Sabtu, 23 Oktober 2010
Angklung Diakui Unesco Sebagai Warisan Budaya Dunia
Kesenian angklung mendapatkan pengakuan sebagai salah satu warisan budaya dunia dari Unesco. Prosesi pengukuhan rencannya akan dilangsungkan November mendatang. “Ya, dikukuhkan sebagai warisan budaya dunia yang berasal dari Indonesia,” kata Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk Unesco, Prof Arief Rachman di Bandung, Senin (18/10).
Sebelum angklung, pengakuan serupa diterima Indonesia untuk sejumlah warisan budaya yaitu keris, wayang, dan batik. Sejumlah kesenian lainnya yang saat ini tengah diupayakan untuk mendapatkan pengakuan adalah Tari Saman asal Nangroe Aceh Darussalam serta budaya tenun. “Pengakuan ini untuk kepentingan pengetahuan dan kebudayaan,” katanya.
Arif mengingatkan, ada sejumlah catatan yang harus dilakukan pemerintah Indonesia dengan adanya pengakuan itu. Yakni kebijakan untuk melindungi, menyebarluaskan, serta pewarisan pada generasi penerus.
Duta besar Indonesia untuk Unesco, Tresna Dermawan Kunaefi mengatakan, pelestarian budaya ini tidak cukup hanya sebatas mendapatkan pengakuan. ”Yang jadi utama adalah bagaimana mengkonservasi apa yang kita miliki, tapi juga mensejahterakan masyarakat,” katanya.
Menurut tresna, dengan pengakuan ini dunia menuntut Indonesia memberikan jaminan bahwa budaya itu tetap lestari dan menjadi bagian kehidupan sehari-hari. Dia memuji langkah Koperasi Batik Pekalongan, yang memfasilitasi masuknya pendidikan soal batik dalam kurikulum sekolah. ”Itu menjadi jaminan kontinuitas pelestarian budaya batik akan terus berlanjut,” kata Tresna.
Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengatakan, akan menyiapkan program khusus menyambut pengakuan itu. ”Kami akan bikin action-plan untuk mengembangkannya terus menerus,” katanya. Di antaranya dengan memasukkan keseniang angklung ke sekolah. ”Kalau tidak jadi kurikulum di sekolah, itu jadi bagian seni budaya yang hadir di setiap sekolah,” kata Heryawan.
Bagi Ahmad, sekolah menjadi lembaga yang diandalkan karena lembaga itu tersebar di mana-mana. Dengan keberadaannya itu, memungkinkan memanfaatkan untuk melestarikan kesenian itu dibandingkan lembaga lainnya.
Sumber: tempointeraktif.com
Potensi Kerugian Negara dari Pajak, Mencapai Rp 80 Triliun
Tertangkapnya Gayus Tambunan (GT) sebagai tersangka mafia pajak yang bernaung di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak membuka benang merah kasus markus (makelas kasus) lainnya. Dalam Rapat Dengar Pendat (RDP) Komisi XI (Bidang Keuangan) dengan jajaran Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, terungkap adanya potensi sekitar 10% dari petugas pajak melakukan markus. Akibat hal ini, diperkirakan kebocoran keuangan negara dari sektor pajak mencapai Rp 80 triliun.
NERACA
"Maka untuk mengatasinya kalau perlu seluruh pegawai Ditjen Pajak melakukan Sumpah Pocong, agar kinerjanya dapat dilakukan dengan jujur," kata Muradi Darmansyah anggota Komisi XI dari Fraksi Partai Hanura dalam RDP, di Jakarta, Rabu (7/4). Hadir dalam RDP antara lain Ditjen Pajak Mochammad Tjiptardjo serta rapat dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi XI DPR Melchias Marcus Mekeng.
Menurut Muradi, untuk menghindari praktik markus pertama yang harus diperbaiki adalah aspek moral. Ini diharapkan setiap pegawai pajak tidak melakukan hal yang sama yakni melakukan markus seperti yang dilakukan oleh GT. Sebab, lanjut Muradi, apabila ada 10% yang bermain markus sedikitnya 23 ribu pegawai pajak melakukan tindakan markus. 1 Muradi menilai, terbukanya kasus Gayus menjadi contoh yang tidak baik dalam internal Kementerian Keuangan khususnya Ditjen Pajak. Bahkan, kasus GT dapat memicu rasa sakit masyarakat dengan melampiaskan melalui pemboikotan bayar pajak, "bagaimana diupayakan agar boikot pajak tidak jadi penyakit atau musibah," katanya.
Sementara, menurut Nusron Wahid politikus Fraksi Golkar, Ditjen Pajak senantiasa berkelit jika menghadapi masalah di internal Kementeriannya. Dia menyebutkan, salah satunya ketika rendahnya tax ratio karena iklim investasi di Indonesia masih mengandalkan kebijakan stimulus dan kemudahan bagi investor.
Hanya saja, kata Nusron, hipotesa yang selama ini dianut oleh birokrat yang berwenang selalu mengutip upeti bagi negara itu, bahkan dapat dimentahkan dengan merebaknya kasus mafia kasus pajak. "Kasus Gayusitu merupakan jawaban bahwa hipotesa Dirjen Pajak tentang rendahnya tax ratio di Indonesia karena banyaknya markus-markus seperti Gayus," tegasnya.
Nusron mencontohkan, tax ratio di negara-negara maju hingga 16% dari total Produk Domestik Bruto (PDB). "Dengan asumsi tax ratio Indonesia mencapai 16% dari total PDB, maka markus-markus baik yang berdasi maupun yang kelas teri akan memakan setidaknya Rp 204 triliun potensi pajak nasional," urainya.
Bahkan Ditjen Pajak Mochammad Tjiptardjo masih membanggakan dirinya dengan menyatakan bahwa dirinya telah berhasil menagih para penunggak wajib pajak (WP). Adapun besar tunggakan yang berhasil ditagihnya sebesar Rp 5,6 triliun dari 100 WP besar yang menjadi penunggak pajak besar selama kuartal I tahun 2010. Dengan demikian tagihan pajak yang tersisa dari 100 UV besar tersebut adalah Rp 11,9 triliun dari tagihan sebelumnya di awal tahun yang tercatat sebesar Rp 17,5 triliun. "Selama kurun waktu tiga bulan turun Rp 5,6 triliun dari berbagai macam cara," katanya.
Menurut Tjiptardjo, pengurangan tagihan tersebut diperoleh dari pembayaran" WP sebesar Rp 1,59 triliun, pemindahbukuan (satu sisi masih ada utang) sebesar Rp 3,81 triliun, yang berkaitan dengan keberatan sebesar Rp 24 miliar dan banding yang dimenangkan wajib pajak sebesar Rp 200 miliar. "Dengan demikian, Dirjen Pajak telah berhasil menyelesaikan 25% tagihan dari target 44% di tahun 2010 ini hingga Maret 2010. ladi realisasinya sudah sesuai rencana," paparnya.
Namun, Ditjen Pajak tetap melakukan langkah-langkah untuk terus menagih tunggakan termasuk 11 BUMN. Caranya dengan melayangkan 100 surat tagihan dan tegoran. Maka 13 WP diantaranya sudah dilakukan penyitaan, diantaranya 5 sudah dalam proses lelang, 10 WP sudah dilakukan pemblokiran rekening, pencegahan ke luar negeri terhadap 12 WP dan penyanderaan terhadap satu WP.
BUMN Tunggak Pajak
Menurut Tjiptardjo, berdasarkan data pajak per l.ii[ii,iM 2010 masih terdapat 16 BUMN yang masih memiliki tunggakan pajak hingga Rp 6,5 triliun. Na mun jumlah tunggakan tersebut sudah berkurang sebesar Rp 3,8 triliun atas pembayaran 5 perusahaan BUMN. "Sehingga sisa jumlah tunggakan untuk 11 perusahaan BUMN yang masih tersisa sebesar Rp 2,6 triliun. Sedangkan uang yang sudah dicairkan Rp 3,8 triliun dari 5 wajib pajak," jelasnya.
Sedangkan untuk ke-11 perusahaan penunggak pajak tersebut, Tjiptardjo menyatakan telah melayangkan surat teguran dan telah dilakukan penindakan. Akan tetapi, terdapat perusahaan BUMN yang sama sekali tidak memiliki aset, tetapi ada juga yang memiliki aset namun tidak mampu membayar tunggakan. Untuk perusahaan seperti iu, Tjipatrdjo menegaskan perlunya penyitaan aset. "Saat ini telah dilakukan penindakan. Surat teguran, surat paksa, ada juga pemblokiran. Bahkan ada beberapa BUMN yang memang asetnya sudah gak ada. Ada juga yang BUMN yang memang nggak memungkinkan bayar, saya usulkan asetnya disita," tambah nya.
Harian Ekonomi Neraca
NERACA
"Maka untuk mengatasinya kalau perlu seluruh pegawai Ditjen Pajak melakukan Sumpah Pocong, agar kinerjanya dapat dilakukan dengan jujur," kata Muradi Darmansyah anggota Komisi XI dari Fraksi Partai Hanura dalam RDP, di Jakarta, Rabu (7/4). Hadir dalam RDP antara lain Ditjen Pajak Mochammad Tjiptardjo serta rapat dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi XI DPR Melchias Marcus Mekeng.
Menurut Muradi, untuk menghindari praktik markus pertama yang harus diperbaiki adalah aspek moral. Ini diharapkan setiap pegawai pajak tidak melakukan hal yang sama yakni melakukan markus seperti yang dilakukan oleh GT. Sebab, lanjut Muradi, apabila ada 10% yang bermain markus sedikitnya 23 ribu pegawai pajak melakukan tindakan markus. 1 Muradi menilai, terbukanya kasus Gayus menjadi contoh yang tidak baik dalam internal Kementerian Keuangan khususnya Ditjen Pajak. Bahkan, kasus GT dapat memicu rasa sakit masyarakat dengan melampiaskan melalui pemboikotan bayar pajak, "bagaimana diupayakan agar boikot pajak tidak jadi penyakit atau musibah," katanya.
Sementara, menurut Nusron Wahid politikus Fraksi Golkar, Ditjen Pajak senantiasa berkelit jika menghadapi masalah di internal Kementeriannya. Dia menyebutkan, salah satunya ketika rendahnya tax ratio karena iklim investasi di Indonesia masih mengandalkan kebijakan stimulus dan kemudahan bagi investor.
Hanya saja, kata Nusron, hipotesa yang selama ini dianut oleh birokrat yang berwenang selalu mengutip upeti bagi negara itu, bahkan dapat dimentahkan dengan merebaknya kasus mafia kasus pajak. "Kasus Gayusitu merupakan jawaban bahwa hipotesa Dirjen Pajak tentang rendahnya tax ratio di Indonesia karena banyaknya markus-markus seperti Gayus," tegasnya.
Nusron mencontohkan, tax ratio di negara-negara maju hingga 16% dari total Produk Domestik Bruto (PDB). "Dengan asumsi tax ratio Indonesia mencapai 16% dari total PDB, maka markus-markus baik yang berdasi maupun yang kelas teri akan memakan setidaknya Rp 204 triliun potensi pajak nasional," urainya.
Bahkan Ditjen Pajak Mochammad Tjiptardjo masih membanggakan dirinya dengan menyatakan bahwa dirinya telah berhasil menagih para penunggak wajib pajak (WP). Adapun besar tunggakan yang berhasil ditagihnya sebesar Rp 5,6 triliun dari 100 WP besar yang menjadi penunggak pajak besar selama kuartal I tahun 2010. Dengan demikian tagihan pajak yang tersisa dari 100 UV besar tersebut adalah Rp 11,9 triliun dari tagihan sebelumnya di awal tahun yang tercatat sebesar Rp 17,5 triliun. "Selama kurun waktu tiga bulan turun Rp 5,6 triliun dari berbagai macam cara," katanya.
Menurut Tjiptardjo, pengurangan tagihan tersebut diperoleh dari pembayaran" WP sebesar Rp 1,59 triliun, pemindahbukuan (satu sisi masih ada utang) sebesar Rp 3,81 triliun, yang berkaitan dengan keberatan sebesar Rp 24 miliar dan banding yang dimenangkan wajib pajak sebesar Rp 200 miliar. "Dengan demikian, Dirjen Pajak telah berhasil menyelesaikan 25% tagihan dari target 44% di tahun 2010 ini hingga Maret 2010. ladi realisasinya sudah sesuai rencana," paparnya.
Namun, Ditjen Pajak tetap melakukan langkah-langkah untuk terus menagih tunggakan termasuk 11 BUMN. Caranya dengan melayangkan 100 surat tagihan dan tegoran. Maka 13 WP diantaranya sudah dilakukan penyitaan, diantaranya 5 sudah dalam proses lelang, 10 WP sudah dilakukan pemblokiran rekening, pencegahan ke luar negeri terhadap 12 WP dan penyanderaan terhadap satu WP.
BUMN Tunggak Pajak
Menurut Tjiptardjo, berdasarkan data pajak per l.ii[ii,iM 2010 masih terdapat 16 BUMN yang masih memiliki tunggakan pajak hingga Rp 6,5 triliun. Na mun jumlah tunggakan tersebut sudah berkurang sebesar Rp 3,8 triliun atas pembayaran 5 perusahaan BUMN. "Sehingga sisa jumlah tunggakan untuk 11 perusahaan BUMN yang masih tersisa sebesar Rp 2,6 triliun. Sedangkan uang yang sudah dicairkan Rp 3,8 triliun dari 5 wajib pajak," jelasnya.
Sedangkan untuk ke-11 perusahaan penunggak pajak tersebut, Tjiptardjo menyatakan telah melayangkan surat teguran dan telah dilakukan penindakan. Akan tetapi, terdapat perusahaan BUMN yang sama sekali tidak memiliki aset, tetapi ada juga yang memiliki aset namun tidak mampu membayar tunggakan. Untuk perusahaan seperti iu, Tjipatrdjo menegaskan perlunya penyitaan aset. "Saat ini telah dilakukan penindakan. Surat teguran, surat paksa, ada juga pemblokiran. Bahkan ada beberapa BUMN yang memang asetnya sudah gak ada. Ada juga yang BUMN yang memang nggak memungkinkan bayar, saya usulkan asetnya disita," tambah nya.
Harian Ekonomi Neraca
ICW: Ada Potensi Penyimpangan BOS
NERACA
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kembali menemukan penyimpangan di Kementerian Pendidikan Nasional (Ke-mendiknas). Pada institusi tersebut ditemukan sekitar dana Rp 1,2 triliun yang diduga telah selewengkan dalam pelaksanaan tahun anggaran 2009. Ironisnya, penyimpangan itu terjadi dalam tubuh instansi yang notabene masih buruh biaya besar dalam penyediaan infrastruktur pendidikan.
Sesuai janji pemerintah, telah mengalokasi anggaran setidaknya 20% dalam APBN untuk alokasi pendidikan. Tujuannya adalah untuk membangun infrastruktur didalam pendidikan seperti pembangunan sekolah ataupun sarana dan prasarana. Namun pada kenyataannya dana tersebut tidak sampai 20% yang disalurkan."Sehingga anggaran 20% tersebut hanyalah akal-akal dari pemerintah agar terlihat penyiasatan konstitusional," kata Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesian Corruption Watch (ICW) Ade Irawan kepada Neraca di Jakarta, Senin (29/3).
Ade menambahkan, pada 2009 Kementerian Diknas mendapat anggaran Rp 230 triliun. Tetapi, dalam pelaksanaanya, anggaran tersebut tidak dibelanjakan secara efektif dan tepat sasaran. Bahkan, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) telah menemukan dana sedikitnya Rp 9 triliun yang salah sasaran dalam penyaluran dana alokasi khusus (DAK) yang dikeluarkan oleh Kemendiknas."Hal tersebut diperparah dengan rendahnya moralitas pendidikan, mulai tingkat pusat (Kemendiknas) hingga Kepala Sekolah. Semuanya bermain dalam penyaluran anggaran pendidikan," jelasnya.
Ade memaparkan, hal berpotensi dalam penyelewengan dana yaitu pada aliran biaya operasional sekolah (BOS). Sebab program tersebut banyak menyerap biaya pada divisi sosialisasi. Bahkan, terkadang jika Kepala Sekolah ingin membangun gedung ataupun meminta program pendidikan mereka harus memberikan upeti untuk Dinas Pendidikan tingkat daerah. "Maka tidak heran jika pendidikan dinegara ini lamban dalam pengembangannya. Sudah dananya kurang masih disunat pula oleh lembaga terkait dibidangnya," tegasnya.
Anggota BPK RI Rizal Djalil menegaskan, anggaran Rp 1,2 triliun ini sebenarnya tidak disetujui oleh Mendiknas untuk dikucurkan. Ketikdaksetujuan ini diungkapkan dalam surat Nomor 184/MPN/KU/2003 pada tanggal 28 November 2008. Diduga penyelewengan anggaran Rp 1,2 triliun yang dialokasikan kepada 21 universitas di Indonesia."Saat ini kita membentuk tim audit investigasi untuk menelusuri dana tersebut. Dalam audit investigasi tersebut nantinya kita akan cenderung pada konteks kejelasan status, kenapa bisa turun uangnya ke universitas-universitas, itu di tahun anggaran 2009," jelasnya.
Saat ini BPK akan membentuk tim audit investigasi untuk menelusuri dana tersebut. Dalam audit investigasi tersebut nanti akan cenderung pada konteks kejelasan status, kenapa bisa turun uangnya ke universitas-universitas, di tahun anggaran 2009. "Dalam rangka melaksanakan tata kelola keuanga negara yang baik, BPK ingin agar hal-hal seperti ini tidak akan terjadi lagi," jelasnya.
Diknas Membantah
Secara terpisah, Wakil Mendiknas Fasli Jalal membantah jika terjadi pengucuran dana yang salah sasaran sebesar Rp 1,2 triliun. Menurut dia, perencanaan anggaran bisa dilakukan dalam dua lapisan, bisa melalui Kementerian Keuangan atau bisa langsung lewat Kementerian Pendidikan Nasional. "Jadi ada anggaran langsung ke Kemendiknas dan ada yang langsung dari Kementerian Keuangan. Dalam hal ini, Rp 1,2 triliun, Kemendiknas sudah melakukan prosedur dan proses secara benar," urainya.Bahkan Kemendiknas, meminta tambahan biaya di anggaran APBN-P 2010 sebesar Rp 55 triliun. Karena ini bagian dari usulan APBNP, namun harus ada dialog dengan DPR dan pada akhirnya persetujuannya ada di DPR. Selain itu dana tersebut juga digunakan untuk menyelesaikan program wajib belajar dan menambah tunjangan untuk guru-guru di perbatasan atau daerah terpencil. "Untuk itu kami menunggu hasil akhir dari dialog pemerintah dengan DPR," jelasnya.
Menurut Ketua Badan Anggaran DPR Harry Azhar Aziz, jika memang terdapat penyelewengan di Kemendiknas silahkan saja telusuri. Temuan tersebut bisa saja ada, yang jelas DPR akan mendukung penuh jika memang terdapat temuan.Harry memaparkan, sebenarnya lembaga pemerintahan yang paling nyaman adalah Kemendiknas. Sebab tidak pernah mendapat tekanan dari pemerintah terkait anggaran yang digunakannya. Selain itu, setiap pemerintah menaikan anggaran APBN-P, Kemendiknas selalu mendapatkan 20% dari tambahan anggaran APBN-P tersebut. "Sehingga tanpa harus meminta Kemendiknas sudah dapat tambahan biaya," jelasnya.
Sumber: www.bataviase.co.id
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kembali menemukan penyimpangan di Kementerian Pendidikan Nasional (Ke-mendiknas). Pada institusi tersebut ditemukan sekitar dana Rp 1,2 triliun yang diduga telah selewengkan dalam pelaksanaan tahun anggaran 2009. Ironisnya, penyimpangan itu terjadi dalam tubuh instansi yang notabene masih buruh biaya besar dalam penyediaan infrastruktur pendidikan.
Sesuai janji pemerintah, telah mengalokasi anggaran setidaknya 20% dalam APBN untuk alokasi pendidikan. Tujuannya adalah untuk membangun infrastruktur didalam pendidikan seperti pembangunan sekolah ataupun sarana dan prasarana. Namun pada kenyataannya dana tersebut tidak sampai 20% yang disalurkan."Sehingga anggaran 20% tersebut hanyalah akal-akal dari pemerintah agar terlihat penyiasatan konstitusional," kata Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesian Corruption Watch (ICW) Ade Irawan kepada Neraca di Jakarta, Senin (29/3).
Ade menambahkan, pada 2009 Kementerian Diknas mendapat anggaran Rp 230 triliun. Tetapi, dalam pelaksanaanya, anggaran tersebut tidak dibelanjakan secara efektif dan tepat sasaran. Bahkan, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) telah menemukan dana sedikitnya Rp 9 triliun yang salah sasaran dalam penyaluran dana alokasi khusus (DAK) yang dikeluarkan oleh Kemendiknas."Hal tersebut diperparah dengan rendahnya moralitas pendidikan, mulai tingkat pusat (Kemendiknas) hingga Kepala Sekolah. Semuanya bermain dalam penyaluran anggaran pendidikan," jelasnya.
Ade memaparkan, hal berpotensi dalam penyelewengan dana yaitu pada aliran biaya operasional sekolah (BOS). Sebab program tersebut banyak menyerap biaya pada divisi sosialisasi. Bahkan, terkadang jika Kepala Sekolah ingin membangun gedung ataupun meminta program pendidikan mereka harus memberikan upeti untuk Dinas Pendidikan tingkat daerah. "Maka tidak heran jika pendidikan dinegara ini lamban dalam pengembangannya. Sudah dananya kurang masih disunat pula oleh lembaga terkait dibidangnya," tegasnya.
Anggota BPK RI Rizal Djalil menegaskan, anggaran Rp 1,2 triliun ini sebenarnya tidak disetujui oleh Mendiknas untuk dikucurkan. Ketikdaksetujuan ini diungkapkan dalam surat Nomor 184/MPN/KU/2003 pada tanggal 28 November 2008. Diduga penyelewengan anggaran Rp 1,2 triliun yang dialokasikan kepada 21 universitas di Indonesia."Saat ini kita membentuk tim audit investigasi untuk menelusuri dana tersebut. Dalam audit investigasi tersebut nantinya kita akan cenderung pada konteks kejelasan status, kenapa bisa turun uangnya ke universitas-universitas, itu di tahun anggaran 2009," jelasnya.
Saat ini BPK akan membentuk tim audit investigasi untuk menelusuri dana tersebut. Dalam audit investigasi tersebut nanti akan cenderung pada konteks kejelasan status, kenapa bisa turun uangnya ke universitas-universitas, di tahun anggaran 2009. "Dalam rangka melaksanakan tata kelola keuanga negara yang baik, BPK ingin agar hal-hal seperti ini tidak akan terjadi lagi," jelasnya.
Diknas Membantah
Secara terpisah, Wakil Mendiknas Fasli Jalal membantah jika terjadi pengucuran dana yang salah sasaran sebesar Rp 1,2 triliun. Menurut dia, perencanaan anggaran bisa dilakukan dalam dua lapisan, bisa melalui Kementerian Keuangan atau bisa langsung lewat Kementerian Pendidikan Nasional. "Jadi ada anggaran langsung ke Kemendiknas dan ada yang langsung dari Kementerian Keuangan. Dalam hal ini, Rp 1,2 triliun, Kemendiknas sudah melakukan prosedur dan proses secara benar," urainya.Bahkan Kemendiknas, meminta tambahan biaya di anggaran APBN-P 2010 sebesar Rp 55 triliun. Karena ini bagian dari usulan APBNP, namun harus ada dialog dengan DPR dan pada akhirnya persetujuannya ada di DPR. Selain itu dana tersebut juga digunakan untuk menyelesaikan program wajib belajar dan menambah tunjangan untuk guru-guru di perbatasan atau daerah terpencil. "Untuk itu kami menunggu hasil akhir dari dialog pemerintah dengan DPR," jelasnya.
Menurut Ketua Badan Anggaran DPR Harry Azhar Aziz, jika memang terdapat penyelewengan di Kemendiknas silahkan saja telusuri. Temuan tersebut bisa saja ada, yang jelas DPR akan mendukung penuh jika memang terdapat temuan.Harry memaparkan, sebenarnya lembaga pemerintahan yang paling nyaman adalah Kemendiknas. Sebab tidak pernah mendapat tekanan dari pemerintah terkait anggaran yang digunakannya. Selain itu, setiap pemerintah menaikan anggaran APBN-P, Kemendiknas selalu mendapatkan 20% dari tambahan anggaran APBN-P tersebut. "Sehingga tanpa harus meminta Kemendiknas sudah dapat tambahan biaya," jelasnya.
Sumber: www.bataviase.co.id
Anggaran (APBN)Terus Naik, Pendidikan Kian Mahal
Kenaikan anggaran pendidikan secara signifikan sejak 2005 ternyata tak membuat biaya pendidikan menurun. Dalam APBN-P 2010, pemerintah menaikkan anggaran pendidikan Rp 11,9 triliun dari Rp 209,5 triliun menjadi Rp 221,4 triliun, tetapi biaya pendidikan terus meningkat, akibat belanja pendidikan yang tidak tepat sasaran. Kenaikan terebut merupakan amanat UUD 1945, yang mensyaratkan anggar- an pendidikan minimal 20 persen dari APBN. Ironisnya lagi, kualitas pendidikan juga belum beranjak naik.
Berdasarkan data BPS, kenaikan biaya pendidikan pada Juli 2009 dibanding tahun 2000 mencapai 227 persen.
Pada 2000, indeks harga biaya pendidikan berada di level 100, sedangkan pada 2009 mencapai 327. Kenaikan itu berada jauh di atas kenaikan harga secara umum yang mencapai 115 persen dan kenaikan harga pangan sebesar 122 persen.
Menurut ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani, meningkatnya indeks harga biaya pendidikan di tengah terus bertambahnya anggaran pendidikan yang disediakan APBN, disebabkan alokasi anggaran pendidikan itu yang tidak tepat sasaran. Akibatnya, tidak mampu mengurangi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan masyarakat.
“Dampaknya tentu ke inflasi. Jadi unsur pemerataan dari alokasi anggaran pendidikan kurang memperhatikan kegiatan usaha ekonomi,” jelasnya di Jakarta.
Anggaran pendidikan yang tahun ini mencapai Rp 221,4 triliun tersebut, menurut Aviliani, belum sejalan dengan penyusunan kebutuhan program pendidikan. “Pemerintah bingung untuk menyalurkan dana tersebut. Kebijakan menjadi tidak terarah,” ujarnya.
Hal senada diungkapkan ekonom Anton H Gunawan. Alokasi anggaran pendidikan belum menyentuh sektor yang mampu meredam belanja pendidikan masyarakat.
Setiap tahun ajaran baru, terjadi kenaikan laju inflasi yang cukup signifikan, khususnya disumbang sektor pendidikan.
Terkait hal itu, pakar pendidikan Utomo Dananjaya menuturkan pemerintah selama ini mendiskriminasi siswa dan mahasiswa dengan melaksanakan sistem pendidikan berstandar internasional dan menerapkan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP).
Pasalnya, sekolah berstandar internasional memungut uang pangkal hingga puluhan juta rupiah dan biaya masuk perguruan tinggi negeri (PTN) juga semakin mahal. Mahalnya biaya pendidikan, antara lain membuat hanya 14 persen siswa yang bisa melanjutkan kuliah ke pendidikan tinggi.
“Pemerintah berdagang sekolah di negerinya sendiri dengan mengesahkan sekolah memungut biaya pendidikan. Di sekolah negeri, ada yang memungut sampai Rp 21 juta,” katanya kepada SP di Jakarta, Jumat (12/3).
Meskipun total anggaran pendidikan dalam APBNP mencapai Rp 221,4 triliun, tetapi hanya sekitar Rp 60 triliun yang dialokasikan untuk program pendidikan. Sebagian besar anggaran digunakan untuk membayar gaji serta tunjangan guru dan dosen. Pendistribusian anggaran pendidikan pun dinilai belum adil.
Tahun lalu, pemerintah menambah anggaran untuk sekolah berstandar internasional Rp 300 juta. Padahal, sumbangannya untuk meningkatkan pendidikan nasional sangat minim.
“Sekolah berstandar internasional sudah memungut biaya mahalk, malah dikasih tambahan dana. Akibatnya, terjadi ketimpangan kualitas pendidikan antara sekolah berstandar internasional dengan sekolah biasa,” katanya.
Privatisasi Pendidikan
Sedangkan, pengamat pendidikan dari Majelis Luhur Taman Siswa, Darmaningtyas, menyatakan, mahalnya biaya pendidikan tak terlepas dari peraturan perundangan yang memungkinkan privatisasi pendidikan. Sekolah dan perguruan tinggi negeri mematok biaya pendidikan yang semakin mahal.
“Makin mahalnya biaya pendidikan bukan hanya asumsi, melainkan sudah terbukti secara empiris,” katanya.
Biaya yang semakin mahal, lanjutnya, membuat pendidikan hanya bisa diakses kalangan menengah ke atas. Banyak siswa dan mahasiswa dari keluarga kurang mampu tak bisa melanjutkan pendidikan karena ketiadaan biaya.
Lebih jauh dikatakan, kenaikan anggaran pendidikan dari tahun ke tahun ternyata tak semuanya mengalir untuk pembangunan pendidikan secara riil. Sebagian anggaran didistibusikan ke departemen lain dan juga ke daerah-daerah.
“Jumlah guru dan dosen yang lulus verifikasi bertambah terus, otomatis tunjangan profesi ikut bertambah. Setidaknya, 25% anggaran pendidikan hanya untuk pemberian tunjangan pendidikan, sehingga anggaran yang jatuh untuk pendidikan langsung tidak sebesar yang dikira,” katanya.
Anggaran pendidikan, kata Darmaningtyas, seharusnya difokuskan pada peningkatan fasilitas sekolah untuk meningkatkan akses masyarakat ke sekolah. Selain itu, anggaran yang ditransfer ke daerah juga harus disesuaikan dengan kebutuhan. “Biaya-biaya di Indonesia timur lebih mahal dibanding dengan Pulau Jawa sehingga tidak relevan bila biaya pendidikan di setiap daerah sama,” katanya.
Mengeruk Keuntungan
Senada dengannya, Koordinator Divisi Monitoring dan Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW), Ade Irawan pun menyatakan, biaya pendidikan tetap mahal meskipun anggaran pendidikan terus naik.
Kebijakan pendidikan nasional cenderung memberi peluang kepada kalangan menengah ke atas untuk mengeruk keuntungan, tetapi mengabaikan kepentingan dan hak orang-orang miskin.
“Kenyataannya, sekolah-sekolah bermutu, unggul, favorit, dan kelas ‘akselerasi’ dihuni anak-anak dari keluarga kaya yang mampu berinvestasi secara ekonomi. Nyaris tidak ada akses bagi anak-anak keluarga miskin,” katanya.
Sedangkan, pakar pendidikan dari Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta, Marcellino menyatakan, anggaran yang besar di bidang pendidikan belum diimbangi dengan kinerja Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) yang optimal. Akibatnya, masih banyak persoalan yang membelit sistem pendidikan nasional.
Survei dan kajian tentang mutu pendidikan secara nasional, merata, berkala, dan mendalam, belum pernah dilakukan secara terencana, sistematis, dan berkala. Akibatnya, sampai kini belum ada umpan balik tertulis yang komprehensif dari pemerintah atas proses dan mutu pendidikan nasional yang dapat dipakai sebagai pegangan dalam menentukan kebijakan fundamental.
Sudah sepantasnya pemerintah meninjau kembali hasil kebijakannya, karena semua belum ditopang data pendidikan yang akurat dan komprehensif. “Sebenarnya kebijakan pemerintah pemerintah telah pro-rakyat, terutama rakyat kurang mampu. Persoalannya menjadi lain ketika program itu dimasukkan ke dalam ranah politik. Pendidikan gratis kini ditagih rakyat, sementara biaya yang dibutuhkan sangat besar. Akibatnya, pungutan masih saja terjadi,” katanya.
Sumber: Suara Pembaharuan
Berdasarkan data BPS, kenaikan biaya pendidikan pada Juli 2009 dibanding tahun 2000 mencapai 227 persen.
Pada 2000, indeks harga biaya pendidikan berada di level 100, sedangkan pada 2009 mencapai 327. Kenaikan itu berada jauh di atas kenaikan harga secara umum yang mencapai 115 persen dan kenaikan harga pangan sebesar 122 persen.
Menurut ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani, meningkatnya indeks harga biaya pendidikan di tengah terus bertambahnya anggaran pendidikan yang disediakan APBN, disebabkan alokasi anggaran pendidikan itu yang tidak tepat sasaran. Akibatnya, tidak mampu mengurangi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan masyarakat.
“Dampaknya tentu ke inflasi. Jadi unsur pemerataan dari alokasi anggaran pendidikan kurang memperhatikan kegiatan usaha ekonomi,” jelasnya di Jakarta.
Anggaran pendidikan yang tahun ini mencapai Rp 221,4 triliun tersebut, menurut Aviliani, belum sejalan dengan penyusunan kebutuhan program pendidikan. “Pemerintah bingung untuk menyalurkan dana tersebut. Kebijakan menjadi tidak terarah,” ujarnya.
Hal senada diungkapkan ekonom Anton H Gunawan. Alokasi anggaran pendidikan belum menyentuh sektor yang mampu meredam belanja pendidikan masyarakat.
Setiap tahun ajaran baru, terjadi kenaikan laju inflasi yang cukup signifikan, khususnya disumbang sektor pendidikan.
Terkait hal itu, pakar pendidikan Utomo Dananjaya menuturkan pemerintah selama ini mendiskriminasi siswa dan mahasiswa dengan melaksanakan sistem pendidikan berstandar internasional dan menerapkan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP).
Pasalnya, sekolah berstandar internasional memungut uang pangkal hingga puluhan juta rupiah dan biaya masuk perguruan tinggi negeri (PTN) juga semakin mahal. Mahalnya biaya pendidikan, antara lain membuat hanya 14 persen siswa yang bisa melanjutkan kuliah ke pendidikan tinggi.
“Pemerintah berdagang sekolah di negerinya sendiri dengan mengesahkan sekolah memungut biaya pendidikan. Di sekolah negeri, ada yang memungut sampai Rp 21 juta,” katanya kepada SP di Jakarta, Jumat (12/3).
Meskipun total anggaran pendidikan dalam APBNP mencapai Rp 221,4 triliun, tetapi hanya sekitar Rp 60 triliun yang dialokasikan untuk program pendidikan. Sebagian besar anggaran digunakan untuk membayar gaji serta tunjangan guru dan dosen. Pendistribusian anggaran pendidikan pun dinilai belum adil.
Tahun lalu, pemerintah menambah anggaran untuk sekolah berstandar internasional Rp 300 juta. Padahal, sumbangannya untuk meningkatkan pendidikan nasional sangat minim.
“Sekolah berstandar internasional sudah memungut biaya mahalk, malah dikasih tambahan dana. Akibatnya, terjadi ketimpangan kualitas pendidikan antara sekolah berstandar internasional dengan sekolah biasa,” katanya.
Privatisasi Pendidikan
Sedangkan, pengamat pendidikan dari Majelis Luhur Taman Siswa, Darmaningtyas, menyatakan, mahalnya biaya pendidikan tak terlepas dari peraturan perundangan yang memungkinkan privatisasi pendidikan. Sekolah dan perguruan tinggi negeri mematok biaya pendidikan yang semakin mahal.
“Makin mahalnya biaya pendidikan bukan hanya asumsi, melainkan sudah terbukti secara empiris,” katanya.
Biaya yang semakin mahal, lanjutnya, membuat pendidikan hanya bisa diakses kalangan menengah ke atas. Banyak siswa dan mahasiswa dari keluarga kurang mampu tak bisa melanjutkan pendidikan karena ketiadaan biaya.
Lebih jauh dikatakan, kenaikan anggaran pendidikan dari tahun ke tahun ternyata tak semuanya mengalir untuk pembangunan pendidikan secara riil. Sebagian anggaran didistibusikan ke departemen lain dan juga ke daerah-daerah.
“Jumlah guru dan dosen yang lulus verifikasi bertambah terus, otomatis tunjangan profesi ikut bertambah. Setidaknya, 25% anggaran pendidikan hanya untuk pemberian tunjangan pendidikan, sehingga anggaran yang jatuh untuk pendidikan langsung tidak sebesar yang dikira,” katanya.
Anggaran pendidikan, kata Darmaningtyas, seharusnya difokuskan pada peningkatan fasilitas sekolah untuk meningkatkan akses masyarakat ke sekolah. Selain itu, anggaran yang ditransfer ke daerah juga harus disesuaikan dengan kebutuhan. “Biaya-biaya di Indonesia timur lebih mahal dibanding dengan Pulau Jawa sehingga tidak relevan bila biaya pendidikan di setiap daerah sama,” katanya.
Mengeruk Keuntungan
Senada dengannya, Koordinator Divisi Monitoring dan Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW), Ade Irawan pun menyatakan, biaya pendidikan tetap mahal meskipun anggaran pendidikan terus naik.
Kebijakan pendidikan nasional cenderung memberi peluang kepada kalangan menengah ke atas untuk mengeruk keuntungan, tetapi mengabaikan kepentingan dan hak orang-orang miskin.
“Kenyataannya, sekolah-sekolah bermutu, unggul, favorit, dan kelas ‘akselerasi’ dihuni anak-anak dari keluarga kaya yang mampu berinvestasi secara ekonomi. Nyaris tidak ada akses bagi anak-anak keluarga miskin,” katanya.
Sedangkan, pakar pendidikan dari Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta, Marcellino menyatakan, anggaran yang besar di bidang pendidikan belum diimbangi dengan kinerja Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) yang optimal. Akibatnya, masih banyak persoalan yang membelit sistem pendidikan nasional.
Survei dan kajian tentang mutu pendidikan secara nasional, merata, berkala, dan mendalam, belum pernah dilakukan secara terencana, sistematis, dan berkala. Akibatnya, sampai kini belum ada umpan balik tertulis yang komprehensif dari pemerintah atas proses dan mutu pendidikan nasional yang dapat dipakai sebagai pegangan dalam menentukan kebijakan fundamental.
Sudah sepantasnya pemerintah meninjau kembali hasil kebijakannya, karena semua belum ditopang data pendidikan yang akurat dan komprehensif. “Sebenarnya kebijakan pemerintah pemerintah telah pro-rakyat, terutama rakyat kurang mampu. Persoalannya menjadi lain ketika program itu dimasukkan ke dalam ranah politik. Pendidikan gratis kini ditagih rakyat, sementara biaya yang dibutuhkan sangat besar. Akibatnya, pungutan masih saja terjadi,” katanya.
Sumber: Suara Pembaharuan
Pendidikan Indonesia (ter)Mahal di Dunia
Seyogyanya, adalah kewajiban negara untuk menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas bagi setiap warga negaranya, termasuk warga negara yang lemah mental, difabel ataupun berkebutuhan khusus. Namun di negeri yang memiliki kekayaan dan sumber daya alam sangat melimpah ini, pendidikan adalah barang mahal bahkan termasuk yang termahal di dunia. Pendidikan berkualitas apalagi cuma-cuma, masih sebatas mimpi bagi sebagian besar anak Indonesia. Lebih ironis karena pendidikan berkualitas di Indonesia telah menjadi komoditi. Pendidikan telah menjadi ajang bisnis yang sangat menggiurkan. Banyak sekolah menawarkan metode pendidikan terbaik, sarana lengkap dengan tenaga pengajar berkualitas, tentu saja dengan harga yang sangat membelalakkan mata. Hanya kalangan berpunya atau the have yang bisa menikmatinya. Sementara sejumlah besar anak Indonesia dari kalangan the have not, hanya bisa menikmati pendidikan dengan sarana dan prasarana apa adanya, berbagi guru dengan kelas lain bahkan dengan kondisi gedung atau ruang sekolah yang hampir rubuh.
Lebih ironis karena masih banyak anak Indonesia yang ternyata tidak bisa menikmati atau melanjutkan pendidikannya. Jumlah anak putus sekolah dan berpendidikan rendah di Indonesia masih tinggi. Dari Februari 2006 hingga Agustus 2007, tercatat penduduk yang berpendidikan SD dan tidak tamat SD meningkat dari 17,57% menjadi 18,52%. Bahkan, pada tahun 2009 lalu diperkirakan sekitar 12 juta anak Indonesia putus sekolah. Tak kalah ironis, jutaan anak juga masih mengalami gizi buruk. Bagaimana mau pintar dan memiliki daya saing tinggi jika kebutuhan yang lebih mendasar yakni sehat, tidak terpenuhi dengan baik.
Pendidikan anak usia dini (PAUD) juga tak kalah memprihatinkan. Menurut data Departeman Pendidikan Nasional, jumlah anak usia 0-6 tahun pada 2009 diprediksi sebanyak 28,377 juta orang. Dari jumlah tersebut, baru 25% yang bisa berpartisipasi dalam PAUD. Itupun tidak merata baik secara geografis maupun sosial ekonomi. Alhasil, partisipasi PAUD di Indonesia tergolong paling rendah se-Asia Tenggara[i]. Ini bisa jadi sebuah jawaban mengapa SDM kita rendah, karena fondasi pendidikan kita selama ini tidak kuat. Six is too late.
Jika anak-anak sekolah di India sudah bisa menikmati program OLPC, perbandingan antara komputer dan siswa yang menggunakannya pada tahun 2008 di Indonesia adalah 1:3.000 siswa, padahal angka yang ideal adalah 1:20. Dengan fasilitas minim seperti ini, wajar saja jika banyak generasi muda kita yang gaptek (gagap teknologi). Pada jenjang pendidikan tinggi, keadaannya juga tak lebih baik. Banyak lulusan perguruan tinggi kita yang menjadi pengangguran. Jumlahnya terus meningkat dari waktu ke waktu.
Pertanyaannya kemudian, apa yang salah dengan pendidikan di negara kita? Bukankah kekayaan dan sumber daya alam kita sangat melimpah yang seharusnya dengan itu negara sangat mampu untuk menyelenggarakan pendidikan berkualitas dan cuma-cuma untuk semua warga negara? Apakah kualitas pendidikan kita kalah bersaing sehingga banyak lulusannya tidak bisa diserap oleh lapangan kerja yang ada? Apakah sistem pendidikan kita juga kurang baik sehingga banyak kalangan berpunya yang lebih memilih melanjutkan studi di luar negeri?
Jika kita amati, ada beberapa persoalan besar dan mendasar yang menghambat terselenggaranya pendidikan yang berkualitas dan mudah diakses bahkan seharusnya bisa dinikmati secara cuma-cuma oleh semua rakyat di Indonesia. Salah satu yang utama adalah belum terwujudnya good governance dalam tata kelola negara dan pemerintahan. Belum terwujudnya good governance telah mengakibatkan dampak yang sangat sistemik pada hampir semua aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Termasuk dalam dunia pendidikan kita. Tak ada goodwill (kemauan/komitmen) yang konkrit dari pemerintah, salah satunya terlihat pada besarnya alokasi APBN untuk sektor pendidikan.
Pendidikan gratis tak lebih dari sekedar retorika politik terutama pada masa kampanye pemilihan umum. Bahkan, alokasi 20% APBN/APBD untuk sektor pendidikan seringkali mengalami tarik ulur kepentingan yang berkepanjangan. Bandingkan dengan Malaysia yang sudah mencapai 25% dan Thailand 30%. Ironisnya, anggaran yang masih belum memadai tersebut masih tidak luput dari korupsi. Diperkirakan, anggaran di sektor pendidikan mengalami kebocoran hingga 30%[ii]. Berdasarkan evaluasi pengelolaan dana alokasi khusus tahun 2009 untuk pendidikan oleh KPK, dari total anggaran Rp 9,3 triliun yang dibagikan ke 451 daerah tingkat dua, diperkirakan Rp 2,2 triliun telah diselewengkan di 160 kabupaten atau kota[iii]. Sementara itu menurut temuan ICW, selama kurun waktu 2004-2009, sedikitnya terungkap 142 kasus korupsi di sektor pendidikan. Kerugian negara mencapai Rp 243,3 miliar[iv].
Maraknya praktik korupsi di negara kita hingga ke sektor pendidikan, berdasarkan survei yang diadakan Political and Economic Risk Consultancy (PERC), mengakibatkan Indonesia menempati urutan teratas dalam daftar negara paling korup di antara 16 negara tujuan investasi di Asia Pasifik (Media Indonesia Online, 10 Maret 2010). Dalam survei tersebut, Indonesia mendapatkan 9,27 dari total skor 10. Pada 2009, Indonesia juga menempati urutan teratas namun pada waktu itu skornya masih lebih baik yakni 8,32. Di posisi kedua negara terkorup di Asia Pasifik adalah Kamboja dengan skor 9,10 dan diikuti Vietnam dan Filipina.
Dengan kondisi seperti itu, belum adanya goodwill yang konkrit dan anggaran yang memadai, sangat wajar jika kualitas pendidikan kita sangat memprihatinkan. Banyak anak-anak tak bisa sekolah karena biaya pendidikan yang terus melambung (biaya pendidikan di Indonesia termasuk yang termahal di dunia); sarana dan prasarana pendidikan apa adanya dan kualitas guru yang kurang memadai karena di negeri kita profesi guru masih dipandang sebelah mata. Mereka yang masuk Ilmu Pendidikan biasanya adalah “sisa” yang gagal bersaing masuk ke jurusan elit. Salah satu sebabnya karena gaji guru yang jauh dari cukup sehingga selain mengajar, para guru harus kerja serabutan lain untuk menopang kehidupannya. Ada yang menjadi tukang ojek, tukang parkir bahkan pemulung.
Dengan kondisi seperti ini, sangat sulit untuk mengharapkan para guru akan totalitas dalam menjalankan tugas mulianya sebagai pendidik generasi muda. Pada akhirnya akan berpengaruh pada kualitas anak didik dan daya saing mereka sebagai aset bangsa. Jika ini terus dibiarkan, kita akan semakin tertinggal. Bisa-bisa kita menjadi tamu di negara sendiri karena SDM handal dari luar negeri akan mengambil alih posisi-posisi strategis di negeri kita. Itulah hukum persaingan di era global saat ini : siapa yang memiliki daya saing tinggi, dia yang akan menguasai dunia.
Oleh: Ririnhandayani
[i] Perhatian pemerintah terhadap PAUD masih minim meski PAUD sudah dimasukkan dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Untuk program PAUD nasional, pemerintah baru mampu menyediakan anggaran Rp 500 milyar. Dengan dana sebesar itu, hanya sekitar 25% balita di Indonesia yang bisa menikmati PAUD. Tidak mengherankan pula jika dari 182.201 lembaga PAUD yang tercatat hingga tahun 2008, semuanya merupakan lembaga milik masyarakat.
[ii] Sumber : http://www.transparansi.or.id/majalah/edisi4/4berita_6.html
[iii] Sumber : Wabah Korupsi Dana Pendidikan, diposting pada 22 Januari 2010. Lebih lengkap dapat diakses pada http://www.tempointeraktif.com/hg/opiniKT/2010/01/22/krn.20100122.188618.id.html
[iv] Kebocoran dana pendidikan yang paling besar terjadi dalam pengadaan gedung dan sarana prasarana sekolah. Hal itu disebabkan karena besarnya dana yang digunakan untuk pengadaannya, banyaknya aktor yang terlibat dalam pengelolaannya, serta banyaknya celah korupsi dalam pengelolaan dana tersebut.
Sumber : http://edukasi.kompas.com/read/xml/2009/09/09/19453779korupsi.dana.pendidikan.dari.dinas.hingga.sekolah
Mahalnya Biaya Pendidikan di Negeri Ini
Setelah menunggu pengumuman kelulusan SD, SMP, dan SLTA, kini orang tua dan adik-adik kita dihadapkan pada seleksi masuk sekolah atau perguruan tinggi. Ujian seleksi emang sangat ketat tetapi tidak semenakutkan UNAS kemarin. Atau paling tidak ada pilihan untuk memilih sekolah yang sesuai. Ternyata yang menjadi hambatan adalah mahalnya biaya pendidikan.
Bukankah sekolah gratis? Kok dibilang mahal sih? Betul, sekolah SD dan SMP gratis SPP. Tapi bagaimana biaya sekolah SMA dan perguruan tinggi. Sebagai contoh ada SMA Negeri kabupaten di Jawa Tengah yang pada tahun ini uang pangkal Rp 3juta-Rp 5juta ditambah SPP Rp 250.000,-/bulan atau Rp 1,5 juta/semester (6 bulan). Bayangkan petani atau tukang becak bagaimana bisa menyekolahkan anaknya ke SMA tersebut. Mau menjual ternak atau sawah? Itu tidak mungkin karena barang tersebut adalah sumber penghidupan. Akhirnya biarpun nilai bagus tapi akhirnya harus gigit jari.
Demikian halnya sekolah di perguruan tinggi tak kalah mahalnya. Terutama PTN yang telah berubah status menjadi BHMN atau BHP akhirnya untuk pendanaan dibebankan kepada mahasiswa dengan menaikkan uang pangkal dan biaya semesteran. Sebagai contoh UI, beberapa tahun yang lalu di UI sekitar 2juta-an. Kini uang untuk kuliah di teknik UI uang pangkal Rp 25 jt, dan semesteran Rp 7,6jt. Untuk ukuran uang berduit di Jakarta itu wajar, tetapi untuk orang kampung yang ingin kuliah di UI sudah takut duluan. Ini karena UI sudah menjadi BHMN yang mana UI memerlukan biaya operasional tambahan karena subsidi negara dikurangi. Nah bagaimana PTN-PTN di daerah bila kelak juga berubah menjadi Badan Hukum Pendidikan (BHP)?
Bagiamana nasib anak orang miskin, anak petani, anak nelayan, anak buruh. Bukankah mereka juga berhak mngenyam pendidikan tinggi. Apa mereka hanya berhak sekolah sampai SMP saja? Atau mereka hanya berhak kuliah di sekolah-sekolah atau kampus “pinggiran”. Apakah mereka tak pantas untuk sekolah di UI, ITB, UGM? Lantas dimana bagimana amanat pembukaan UUD 1945 tentang mencerdaskan kehidupan bangsa. Atau yang berhak cerdas hanya mereka yang kaya saja. Yang miskin biar tetap bodoh dan miskin.
Sumber: mas.mus.web.id
Bukankah sekolah gratis? Kok dibilang mahal sih? Betul, sekolah SD dan SMP gratis SPP. Tapi bagaimana biaya sekolah SMA dan perguruan tinggi. Sebagai contoh ada SMA Negeri kabupaten di Jawa Tengah yang pada tahun ini uang pangkal Rp 3juta-Rp 5juta ditambah SPP Rp 250.000,-/bulan atau Rp 1,5 juta/semester (6 bulan). Bayangkan petani atau tukang becak bagaimana bisa menyekolahkan anaknya ke SMA tersebut. Mau menjual ternak atau sawah? Itu tidak mungkin karena barang tersebut adalah sumber penghidupan. Akhirnya biarpun nilai bagus tapi akhirnya harus gigit jari.
Demikian halnya sekolah di perguruan tinggi tak kalah mahalnya. Terutama PTN yang telah berubah status menjadi BHMN atau BHP akhirnya untuk pendanaan dibebankan kepada mahasiswa dengan menaikkan uang pangkal dan biaya semesteran. Sebagai contoh UI, beberapa tahun yang lalu di UI sekitar 2juta-an. Kini uang untuk kuliah di teknik UI uang pangkal Rp 25 jt, dan semesteran Rp 7,6jt. Untuk ukuran uang berduit di Jakarta itu wajar, tetapi untuk orang kampung yang ingin kuliah di UI sudah takut duluan. Ini karena UI sudah menjadi BHMN yang mana UI memerlukan biaya operasional tambahan karena subsidi negara dikurangi. Nah bagaimana PTN-PTN di daerah bila kelak juga berubah menjadi Badan Hukum Pendidikan (BHP)?
Bagiamana nasib anak orang miskin, anak petani, anak nelayan, anak buruh. Bukankah mereka juga berhak mngenyam pendidikan tinggi. Apa mereka hanya berhak sekolah sampai SMP saja? Atau mereka hanya berhak kuliah di sekolah-sekolah atau kampus “pinggiran”. Apakah mereka tak pantas untuk sekolah di UI, ITB, UGM? Lantas dimana bagimana amanat pembukaan UUD 1945 tentang mencerdaskan kehidupan bangsa. Atau yang berhak cerdas hanya mereka yang kaya saja. Yang miskin biar tetap bodoh dan miskin.
Ini sebuah ironi. Anggaran pendidikan dinaikkan, tetapi biaya untuk mengakses pendidikan semakin mahal. Saya secara pribadi menyedihkan kejadian ini. Tulisan ini diilhami kejadian nyata yang terjadi di negeri ini. Semoga dapat menjadi pemikiran bagi pemimpin bangsa yang sebentar lagi kita pilih. Mendapatkan kesempatan pendidikan adalah hak semua warga negara.Bukankah negara ini didirikan untuk mencerdaskan dan menyejahterakan rakyatnya?
Sumber: mas.mus.web.id
Negeri Penuh Ironi
Negeri ini penuh ironi. Negeri yang punya segalanya, tetapi kekurangan banyak hal.
Laut kita luas, tetapi isi yang melimpah tak membuat nelayan kaya. Gas kita melimpah, tetapi pabrik pupuk kelimpungan, bahkan beku operasi, kesulitan gas. Sumber batu bara kita bejibun, tetapi setrum PLN byarpet karena pasokan batu bara mampat.
Studi The Economist (2003) mencatat 10 komoditas pertanian Indonesia (beras, lada, kopi, cokelat, minyak sawit, karet, dan biji-bijian) menduduki peringkat 1-6 dunia. Pertanyaannya, apakah petani dan pekebun 10 komoditas itu sejahtera? Tidak. Yang menikmati nilai tambah komoditas unggulan itu justru negara lain, dan kita tak menikmati apa-apa. Inilah tragedi.
Tragedi itu tergambar dalam ungkapan, ”Kita punya barang, mereka punya harga.” Nilai tukar (terms of trade) dalam transaksi perdagangan mencerminkan posisi tawar suatu produk. Kita memang tak pernah belajar dari sejarah. Lebih dari setengah abad lalu, ekonom Argentina Raul Prebisch dan ekonom Jerman Hans Singer mengingatkan, nilai tukar riil produk primer pertanian atas produk manufaktur menurun secara permanen. Produk primer cenderung fluktuatif, sedangkan produk jadi terus meningkat atau stabil. Ekonomi yang menggantungkan diri pada produk primer menghadapi kepincangan harga yang tajam bila berhadapan dengan pemilik teknologi. Bahan mentah ditekan rendah, sementara teknologi harus dibayar dengan harga super mahal.
Indonesia adalah penghasil kopi robusta terbesar kedua di dunia setelah Vietnam. Apakah petani, eksportir, pedagang besar, atau pedagang pengumpul yang menentukan harga? Bukan. Penentu harga ada di London (London International Financial Futures Exchange/LIFFE).
Alam memungkinkan kita menjadi produsen kakao terbesar ketiga dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Namun, harga komoditas kakao ditentukan di New York Board of Trade.
Kita mengekspor minyak sawit mentah (CPO) terbesar di dunia mengalahkan Malaysia, tetapi harga CPO Indonesia didikte Rotterdam untuk pasar spot dan Kuala Lumpur untuk harga kontrak berjangka. Ironi ini sudah berlangsung puluhan tahun.
Mulai 22 Juni 2009, dominasi Rotterdam sebagai basis acuan harga jual ekspor CPO ”diambil alih” lewat perdagangan CPO fisik di Bursa Berjangka Jakarta, usaha itu patut dihargai.
Kita memproduksi 19,2 juta ton CPO, jauh meninggalkan Malaysia (15,9 juta ton). Dari jumlah itu, 5 juta ton CPO diserap pasar domestik, sisanya diekspor. Indonesia-Malaysia memasok 80 persen produksi CPO dunia. Dengan kondisi seperti itu, sejatinya Rotterdam tidak layak menjadi basis acuan harga ekspor karena perdagangan CPO di Eropa hanya 2,5 juta ton per tahun.
Usaha seperti itu harus dilakukan untuk semua produk unggulan: minyak sawit, karet, kopi, kakao, tebu, lada, dan biji-bijian. Selama ini kita terlena hanya berproduksi, tidak pernah menggarap pasar dan mengolahnya menjadi aneka produk turunan. Sebagai produsen utama, sudah seharusnya kiblat harga sejumlah komoditas unggulan itu ada di dalam negeri, bukan di negeri orang. Dengan demikian, saat ekspor kita tidak perlu melakukan berbagai perhitungan penyesuaian, mulai dari diskon harga atas kualitas produk, ongkos angkut, asuransi, kurs mata uang asing, dan lainnya seperti selama ini. Sebagai produsen utama seharusnya kita yang meraih nilai tambah lebih besar dengan memperdalam industri pengolahan, bukan negara lain.
Sementara itu, sejak ratusan tahun lalu, negara-negara maju menyiapkan salah satu pilar ekonomi pasar, bernama bursa berjangka. Bursa ini bisa menjadi wahana bertemunya semua permintaan dan penawaran dari seluruh dunia hingga terbentuk harga tepercaya, yang kemudian menjadi kiblat pelaku ekonomi yang memiliki commercial interest terhadap produk bersangkutan. Mekanisme bursa berjangka tidak hanya menangkap permintaan dan penawaran atas satu produk saat ini, tetapi juga permintaan dan penawaran produk pada masa datang. Ini mencerminkan ekspektasi kondisi pasar produk itu pada masa datang (Mahmud, 2007).
Ekspektasi harga inilah yang kemudian menjadi mesin penggerak utama keputusan ekonomi, seperti memproduksi, mengolah, membeli, menjual, menyimpan, menabung, dan membelanjakan. Melalui mekanisme ini akan tercipta harga acuan pada masa datang. Informasi harga ini akan menjadi acuan berharga bagi petani dan pekebun untuk menanam atau tidak menanam sebuah komoditas. Ini menjadi petunjuk mereka saat panen nanti. Dengan serius menggarap pasar dan memperdalam industri pengolahan, semoga kita bisa mengakhiri aneka ironi di negeri ini.
Oleh: Khudori Penulis Buku Ironi Negeri Beras; Peminat Masalah Sosial-Ekonomi Pertanian dan Globalisasi
Sumber: www.cetak.kompas.com
Inferioritas Anak Negeri dalam ”Pipa Air Mata” dan ”Jalan Sumur Mati”
Cerpen “Pipa Air Mata” (karya M Badri) dan “Jalan Sumur Mati” (karya Olyrinson) sama-sama menampilkan potret masyarakat tempatan yang menderita meskipun mereka tinggal di lingkungan perusahaan minyak yang sangat kaya. Kedua cerpen ini dihimpun dalam buku Pipa Air Mata terbitan Yayasan Sagang Pekanbaru. Tulisan singkat ini bertujuan untuk mengungkapkan kondisi inferioritas masyarakat tempatan berbanding dengan superioritas perusahaan minyak besar.
Eksplorasi Bumi untuk Siapa?
Judul kedua cerita ini menunjukkan bahwa cerita ini berkaitan dengan keberadaan sebuah perusahaan minyak. Kata “pipa” dalam judul cerita pertama berkaitan dengan alat utama yang digunakan perusahan minyak untuk mengalirkan minyak. Bila kita berjalan mengelilingi area ladang minyak, maka kita akan melihat begitu panjangnya pipa. Bagi perusahaan minyak, pipa sangat penting untuk mengalirkan minyak dari satu tempat ke tempat lainnya. Kalau tak ada pipa entah dengan apa minyak itu dialirkan. Tetapi dalam cerita pertama, kata “pipa” disandingkan dengan kata “air mata”. Penyandingan ini memberikan makna yang sangat ironis sebab pipa yang seharusnya berisikan minyak ternyata berisikan air mata.
Ini bermakna bahwa ada penderitaan yang sangat mendalam dirasakan oleh masyarakat tempatan dengan kehadiran perusahaan minyak. Perusahaan minyak memang identik dengan kekayaan dan kemewahan sebab harga minya memang sangat mahal di dunia. Makna pipa bersifat paradoks terhadap hubungan perusahaan minyak dan masyarakat tempatan. Bagi perusahan minyak, pipa merupakan alat untuk menghasilkan dolar sedangkan bagi masyarakat tempatan pipa itu adalah penderitaan sebab perusahaan itu telah menghancurkan kampung, masyarakat, dan identitas masyarakat tempatan. Bagi masyarakat tempatan pipa minyak merupakan bencana teknologi yang telah meluluhlantakkan kehidupan mereka.
Judul “sumur mati” menegaskan bahwa cerita ini berkaitan dengan keberadaan sumur minyak milik sebuah perusahaan minyak. Frasa “jalan sumur mati” bermakna kehidupan masyarakat tempatan tidak jelas lagi sebab telah dihambat oleh perusahaan minyak. Tanah dan hutan telah dirampas oleh perusahaan minyak sehingga masyarakat tempatan tak punya lahan lagi untuk dikembangkan. Bagi perusahan minyak, kandungan minyak yang terdapat dalam perut bumi adalah uang sedangkan bagi masyarakat tempatan itu tidak menghasilkan manfaat, padahal minyak itu terdapat di negeri mereka sendiri. Masyarakat hanya menjadi objek penderita sedangkan pihak perusahaan terus mendapat keuntungan yang melimpah ruah dari minyak yang terus disedot dari perut bumi. Bagi perusahaan minyak, setiap tetes minyak yang terdapat dalam pipa adalah dolar. Sedangkan bagi masyarakat setiap tetes minyak yang terdapat dalam pipa adalah penderitaan yang mereka rasakan.
Inferioritas Masyarakat Tempatan
Kemiskinan yang dialami oleh masyarakat tempatan menjadi isu utama dalam kedua cerpen ini. Kemiskinan itu pula yang membuat masyarakat tempatan sangat inferior dibandingkan dengan pihak perusahan minyak. Dalam “Pipa Air Mata” gambaran kemiskinan ditampilkan melalui tokoh Awang atau Gabriel yang berasal dari Suku Sakai. Pengeboran minyak di kampung Awang tidak mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Sebaliknya ia mendatang penderitaan yang amat mendalam dan bahkan telah menghancurkan kehidupan masyarakar Sakai seperti ungkapan Awang: “Setelah menancapkan pipa berkarat di kampung kami, lalu menaminya dengan luka. Mengoyak kehidupan hingga mengalirkan air mata abadi.” Begitu sangat menyedihkan gambaran nasib masyarakat tempatan. Mereka tiada kuasa untuk menolak keberadaan perusahan minyak sebab mereka miskin, lemah, dan tak berpendidikan. Mereka kalah menghadang kekuatan maha besar perusahaan minyak yang bertaraf internasional. Masyarakat kecil terlalu inferior untuk memperjuangkan nasib mereka. Nasib mereka sekarang benar-benar ditentukan oleh kekuatan perusahan minyak.
Dalam “Jalan Sumur Mati” potret kemiskinan masyarakat tempatan terlihat dari dua tokoh wanita yang mencuri pipa bekas dari tempat pembuangan pipa di sekitar ladang minyak. Kedua wanita itu terpaksa harus mencuri pipa untuk mendapat sesuap nasi bagi cucunya yang sedang kelaparan. Mencuri pipa adalah keterpaksaan sebab tak ada lagi yang bisa mereka perbuat untuk memberi makan keluarganya. Mereka bukan mencuri pipa yang sedang berfungsi untuk mengalirkan minyak. Mereka juga pasti tak sanggup untuk mencuri minyak. Mereka terlalu lemah untuk melakukan itu. Mereka hanya mengambil pipa bekas yang tak berguna lagi bagi perusahan minyak seperti yang diungkapkan oleh salah seorang wanita tua: “Sudah empat hari kami tidak makan nasi, Bapak. Kalau aku tidak pulang membawa besi itu, cucuku akan makan tanah. Kasihanilah kami. Kami hanya mencari besi bekas, apa itu akan merugikan, Bapak? Kami lapar! Kami lapar! Kami hanya makan dari remah-remah perusahaan ini. berilah kami sedikit, Bapak!”
Tetapi mereka tetap saja dianggap mencuri oleh sang petugas sekuriti sebab pipa itu diklaim milik perusahaan minyak. Kondisi ini sangat ironis sebab disekitar area perusahaan yang kaya itu ternyata ada orang yang kelaparan dan ketika masyarakat tempatan mencari sisa-sisa pipa mereka pun dianggap pencuri.
Superioritas Barat
Kegiatan ekplorasi minyak bumi di Indonesia selalu diatur oleh pihak luar negeri atau pihak asing. Ini menyebakan hasil bumi kita sendiri lebih banyak mendatangkan keuntungan bagi orang asing dari pada untuk bangsa sendiri. Kita memang pemilik sah bumi ini tetapi karena ketidakberdayaan, kita tak mampu mengelola bumi kita sendiri untuk kesejahteraan bangsa. Kita hanya jadi penonton yang baik sedangkan orang asing semakin kaya karena mengeksplorasi bumi kita. Bagi pihak asing, tidak perlu memiliki bumi Indonesia, tetapi yang terpenting bagi mereka adalah mampu mengeruk kekayaan alam atau bumi Indonesia. Superioritas Barat memang sangat berperan dalam eksplorasi minyak. Bahkan mereka mampu membuat “zona eksklusif” beralakan Barat di bumi kita sendiri. Sehingga ketika kita masuk ke zona mereka kita pun diperlakukan sesuai dengan prosedur mereka. Tetapi apa boleh buat, superioritas Barat telah menentukan “takdir” kita. Mereka sangat kuat dan bahkan kekuatannya seperti “tuhan” yang menentukan masyarakat tempatan yang lemah.
Dalam “Pipa Air Mata”, orang asing berperanan besar dalam menghancurkan tatanan kehidupan masyarakat Sakai. Orang asing tidak hanya menghancurkan aspek fisik masyarakat tetapi juga menghancurkan kebudayaan dan identitas orang Sakai. Secara fisik, hutan sebagai tempat berteduh orang Sakai telah dihancurkan oleh orang asing yang membuka ladang minyak di tanah orang Sakai seperti cerita Awang: “Saat itu hutan masih lebat, rawa-rawa mengalirkan air dengan cernih. Lalu datanglah orang-orang bertubuh tinggi besar, berambut dan berkulit merah. Mereka datang ke hutan dengan pengawalan tentara. Survey katanya, sebab di hutan itu ditengarai terdapat banyak minyak bumi”.
Secara kultural, identitas orang Sakai juga telah mengalami perubahan. Ini dapat terlihat dari persoalan identitas diri anak orang Sakai yang bernama Awang. Orang asing yang bernama William yang bekerja di perusahaan minyak telah merubah nama Awang menjadi Gabriel. Dengan kekuasaanya ia mampu merubah nama Awang menjadi Gabriel sebab ia telah mengangkat Gabriel menjadi anak angkat. Ini bermakna orang Barat telah menjadikan orang Sakai tidak menjadi diri mereka sendiri. Dalam konteks poskolonialsime, dominasi Barat telah membuat orang Timur semakin tersingkirkan. Meskipun Awang telah menjadi Gabriel, Awang tetap berupaya untuk mempertahankan jati dirinya: “Aku bukan Gabriel, si malaikat itu. Bukan, aku bukan malaikat. Aku Awang si anak sakai degil, si anak hutan yang takut pada suara gergaji mesin dan buldoser. Lalu kenapa namaku menjadi Gabriel? Apa karena si keparat William, ah bukan keparat. Dia menjadi papaku, orang asing yang membesarkanku. Setelah kampungku luluh lantak, tanpa bekas. Betul, tanpa bekas.”
Dalam diri Awang ada pertentangan. Akankah ia menyalahkan orang Asing yang telah menghancurkan kampungnya? Tetapi sulit bagi Awang untuk menyalahkan orang Asing sebab ia sendiri telah dibesarkan oleh orang asing. Ini lah perangkap orang asing yang sebenarnya. Ia seolah-olah menolong kita tetapi ada perangkap yang mengikat kita supaya kita terus bergantung dengan mereka.
Dalam “Jalan Sumur Mati” keterlibatan orang asing dalam mengekploitasi hasil bumi Indonesia terlihat dari keberadaan perusahaan minyak yang dimiliki oleh orang asing. Meskipun secara eksplisit cerita ini tidak menggunakan sebuatan orang asing, citra perusahaan minyak di Indonesia selalu berkaitan dengan dominasi orang asing. Apalagi di Riau, perusahaan minyaknya berkaitan erat dengan perusahaan asing. Dengan demikian, kekuatan Barat juga sangat membelenggu dua orang wanita tua yang mencuri pipa. Kekuatan Barat telah menyebabkan mereka tidak mampu hidup secara layak di tanah air mereka sendiri.
Penutup
Bila kita pergi ke Minas, Duri, Dumai dan beberapa daerah sekitarnya, kita akan lebih merasakan kondisi masyarakat sekitar area ladang minyak seperti yang digambarkan kedua cerita ini. Kedua cerita ini telah mengangkat realitas kehidupan masyarakat sekitar area operasional perusahaan minyak. Kedua cerita ini dapat menggugah hati ketika kita melihat penderitaan, kemiskinan, dan inferioritas masyarakat tempatan. Adalah ironis ketika pipa minyak yang mengantarkan ribuan dolar bagi orang asing, bagi pemerintah pusat, bagi pejabat, dan bagi kelompok elit lainnya. Tetapi bagi masyarakat tempatan ternyata pipa itu bermakna penderitaan sebab perusahaan telah mengancurkan tatanan kehidupan mereka.
Masyarakat tempatan menjadi semakin hilang jati diri akibat dipaksa untuk meninggalkan kebudayaan mereka. Mereka terpaksa meninggalkan cara hidup dan tradisi mereka. Mereka dipaksa hidup secara modern tetapi sayangnya mereka tidak disiapkan untuk itu sehingga mereka selalu kalah bersaing dengan orang lain. Untuk kembali hidup dengan tradisi mereka, mereka tak bisa lagi sebab hutan dan alam mereka telah dirusak. Untuk bersaing dengan orang modern mereka juga tak sanggup. Akibatnya, mereka menjadi masyarakat yang mengambang, inferior, dan tidak tentu arah sehingga mereka akan selalu menjadi objek penderita dalam persaingan di dunia ini.
Oleh Dr Junaidi(Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning dan Dosen S-2 Ilmu Komunikasi Universitas Muhamadiyah Riau)
Sumber: Riau Pos, 29 November 2009
Ironis, Kemiskinan di Negeri Kaya
Di era global ini, salah satu kata yang sangat populer adalah kemiskinan. Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan , pakaian , tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup . Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan.
Istilah “negara berkembang” biasanya digunakan untuk merujuk kepada negara-negara yang “miskin”. Ada kata-kata sering diucapkan banyak orang tentang kemiskinan, mereka berkata bahwa pada mulanya adalah kemiskinan, lalu pengangguran. Kemudian kekerasan dan kejahatan (crime). Martin Luther King (1960) mengingatkan, “you are as strong as the weakestof the people.” Kita tidak akan menjadi bangsa yang besar kalau mayoritas masyarakatnya masih miskin dan lemah. Maka untuk menjadi bangsa yang besar mayoritas masyarakatnya tidak boleh hidup dalam kemiskinan dan lemah.
Kenyataan, kemiskinan terus menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah Indonesia sebagai nation state, sejarah sebuah negara yang salah memandang dan mengurus kemiskinan. Dalam negara yang salah urus, tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan kemiskinan. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas. (sumber : www.ekonomirakyat.org). Sehingga banyak juga mengatakan, Kemiskinan bagi bangsa ini adalah komponen keempat setelah air, tanah dan langitnya.
Menurut optik kaum intelektual, bahwa kemiskinan itu adalah bukan masalah kemampuan pribadi, tetapi masalah kelembagaan. Masalah struktural yang melingkupi masyarakat miskin antara lain ketidakadilan penguasaan alat produksi terutama tanah, kualitas SDM, subsidi, akses memperoleh kredit, dan ketidakadilan pasar. Sementara tuntutan Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia (World Bank) dan donatur internasional adalah restrukturisasi, privatisasi, kenaikan tarif utilitas publik, liberalisasi, dan lain-lain yang tidak berpihak pada upaya penanggulangan kemiskinan.
Kaya Tapi Miskin
“Hampir lima juta balita di Indonesia menderita kekurangan gizi dan 1,8 juta yang kurang gizi tersebut bersifat irreversible. Salah satu gejala dari kekurangan gizi yang irreversible itu adalah perkembangan otak balita yang lambat. Akhirnya, jangan heran kalau banyak anak-anak yang imbisil dan debil (bodoh) di negeri ini.” Sungguh sangat miris mendengar kenyataan tersebut.Mengingat negara kita Indonesia adalah negara kaya dengan hasil yang alamnya melimpah. Indonesia adalah negara agraris, tapi lebih dari 37 persen anak Indonesia usia 0-5 tahun (balita) kekurangan gizi yang ditandai dengan bentuk fisik stunted atau tinggi badan tidak sesuai dengan umur. Selain itu dibeberapa propinsi masih ada kasus gizi buruk pada balita di atas prevalensi nasional (5,4 persen).
Misalnya, Aceh dengan angka 10,7 persen, NTT (9,4 persen), NTB (8,1 persen), Sumatera Utara (8,4 persen), Sulawesi Barat (10 persen), Sulawesi Tengah (8,9 persen), dan Maluku (9,3 persen). Ada juga provinsi yang kasus gizi buruk maupun kurang gizinya cukup tinggi. Yakni, NTT, NTB, Sulteng, dan Maluku. (sumber : liza-fathia.com, 03 Jun 2010). Sangat memprihatinkan! Setahun lalu, menurut catatan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Barat 2009, hampir sepertiga dari seluruh keluarga di Kabupaten Cirebon termasuk keluarga prasejahtera alias miskin. Setiap tahun jumlah keluarga prasejahtera ini mengalami kenaikan. Tahun 2007 ada 170.871 keluarga; tahun 2008 ada 176.858 keluarga (30,9 persen); dan tahun 2009 ada 183.084 keluarga (31,4 persen). Jadi, jumlah keluarga miskin ini bertambah sekitar 6.000 keluarga setiap tahun. Keluarga prasejahtera ini tersebar di semua kecamatan dan yang paling besar di Kecamatan Ciledug mencapai 48 persen. Di Kabupaten Cianjur tiga dari 20 keluarga termasuk keluarga miskin, bahkan untuk daerah selatan empat berbanding 20 keluarga. Dari 2006 sampai 2008 ada sekitar 74.000 keluarga prasejahtera yang setiap tahun bertambah sekitar 9.000 keluarga.
Kabupaten Cirebon dan Cianjur, dilihat dari indeks pembangunan manusia (IPM), juga di bawah rata-rata IPM Jabar. Pada 2008 IPM Jabar adalah 71,12, sedangkan Kabupaten Cianjur 68,17 dan Kabupaten Cirebon 67,70. Utara-selatan. Kabupaten Cirebon dan Cianjur mungkin secara ekologi-ekonomi bisa mewakili wilayah utara dan selatan Jabar. Kedua wilayah tersebut termasuk daerah pantai. Cirebon di bagian utara berbatasan dengan Laut Jawa, sementara Cianjur di bagian selatan berbatasan dengan Samudra Hindia. Sudah sejak lama pantai dan laut di kedua kabupaten itu dieksploitasi, khususnya dalam pencarian ikan oleh penduduk setempat. (sumber : cetak.kompas.com, Senin, 29 Maret 2010).
Di Jakarta sendiri, kemiskinan masih marak di tengah ketersediaan berbagai fasilitas mewah dan berlimpah. Ironis pula dengan rencana kenaikan gaji bagi pejabat pemerintah. Sehari-hari, Nurjana, janda dengan dua anak harus hidup di rumah dengan atap yang nyaris runtuh. Bukan cuma itu, dinding rumahnya juga lapuk lantaran terpaan hujan lebat. Perempuan itu bekerja seadanya membungkus keripik sekaligus menjaga anak tetangga dengan penghasilan Rp 20 ribu per hari. Itu dilakukan Nurjana dengan satu tangan lantaran tangan kirinya belum pulih dari patah tulang. Warga yang tinggal di kawasan Petamburan, Jakarta, itu hanya satu dari belasan kisah warga lain yang tinggal di lingkungan kumuh. Tapi di balik kegundahannya, ia masih dapat tersenyum mensyukuri kehidupan sambil berharap pemerintah dapat membantu meringankan beban hidup. (sumber : berita.liputan6.com, 31/01/2010). Menjadi pertanyaan kita semua, jika kemiskinan seperti itu terjadi di negeri yang tandus, gersang, dan tanpa kekayaan alam yang berarti, tentu cukup bisa dimaklumi. Namun sungguh ironis, kemiskinan ini terjadi di negeri yang dikenal sangat kaya dan subur. Fakta yang lebih mencengangkan lagi adalah, kerap kemiskinan itu justru terjadi di daerah yang kekayaan alamnya melimpah ruah, atau justru di pusat sumber kekayaan alam itu.
Penulis: Amstrong Sembiring [POLITIKANA]
www.kabarnet.wordpress.com
Lonceng Kematian NKRI
Menjelang satu tahun usia pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Wakil Presiden Boediono (SBY-Boediono), beberapa lembaga survei menunjukkan betapa merosotnya apresiasi publik atas kinerja Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, baik dalam bidang ekonomi, politik dan keamanan, hukum maupun kesejahteraan sosial.
Apresiasi ini lebih buruk dibandingkan dengan penilaian masyarakat pada kurun waktu yang sama atas KIB I. Bidang politik, hukum, dan keamanan yang menjadi andalan kampanye pasangan SBY-Boediono kini justru terpuruk. Penilaian masyarakat tersebut belum tentu semuanya benar. Namun bila kita lihat adanya upaya untuk menggembosi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan penerapan hukum yang pilih kasih, tampaknya penilaian masyarakat tersebut masuk akal.
Contoh paling konkret dari kesenjangan dalam penegakan hukum ialah betapa njomplang hukuman yang diberikan kepada para koruptor dan terhadap mereka yang masih memiliki gagasan untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tengoklah misalnya seorang mafia hukum sekaliber Sjahril Djohan hanya dikenai hukuman 18 bulan penjara potong tahanan.
Bandingkan dengan para penari Cakalele yang membawa bendera Republik Maluku Selatan (RMS) saat menari di hadapan Presiden SBY beberapa waktu lalu, mereka mendapatkan "hadiah hukuman" 20 tahun penjara. Tampaknya korupsi bukan dianggap sebagai kejahatan luar biasa yang bisa menghancurkan negara atau bermotifkan politik, melainkan kejahatan biasa yang hukumannya tidak berbeda jauh dengan hukuman terhadap seorang nenek yang memungut tiga buah cokelat yang jatuh dari pohon!
Sementara mereka yang dianggap melakukan gerakan separatisme diganjar hukuman yang amat berat karena dianggap melakukan tindakan melawan hukum yang terkait dengan politik. Hukuman yang terlalu berat dan perlakuan yang tidak manusiawi kepada mereka yang dituduh menjadi pengikut RMS menjadikan gerakan separatisme tersebut tumbuh dengan subur kembali. Tindakan penyiksaan juga menyebabkan adanya simpati dan dukungan internasional terhadap mereka yang terhukum ini.
Tak mengherankan bila sebagian kecil pimpinan RMS di negeri Belanda berupaya untuk memanfaatkan rencana kunjungan Presiden SBY ke Negeri Kincir Angin tersebut untuk propaganda politik dengan menuntut kepada pengadilan Belanda agar menangkap Presiden SBY yang dipandang sebagai pelanggar hak asasi manusia.Keputusan Presiden SBY untuk menunda kunjungan ke Belanda semakin menunjukkan bahwa upaya RMS menginternasionalisasi gerakannya sukses besar.
Kasus tindakan kekerasan terhadap mereka yang dituduh sebagai anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang videonya juga ditayangkan di Australia dan beberapa negara di dunia juga menimbulkan simpati dunia terhadap gerakan tersebut. Manakala kita sedang membangun suatu kebersamaan di antara sesama anak bangsa, ternyata ada tindakan semena-mena terhadap sesama anak bangsa yang mungkin saja salah langkah.
Tindakan kejam itu justru menumbuhsuburkan kembali gerakan separatisme di Tanah Air. Kita tidak belajar dari Gerakan Aceh Merdeka yang digagas Hasan Tiro dahulu. Mulanya ia juga gerakan kecil yang didukung 15-20 orang kerabatnya. Namun karena tindak kekerasan aparat terhadap mereka begitu masif, jadilah ia gerakan besar yang mendunia. Dalam bulan-bulan terakhir ini kita juga menyaksikan betapa konflik komunal menggema kembali. Persoalan terorisme juga muncul kembali.
Untuk mengatasi hal itu, bukan tindakan pencegahan yang dilakukan, melainkan seolah negara memelihara konflik komunal, premanisme, dan terorisme. Entah kebetulan atau tidak, apakah itu juga bagian dari skenario besar terkait dengan proyek penanganan terorisme, tetapi persoalan terorisme selalu muncul saat ada isu politik lain yang sedang terjadi di negeri ini. Tengok pula bagaimana cara polisi menangani demo mahasiswa di Makassar.
Kita tidak setuju dengan cara-cara demo mahasiswa yang brutal dan sering melawan aparat keamanan. Namun kita juga tidak setuju dengan cara aparat kepolisian mengatasi demo mahasiswa di Makassar. Jika cara penanganan terhadap mereka yang dituduh separatis, teroris, atau terhadap demonstrasi mahasiswa seperti yang kita lihat di tayangan televisi, kita patut khawatir jangan-jangan lonceng kematian NKRI akan segera berdentang!
Pedulikah para petinggi negara kita atas situasi di lapangan tersebut? Tampaknya mereka lebih sibuk soal reshuffle kabinet karena itu akan terkena langsung pada diri dan partainya. Repotnya lagi bila Presiden SBY melakukan reshuffle kabinet bukan atas dasar merit system, melainkan penjatahan kursi di kabinet bagi partai-partai politik yang menjadi pendukungnya.
Jika pendekatan politik lebih mengemuka dalam penggantian kabinet, secara sadar atau tidak para petinggi negeri hanya sibuk dengan bagi-bagi kekuasaan di antara mereka sendiri, bukan ingin berkarya bagi bangsa. Situasi itu mirip dengan Prancis sebelum revolusi 1770-an ketika para elite politik dan bangsawan tidak peduli dengan situasi negeri dan melontarkan semboyan: apres nous le deluge yang artinya biarlah prahara datang setelah kita pergi.
Kendati di era modern ini tidak ada lagi guillotine pemenggal kepala para elite politik yang merusak negara seperti di Prancis, apakah para elite politik peduli pada masa depan anak cucu mereka yang juga adalah bagian dari bangsa ini? Kita tak ingin lonceng kematian NKRI bergema dalam waktu kapan pun. Untuk itulah kita harus mengawal jalannya pemerintahan negeri ini agar tidak terjadi politik pecah-belah di antara anak-anak negeri.
Oleh : Ikrar Nusa Bhakti
(Penulis adalah Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI)
www.harian-global.com
Kelaparan di Negeri Beras
Hari Sabtu (16/10) kita kembali merayakan Hari Pangan Sedunia (World Food Day). Perayaan yang bertepatan dengan tanggal berdirinya Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) pada 1979 saat sidang umum Organisasi Pangan dan Pertanian se Dunia ke-20 di Roma mengambil tema "Kemandirian Pangan untuk Memerangi Kelaparan". Perayaan Hari Pangan Sedunia (HPS) tahun ini memiliki arti penting untuk memperkuat kesadaran masyarakat terhadap masalah pangan di dunia dan membangun solidaritas untuk mengurangi kelaparan dan kemiskinan.
Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah. Terutama dalam hal pangan maka sudah semestinya pemerintah mampu untuk mengelolanya dengan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan rakyat agar tidak terjadi kelaparan di beberapa daerah. Namun, ironisnya masih didapatkan orang yang mengalami kelaparan di negeri beras ini.
Busung Lapar di Negeri Beras
Berbicara kelaparan pasti tidak dapat dipisahkan dengan kemiskinan. Ini artinya semakin tinggi angka kemiskinan berarti semakin tinggi peluang orang yang lapar atau terkena penyakit busung lapar. Menurut BPS memperkirakan hingga akhir tahun 2010 jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 31,02 juta jiwa dan 19,93 juta jiwa atau 64,2 persen di antaranya tinggal di perdesaan.
Ada pun berdasarkan data terakhir FAO mencatat penduduk yang kekurangan gizi di seluruh dunia mencapai 1,02 miliar. Sementara jumlah penduduk yang kelaparan di Indonesia hingga saat ini masih terus mengalami lonjakan yakni terdapat sebanyak 150 juta orang kelaparan hingga akhir tahun lalu dan menurut Global Hunger Index (GHI) 2010 Indonesia masuk dalam kategori 'serius' yang berada di bawah level 'mengkhawatirkan' dan 'sangat mengkhawatirkan'.
GHI tahun 2010 menunjukkan bahwa gizi buruk anak adalah penyebab terbesar kelaparan di seluruh dunia. Menyumbang hampir setengah dari semua kasus kelaparan yang ada.
Fenomena kemiskinan dalam bentuk busung lapar dan kelaparan yang terjadi di Indonesia justru menjadi aneh karena negara kita ini adalah negara agraris. Memiliki lahan yang setiap jengkalnya dapat ditumbuhi berbagai jenis tanaman, dan hamparan luas daratannya mencapai sekitar 192 juta hektar dan makanan pokoknya pun tidak hanya nasi (padi) tetapi terbagi pada sagu, jagung, dan ubi-ubian.
Tanpa pendekatan bioteknologi pun lahan negeri kita ini mampu menyediakan pangan untuk seluruh penduduknya. Bahkan, berlebih. Sepantasnya kita menjadi negara pengekspor hasil-hasil pertanian dibandingkan negara-negara lain. Bukan sebagai negara pengimpor.
Masalahnya ternyata pada sistem yang diterapkan di negara ini yaitu Kapitalisme dan mentalitas pengelola negara serta penduduknya. Bukan kelangkaan lahan pertanian yang jadi masalah. Tetapi, penguasaan lahan pertanian dan kualitas penguasa dan masyarakat kita.
Dalam sistem Kapitalisme lahan pertanian dinilai sebagai barang ekonomis yang bisa dimiliki oleh siapa pun tanpa batas. Peranan negara hanya sebatas administratif dan fasilitator. Hal ini jelas sangat berbahaya sebab tanah merupakan aset yang tidak terbaharukan (nonrenewable), luasannya tetap, sedangkan penggunanya akan terus bertambah.
Bisa dibayangkan oleh kita ada satu orang konglomerat memagari puluhan bahkan ratusan hektar lahan pertanian di Pulau Jawa tanpa dikelola sama sekali. Sementara banyak masyarakat kita yang miskin jangankan untuk menguasai hektaran lahan untuk sekadar berteduh pun atau menguburkan jenazahnya pun tidak punya. Ini jelas kesalahan dan kedzoliman sistem yang luar biasa. Sebab, tanah ini ciptaan Allah yang disediakan untuk hidup dan menghidupi semua makhluk ciptaan-Nya.
Penyediaan pangan bagi rakyat merupakan hak asasi seluruh rakyat dan kewajiban utama dari negara. Oleh karena itu bila kita berbicara pertanian maka kita tidak dapat melepaskannya dari sistem pemerintahan (politik).
Melihat konsumsi terhadap beras yang setiap tahun terus meningkat pemerintah jelas harus memiliki strategi yang jelas demi ketahanan pangan nasional. Strategi ini tidak cukup hanya ditangani oleh suatu kementerian. Misalnya Kementerian Pertanian. Perlu penanganan dan kerjasama antar kementerian.
Untuk hal ini bisa ditempuh dua jalan. Pertama: dengan jalan intensifikasi (peningkatan produksi) yakni dengan melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan kesuburan tanah, menanam varietas yang produktifitasnya tinggi dengan umur tanam singkat, pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang ramah lingkungan, dan lain-lain.
Kedua: dengan ekstensifikasi (perluasan). Seperti menambah luas area yang akan ditanam. Ekstensifikasi pertanian bisa dicapai dengan mendorong agar masyarakat menghidupkan tanah yang mati. Caranya, Pemerintah memberikan tanah secara cuma-cuma kepada mereka yang mampu bertani tetapi tidak memiliki tanah. Sebaliknya, pemerintah harus mengambil tanah secara paksa dari orang-orang yang menelantarkannya selama tiga tahun berturut-turut.
Supaya lebih strategis kebijakan politik pertanian ini harus dipadukan dengan strategi politik industri. Sebab, berbicara tentang peningkatan produktivitas pertanian perlu adanya mekanisasi pertanian yang dihasilkan dari mesin-mesin pertanian produk industri.
Akhirnya melalui perayaan Hari Pangan Sedunia 2010 ini kita berharap akan muncul komitmen baru pemerintah untuk mengurangi kelaparan dan kemiskinan yakni dengan menjamin kebutuhan pokok setiap individu rakyat. Di antaranya adalah kebutuhan pangan.
Oleh: Andi Perdana Gumilang SPi
(Penulis adalah Tim Markom Lembaga Pertanian Sehat)
www.harian-global.com
Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah. Terutama dalam hal pangan maka sudah semestinya pemerintah mampu untuk mengelolanya dengan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan rakyat agar tidak terjadi kelaparan di beberapa daerah. Namun, ironisnya masih didapatkan orang yang mengalami kelaparan di negeri beras ini.
Busung Lapar di Negeri Beras
Berbicara kelaparan pasti tidak dapat dipisahkan dengan kemiskinan. Ini artinya semakin tinggi angka kemiskinan berarti semakin tinggi peluang orang yang lapar atau terkena penyakit busung lapar. Menurut BPS memperkirakan hingga akhir tahun 2010 jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 31,02 juta jiwa dan 19,93 juta jiwa atau 64,2 persen di antaranya tinggal di perdesaan.
Ada pun berdasarkan data terakhir FAO mencatat penduduk yang kekurangan gizi di seluruh dunia mencapai 1,02 miliar. Sementara jumlah penduduk yang kelaparan di Indonesia hingga saat ini masih terus mengalami lonjakan yakni terdapat sebanyak 150 juta orang kelaparan hingga akhir tahun lalu dan menurut Global Hunger Index (GHI) 2010 Indonesia masuk dalam kategori 'serius' yang berada di bawah level 'mengkhawatirkan' dan 'sangat mengkhawatirkan'.
GHI tahun 2010 menunjukkan bahwa gizi buruk anak adalah penyebab terbesar kelaparan di seluruh dunia. Menyumbang hampir setengah dari semua kasus kelaparan yang ada.
Fenomena kemiskinan dalam bentuk busung lapar dan kelaparan yang terjadi di Indonesia justru menjadi aneh karena negara kita ini adalah negara agraris. Memiliki lahan yang setiap jengkalnya dapat ditumbuhi berbagai jenis tanaman, dan hamparan luas daratannya mencapai sekitar 192 juta hektar dan makanan pokoknya pun tidak hanya nasi (padi) tetapi terbagi pada sagu, jagung, dan ubi-ubian.
Tanpa pendekatan bioteknologi pun lahan negeri kita ini mampu menyediakan pangan untuk seluruh penduduknya. Bahkan, berlebih. Sepantasnya kita menjadi negara pengekspor hasil-hasil pertanian dibandingkan negara-negara lain. Bukan sebagai negara pengimpor.
Masalahnya ternyata pada sistem yang diterapkan di negara ini yaitu Kapitalisme dan mentalitas pengelola negara serta penduduknya. Bukan kelangkaan lahan pertanian yang jadi masalah. Tetapi, penguasaan lahan pertanian dan kualitas penguasa dan masyarakat kita.
Dalam sistem Kapitalisme lahan pertanian dinilai sebagai barang ekonomis yang bisa dimiliki oleh siapa pun tanpa batas. Peranan negara hanya sebatas administratif dan fasilitator. Hal ini jelas sangat berbahaya sebab tanah merupakan aset yang tidak terbaharukan (nonrenewable), luasannya tetap, sedangkan penggunanya akan terus bertambah.
Bisa dibayangkan oleh kita ada satu orang konglomerat memagari puluhan bahkan ratusan hektar lahan pertanian di Pulau Jawa tanpa dikelola sama sekali. Sementara banyak masyarakat kita yang miskin jangankan untuk menguasai hektaran lahan untuk sekadar berteduh pun atau menguburkan jenazahnya pun tidak punya. Ini jelas kesalahan dan kedzoliman sistem yang luar biasa. Sebab, tanah ini ciptaan Allah yang disediakan untuk hidup dan menghidupi semua makhluk ciptaan-Nya.
Penyediaan pangan bagi rakyat merupakan hak asasi seluruh rakyat dan kewajiban utama dari negara. Oleh karena itu bila kita berbicara pertanian maka kita tidak dapat melepaskannya dari sistem pemerintahan (politik).
Melihat konsumsi terhadap beras yang setiap tahun terus meningkat pemerintah jelas harus memiliki strategi yang jelas demi ketahanan pangan nasional. Strategi ini tidak cukup hanya ditangani oleh suatu kementerian. Misalnya Kementerian Pertanian. Perlu penanganan dan kerjasama antar kementerian.
Untuk hal ini bisa ditempuh dua jalan. Pertama: dengan jalan intensifikasi (peningkatan produksi) yakni dengan melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan kesuburan tanah, menanam varietas yang produktifitasnya tinggi dengan umur tanam singkat, pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang ramah lingkungan, dan lain-lain.
Kedua: dengan ekstensifikasi (perluasan). Seperti menambah luas area yang akan ditanam. Ekstensifikasi pertanian bisa dicapai dengan mendorong agar masyarakat menghidupkan tanah yang mati. Caranya, Pemerintah memberikan tanah secara cuma-cuma kepada mereka yang mampu bertani tetapi tidak memiliki tanah. Sebaliknya, pemerintah harus mengambil tanah secara paksa dari orang-orang yang menelantarkannya selama tiga tahun berturut-turut.
Supaya lebih strategis kebijakan politik pertanian ini harus dipadukan dengan strategi politik industri. Sebab, berbicara tentang peningkatan produktivitas pertanian perlu adanya mekanisasi pertanian yang dihasilkan dari mesin-mesin pertanian produk industri.
Akhirnya melalui perayaan Hari Pangan Sedunia 2010 ini kita berharap akan muncul komitmen baru pemerintah untuk mengurangi kelaparan dan kemiskinan yakni dengan menjamin kebutuhan pokok setiap individu rakyat. Di antaranya adalah kebutuhan pangan.
Oleh: Andi Perdana Gumilang SPi
(Penulis adalah Tim Markom Lembaga Pertanian Sehat)
www.harian-global.com
Kebebasan, Hukum dan Etika Berdemokrasi
Tiga elemen yakni kebebasan, hukum, dan etika sangat vital dalam kehidupan berdemokrasi kalau bangsa dan negara ini ingin tertib dan beradab. Pertama, kebebasan.
Tanpa ada jaminan kebebasan berserikat dan berekspresi, demokrasi tak ada maknanya. Tanpa ada kebebasan, seorang yang beragama bahkan tidak akan bisa tulus dalam melaksanakan ajaran agamanya. Bisakah beriman dengan tulus jika seseorang beragama karena paksaan? Dalam hal kebebasan ini, kondisi sosial politik Indonesia sudah menunjukkan kemajuan luar biasa. Orang bebas mendirikan partai politik (parpol), yang kemudian nanti masyarakat yang akan menentukan hidup-matinya. Kedua, ketegasan hukum. Sebuah masyarakat, jika hanya menikmati kebebasan dan tidak disertai penegakan hukum yang jelas dan tegas, iklim kebebasan lama-lama akan menghancurkan dirinya. Masyarakat akan terjebak dalam suasana kompetisi tanpa kendali yang berujung pada konflik dan pertempuran.
Karena itu, sistem demokrasi dalam sebuah negara yang sehat, kebebasan mesti dikawal dan dijaga oleh penegakan hukum. Lihat dan pelajari saja negara demokrasi yang sudah tua dan mapan seperti di Inggris atau Amerika Serikat (AS), hukum sangat wibawa di sana. Personifikasi hukum ini tampil dalam korps kepolisian, kehakiman, dan kejaksaan. Di Indonesia aspek penegakan hukum ini sangat menyedihkan sehingga pilar kebebasan menjadi destruktif, menghancurkan dirinya sendiri dan menggerogoti demokrasi, kecuali jika penegakan hukum yang tegas dan wibawa segera diwujudkan. Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dirancang untuk mengawal demokrasi dan reformasi agar hukum tegak, korupsi bisa dikurangi secara drastis sehingga kesejahteraan rakyat terwujud. Tetapi, yang terjadi sungguh menyedihkan.
Masyarakat semula sangat antusias terhadap peran KPK untuk membangun optimisme masa depan.Tetapi, banyak pihak yang tidak menghendaki KPK ini tumbuh besar, kokoh, dan menjaga ibu pertiwi dari maling-maling, koruptor, dan garong yang menghancurkan ekonomi bangsa. Presiden, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan idealnya merupakan penjaga KPK yang paling setia untuk memberantas korupsi dan menegakkan hukum di Indonesia. Tetapi, berbagai hambatan kerja KPK tampaknya justru datang dari lembaga-lembaga yang mestinya menjadi suporter dan penjaganya. Ini suatu ironi reformasi dan demokrasi di Indonesia. Ketiga, etika berpolitik. Jika mengacu pada Pancasila yang menjadi dasar dan ideologi negara, perjalanan berbangsa dan bernegara ini mestinya sudah sampai pada tahapan etika.
Di atas kebebasan dan penegakan hukum di sana ada etika berpolitik dan berdemokrasi. Ini lebih tinggi derajatnya, merupakan refleksi dan manifestasi sila ketuhanan dan kemanusiaan. Kalau kebebasan dan hukum untuk memperkokoh semangat kebangsaan dan kerakyatan, etika merupakan pesan ketuhanan dan kemanusiaan. Pada tahap ini orang berdemokrasi dan berpolitik tidak saja berpegang pada kaidah hukum, tetapi juga lebih pada kesadaran dan kepantasan moral (moral decency). Ini sesungguhnya bukan suatu utopia. Di Jepang misalnya seorang pejabat tinggi akan mundur karena pertimbangan moral. Malu ketika gagal melaksanakan tugas, lalu mundur. Mereka lebih menghayati sila kemanusiaan. Ada prinsip harga diri.
Pada awal kemerdekaan para pendiri bangsa ini juga memiliki standar etika yang tinggi dalam berpolitik. Hubungan Natsir dan Kasimo misalnya meski berbeda agama dan sering terlibat perdebatan seru dalam persidangan, keduanya dikenal sangat baik dalam hubungan kekeluargaan. Begitu pun Hatta dan Mohamad Roem, mereka sangat sederhana dan bersih dari korupsi. Mereka telah memberikan teladan bagaimana menjunjung etika dalam berdemokrasi. Mereka menghayati spirit sila ketuhanan dan kemanusiaan. Situasi dan perkembangan politik saat ini sungguh semakin menyedihkan. Yang menonjol semua orang ingin bebas. Bebas apa saja.
Bebas mendirikan partai. Bebas berekspresi. Kalau bisa juga ingin bebas menggunakan kekuasaan yang tengah dimiliki untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Bahkan ingin bebas korupsi lalu bebas dari jeratan hukum. Para ekstremis-radikalis dan teroris juga semakin bebas menentang negara dan menghujat Pancasila. Salah satu jalan yang mendesak untuk dilakukan pemerintah adalah menegakkan hukum untuk mengawal pilar kebebasan dalam berdemokrasi. Lembaga penegak hukum mesti diperkuat. Sekarang ini Presiden memiliki peluang historis untuk memilih jaksa agung, Kapolri, dan Ketua KPK baru agar ketiganya membangun sinergi di bawah komando Presiden untuk memberantas korupsi secara kencang.
Kalau ini segera dilakukan, wibawa hukum secara perlahan akan membaik. Kalau tidak, yang akan mengemuka adalah kebebasan yang tidak terkontrol. Hukum dilecehkan, etika semakin ditinggalkan dalam kehidupan politik kita. Rakyat semakin merasa letih. Bencana alam sambung-menyambung. Kecelakaan transportasi susul-menyusul. Rakyat mulai bertanya, di mana negara? Apa yang dilakukan pemerintah untuk melindungi rakyatnya? Lagi sibuk apa parpol yang katanya dibentuk untuk memajukan demokrasi demi memajukan bangsa?
Oleh: Prof DR Komaruddin Hidayat
(Penulis adalah Rektor UIN Syarif Hidayatullah)
www.harian-global.com
Tanpa ada jaminan kebebasan berserikat dan berekspresi, demokrasi tak ada maknanya. Tanpa ada kebebasan, seorang yang beragama bahkan tidak akan bisa tulus dalam melaksanakan ajaran agamanya. Bisakah beriman dengan tulus jika seseorang beragama karena paksaan? Dalam hal kebebasan ini, kondisi sosial politik Indonesia sudah menunjukkan kemajuan luar biasa. Orang bebas mendirikan partai politik (parpol), yang kemudian nanti masyarakat yang akan menentukan hidup-matinya. Kedua, ketegasan hukum. Sebuah masyarakat, jika hanya menikmati kebebasan dan tidak disertai penegakan hukum yang jelas dan tegas, iklim kebebasan lama-lama akan menghancurkan dirinya. Masyarakat akan terjebak dalam suasana kompetisi tanpa kendali yang berujung pada konflik dan pertempuran.
Karena itu, sistem demokrasi dalam sebuah negara yang sehat, kebebasan mesti dikawal dan dijaga oleh penegakan hukum. Lihat dan pelajari saja negara demokrasi yang sudah tua dan mapan seperti di Inggris atau Amerika Serikat (AS), hukum sangat wibawa di sana. Personifikasi hukum ini tampil dalam korps kepolisian, kehakiman, dan kejaksaan. Di Indonesia aspek penegakan hukum ini sangat menyedihkan sehingga pilar kebebasan menjadi destruktif, menghancurkan dirinya sendiri dan menggerogoti demokrasi, kecuali jika penegakan hukum yang tegas dan wibawa segera diwujudkan. Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dirancang untuk mengawal demokrasi dan reformasi agar hukum tegak, korupsi bisa dikurangi secara drastis sehingga kesejahteraan rakyat terwujud. Tetapi, yang terjadi sungguh menyedihkan.
Masyarakat semula sangat antusias terhadap peran KPK untuk membangun optimisme masa depan.Tetapi, banyak pihak yang tidak menghendaki KPK ini tumbuh besar, kokoh, dan menjaga ibu pertiwi dari maling-maling, koruptor, dan garong yang menghancurkan ekonomi bangsa. Presiden, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan idealnya merupakan penjaga KPK yang paling setia untuk memberantas korupsi dan menegakkan hukum di Indonesia. Tetapi, berbagai hambatan kerja KPK tampaknya justru datang dari lembaga-lembaga yang mestinya menjadi suporter dan penjaganya. Ini suatu ironi reformasi dan demokrasi di Indonesia. Ketiga, etika berpolitik. Jika mengacu pada Pancasila yang menjadi dasar dan ideologi negara, perjalanan berbangsa dan bernegara ini mestinya sudah sampai pada tahapan etika.
Di atas kebebasan dan penegakan hukum di sana ada etika berpolitik dan berdemokrasi. Ini lebih tinggi derajatnya, merupakan refleksi dan manifestasi sila ketuhanan dan kemanusiaan. Kalau kebebasan dan hukum untuk memperkokoh semangat kebangsaan dan kerakyatan, etika merupakan pesan ketuhanan dan kemanusiaan. Pada tahap ini orang berdemokrasi dan berpolitik tidak saja berpegang pada kaidah hukum, tetapi juga lebih pada kesadaran dan kepantasan moral (moral decency). Ini sesungguhnya bukan suatu utopia. Di Jepang misalnya seorang pejabat tinggi akan mundur karena pertimbangan moral. Malu ketika gagal melaksanakan tugas, lalu mundur. Mereka lebih menghayati sila kemanusiaan. Ada prinsip harga diri.
Pada awal kemerdekaan para pendiri bangsa ini juga memiliki standar etika yang tinggi dalam berpolitik. Hubungan Natsir dan Kasimo misalnya meski berbeda agama dan sering terlibat perdebatan seru dalam persidangan, keduanya dikenal sangat baik dalam hubungan kekeluargaan. Begitu pun Hatta dan Mohamad Roem, mereka sangat sederhana dan bersih dari korupsi. Mereka telah memberikan teladan bagaimana menjunjung etika dalam berdemokrasi. Mereka menghayati spirit sila ketuhanan dan kemanusiaan. Situasi dan perkembangan politik saat ini sungguh semakin menyedihkan. Yang menonjol semua orang ingin bebas. Bebas apa saja.
Bebas mendirikan partai. Bebas berekspresi. Kalau bisa juga ingin bebas menggunakan kekuasaan yang tengah dimiliki untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Bahkan ingin bebas korupsi lalu bebas dari jeratan hukum. Para ekstremis-radikalis dan teroris juga semakin bebas menentang negara dan menghujat Pancasila. Salah satu jalan yang mendesak untuk dilakukan pemerintah adalah menegakkan hukum untuk mengawal pilar kebebasan dalam berdemokrasi. Lembaga penegak hukum mesti diperkuat. Sekarang ini Presiden memiliki peluang historis untuk memilih jaksa agung, Kapolri, dan Ketua KPK baru agar ketiganya membangun sinergi di bawah komando Presiden untuk memberantas korupsi secara kencang.
Kalau ini segera dilakukan, wibawa hukum secara perlahan akan membaik. Kalau tidak, yang akan mengemuka adalah kebebasan yang tidak terkontrol. Hukum dilecehkan, etika semakin ditinggalkan dalam kehidupan politik kita. Rakyat semakin merasa letih. Bencana alam sambung-menyambung. Kecelakaan transportasi susul-menyusul. Rakyat mulai bertanya, di mana negara? Apa yang dilakukan pemerintah untuk melindungi rakyatnya? Lagi sibuk apa parpol yang katanya dibentuk untuk memajukan demokrasi demi memajukan bangsa?
Oleh: Prof DR Komaruddin Hidayat
(Penulis adalah Rektor UIN Syarif Hidayatullah)
www.harian-global.com
DPR: Kumpulan Manusia Tanpa Titik
Cogito ergo sum". Yang artinya kira-kira: karena saya berfikir maka saya hadir. Descartes menerjemahkan akal-budinya yang ideal itu kurang lebih empat abad yang lalu. Apa yang bisa ditangkap?
Bahwa hakikat dan eksistensi manusia, jika keberadaannya hendak diperhitungkan, maka ia pun harus menghitung kehadiran dan kehidupan, untuk apa semuanya? Jika ditarik lebih luas, Descartes bercerita mengenai dirinya dan untuk dirinya, "cogito ergo sum" menjadi semacam pertanggungjawaban dalam ranah privasi maupun relasi sosial. Maka, pada mulanya jika ingin membentuk kebeningan sikap dan cita adiluhung itu, mesti diawali dengan penanaman dan penguatan nilai-nilai privasi tadi.
Sangat jauh rentang yang terjadi antara masanya Descartes dengan komunitas politik di negeri ini, kini. Karena, sesungguhnya, ucapannya yang bermoral dan kuat asa tersebut begitu paradoks dengan bangunan realitas kini, di mana "karena saya berfikir maka saya hadir" diubah menjadi "karena saya malas berfikir maka saya mangkir (bolos)".
DPR yang seyogyanya menjadi naungan aspirasi masyarakat yang diwakilinya, tega malah menjadi "satron" dan bahkan benalu kehidupan masyarakat. Jika tidak setuju, maka jelaskan mengapa begitu banyak proyek DPR yang harganya fantastis, yang penulis yakini sulit sekali menemukan urgensitas yang valid dan realibel terhadap moda kepentingan rakyatnya?
Mengenai studi banding misalnya "pasca lepasnya proyek dana aspirasi, rumah aspirasi, gedung baru" dijelaskan bahwa itu semua merupakan amanat konstitusi, di mana dewan mesti produktif dan berkualitas dalam merancang sebuah undang-undang. Oleh karenanya, perlu diadakan semacam "pengkarungan" referensi dari berbagai negara yang telah melaksanakan undang-undang yang hendak dirancang, disusun dan disahkan oleh DPR.
Untuk itu, makanya dalam rentang 2005 - 2010, anggaran biaya melancong ke luar negeri atau bahasa kerennya "studi banding" naik tujuh kali lipat dari 23,55 miliar menjadi 162,94 miliar.
Permasalahannya tentu bukan pada sebanyak-banyaknya mengumpulkan referensi untuk membuat undang-undang yang berkualitas; dengan studi pustaka, lewat internet, dan tentu studi banding, melainkan cara dan mekanisme studi banding yang terkesan bagi-bagi jatah pelesiran saja.
Bisa dijamin, dari puluhan anggota dewan yang pergi studi banding, paling hanya setengah atau sepertiganya saja yang benar-benar menjalankan amanat sebagai wakil rakyat. Selebihnya, tak lebih dari menambah koleksi foto pribadi, mencari oleh-oleh dari negara tujuan, menikmati fasilitas gratis sebagai anggota dewan.
Jika demikian, sulit studi banding DPR benar-benar pure untuk kepentingan penyusunan sebuah undang-undang. Terlebih kontraproduktif akan semakin terjadi tatkala apatisme publik dibalas dengan jurus semakin menjadi-jadinya fenomena dewan ingkar terhadap janji-janji saat kampanyenya. Parade bolos-membolos DPR, yang meski disorot berbagai media secara masif namun masih saja dilakukan menjadi cermin kuat bahwa kepekaan dan logika merasa dan mendengar DPR sudah kian parah.
Tercebur dalam Hegemoni
Sikap DPR tersebut tak lebih merupakan pantulan dari tiga hal; pertama, DPR terlalu kepedean menganggap publik yang diwakilinya amnesia. Gampang lupa terhadap apa yang dijanjikannya ketika kampanye. Apalagi jika tidak dituangkan dalam kontrak politik.
Anggapan seperti itulah yang membuat anggota DPR demikian semakin larut dalam hegemoni, baik politis maupun ekonomi. Makanya tak mengherankan jika gaya dan logat dewan seperti orang yang, meminjam satire yang sering diungkap dai kondang KH Zainuddin MZ, hendak berbuka puasa. Makan selahap-lahapnya hingga ia lupa terhadap yang memberi makanan tersebut. Bahkan, ia lupa terhadap perintah sunnati yang penting: shalat tarawih.
Anggota DPR, yang ketika dilantik diniatkan untuk "berbuka puasa" maka jangan pangling jika ia telah menjadi manusia rakus, hedonis, pelupa, dan maruk.
Kedua, tak adanya pengawasan terhadap DPR secara formal menjadikan kelakukan naif, ironis, sporadis, dan sadis anggota dewan semakin terkukuhkan dan eksis. Dalam sebuah artikel, penulis sempat menulis dan mengingatkan bahwa "lembaga pengawasan informal" dengan sendirinya telah terbentuk, meski secara virtual.
Meski demikian, aksi-reaksi walau dalam tataran maya-nyata semakin diafirmasi oleh masifnya gelembung opini di jagat virtual, dan semakin "menyata" dan bersentuhan dengan "makhluk" yang diawasinya (DPR). Yakni, Dewan Perwakilan facebooker's (DPR online) yang bisa kapan saja dan di mana saja mengawasi, mengkritik, bahkan menghakimi DPR nyata. Meski "keputusan" (seperti sejuta dukungan untuk Prita, sejuta dukungan untuk Bibit-Chandra, bahkan sejuta dukungan untuk Ariel-Luna, dan seterusnya) yang diambil sebagai respons atas ulah DPR yang dianggap telah mengeluarkan keputusan yang tidak pro-rakyat, meski tidak memiliki legitimasi hukum-materiil yang kuat, namun memiliki vonis sosial-moral yang "mengikat".
Ketiga, anggapan mumpung menjadi anggota dewan semakin mengafirmasi keserakahan dan sedikit arogan para wakil rakyat. Serakah kenapa? Betapa tidak, di saat jutaan warga miskin tengah megap-megap mencari nafkah sehari-hari, meregang nyawa hanya demi puluhan atau ratusan ribu rupiah, atau rela menjadi babu di negeri orang yang diperkosa dan diinjak-injak harga diri dan bangsanya, para elite DPR malah sibuk dengan wacana yang sama sekali tidak ada di benak rakyat, dana aspirasi, rumah aspirasi, gedung baru, renovasi rumah dinas, kenaikan gaji, kenaikan anggaran kunjungan kerja (kungker).
Itu semua disebabkan karena semata-mata "mumpung" tadi. Mumpung jadi anggota dewan, karena siapa tahu sebentar lagi ditangkap KPK, di-PAW-kan, tidak terpilih lagi, dan seterusnya. Ketiga hal itulah yang semakin membuat anggota dewan kita semakin tercebur dalam hedonisme sesaatnya.
Kumpulan Manusia Tanpa Titik
Tanpa titik berarti koma, koma, dan koma. Tanpa penyelesaian dan akhir. Tanpa titik ibarat hujan yang tak pernah berhenti menitik di bumi. Itulah anggota dewan, yang kaya dengan ide kontroversial namun miskin pengayaan dan rasa.
Pemunculan ide semisal dana aspirasi, rumah aspirasi, renovasi rumah, pembangunan gedung baru, deretan tunjangan dan fasilitas yang berbaris hanya oleh koma nyaris tanpa titik. Hingga kenaikan biaya kunjungan kerja yang besar, menjadikan DPR tak lebih dari kumpulan manusia tanpa titik.
Koma dalam terminologi ini menjadi semacam deret jumlah. Stereotip berbagai fasilitas dan keenakan lain yang diterima DPR, dan hingga kapan akan diakhiri dengan titik (tanda koma berakhir) siapa pun tak ada yang mengetahuinya.
Jika sekarang ada dana aspirasi, rumah aspirasi, dst, dst, mungkin lima atau sepuluh tahun kemudian akan ada "haji aspirasi" = untuk anggota dewan yang hendak berhaji dangan uang rakyat, "spa aspirasi" = untuk anggota dewan yang ingin ber-spa-spa ria karena pegel setelah mangkir sidang, "hotel aspirasi", "pesawat aspirasi" dan "aspirasi-aspirasi" lainnya karena seyogyanya "titik" yang merupakan pengerem hasrat aspirasi anggota dewan telah absen untuk waktu yang tak ditentukan.
DPR, tolong hentikan menjadi kumpulan manusia tanpa titik, sekarang!
oleh : Ecep Heryadi
(Analis Politik UIN Jakarta, Intelektual Muda Muhammadiyah, tinggal di Jalan Nusantara Raya No 113 Depok)
www.harian-global.com
Korupsi, Kemiskinan dan MDGs
Di tengah sumber daya alam melimpah tampaknya antara korupsi dan kemiskinan telah berjalan sinergi di negeri kita yang baru saja memperingati kemerdekaan ke 65. Upaya Indonesia menurunkan angka kemiskinan dalam 10 tahun terakhir tidak berwujud nyata. Jumlah penduduk miskin tetap saja memprihatinkan dan tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa angka ukuran kemiskinan nasional pada tahun 1990 mencapai 27,2 juta atau 15,1 persen dari total penduduk. Sedangkan pada tahun 2009 terdapat jumlah 32,53 juta jiwa penduduk miskin. Atau sekitar 14,15 persen dari total jumlah penduduk 231.37 juta orang. Sementara per Maret 2010 sebanyak 31,02 juta orang atau 13,33 persen dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237,6 juta. Data tersebut itu pun masih menjadi perdebatan. Dengan ukuran kemiskinan pendapatan standar kecukupan hidup 1 Dolar AS per hari, kalau yang digunakan 2 Dolar AS per hari, jumlah orang miskin tentunya bisa lebih membengkak lagi. Meski secara data statistik sedikit terjadi penurunan yang tidak berarti. Di tengah gencarnya agenda program membangun strategi "tiga jalur" (triple track strategy) yaitu pro-kaum miskin (pro-poor), pro-pertumbuhan (pro-growth), dan pro-lapangan kerja (pro-job) di Kabinet Bersatu Jilid II ini tercatat dalam laporan peringkat negara terkorup yang dikeluarkan pada bulan Maret 2010 oleh Political and Economic Risk Consultancy Indonesia menduduki peringkat terkorup dari 16 negara di Asia Tenggara. Korupsi dan Kemiskinan telah terlanjur menjadi kombinasi buruk bagi pencitraan Indonesia. Peringatan Dana Moneter Internasional (IMF) juga datang baru-baru ini terhadap Indonesia akan bahaya korupsi yang biasanya melalui jaur resmi pemerintah maupun orang sekitar atau keluarga akan menghambat proses kemajuan. Selain dari itu tata kelola pemerintahan dan kelembagaan yang tidak kuat dan birokrasi yang dipenuhi praktek korupsi di segala lini telah melengkapi kesengsaraan rakyat dan kesenjangan ekonomi di Indonesia. Tujuan Pembangunan Millenium Pada September 2000 para pemimpin dunia bertemu di New York mendeklarasikan sebuah optimisme dan tujuan besar yang dikenal dengan "Tujuan Pembangunan Millenium" (Millenium Development Goals - MDGs). Dengan harapan pencapaian tujuan pada tahun 2015. Poin pertama dari ke delapan tujuan yang dideklarasikan pada pertemuan tingkat tinggi PBB tersebut adalah memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrem. Bagi Indonesia persoalan kemiskinan masih menjadi isu serius. Upaya menurunkan tingkat kemiskinan 10 tahun terakhir terlihat masih kedodoran. Poin tujuan kedua MDGs adalah mewujudkan pendidikan dasar untuk semua. Dengan pendapatan tepat di garis ambang di bawah 1 Dolar AS per hari per orang tentunya dipertanyakan kualitas hidup yang dijalani masyarakat dan kualitas pendidikan untuk dapat membekali anak-anak dan generasi muda. Tujuan MDGs ketiga, mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Menurut Amnesty International dan beberapa pandangan yang bervariasi mengenai optimisme pencapaian sasaran MDGs dalam kurun waktu tersisa lima tahun serta menyongsong pelaksanaan pertemuan tingkat tinggi PBB dalam mengevaluasi pencapaian MDGs tanggal 22 hingga 23 September mendatang di New York. Bahwa, tujuan pembagunan millenium gagal dalam mengentaskan kemiskinan. Pemerintah mengabaikan hak-hak asasi manusia. Diperkirakan 70 persen dari mereka yang miskin adalah kaum perempuan yang secara realitas bahwa MDGs telah gagal dalam mengentaskan kelompok penduduk miskin serta luasnya diskriminasi yang dialami kaum perempuan. Di tengah kemajuan kaum perempuan Indonesia di sisi lain kaum perempuan bagi sebagian masyarakat miskin masih banyak dipandang bukan sebagai sumber potensial dalam meningkatkan pendapatan keluarga. Demikian pula pada kebijakan hukum dan pratek pemerintahan masih sering dihadapkan pada hal-hal yang bersifat bias jender dan bersifat diskriminatif. Poin keempat menurunkan angka kematian anak. Dan, kelima adalah meningkatkan kesehatan ibu hamil. Sekretaris Jendral PBB Ban Ki-moon melihat kematian anak dan peningkatan kesehatan ibu hamil secara global adalah tujuan tujuan MDGs yang pencapaiannya paling lambat dan mengingatkan Negara-negara pendukung MDGs untuk mengurangi angka kematian anak di bawah umur lima tahun dan menurunkan angka kematian ibu. Keenam, memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya. Survei Demografi dan kesehatan Indonesia dan catatan Kementerian kesehatan bahwa kasus HIV/AIDS terus bertambah dan sulit dikendalikan. Kasus AIDS selama lima tahun terakhir meningkat delapan kali lipat yaitu sampai dengan Juni 2010 tercatat ada 21,770 kasus. Ketujuh, kelestarian lingkungan. Berbagai tragedi dan kerusakan lingkungan terjadi di negeri ini dalam kurun waktu dua puluh tahun terakhir. Sampai hari ini masyarakat pesisir dan nelayan masih menjadi komunitas terpinggirkan yang kehilangan hak hidup sehingga tetap berkutat pada lingkaran kemiskinan di sepanjang 95,181 ribu km garis pantai Nusantara. Empat juta kepala keluarga masyarakat pesisir yang bermukim di 8.090 desa, ternyata 32 persen di antaranya hidup miskin (Saad, 2009) sehingga terpaksa menebang bakau, menambang terumbu karang untuk menopang kehidupannya, dan karena kemiskinan itu pula akhirnnya berdampak pada meluasnya kerusakan ekosistem. Poin terakhir adalah mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. Merancang dan mengembangkan program penanggulangan kemiskinan dan pengangguran yang efektif di Indonesia adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan energi yang cukup besar. Prof David T Ellwood, Guru Besar Ekonomi dan Dekan Harvard Kennedy School menyampaikan Presidential Lecture di Istana Negara, 15 September lalu mengingatkan bahwa elemen atau syarat yang diperlukan dalam menghapus kemiskinan adalah ekonomi yang kuat, keunggulan komparatif jangka panjang, kelembagaan dan pemerintahan yang kuat dan efektif (penegakan rule of law yang kredible yang mampu mengurangi praktik korupsi), serta program bagi kaum miskin yang dirancang dengan seksama (thoughtfully constucted). Sebenarnya apa yang disampaikan oleh Ellwood bukan hal baru di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang kuat adalah suatu elemen yang memang harus dimiliki suatu negara untuk menghapus kemiskinan demikian pula kelembagaan dan pemerintahan yang kuat telah berjalan di negeri kita. Namun, telah mengalami banyak hambatan dan belum optimal. Target prioritas sasaran MDGs ialah menjamin penghapusan kemiskinan dan kelestarian lingkungan, menopang kesehatan, mengurangi tingkat kematian ibu melahirkan, mengurangi kematian bayi, dan sebagainya tentu memerlukan kerja sama dan prilaku korupsi pejabat harus dihilangkan di bumi pertiwi. Written by Redaksi Web (Penulis adalah anggota Perhimpunan Alumni Jepang (PERSADA), tinggal di Jl Sunu FX-5 Kompl Unhas Baraya Makassar) www.harian-global.com |
Kemiskinan Akan Melahirkan Kejahatan
Bahkan menurut perhitungan salah satu lembaga pemerintah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), angka kemiskinan tahun ini bisa mencapai 33,7 juta orang. Itu terjadi kalau ekonomi cuma tumbuh 4,5% dan inflasi lari sampai 9%. Pertumbuhan ekonomi yang tidak stabil ditambah kebijakan yang tidak tepat dan kurang memihak makin membuat angka kemiskinan menanjak tajam. Krisis ekonomi yang berkepanjangan menambah panjang deret persoalan yang membuat negeri ini semakin sulit keluar dari jeratan kemiskinan.
Kemiskinan “Menelorkan” Kejahatan
Sungguh miris membayangkan masalah kemiskinan di negeri yang katanya kaya akan segalanya, tetapi angka kemiskinan masih tinggi juga dan dampak multidimensional yang timbul dari masalah tersebut salah satunya akan meningkatkan angka-angka kejahatan (criminal) yang berawal dari menjamurnya pengangguran, efek selanjutnya adalah kekerasan terutama dalam bentuk kriminal jalanan (crime street) yang banyak terjadi belakangan ini, seperti pencurian (Bahasa Belanda = Diefstal), perampokan atau dalam hukum pidana dikenal pencurian dengan kekerasan (gequalifeeceerde diefstal), pemerasan (afpersing), pembunuhan (doodslag), penipuan, dan lain-lain.
Usaha penegakan hukum yang ada tidak cukup hanya menangkap, memproses dalam peradilan dan menjatuhkan pidana atau hukuman pada pelaku. Cara ini hanya berupa pembalasan (retribution) dan penjeraan (deterence) semata. Karena hal-hal tersebut bukan tolak ukur dari keberhasilan penegakan hukum suatu bangsa. Konteks tersebut sesuai dengan pendapat Prof. Ramli Atmasasmita dalam seminar Politik Hukum Nasional di UNPAD Bandung beberapa waktu yang lalu, beliau mengatakan : “Bahwa tolak ukur dari keberhasilan penegakan hukum tidak pernah ada dan sulit untuk diukur”.
Masalah kemiskinan dan kejahatan selalu tampak di depan mata, yang selalu ada dalam bentuk dan warna yang berbeda-beda mengisi sudut-sudut sosial masyarakat. Mengenai masalah ini, Prof. Muhammad Mustofa pakar kriminologi pernah berkata bahwa: “Menangkap dan menghukum orang yang melakukan kejahatan relatif mudah. Yang tidak mudah adalah membuat agar supaya orang tidak melakukan kejahatan”.
Artinya dalam masalah ini tidak cukup hanya melakukan tindakan setelah terjadinya kejahatan-kejahatan saja, tetapi lebih “menohok” pada akar yang menyebabkan timbulnya masalah kejahatan yakni yang tadi disebut kemiskinan (destitution). Inilah suatu langkah awal yang tepat dalam upaya untuk melakukan pencegahan (prevention) timbulnya kejahatan.
Jalan keluarnya adalah bagaimana kita berpikir untuk lebih fokus pada kesejahteraan masyarakat (social welfare) karena kesejahteraan adalah hak konstitusional warga negara. Tidak hanya menempatkan warga negara sebagai komoditi eksploitasi semata dengan meningkatnya harga sembako, naiknya tarif dasar listrik (TDL), naik dan susahnya mendapatkan BBM dan lain-lain. Dalam usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat harus terpikirkan usaha-usaha untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang baik dan tepat sasaran dengan perkembangan suatu daerah ke depan, dengan langkah tersebut pada akhirnya mampu meminimalisir pengangguran.
Memang tidak mudah untuk menanggulangi kejahatan yang menimbulkan gejala-gejala sosial yang membuat suasana tidak kondusif di masyarakat. Tetapi paling tidak sedikit terpikirkan usaha untuk menata keadaan atau sistem yang ada dengan berusaha bagaimana masyarakat terjauhkan dari keadaan yang membuat mereka melakukan cara pintas untuk bertahan hidup akibat kemiskinan yang ada.
Menyitir pendapat Savelsberg, kebijakan kriminal yang pada dasarnya merupakan kebijakan sosial bertujuan untuk mengubah struktur sosial, bukan dalam bentuk resosialisasi atau penghukuman.
Dalam hal ini perlu dilakukan penataan sistem yang ada harus selalu berkesinambungan dan proses sinkronisasi harus selalu terjaga antara lembaga yang satu dengan lembaga yang lainnya dalam usaha pengambilan kebijakan hukum untuk penegakan hukum yang berkeadilan, tidak ketinggalan peran serta masyarakat tetap dibutuhkan sebagai kontrol sosial dalam menjalankan sistem hukum yang ada.
Penataan sistem yang carut marut memang tidak mudah apalagi sekarang kesan yang timbul bahwa kita telah terperangkap dalam mata rantai “lingkaran setan” yang tidak tahu harus dimulai dari mana.
Sekali lagi menjamurnya kejahatan-kejahatan jalanan tidak lain karena berhubungan dengan “isi perut” masyarakat, bagaimana kebutuhan pokok mereka terpenuhi atau tidak ? Adapun kebijakan yang timbul harus selalu memperhatikan hak pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat, tidak cukup hanya pertimbangan kepentingan sesaat tetapi bagaimana menciptakan suasana yang kondusif dan terkendali setelah adanya kebijakan tersebut terutama berkembangnya masalah-masalah kejahatan jalanan yang timbul karena kemiskinan.
Penulis: Oleh : Toni, SH. MH. (Dosen Prodi Ilmu Hukum FHIS Universitas Bangka Belitung)
www.cetak.bangkapos.com