Dieng adalah sebuah kawasan di
daerah dataran tinggi di perbatasan antara Kabupaten Banjarnegara dan
Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Desa Dieng terbagi menjadi Dieng Kulon,
Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara dan Dieng Kidul, Kecamatan
Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Kawasan ini terletak sekitar 26 km di
sebelah Utara ibukota Kabupaten Wonosobo, dengan ketinggian mencapai
2.093 m di atas permukaan laut. Suhu di Dieng sejuk mendekati dingin.
kampungtki.com
Dataran Dieng memiliki potensi wisata
yang cukup tinggi. Banyak candi peninggalan Hindu di pegunungan Dieng (
Jawa Tengah ) sepertinya tidak banyak yang tahu. Dengan nama2 candi
seperti nama2 kehidupan di pewayangan, termasuk keberadaan Dewa2 di
Swarga Loka di Puncak Mahameru di Jawa Timur ( lihat tulisanku Sebuah Sisi Lain dari Puncak Mahameru di Gunung Semeru …..
) setidaknya ternyata kehidupan pewayangan di Tanah Jawa sangat kental
merasuki hati dan jiwa masyarakat Jawa pada waktu itu. Sebenarnya,
kehidupan pewayangan berasal dari India, dan masuk ke Indonesia setelah
agama Hindu pertama ada di tanah Jawa.
Candi-candi di dataran Dieng dipercaya
sebagai tanda awal peradaban Hindu di Pulau Jawa pada masa Sanjaya pada
abad ke-8. Hal ini ditunjukkan dengan adanya gugusan candi di Dieng yang
memuja Dewa Syiwa. Candi-candi tersebut antara lain: Candi Arjuna,
Candi Srikandi, Candi Puntadewa, Candi Sembadra, Candi Gatot Kaca.
Sedangkan untuk penamaan candi-candi itu sendiri dipercaya baru dimulai
pada abad ke-19. Relief2 candi mengikuti kehidupan pewayangan, dibuat
dari batuan Andesit.
Kompleks Candi Arjuna, yaitu Candi yang paling dekat dari antara kompleks candi yg lain di dataran tinggi Dieng.
Dieng terbentuk dari gunung api tua yang
mengalami penurunan drastis ( dislokasi ), oleh patahan arah barat laut
dan tenggara. Gunung api tua itu adalah Gunung Prau. Pada bagian yang
ambles itu muncul gunung-gunung kecil yaitu: Gunung Alang, Gunung
Nagasari, Gunung Panglimunan, Gunung Pangonan, Gunung Gajahmungkur dan
Gunung Pakuwaja.
Mencari asal kata Dieng, ternyata
berasal dari bahasa Sunda kuno yang berarti ‘gunung’ dan ‘Hyang’ yang
artinya tempat bersemayam dewa dan dewi. Dan memang pantas, jika daerah
pegunungan Dieng dijadian tempat bersemayam dewa dewi, dengan
pemandangannya yang sangat indah. Belum lagi Danau 7 Warnanya, yang
seakan2 ‘menarik’ jiwa untuk masuk ke kehidupan Dieng ….. Dataran Dieng
memang terkenal dengan sebutan ‘kawah danau’. Danau-danau ini sebenarnya
seperti danau yang lain, tetapi karena ada di dataran tinggi, sering
kali sinar matahari memancarkan sinarnya dan saling berpantulan
membentuk prisma sehingga di waktu2 tertentu akan terlihat warna-warna khusus
…..
Sangat pantas ketika banyak orang berkata bahwa daerah ini salah satu negeri
dewa-dewi di Tanah Jawa. Indah …..
Cerita tentang kawah Candradimuka
juga merupakan kehidupan cerita pewayangan Jawa. Yaitu suatu tempat yang
konon merupakan ‘neraka’ untuk menceritakan penggojlokkan untuk mereka
bisa lebih ’sakti’ di dunia pewayangan, seperti kisah Gatot Kaca.
Dikisahkan, bahwa Gatot Kaca ( anak dari Bima dan Arimbi, salah satu
Pandawa bersaudara ) sewaktu bayi, ‘direbus’ sehingga tulang2 dan
otot2nya sekeras baja. Dan memang demikian, bahwaGatot Kaca meruakan
tokoh yang sangat kuat mandraguna.
Illustrasi Kawah Candradimuka, tempat penggojlokkan Gatot Kaca …..
Napak tilas anak-anak berambut gimbal
Aku menjalani napak tilas kehidupan
pewayangan tanah Jawa, kegemaranku. Satu demi satu, aku merenungkan dan
merasakan dan ternyata bulu kudukku sedikit meremang ….. Diceritakan
juga, Arjuna, anak ke-3 Pandawa Lima, bertapa dihutan bertahun2 dimana
dia tidak berinteraksi dengan saudara2nya. Dan berjalan2 di seputar
candi itu, terdapat banyak hutan, walau tidak seberapa besar, tetapi aku
tetap membayangan kehidupan Arjuna yang sedang bertapa untuk menambah
kesaktiannya, konon pada waktu itu.
Anak2kecil penduduk Dieng, berlari2 dan
bermain disekitar hunian. Dengan rambut gimbalnya yang khas, wajah polos
anak2 itu terus membayang di mataku. Mereka sangat ceria meninggalkan
bekas yang dalam di hatiku.
Tidak selalu anak Dieng lahir dengan
rambut gimbal. Itulah sebabnya, jika ada anak terlahir dengan rambut
gimbal, dipercaya sebagai titipan penguasan alam gaib. Rambut ini bisa
dipotong jika ada permintaan dari si empunya rambut tetapi tidak bisa
jika ada intervensi pihak lain, tergantung orang tuanya. Permintaan
tersebut harus dipenuhi, tidak boleh kurang atau lebih. Kadang si anak
bisa meminta apa saja, belum lagi pelaksanaan ruwatan gembel
atau ritus pemotongan rambut gimbal yang membutuhkan biaya cukup besar.
Konon katanya, apabila permintaan si anak tidak dikabulkan maka si anak
akan kembali sakit dan rambut gimbalnya kembali tumbuh.
‘Ruwatan’ rambut gimbal yang memakan biaya besar karena membawa
cerita dari alam gaib.
Gunung Dieng ternyata merupakan salah satu gunung yang masih aktif di tanah Jawa
Beberapa gunung api masih aktif dengan
karakteristik yang khas. Magma yang timbul tidak terlalu kuat tidak
seperti pada Gunung Merapi. Sedangkan letupan-letupan yang terjadi
adalah karena tekanan air bawah tanah oleh magma yang menyebabkan
munculnya beberapa gelembung-gelembung lumpur panas. Fenomena ini antara
lain dapat dilihat pada Kawah Sikidang atau Kawah Candradimuka.
Kawah Sikidang dan Kawah Candradimuka yang sering terjadi aftifitas erupsi yang berbahaya bagi
penduduk sekitar.
Tanggal 29 Mei 2011, status gunung Dieng dinaikkan menjadi ’siaga’ karena adanya aktifitas erupsi di Kawah Sikidang. Erupsi bersifat ‘freatic’ yaitu lumpur, gas dan uap dan diantaranya gas beracun serta tidak tampak dan tidak berbau. ( Kompas.com ).
Kehidupan di dataran Dieng memang
seperti kehidupan yang sangat magis. Para ‘dewa dan dewi’ yang
‘mendiami’ daerah ini memang menjadi fenomena sosiologis yang bisa
membuat pedapatan daerah Wonosobo bertambah. Tetapi sangat disayangkan,
fasilitas2 untuk wisata sangat terbatas.
Seandainya saja pemerintah dapat
meningkatkan fasilitas2 itu, pastilah kehidupan para dewa dan dewi di
dataran Dieng ini dapat dikenal dimana-mana.
Christie Damayanti
www.kompasiana.com