Melihat rakyat yang tak mampu sekolah, merasakan tidur bersama saudara serakyat di kolong jembatan, mencoba tinggal di beberapa daerah yang mayoritas penduduknya tidak memiliki WC karena ketiadaan dana untuk membuatnya sehingga harus sembarangan untuk BAB (buang air besar), menemani para pengemis di jalanan tatkala matahari berada di meridian langit, dan pelbagai keadaan mengiris hati dari mayoritas masyarakat Indonesia yang sekitar dua bulan ini saya mencoba membaur hidup bersama mereka benar-benar membuat jiwa ini merasa letih untuk melukiskan kondisi mereka melalui tulisan. Mata ini terasa lelah setelah air mata deras terkuras, dan sampai saat ini sesekali masih saja meneteskan merenungkan keadaan mereka yang sangat timpang dengan beberapa kalangan menengah ke atas yang jumlahnya masih cukup minim di negeri yang melimpah dengan kekayaan alam ini.
Pelbagai reaksi atas kenyataan ini dari para ‘pekerja keras’ kalangan menengah ke atas pun beragam. Sebagian dari mereka ada yang mencoba membantu ala kadarnya secara personal, ada hanya bisa mengurut dada sebagai ekspresi rasa haru memandang kenyataan mayoritas saudaranya yang mendiami negara yang subur dengan korupsinya ini, ada pula yang cukup tenang atas keadaan ini dengan mengeluarkan statemen bahwasanya semua ini sudah menjadi hukum alam (takdir) sehingga merasa tiada perlu mengeluarkan energi secara maksimal karena realitasnya toh dimana-mana kemiskinan memang itu ada, sebagian yang lain juga ada yang beranggapan apabila kemiskinan adalah suatu fenomena yang terjadi karena pilihannya seperti malas bekerja, dan pernyataan-pernyataan lainnya yang ditujukan pada penduduk mayoritas yang berada di Indonesia ini.
Mirisnya lagi, kemiskinan yang menjerat mereka sehingga tak mampu mendapatkan pendidikan dan pelayanan kesehatan dengan baik, banyak kalangan mengeksploitasinya demi keuntungan pribadinya, seperti banyak dari kalangan politisi, media massa, pengusaha, peneliti, agamawan, hingga kalangan yang bernaung di lembaga pendidikan. Kenyataan yang seperti ini pula yang mebuat saya terkadang merasa malas bertemu kalangan politisi yang saya nilai busuk, memandang kalangan agamawan dan guru / dosen yang hanya berkutat pada buku-buku hingga perilakunya terpasung pada dunia teoritis dan terlebih lagi bagi mereka yang terlibat secara langsung dalam mengais keuntungan atas kemiskinan, dan berbagai kalangan lainnya yang busuk-busuk.
Sejenak saya merenungkan akan berapa banyak para politisi yang lahir dari bermacam latar belakang? Berapa banyak lembaga pendidikan di Indonesia baik formal maupun non formal? Berapa banyak setiap tahuannya skripsi, tesis, disertasi yang dihasilkan mahasiswa Indonesia? Berapa banyak alumnus S1, S2, S3? Mengapa dengan adanya kalangan menengah ke atas seperti yang tersebut, tidak mampu memperbaiki Indonesia, yang sering terdengar justru nyanyian kemiskinan saja dengan beragam liriknya. Termasuk fenomena di Kompasiana ini, antara pihak-pihak yang membiarkan kemiskinan serta mendukung pemerintah melalui pelbagai gaya dengan pihak-pihak yang mencoba mengusahakan membantu kalangan tertindas yang mayoritas mendiami negeri yang luasnya dari Sabang sampai Merauke.
Ya Allah, tidak banyak yang kupinta untuk negeri ini; kumohon cepatkanlah kelahiran revolusi damai di negeri ini, cepatkanlah terwujudnya kesejahteraan untuk bangsa ini dalam bingkai ridho-Mu. Kuatkan jiwa, akal-pikiran, dan tenaga ini untuk menggapainya….
Wahyu NH. Aly
Sumber: kompasiana.com