereka kepada rakyat. Bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa akuntabilitas DPR tidak berbeda signifikan, antara periode Orde Baru dengan pasca Reformasi.

Dari hasil penelitian atas indikator-indikator demokrasi di atas, yaitu political rights dan civil liberty, Direktorat di bawah BAPPENAS tersebut mengambil kesimpulan bahwa peningkatan demokrasi pasca Reformasi dalam aspek "Partisipasi" dan "Kompetisi" tidak diikuti secara seimbang dengan aspek "Akuntabilitas." Tampak jelas pula dari hasil berbagai poling yang menempatkan citra dan kinerja DPR saat ini masihlah rendah, meskipun peningkatan partisipasi dan kompetisi rakyat dalam berdemokrasi dirasakan sudah cukup signifikan.


Epilog

Perjalanan demokrasi di Indonesia adalah masih dan sedang dalam tahap pembelajarannya. Perlu banyak evaluasi, kritik tindakan nyata yang membangun. Demokrasi mungkin menjadi polemik, khususnya terkait keadilan dan arti kebenaran. Akan tetapi, demokrasi adalah sebuah ijtihad dan wacana menuju keadilan dan kebenaran tersebut. Tidak untuk berhenti atau kita hentikan, kecuali hingga ada ijtihad dan wacana lain yang lebih baik untuk negeri kita. Tetaplah melangkah demokrasi Indonesia, kami akan senantiasa mengawalmu.

Daftar Pustaka:
Ringkasan Hasil Studi/Kajian "Penyusunan Indikator Demokrasi" oleh: Direktorat Politik, Komunikasi dan Informasi BAPPENAS
Sejarah Pemilu di Indonesia, artikel khusus Tempo Interaktif, Jumat 19 Maret 2004 (http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2004/03/19/nrs,20040319-01,id.html)
Melacak Jejak-Jejak Demokrasi dalam Islam, oleh Farhan Kurniawan dari milis filsafat yahoogroups
Kabinet 2009-2014, oleh Eep Saefulloh Fatah, dalam Laporan Khusus Gatra no 34, 2 Juli 2009
Dirosah fi an-Nuzum al-Islamiyyah, oleh Team Penyusun diktat kuliah dari Jurusan Dakwah untuk Fak. Ushuluddin tingkat II Universitas al-Azhar Kairo.

Sumber: www.politikana.com

Menyoal Disintegrasi Bangsa

Dalam sebuah diskusi, Sunyoto Usman (Guru Besar Sosiologi UGM) mengatakan bahwa sistem politik era reformasi dibangun di atas fondasi : pemilihan langsung, keterbukaan pers dan multi-partai. Tuntutan bekerjanya ketiga sistem ini tidak dapat dihindari sebagai akibat politik represif Orde Baru. Pertanyaannya, ketiga pilar ini menjadi solusi ataukah menjadi masalah bagi integrasi bangsa? Mari kita membedah satu per satu.


Pilar pertama, telah banyak pendapat di media cetak maupun elektronik yang membahas kekurangan pemilihan langsung. Di antaranya pemilihan model ini membuat politik uang kian masif dan menjebak kita pada demokrasi berbiaya mahal tanpa membicarakan persoalan substantif berdemokrasi. Akibatnya demokrasi hanya menjadi proses jual beli hak-hak politik. Selain itu, muncul faham kebangsaan dengan sentimen agama, etnis dan ras yang dikenal dengan istilah Etno-nasionalisme. Bekerjanya faham ini cukup merisaukan bagi keberlangsungan bangun NKRI. Faham ini dapat menguat apabila kegagalan konsensus pada tataran elit dalam menjalankan kehidupan demokratis sehari-hari terus-menerus terjadi.

Pilar kedua adalah keterbukaan pers. Dewasa ini publik mendapatkan pendidikan politik berupa perdebatan politik di televisi. Pendidikan politik seperti ini dalam beberapa hal menjadi tidak sehat. Mengingat publik mendapatkan pendidikan politik secara ‘liar’, ditambah lagi macetnya peran partai politik. Pendidikan politik model seperti ini berpotensi melahirkan publik yang apatis politik. Publik terus disuguhi perdebatan yang tidak jelas pangkal ujungnya.

Pilar ketiga adalah multi-partai. Partai politik saat ini sangat banyak dan beragam. Beberapa di antaranya muncul sekadar sebagai kendaraan sementara untuk mendapatkan kedudukan. Multi-partai ini berusaha diperbaiki dengan memperbesar parliamentary threshold menjadi 5%.
 

Potensi Disintegrasi Bangsa

Gejala disintegrasi bangsa dapat ditarik pada tiga tingkatan : tingkat sosial, individu dan sistem politik. Pada tingkat sosial, gejala diintegrasi dapat kita lihat dari semakin kuatnya etno-nasionalisme, kegagalan konsensus dari para elite mengenai kehidupan demokrasi sehari-hari dan kemerosotan tertib sosial. Celakanya, kemorosotan tertib sosial ini seiring dengan menguatnya etno-nasionalisme sebagai bagian dari Instrument kekerasan untuk mencapai negoisasi politik.

Pada tingkat individu, disintegrasi menguat akibat lemahnya manajemen pemerintahan dan inkonsistensi individu. Kelemahan manajemen pemerintahan berakibat pada lemahnya pelayanan publik.

Pada tingkat sistem politik, kegagalan-kegagalan pengelolaan perbedaan kepentingan menjadi sumber malapetaka. Di sisi lain pergeseran paradigma yang begitu cepat seperti perubahan sistem dari otoritarianisme menjadi demokratis, cukup mengubah pola hubungan politik antara negara dan masyarakat.
 

Integrasi ala Indonesia

Ketiga pilar yang dikemukakan Sunyoto Usman memang tidak dapat dihindari. Ketiga pilar tersebut sudah menjadi aturan main yang dibakukan melalui undang-undang. Ironisnya, ketiga pilar itu-pulalah yang memunculkan beberapa potensi disintegrasi bangsa.

Terdapat beberapa model integrasi. Model pertama dengan membentuk norma bersama, namun masing-masing memiliki jati diri. Model kedua, semua suku bangsa melupakan jati dirinya dan membuat jati diri bersama yang baru. Model ketiga, menyatukan unsur-unsur yang kuat untuk menjadi satu nilai utama, sementara unsur-unsur lain diabaikan.

Melihat ketiga corak tersebut, corak bangsa kita lebih dekat dengan model yang pertama. Model inilah yang paling dekat dengan kebangsaan yang menjadi spirit Pancasila. Model integrasi inilah yang paling memungkinkan bangun NKRI tetap terjaga.Integrasi bangsa sangat tergantung pada fleksibilitas sistem politik untuk menyesuaikan dengan lingkungan yang berubah.

Integrasi bangsa harus dimulai dari kesadaran masyarakat untuk mulai tidak menjualbelikan hak-hak politiknya. Proses ini memang tidak dapat dilakukan sepihak dari rakyat, perlu dukungan dari pihak-pihak yang peduli dengan perkembangan demokrasi yang sehat dan integrasi bangsa.

Pemilihan langsung, kebebasan pers dan multi-partai yang menjadi aturan main saat ini dapat dimanfaatkan rakyat dengan memilih pemimpin yang benar-benar peduli dengan keberlangsungan NKRI, memiliki kemampuan manajemen konflik serta memiliki komunikasi politik yang baik. Tanpa kesadaran dan kemampuan menyelesaikan konflik. Sangat mungkin bangsa kita masuk ke dalam jurang disintegrasi yang lebih dalam. Nauzubilah Minzalik
 
Rafif Pamenang Imawan SIP,
Peneliti Pusat Studi Pancasila UGM,
Alumnus Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM
 
www.rafifimawan.blogspot.com
 

Demokrasi di Indonesia Semakin Mahal



Aktivis Politik Penggerak Malari 1974, Hariman Siregar, mengatakan demokrasi di Indonesia semakin mahal dan menjauh dari ideal sehingga ia meragukan demokrasi bisa bertahan. "Saya ragu demokrasi bisa bertahan. Tidak tahu kapan, tapi saya yakin kejatuhan demokrasi akan terjadi," kata Hariman, yang juga Pendiri Nextlead Indonesia dalam diskusi di Jakarta, Jumat.

Menurut dia, hal itu dipicu oleh demokrasi di Indonesia yang semakin mahal dan tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat. "Proses-proses demokrasi tidak lagi ada hubungannya dengan rakyat. Rakyat hanya untuk mengeruk popularitas yang dilakukan melalui cara yang mahal, pemilu yang mahal, kampanye ala Amerika Serikat yang mahal, semua dengan uang dan ini jelas tidak mendorong demokratisasi sebenarnya," katanya.

Ia menambahkan, banyak kandidat yang tidak memiliki akar di masyarakat namun hanya mengandalkan popularitas yang dibeli melalui beragam media dan juga politik uang maju dalam pemilu."Partai hanya menjadi fungsi legitimasi, pemberi cap, dan gagal menjalankan fungsinya sebagai pengkader para pemimpin," katanya.

Kondisi ini, menurut dia, cepat atau lambat akan membuat demokrasi semakin kehilangan daya dukungnya.
Mantan Anggota KPU Mulyana W Kusumah mengatakan, dirinya juga meragukan keberlanjutan demokrasi di Indonesia.

Menurut Mulyana, patologi demokrasi di Indonesia sudah tampak. Banyak proses pemilu lokal yang kemudian gagal diselesaikan dalam sistem demokrasi di tingkat daerah. Al hasil, menurut dia, Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai penjaga terakhir dari peradilan pemilu dipenuhi dengan kasus sengketa pemilu.Ia mengatakan, pada 2010 setidaknya ada 264 pemilihan kepala daerah, dan hingga saat ini sekitar 165 pemilu di daerah telah terlaksana.

Hasilnya, menurut dia, lebih dari 130 pemilu atau lebih dari 80 persen, terjadi kasus sengketa yang dibawa ke MK. "Bagaimana membayangkan pemilu yang telah dilaksanakan akhirnya hanya ditentukan oleh sembilan orang hakim MK, berapa juta suara rakyat hilang karenanya," katanya.

Sumber: republika.co.id

Ledakan Aids di Indonesia

 

 

Perlu Penanganan Serius, Ledakan AIDS di Indonesia

Ledakan kasus AIDS di Indonesia perlu penanganan serta penanggulangan lebih serius dari berbagi pihak."Terjadinya ledakan kasus AIDS di seluruh kota/kabupaten di Indonesia saat ini perlu ditangani lebih serius lagi," kata Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih, di Padang, Rabu.

Menurut dia, saat ini sebanyak 21.770 kasus AIDS terjadi di seluruh kota/kabupaten Indonesia. Kasus tersebut merupakan ancaman yang sangat serius."Kasus AIDS yang terjadi di seluruh kota/Kabupaten di Indonesia sebanyak itu dihitung hingga 30 Juni 2010," katanya.

Dia menambahkan, rata-rata penderita kasus AIDS tersebut berusia 20 tahun hingga 29 tahun mencapai 37,2 persen."Sedangkan penderita AIDS yang berusia 40 hingga 49 tahun hanya mencapai 11,8 persen saja,"katanya.

Dia mengatakan, dari kasus AIDS tersebut, jumlah perbandingan penderita AIDS laki-laki dan perempuan sebesar tiga berbanding satu."Saat ini sudah ada pergeseran pola penyebaran AIDS, penyebaran terbesar terjadi lewat hubungan seks, bukan lagi jarum suntik," katanya.

Menurutnya, jumlah penderita AIDS dari seluruh Indonesia yang terbanyak di Provinsi Papua diikuti daerah Bali, kemudian DKI Jakarta."Sedangkan penderita HIV yang dominan yakni DKI Jakarta mencapai 9.804, Jawa Timur mencapai 5.973,"katanya.

Dia menambahkan, penyadaran dan pendampingan terhadap penderita HIV/AIDS perlu terus ditingkatkan, agar jumlah mereka dapat diminimalkan."Minimal kita dapat memberikan konseling dan bimbingan terhadap mereka tentang pentingnya kesadaran untuk mau berobat secara teratur, dan menyebarkan hal itu kepada penderita lainnya," katanya.


Lebih 21 Ribu Kasus AIDS Terjadi di Indonesia

Sebanyak 21.770 kasus AIDS terjadi di seluruh kota/kabupaten di Indonesia sehingga memerlukan upaya penanggulangan dan penanganan secara cepat. "Kasus AIDS yang terjadi di seluruh kabupaten/kota di Indonesia itu dihitung hingga 30 Juni 2010," kata Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih di Padang, Rabu.

Menurut dia, rata-rata penderita AIDS tersebut berusia 20 tahun hingga 29 tahun, yaitu mencapai 37,2 persen. "Sedangkan penderita AIDS yang berusia 40 hingga 49 tahun hanya 11,8 persen," katanya.


Dia menambahkan, dari 21.770 kasus AIDS di Indonesia tersebut, jumlah perbandingan penderita AIDS laki-laki dan perempuan sebesar tiga berbanding satu. "Sudah ada pergeseran pola penyebaran, kini penyebaran terbesar terjadi lewat hubungan seks, bukan lagi penggunaan jarum suntik," ujarnya.


Dia mengatakan, jumlah penderita AIDS dari seluruh Indonesia yang terbanyak di Provinsi Papua, diikuti Bali, kemudian DKI Jakarta. "Sedangkan penderita HIV didominasi DKI Jakarta mencapai 9.804 orang, kemudian Jawa Timur mencapai 5.973 orang,"katanya.


Dia menambahkan, penyadaran dan pendampingan terhadap penderita HIV/AIDS perlu terus ditingkatkan agar jumlah mereka dapat diminimalkan. "Minimal dapat memberikan konseling dan bimbingan pada mereka tentang pentingnya kesadaran untuk berobat secara teratur dan menyebarkan hal itu kepada penderita lainnya," katanya.


Kepala Dinas Kesehatan Sumbar Rosnini Savitri di Padang, mengatakan, sampai sekarang tercatat 496 kasus di Sumbar, yang terdiri atas 72 kasus HIV dan 424 AIDS. "Sebanyak 75 orang meninggal dunia akibat penyakit HIV/AIDS di Sumbar," katanya.


Untuk mengantisipasi dini kasus HIV/AIDS, lanjut Rosnini Savitri, Dinkes Sumbar terus meningkatkan koordinasi dengan kabupaten/kota dan membentuk tim konselor sehingga melalui tim konselor, warga yang dicurigai terjangkit penyakit menular yang mematikan itu bisa berkonsultasi. "Sejak tim konselor dibentuk pada 19 kabupaten/kota sudah banyak warga yang datang untuk berkonsultasi sehingga kasus HIV/AIDS di Sumbar bisa terungkap," kata Rosnini Savitri.


Dia menambahkan, untuk mengetahui seseorang terjangkit atau tidak penyakit AIDS, ada dua klinik Voluntary Counseling and Testing (VCT). "Dua klinik itu berada di RSUP M. Djamil Padang serta RS Ahmad Mukhtar Kota Bukittinggi," katanya. 



Duh, Penderita AIDS pada Anak di Jabar Meningkat


Hari Anak Nasional (HAN) yang jatuh Jumat ini (23/7), mengungkapkan fakta yang cukup memprihatinkan. Penderita penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) pada kelompok usia anak, semakin meningkat setiap tahunnya di Indonesia, khususnya di Jawa Barat (Jabar).

Berdasarkan data yang dikeluarkan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Jabar dari tahun 1989 hingga Maret 2010, jumlah kasus yang terjadi pada anak usia balita (bayi di bawah lima tahun), terdapat 102 kasus. Jumlah tersebut akan semakin bertambah jika ditambahkan dengan penderita AIDS untuk kelompok usia 5 hingga 14 tahun dan 15-19 tahun, yakni 238 kasus dari 5382 jumlah penderita AIDS di Jabar secara keseluruhan.

Staf Humas KPA Jabar, Tri Irwanda Maulana, mengakui adanya peningkatan jumlah kasus yang ditemukan pada kelompok usia anak-anak. Infeksi penyakit yang disebabkan virus Human Immunodeficiency Virus (HIV) tersebut sebagian besar disebabkan penularan dari orangtua.

Penularan penyakit AIDS pada anak terjadi selama masa perinatal atau periode kehamilan, sebelum dan sesudah proses persalinan. Pasalnya, penularan penyakit yang menyerang kekebalan tubuh tersebut juga dapat melalui air susu ibu.

''Penderita AIDS setiap tahunnya memang kecenderungannya selalu meningkat. Begitu pun halnya dengan anak-anak. Sejauh ini, kami melakukan upaya pencegahan penularan dari ibu ke anak melalui program PMTCT,” ungkap Tri yang ditemui Republika di kantornya, Jumat (23/7).

Program PMTCT (Prevention Mother to Child Transmition) merupakan program pencegahan penularan penyakit AIDS dari ibu ke anak. Terdapat empat strategi yang disarankan WHO (World Health Organisation) yaitu mencegah penularan HIV pada wanita subur, mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada wanita HIV, mencegah penularan ibu dan anak, serta memberikan dukungan, layanan dan perawatan berkesinambungan bagi pengidap HIV.


Sumber: republika.co.id

Aids, Kondom dan Demokrasi




Bila pada edisi sebelumnya fokus obrolan kita pada seputar upaya untuk menguak ‘kebaikan hati’ para aktivis yang membagikan kondom gratis, maka kali ini kita akan membahas lebih dalam tentang sebab-musababnya. Solusi islami tentu saja otomatis ada dalam setiap pembahasan.


Pohon berdiri ditopang akar

Coba deh kamu perhatikan sebuah pohon yang terlihat kuat. Apa sih yang membuat tuh pohon mampu berdiri kuat menjulang secara gagah? Batang-batangnya sangat kokoh dan mengeluarkan daun, bunga bahkan buah yang indah dan lezat. Ternyata, ada sesuatu yang sangat penting di bawah sana meski kadang dilupakan orang: Akar. Kekuatan akar menjadi kunci bagi kuat tidaknya posisi sebuah pohon untuk tegar berdiri. 

Manusia pun tak jauh beda. Di balik sikap keukeuh seseorang untuk bertahan pada suatu pendapat dan sikap tertentu, itu juga karena ada akidah dalam dirinya. Ibarat akar pada pohon yang tersimpan jauh di dalam tanah, akidah pada diri manusia ini juga tidak terlihat secara kasat mata.

Akidah adalah keyakinan yang mendalam, mendasar dan menyeluruh tentang manusia, alam sekitar dan kehidupan baik sebelum ataupun setelah mati. Hal inilah yang akan mewarnai dan mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku seseorang dalam kehidupan sehari-hari.

Ketika seseorang menganggap bahwa melakukan hubungan seks di luar nikah alias berzina adalah hal yang sah-sah aja karena itu adalah hak asasi tiap manusia yang harus dilindungi, maka tidak bisa tidak orang seperti ini pastilah berakidah sekuler alias memisahkan agama dari kehidupan. Agama dipandang sebagai urusan individu yang cuma mengurusi hubungan manusia dengan tuhan. Selebihnya, serahkan saja pada otak dan hukum buatan akal manusia. Tidak ada seorang pun, tidak juga masyarakat dan negara yang berhak melarang perzinaan apabila dilakukan suka sama suka. Toh, nggak ada pihak yang dirugikan, itu yang selalu menjadi dalih orang-orang model begini. Sudah bisa dipastikan bahwa mereka ini adalah orang-orang yang tidak meyakini (minimal kurang yakin) adanya surga dan neraka setelah kehidupan berakhir.

Bila pun mereka yakin surga dan neraka ada, mereka akan berpikir: “Toh bukan aku pelakunya. Kalau nggak mau diganggu urusan kita, maka jangan mau mengganggu urusan orang lain. Toh, kebebasan berperilaku dilindungi oleh undang-undang.” Yang menjadi fokus mereka hanya berusaha mencegah efek negatif dari kebebasan berperilaku ini. Kondomisasi dianggap sebagai solusi. Mereka lupa (atau pura-pura lupa?) bahwa pembagian kondom gratis hanyalah menyelesaikan masalah dengan menciptakan masalah baru. Kayak orang mademin kebakaran tapi bikin kebakaran baru. Kondom gratis ke sekolah-sekolah (bahkan ada yang ke SD, lho—lihat Republika, 9 Desember 2007) menjadi bom waktu untuk rusaknya moral generasi muda suatu bangsa.


Demokrasi, si biang kerok

Kebebasan berperilaku menjadi daya tarik tersendiri atas slogan HAM yang dengungnya sangat laris manis bak kacang goreng. Siapa sih yang nggak pengen untuk bisa bebas berperilaku tanpa ada yang melarang? Mau begini, mau begitu, suka-suka gue selama nggak merugikan orang lain. Otomatis induk dari kebebasan berperilaku ini akhirnya juga laris manis mengikuti turunannya. Apakah induk kebebasan berperilaku ini? Tak lain dan tak bukan adalah konsep Demokrasi.

Selalu ada awal bagi sebuah perjalanan. Selain sekularisme yang mendasari maraknya seks bebas, demokrasi turut andil untuk meramaikan panggung kerusakan dunia. Sistem kuno warisan jaman Yunani kuno ini adalah biang kerok dari semua masalah-masalah di dunia termasuk kebebasan berperilaku ini.

Oya, yang perlu diwaspadai, demokrasi ibarat bunglon yang pandai mengubah bentuk sehingga membuat siapa saja yang memandang bakal terkecoh. Tidak sedikit kaum muslimin yang dengan suka cita menyambut ide ini hanya karena ada salah satu bagian dalam demokrasi mirip dengan Islam, misalnya musyawarah. Padahal faktanya demokrasi jauh lebih menyukai pengambilan pendapat dengan poling atas suara terbanyak daripada musyawarah itu sendiri. 

Demokrasi yang mempunyai slogan suara rakyat adalah suara Tuhan meyakini bahwa suara mayoritas adalah pemenang. Jadi kalo ada 10 wakil rakyat terdiri dari 9 perampok dan cuma satu saja orang baik, maka keputusan yang dihasilkan pastilah kesepakatan para perampok. Inilah yang disebut suara mayoritas, tanpa peduli salah atau benar. Dengan demokrasi yang halal bisa menjadi haram, dan yang haram bisa pula menjadi halal.

Boys and gals, dalam demokrasi berzina bisa menjadi halal ketika mayoritas rakyat atau wakilnya mengatakan demikian. Maka, lokalisasi pelacuran bisa menjadi aset negara untuk ngumpulin pajak. Jilbab yang jelas-jelas wajib bagi perempuan menjadi haram ketika undang-undang mengatakan demikian. Masih ingat kan dengan kasus diusirnya banyak muslimah di sekolah negeri tahun 90-an hanya karena tidak mau melepas kerudungnya dalam kelas?

Sungguh naif banget kalo ada orang yang menyamakan demokrasi dengan musyawarah apalagi dengan Islam hanya karena sangat sedikit kemiripan di antaranya. Kalo kamu suka pisang dan monyet pun juga suka, apakah itu artinya kamu sama dengan monyet? Tentu nggak dong. Kecuali kalo kamu emang ngefans sama Charles Darwin yang mengatakan bahwa nenek moyang manusia adalah monyet. Hiii... naudzhubillah banget. Bagi yang meyakini teori Darwin ini, sedikit bisa dimaklumi kalo kelakuannya juga nggak beda-beda jauh dengan monyet yang nggak butuh lembaga pernikahan untuk menyalurkan nafsu seksualnya. Ciloko!


Baik dan buruk, menurut siapa?

Kebenaran/kebaikan itu relatif, demikian slogan yang sering disuarakan oleh para pengusung demokrasi. Kalo kebenaran memang relatif, seharusnya tidak perlu ada penegak hukum di dunia bila penganut demokrasi konsisten dengan slogan ini. Bayangkan saja seorang polisi yang menangkap pencuri dengan alasan merugikan orang lain dan mengganggu ketenangan umum. Bisa saja si pencuri berkilah itu kan kebenaran menurut versi polisi. Sedangkan menurutnya, kebenaran adalah mencari sesuap nasi untuk anak yang menangis di rumah karena tiga hari tidak makan. Maka, tidak seharusnya polisi menghukum si pencuri dong. Lha kalo begini kondisinya, bisa kacau dunia. Sehingga tidak bisa tidak, harus ada standar yang tepat dan pas bagi manusia karena satu sama lain pastilah mempunyai kemauan dan kepentingan yang berbeda-beda.

Standar tepat dan pas ini adalah hukum syara’, yakni aturan Islam. Apa yang baik menurut syara’, pasti baik untuk manusia. Biar kata seluruh dunia mengatakan bahwa berzina itu adalah hak asasi manusia, selama syara’ menyatakan haram, maka haram pula hukumnya hingga hari kiamat kelak. Berkasih sayang dengan lawan jenis akan menjadi halal bila dilakukan setelah akad nikah, bukan sebelumnya. 

Intinya, yang membedakan manusia beriman dan bukan adalah standar yang dipakainya dalam beramal. Kalau sekadar mengaku muslim saja semua orang juga bisa. Kan gampang banget tuh mencantumkan status agama sebagai orang Islam di KTP. Tapi tentang lurusnya akidah dan amal? Ini yang kudu dipertanyakan bagi orang yang suka mengaku-aku muslim tapi nggak pake aturan Islam dalam seluruh aktivitas kehidupannya.

Jadi, solusi untuk menekan bertambahnya korban AIDS bukan dengan cara membagikan kondom gratis. Cara efektif untuk menyelesaikan masalah secara tuntas adalah adanya benteng takwa pada individu, masyarakat dan negara. Dengan ketakwaan individu, maka manusia akan mempunyai kontrol diri untuk tidak melakukan zina. Didukung oleh ketakwaan kolektif masyarakat, maka bisa dipastikan rakyat akan menolak adanya lokalisasi dan memberikan sanksi sosial bagi pelaku zina. Dan yang utama dari semua ini adalah penerapan aturan dan sanksi oleh negara. So, negaralah yang berwenang menutup keberadaan lokalisasi zina dan beragam kemaksiatan lainnya. Negara berkewajiban juga memberi hukuman bagi siapa saja yang melanggar aturan ini, gitu lho.

Memang, mewujudkan kondisi ideal ini tidak mudah. Tapi bukankah tidak ada sesuatu di dunia ini yang mudah? Apalagi dengan hadangan paham hedonisme (paham serba boleh), kapitalisme dan demokrasi membuat upaya ini menjadi semakin tidak mudah. Tapi yakinlah bahwa Allah Swt. melihat proses yang kita lalui untuk memperjuangkan syariatNya. Akan jauh lebih nyata niat untuk mengurangi angka penderita AIDS dengan menyadarkan masyarakat akan pemahaman Islam yang benar. Bukan dengan malah membagi kondom gratis dan mengompori remaja untuk mencoba seks dengan kondom gratisan. 

Saya teringat sharing seorang teman yang membagikan brosur taat kepada syariat dengan solusi penerapan Islam sebagai ideologi negara dalam peringatan hari AIDS sedunia tempo hari. Pada saat yang sama dan hanya berjarak beberapa meter darinya, para aktivis kondom membagikan benda terbuat dari lateks ini secara gratis. Ironis!

Penanggulangan AIDS akan jauh lebih efektif bila saja perilaku save sex mempunyai satu suara dari seluruh komponen masyarakat: yakni, “No Free Sex”. Tidak lagi ada alasan apa pun bahwa melakukan seks atau tidak itu adalah hak pribadi masing-masing. Setiap individu mempunyai kewajiban mengingatkan saudara, teman, dan sahabat untuk tidak melakukan seks sebelum menikah secara sah.

Rasulullah saw. tercinta bersabda: 
“Perumpamaan keadaan suatu kaum atau masyarakat yang menjaga batasan hukum-hukum Allah (mencegah kemungkaran) adalah ibarat satu rombongan yang naik sebuah kapal. Lalu mereka membagi tempat duduknya masing-masing, ada yang di bagian atas dan sebagian di bagian bawah. Dan bila ada orang yang di bagian bawah akan mengambil air, maka ia harus melewati orang yang duduk di bagian atasnya. Sehingga orang yang di bawah tadi berkata: “Seandainya aku melubangi tempat duduk milikku sendiri (untuk mendapatkan air), tentu aku tidak mengganggu orang lain di atas.” Bila mereka (para penumpang lain) membiarkannya, tentu mereka semua akan binasa.” (HR Bukhari)

Masyarakat kita saat ini justru cuek satu sama lain. Kalo gitu, tinggal nunggu kehancuran karena merasa bahwa kebebasan berperilaku adalah hak asasi manusia. Waduh!

Moga aja paparan ini mampu membuka mata hati dan pikiran kamu untuk mendapatkan pencerahan. Kondomisasi apa pun alasan di baliknya dengan dalih apa pun, adalah suatu upaya pelegalan seks bebas. Sekularisme dan demokrasi adalah biang kerok kerusakan akhlak dan tatanan sistem dalam masyarakat saat ini. Oleh karena itu saatnya dengan tegas kita katakan bahwa syariat Islam adalah solusi. Caranya? Ayo, ngaji! Supaya kamu nggak terjerumus jadi aktivis untuk kegiatan yang salah dan bahkan merusak generasi. Nah, sambil ngaji, barengi deh dengan dakwah untuk sampaikan kebenaran Islam. Setuju? Pasti dong. Sip dah! 

(ria: riafariana@yahoo.com)
www.dudung.net

Kondomisasi: Pembodohan Massal


Seperti kita ketahui bahwa masalah HIV/AIDS bukan semata-mata masalah kesehatan tetapi mempunyai implikasi politik, sosial, agama dan hukum. Bahkan bila tidak dilakukan penanganan yang sungguh-sungguh maka dampaknya secara nyata, cepat atau lambat dapat menyentuh hampir semua aspek kehidupan manusia dan pada akhirnya hal ini akan mengancam upaya bangsa untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

HIV singkatan dari “Human Immunodeficiency Virus”. Virus ini adalah virus yang diketahui menjadi penyebab AIDS [Acquired Immune Deficiency Syndrome]. Jika seseorang positif HIV, ini berarti mereka terinfeksi virus tersebut. Seseorang yang terinfeksi dengan HIV tidak mempunyai AIDS selama virus tersebut secara serius merusak sistem kekebalan, membuat mereka lemah/mudah terserang infeksi, beberapa di antaranya menyebabkan kematian. HIV ditularkan melalui cairan tubuh kebanyakan dalam darah, sperma, cairan vagina dan ASI.

Sampai kini, mendengar kata HIV/AIDS seperti momok yang mengerikan. Padahal jika dipahami secara logis, HIV/AIDS bisa dengan mudah dihindari. Bagaimana itu?

Prevalensi HIV/AIDS di Indonesia telah bergerak dengan laju yang sangat mengkhawatirkan. Pada tahun 1987, kasus HIV/AIDS ditemukan untuk pertama kalinya hanya di Pulau Bali. Sementara sekarang (2007), hampir semua provinsi di Indonesia sudah ditemukan kasus HIV/AIDS.


Permasalahan HIV/AIDS telah sejak lama menjadi isu bersama yang terus menyedot perhatian berbagai kalangan, terutama sektor kesehatan. Namun sesungguhnya masih banyak informasi dan pemahaman tentang permasalahan kesehatan ini yang masih belum diketahui lebih jauh oleh masyarakat.

HIV adalah virus penyebab AIDS. HIV terdapat dalam cairan tubuh seseorang seperti darah, cairan kelamin (air mani atau cairan vagina yang telah terinfeksi) dan air susu ibu yang telah terinfeksi. Sedangkan AIDS adalah sindrom menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan oleh HIV. Orang yang mengidap AIDS amat mudah tertular oleh berbagai macam penyakit karena sistem kekebalan tubuh penderita telah menurun.HIV dapat menular ke orang lain melalui :
  • Hubungan seksual (anal, oral, vaginal) yang tidak terlindungi (tanpa kondom) dengan orang yang telah terinfeksi HIV.
  • Jarum suntik/tindik/tato yang tidak steril dan dipakai bergantian
  • Mendapatkan transfusi darah yang mengandung virus HIV
  • Ibu penderita HIV Positif kepada bayinya ketika dalam kandungan, saat melahirkan atau melalui air susu ibu (ASI)

Nah, sekarang langkah apa yang kita ambil untuk mengatasi penyakit AIDS?

Pada tanggal 1 Desember 2009 lalu para penggiat yang katanya peduli dengan penderita HIV/AIDS kembali memperingati Hari HIV/AIDS sedunia, meski tiap tahunnya diperingati hari HIV/AIDS, namun jumlah penderitanya tak berkurang. Justru semakin meningkat secara signifikan. Data terakhir menunjukkan 298 ribu penduduk Indonesia hidup dengan HIV/AIDS (ODHA).
Berapa banyak dana yang telah digelontorkan untuk mengkampanyekan kehati-hatian dan pencegahan terhadap HIV/AIDS. Namun hasilnya justru tidak sesuai harapan. Sayang rasanya jika dana sebesar itu digunakan untuk sesuatu yang terkesan tidak solutif. Bahkan timbul kesan ada komersialisasi produk pada kampanye tersebut.


Kondomisasi: Pembodohan Massal

Mau aman? Ya pakai kondom!” begitu bunyi slogan pada iklan layanan masyarakat tentang ajakan penggunaan kondom beberapa tahun lalu. Iklan dan kampanye penggunaan kondom untuk mencegah AIDS sering dilakukan banyak pihak. Tidak hanya di situ, berbagai pihak juga kerapkali turun ke jalan membagi-bagikan kondom secara gratis pada peringatan hari AIDS se-dunia yang jatuh setiap 1 Desember ini bahkan lengkap dengan tutorial cara memakainya .

Namun faktanya, meski ajakan dan sosialisasi terkait kondom sering dilakukan, angka penderita AIDS justru mengalami peningkatan. Apakah benar kondom bisa mengurangi penderita HIV/AIDS?

Mestinya mereka belajar dari negara AS dan Eropa, sejak 20 tahun lalu telah melakukan program ini, hasilnya justru mendongkrak jumlah penderita AIDS. Apalagi menurut ilmu kedokteran bahwa kondom sesungguhnya dibuat sebagai alat kontrasepsi alias pencegah kehamilan. Sementara virus HIV/AIDS ukurannya jauh lebih kecil dari diameter pori-pori kondom. Jadi bisa dikatakan penggunaan kondom hanyalah solusi bobrok yang dipaksakan atau boleh jadi ini justru adalah salah satu kampanye pelegalan seks bebas yang membuat penderita AIDS semakin menjamur. Ini terbukti dengan dibagikannya kondom secara gratis kepada siapa saja tanpa mau tahu apakah sudah punya istri/suami atau tidak, bahkan anak SD pun bisa mendapatkannya.

Secara tak langsung kampanye ini menyerukan kepada masyarakat, “Silahkan berhubungan seks dengan siapa saja asalkan pake kondom”.

Dan ajakan halus ini tenyata efektif, ini dapat kita lihat bahwa sikap permisifisme masyarakat terhadap seksualitas semakin menjadi-jadi. Hal itu diperparah oleh kondisi Indonesia yang berasaskan HAM yang sering disalahgunakan. Contohnya, dengan mengatasnamakan HAM banyak orang tidak malu berbuat sesuka hati mereka, seks bebas, homoseksual dan sebagainya. Padahal, HIV/AIDS penularannya sangat berpotensi dari situ. Tak hanya itu, Indonesia yang hingga kini ditengarai tempat suburnya peredaran narkoba.

Direktur Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Prof. Dr. Ahmad Zahro, MA mengatakan, meningkatnya jumlah penderita HIV/AIDS pada tiap tahunnya membuktikan kegagalan manusia menangggulangi masalah itu.

Karena itu, Guru Besar Ilmu Fikih IAIN Sunan Ampel ini menentang keras upaya pencegahan HIV/AIDS dengan cara lama yang selama ini dilakukan pemerintah, baik melalui kondomisasi maupun lokalisasi.
Lebih jauh dia menegaskan, hukum yang dibuat manusia tidak sedikit pun bisa mengeliminasi dan memberantas penyakit tanpa obat itu. Alih-alih terkurangi, justru penyakit tersebut malah semakin massif.

“Tidak ada cara lain dalam memberantas HIV/AIDS, kecuali dengan menerapkan syariat Islam. Cara manusia sudah terbukti gagal total,” tegas Direktur Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya ini.


Apakah HIV / AIDS ada obatnya?


Pengobatan sebagai upaya menyembuhkan penyakit yang diderita adalah perintah agama, Nabi Muhammad SAW bersabda :

“Berobatlah wahai hamba Allah, karena sesungguhnya Allah tidaklah menurunkan suatu penyakit, kecuali telah diturunkan pula obatnya, selain penyakit yang satu, yaitu penyakit tua (pikun)”. (HR Ahmad Arba’ah, Ibnu Hibbah dan hakim).

Agama Islam memberi tuntunan dalam pengobatan dengan usaha lahiriyah dan usaha bathiniyah. Usaha lahiriyah adalah berobat kepada dokter, dan bathiniah adalah mendekatkan diri kepada Allah sebagai sumber dari kesembuhan.

Adapun pencegahan yang ampuh adalah menjauhkan diri dari perbuatan zina dan bertaqwa kepada Allah SWT.

Sumber: www.al-mandury.co.cc
 

Ironi Nasib Pahlawan Devisa

Negara kita dikenal sebagai negara dengan jumlah pekerja migran terbesar. Ada sekitar enam juta Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri dan 80 persen di antaranya adalah perempuan. Dari jumlah itu, 70 persen bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT). 
 
Besarnya jumlah pekerja migran asal Indonesia ternyata tidak sebanding dengan nasib dan masa depan mereka sebagai pahlawan devisa bagi negara. Bahkan, mereka sering mendapat perlakukan tidak adil berupa penyiksaan, pemerkosaan, dan pembunuhan. Perlakuan kurang pantas yang dialami tenaga kerja kita mencerminkan kegagalan pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum kepada pahlawan devisa kita. Potret ketidakdilan terhadap tenaga kerja kita yang mengadu nasib di luar negeri semakin menambah luka dan harga diri bangsa kita semakin terinjak-injak oleh bangsa lain. 
 
Walaupun disebut sebagai pahlawan devisa, tenaga kerja kita belum mendapatkan perlakuan yang seimbang sesuai jerih payah mereka dalam mencari nafkah di negeri orang. Julukan semacam itu malah semakin memojokkan para pahlawan devisa kita dengan tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan majikan mereka. Beberapa kasus kekerasan yang meliputi penyiksaan fisik maupun mental telah mewarnai perjalanan buruh migran kita di luar negeri. 
 
Di Malaysia, cerita tragis-pemerkosaan, penyiksaan di luar batas kemanusiaan, misalnya, pernah membuat geger seluruh publik Tanah Air. Cerita yang sama juga pernah menguras rasa kemanusiaan kita di Hong Kong. Cerita memilukan itu ternyata masih terulang di negara-negara Timur Tengah yang menjadi tempat favorit para tenaga kerja wanita (TKW). Rayuan riyal sering berubah menjadi 'bisa ular' yang kemudian menjadikan para TKW seperti budak belian, karena sering diperlakukan di luar batas kemanusiaan. 
 
Kasus penyiksaan tenaga kerja yang mengadu nasib di luar negeri seolah tak pernah berhenti mewarnai hiruk-pikuk persoalan bangsa. Lagi-lagi, TKW Indonesia mengalami penyiksaan sadis yang dilakukan oleh majikan di luar negeri. Kali ini TKW bernama Sumiati asal Dompu Bima, NTB terluka parah akibat (maaf) digunting bibirnya bagian atas oleh majikannya di Arab Saudi. 
 
Kisah ironi itu kini tengah dirajut Sumiati. Empat bulan bekerja di Arab Saudi, bukan kesempatan menabung riyal yang didapatnya. Justru, sebaliknya, Sumiati mengalami peristiwa yang mungkin tak pernah dibayangkan oleh wanita berusia 23 tahun ini. Ia mengalami sebuah penyiksaan yang rasanya semua orang tak kuasa membayangkannya. Penyiksaan sadis yang dialami Suamiati mencerminkan betapa memilukannya menjadi buruh migran yang mengadu nasib di negeri orang. 
 
Sebagai pahlawan devisa, Sumiati seharusnya mendapatkan jaminan keamanan dan perlindungan hukum dari pemerintah. Akibat penyiksaan yang dilakukan secara biadab oleh majikan, kini sekujur punggung Sumiati terlihat penuh bekas luka. Bahkan ada luka yang terlihat belum mengering di beberapa bagian. 
 
Kondisi paling mengenaskan adalah bagian ubun-ubun Sumiati yang sudah tidak ada lagi rambut di kepalanya sehingga yang tersisa hanyalah kulit kepala melepuh. Dan, yang lebih tragis, sang majikan yang sudah kehilangan rasa kemanusiaannya, memotong bibir bagian atas Sumiati. Tindakan penyiksaan semacam itu, sungguh di luar batas kewajaran dan boleh dikatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. 
  
 
 
Jika sudah seperti ini, maka Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) yang mempunyai tugas dan tanggung jawab menyelesaikan kasus kekerasan ini hendaknya memberi perhatian sungguh-sungguh. Pekerjaan rumah yang paling utama adalah memastikan apakah setiap anak bangsa yang bekerja di luar negeri terjamin keselamatannya. Instansi itu mestinya juga memastikan bahwa mereka yang akan bekerja di luar negeri memiliki keahlian, dan memiliki kemampuan bahasa asing. 
 
Kita tidak menginginkan kasus kekerasan yang menimpa Sumiati terulang kembali. Kita ingin agar para pahlawan devisa kita mendapatkan perlindungan secara hukum. Kasus Sumiati seharusnya dijadikan pelecut semangat untuk memastikan bahwa TKI/TKW kita yang mengadu nasib di luar negeri akan mendapatkan perlakuan yang baik. Mereka juga harus memiliki bekal keterampilan dan kemampuan bahasa asing yang cukup sehingga membantu mereka untuk melakukan komunikasi bila kekerasan dan penyiksaan menimpa mereka. 
 
Para TKI, termasuk TKW, sejatinya memerlukan pengawalan khusus dari pemerintah RI. Kalau pemerintah tidak mampu, mestinya distop saja. TKI tampaknya berbeda dengan tenaga kerja Filipina yang memang dikawal secara ketat melalui perlindungan hukum dan peningkatan skills oleh pemerintah di Manila. 
 
Dengan pendekatan seperti ini, Filipina dapat mengurangi hal-hal yang tidak diinginkan seperti yang sering dilakukan terhadap TKI kita. Dengan semakin tingginya skills (keahlian) tenaga kerja Filipina, mereka juga masuk dalam pasar kerja yang memiliki jaminan keamanan yang lebih baik, karena tidak lagi masuk di sektor rumah tangga. Menyikapi kasus kekerasan yang menimpa Sumiati, Kikim Komalasari dan TKI/TKW lainnya, pemerintah tampaknya tetap saja menggunakan pendekatan ad-hoc dan bersikap reaktif, sambil mematok biaya tinggi kepada mereka. Pelayanan terhadap TKI/TKW hanya kelihatan bila sedang ada kasus seperti Sumiati muncul, karena hal itu menjadi sorotan publik. Seharusnya pemerintah melakukan pendekatan hukum untuk memberikan perlindungan dan keselamatan bagi TKI/TKW kita yang mengadu nasib di luar negeri. 
 
Jika tidak ada perlindungan hukum yang jelas, maka bisa dipastikan akan muncul "sumiati-sumiati" atau "kikim-kikim" lainnya yang boleh jadi akan menerima perlakuan kekerasan.Penulis pesimis, derita Sumiati dan kawan-kawan di Arab Saudi akan bisa dihentikan dalam tempo yang singkat. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan ke depan akan banyak penyiksaan terhadap TKW kita di rumah-rumah orang Arab Saudi. Bisa jadi mereka lolos dari pantauan kita.
 
Nurul Anam
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
Suara Karya
 

Ironi Pahlawan Devisa

Kita menyadari bahwa negara kita dikenal sebagai negara dengan jumlah pekerja migran terbesar. Harian Kompas menyebut ada sekira enam juta warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri dan 80 persen di antaranya adalah perempuan. Dari jumlah tersebut, 70 persen di antaranya bekerja sebagai pembantu rumah tangga (Kompas, 14 Nopember 2009).
Besarnya jumlah pekerja migran asal Indonesia ternyata tidak sebanding dengan nasib dan masa depan mereka sebagai pahlawan devisa bagi negara. Bahkan, seringkali mendapat perlakukan tidak adil berupa penyiksaan, pemerkosaan, dan pembunuhan. Perlakuan kurang pantas yang diperoleh tenaga kerja kita seolah mencerminkan kegagalan pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum kepada pahlawan devisa kita. Potret ketidakdilan terhadap tenaga kerja kita yang mengadu nasib di luar negeri semakin menambah luka dan harga diri bangsa kita semakin terinjak-injak oleh bangsa lain.

Walaupun disebut sebagai pahlawan devisa, tenaga kerja kita belum mendapatkan perlakuan yang seimbang dengan jerih payah mereka untuk mencari nafkah di negeri orang. Julukan semacam itu, malah semakin memojokkan pahlawan devisa itu pada satu tindakan kekerasan yang dilakukan majikan mereka. Beberapa kasus kekerasan yang meliputi penyiksaan fisik maupun mental telah mewarnai perjalanan buruh migran kita di luar negeri.

Di Malaysia, cerita tragis itu pernah membuat geger seluruh publik tanah air. Cerita yang sama juga pernah manguras rasa kemanusiaan kita di Hongkong. Cerita memilukan itu ternyata masih terulang di negara-negara Timur Tengah yang menjadi tempat favorit para TKW. Rayuan riyal sering berubah menjadi bisa ular yang kemudian menjadikan para TKW seperti budak belian karena sering diperlakukan di luar batas kemanusiaan.
 
Kasus penyiksaan tenaga kerja yang mengadu nasib di luar negeri, seolah tak pernah berhenti mewarnai hiruk-pikuk persoalan bangsa. Lagi-lagi tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia mengalami penyiksaan sadis yang dilakukan oleh majikan di luar negeri. Kali ini TKW bernama Sumiati asal Dompu Bima Nusa Tenggara Barat terluka parah akibat digunting majikannya di Madinah, Arab Saudi.

Kisah ironi itu tengah dirajut Sumiati, pekerja migran asal Dompu, Nusa Tenggara Barat. Empat bulan bekerja di Arab Saudi, bukan kesempatan menabung riyal yang didapatnya. Justru sebaliknya, Sumiati mengalami peristiwa yang mungkin tak pernah terbayangkan oleh wanita berusia 23 tahun ini. Ia mengalami sebuah penyiksaan yang rasanya semua orang tak kuasa untuk membayangkannya. Penyiksaan sadis yang dialami Suamiati mencerminkan betap memilukannya menjadi buruh migran yang mengadu nasib di negeri orang.

 
Sebagai pahlawan devisa, Sumiati seharusnya mendapatkan jaminan keamanan dan perlindungan secara hukum dari pemerintah. Akibat dari penyiksaan ini, sekujur punggung Sumiati terlihat penuh bekas luka. Bahkan ada luka yang terlihat belum mengering di beberapa bagian. Kondisi paling mengenaskan adalah bagian ubun-ubun kepala Sumiati yang sudah tidak ada lagi rambut di kepalanya sehingga yang tersisa hanyalah kulit kepala melepuh tanpa rambut. Dan yang lebih tragis, sang majikan yang rasanya sudah kehilangan rasa kemanusiaannya, yaitu memotong bibir Sumiati. Tindakan penyiksaan semacam itu, sungguh di luar batas kewajaran dan boleh dibilang sebagai pelanggaran HAM berat.

 

Perlindungan Hukum yang Jelas

Jika sudah seperti ini, maka Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan BNP2TKI mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk menyelesaikan kasus kekerasan ini dengan sungguh-sungguh. Pekerjaan rumah yang paling utama adalah memastikan setiap anak bangsa yang bekerja di luar negeri terjamin keselamatannya, memastikan mereka yang akan bekerja di luar negeri memiliki keahlian, dan memastikan mereka yang bekerja memiliki kemampuan bahasa asing.

Kita tidak menginginkan kasus kekerasan yang menimpa Sumiati terulang kembali sehingga membuat pahlawan devisa kita terkatung-katung nasibnya karena tidak mendapatkan perlindungan secara hukum. Kasus Sumiati seharusnya dijadikan pelecut semangat untuk memastikan nasib TKW kita yang mengadu nasib di luar negeri mendapatkan perlakuan khusus guna memberikan bekal keterampilan dan kemampuan bahasa asing yang cukup sehingga membantu mereka untuk melakukan komunikasi bila terjadi kekerasan dan penyiksaan menimpa mereka. 

 
Dalam konteks sistem politik dan sosial serta budaya seperti ini, TKI dan TKW Indonesia sejatinya memerlukan sebuah pengawalan khusus dari pemerintah RI, atau kalau memang tidak mampu, harus distop saja. Berbeda dengan tenaga kerja Filipina yang memang dikawal secara ketat melalui perlindungan hukum dan peningkatan skills oleh pemerintah di Manila.

Dengan pendekatan seperti ini, Filipina dapat mengurangi kemungkinan perlakuan seperti yang sering terjadi terhadap TKI. Dengan semakin tingginya skills (keahlian) naker Filipina, mereka juga masuk dalam pasar kerja yang memiliki jaminan keamanan yang lebih baik, karena tidak lagi masuk di sektor rumah tangga.

Menyikapi kasus kekerasan yang menimpa Sumiati dan TKW lainnya, Pemerintah tetap saja menggunakan pendekatan ad-hoc dan reaktif terhadap masalah keselamatan kerja TKW, sambil mematok biaya tinggi kepada mereka. Pelayanan terhadap TKW seringkali hanya kelihatan bila kasus seperti Sumiati muncul, karena hal itu menjadi sorotan publik. Jika perhatian publik tak kelihatan maka jurus “business as usual” pun dipakai. Seharusnya pemerintah perlu melakukan pendekatan hukum untuk memberikan perlindungan dan keselamatan bagi TKW kita yang mengadu nasib di luar negeri.

Jika tidak ada perlindungan hukum yang jelas, maka bisa dipastikan akan muncul Sumiati baru yang akan menerima perlakuan kekerasan. Itulah sebabnya, saya pesimis bahwa derita para Sumiati di Arab Saudi akan bisa dihentikan dalam tempo yang dekat. Bahkan tidak menutup kemungkinan, sebenarnya masih banyak penyiksaan terhadap para TKW kita di rumah-rumah orang Arab yang tersembunyi dan lolos dari pantauan kita.

Nurul Anam
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta

okezone.com

Ironi Perlindungan Pahlawan Devisa

Tenaga kerja wanita (TKW) asal NTB, Sumiati tergolek di RS King Fahd, Arab Saudi, Sabtu (20/11). Sekujur tubuh Sumiati terluka, bahkan bibir atasnya digunting majikannya. 
 
BELUM hilang keprihatinan bangsa ini atas penyiksaan tenaga kerja wanita (TKW) Sumiati di Arab Saudi, Jumat (19/11), kembali dikejutkan kematian tragis Kikim Komalasari binti Uko Marta di Kota Abha.

Jasad pembantu rumah tangga asal Cianjur, Jawa Barat itu ditemukan polisi dalam tong sampah, tiga hari sebelum Hari Raya Idul Adha. Semula Kikim dikira TKW asal Bangladesh. Setelah diselidiki, baru terungkap TKW asal Cianjur.

Kikim diduga kuat dibunuh majikannya. Hasil autopsi jasad Kikim, terungkap adanya luka akibat benda tumpul yang menyebabkan kematian "pahlawan" devisa negara ini. Tragedi kemanusiaan kedua dalam tenggat sepekan.

Senin (15/11) lalu, kita terhenyak saat Saudi Gazettte melansir kekejian keluarga majikan Khalid Saleh Mohammad Al Hamimi terhadap Sumiati, TKW asal Dompu NTB. Hingga kini Sumiati yang sekujur tubuhnya penuh luka, bahkan bibirnya hilang akibat digunting, masih tergolek di RS King Fahd Madinah.

Kematian Kikim yang diungkap relawan Pos PDIP di Kota Abha ini, menggenapi duka bangsa yang sedang diguncang bencana. Bagaimana pemerintah "hanya," terus terkaget-kaget atas tragedi kemanusiaan para TKW di luar negeri.

Ketika identitas Kikim terungkap, presiden masih sibuk menggelar Rapat Terbatas di Istana untuk mengevaluasi pengiriman TKI ke luar negeri, pasca-penyiksaan Sumiati. Pemerintah begitu lamban memetik pelajaran atas tragedi yang dialami Sumiati.

Tragedi maut Kikim, hampir seiring penyiksaan Sumiati. Jika Kemenakertrans, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) maupun Kedubes RI di Jeddah, cepat mendeteksi semua TKI di Arab Saudi, kematian Kikim diketahui dini.

Bukan malah relawan PDIP di Arab Saudi yang lebih peduli membantu para TKI. Fungsi monitoring dan pengawasan TKI yang dijadikan alat meminta tambahan anggaran BNP2TKI maupun Kemenakertrans pada DPR, nol besar dan tak tepat fungsi.

                                                                                                                 
Diplomasi Lemah

Uraian 4.385 kasus yang menjerat TKI dari total 3.271.584 TKI di luar negeri pun hampa. Pelangaran kontrak, gaji tak dibayar, jam kerja tak sesuai, beban kerja tak sesuai, ketidakcocokkan dengan majikan, masalah pribadi, sakit, pelecehan, hingga kekerasan berat, menjadi "syair" duka para TKI.

Rendahnya persentase masalah yang dihadapi TKI, yakni 0,01 persen, juga lebih menunjuk makna retorika politik. Ada upaya menyederhanakan masalah melalui angka. Sejatinya, perlakuan tak manusiawi seorang TKI saja, cukup bagi negara memerjuangkannya.

Tak manusiawi menunggu angka signifikan. Bukankah negara berkewajiban melindungi keselamatan setiap warga negara? Pemerintah tak memiliki proper sense of humanity.
Pemerintah juga tak memberi keyakinan bangsa untuk berani tegas dan menekan negara "importir" TKI. Dalam kasus Sumiati saja, pemerintah tak memiliki power seimbang menghadapi Arab Saudi.

Buktinya, pemerintah Arab Saudi yang menyatakan prihatin atas penyiksaan Sumiati, cukup menawarkan penyelesaian secara diplomatik. Apa artinya? Negara "miskin" hak yudisial yang sinergis dengan pemerintahan Arab Saudi.

Perjanjian pemerintah Indonesia dengan 10 negara, termasuk Arab Saudi, belum terealisasi. Masih janji dalam ilusi Menakertrans. Nasib para TKI pun tidak pasti. Mulai tak mendapatkan gaji, penyiksaan hingga kematian bisa terjadi tiap hari tanpa perlindungan memadahi.
Mencegah fitna, pemerintah harus bisa membuktikan diri. Cepat deteksi seluruh TKI, sekaligus mengidentifikasi masalah dan legalitas status mereka di luar negeri. Advokasi kliber internasional, wajib dilaksanakan sesegera mungkin. Jangan hanya bisa mengutuk, tanpa aksi pembelaan pasti.

Keluarga para TKI kini amat memerlukan ketenangan hati, termasuk kasus TKW asal Jember, Niken Dewi Roro Mendut yang hilang kontak di Kota Hail, 14 November. Semoga Niken tak mengalami tragedi, seperti dialami Sumiati maupun Kikim.

Rumah Masa Kecil Bung Karno Terjual Rp 35 Miliar

 
Istana Gebang, rumah masa kecil presiden Soekarno, terjual sudah. Rumah orangtua Poklamator Indonesia yang terletak di Kelurahan Bendogerit, Kecamatan Sanan Wetan, Kota Blitar akhirnya diputuskan dijual oleh pihak ahli waris.

Kepastian tersebut setelah terjadi kesepakatan harga, antara ahli waris dengan Pemkot Blitar mengenai harga rumah yang juga sering disebut Ndalem Gebang itu.

Walikota Blitar, Samanhudi Anwar, mengatakan setelah melalui beberapa kali pertemuan dan tawar menawar, akhirnya pihak ahli waris bersedia melepaskan aset bernilai sejarah tinggi itu dengan harga Rp 35 miliar. Angka tersebut lebih kecil dibandingkan nilai yang ditawarkan sebelumnya sebesar Rp 50 miliar.

"Kami sangat bersyukur ahli waris mau menjual istana Gebang ke Pemkot. Ini berarti asset bersejarah itu bisa diselamatkan oleh Negara," ujar Samanhudi, pada wartawan di halaman kantor Pemkot Blitar Jalan Merdeka, Jumat (26/11/2010).

Samanhudi mengaku pada awalnya, bila pihak keluarga tetap bersikukuh menjual dengan harga tinggi, Pemkot jelas tidak akan mampu untuk membelinya. Pihaknya sempat menawarkan agar aset istana Gebang ini ditetapkan sebagai salah satu bangunan cagar budaya dengan tujuan agar istana Gebang tidak dipindah tangankan ke pihak asing yang juga tertarik.

Setelah kesepakatan antara kedua belah pihak dicapai, selanjutnya Pemkot akan melakukan sharing dana dengan Pemerintah Provinsi Jatim. Pemkot menyediakan dana APBD senilai sekitar Rp 25 miliar. Sedangkan provinsi bersedia membantu anggaran senilai Rp 10 miliar.

Jika telah menjadi aset negara, Istana Gebang diproyeksikan menjadi museum
bersejarah yang memuat segala hal mengenai perjalanan Soekarno sejak lahir hingga
meninggal dunia.

"Karena ini merupakan peninggalan budaya bernilai sejarah tinggi serta mampu menarik wisatawan, maka Pemkot berupaya mengelolanya menjadi paket pariwisata selain wisata makam Bung Karno," tandasnya.

Di Istana Gebang Bung Karno pernah menghabiskan masa kecil bersama orang tuanya. Rumah yang beralamat di Jalan Sultan Agung nomor 69 itu menjadi hak milik Sukarnimi Wardoyo, kakak kandung Bung Karno.

Ide menjual Istana Gebang sebenarnya ada sejak tahun 1970. Namun karena masih ada ahli waris yang tidak setuju, rencana itu gagal. Rencana menjual Istana Gebang kembali mengemuka sekitar setahun lalu.

Sumber: detik.com



istana_gebang_blitar_bung-karno 














Polemik penjualan Istana Gebang di Blitar, Jawa Timur, berakhir sudah. Pemerintah Kota Blitar dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur akhirnya sepakat membeli rumah masa kecil mendiang Presiden Soekarno itu dari pihak ahli waris, Ny Soekarmini Wardojo, kakak Bung Karno.

Rumah di Jalan Sultan Agung, Kelurahan Bendogerit, Kecamatan Sanan Wetan, itu dibeli dengan harga Rp 35 miliar. Dana sebanyak Rp 25 miliar diambil dari APBD Pemprov Jatim dan Rp 10 miliar dari APBD Pemkot Blitar.

Sebelumnya, ahli waris Ny Soekarmini Wardojo mematok harga jual Istana Gebang, yang dikenal warga sekitar dengan sebutan Dalem Gebang, senilai Rp 50 miliar.

Namun, setelah proses tawar-menawar, akhirnya harga Rp 35 miliar disepakati. “Prinsipnya, soal harga sudah ada deal dengan pihak ahli waris. Rencananya, Istana Gebang yang merupakan bangunan cagar budaya ini akan kami jadikan Museum Bung Karno,” ujar Wali Kota Blitar Samanhudi Anwar , Jumat (26/11/2010) malam.

Samanhudi mengaku, pihak keluarga pada awalnya tetap bersikukuh menjual rumah itu dengan harga tinggi. Namun, Pemkot Blitar jelas tidak akan mampu membelinya. Pihaknya kemudian menawarkan agar aset Istana Gebang, sekitar 2 km ke arah selatan dari Makam Bung Karno ini, ditetapkan sebagai salah satu bangunan cagar budaya.

Tujuannya agar Istana Gebang tidak dipindahtangankan ke pihak asing yang juga tertarik. Namun, karena ahli waris bersikukuh menjual, setelah beberapa kali pertemuan, akhirnya harga Rp 35 miliar disepakati.

“Karena ini merupakan peninggalan budaya bernilai sejarah tinggi dan mampu menarik wisatawan, pemkot berupaya mengelolanya menjadi paket pariwisata selain wisata makam Bung Karno,” tandasnya.

Samanhudi juga menjelaskan, pembelian Istana Gebang yang berdiri di lahan seluas 1,4 hektar ini bakal direalisasikan pada anggaran tahun depan.

Sumber: surya.co.id