Sesungguhnya dasar hukum Islam bersumber dari Al Qur'an dan Hadits. Al Qur'an merupakan kumpulan firman Allah yang berisi petunjuk bagi orang yang bertakwa, sedang Hadits merupakan penjelasan dari Nabi Muhammad SAW.
Jika ada masalah yang tak ada solusinya dalam Al Qur'an dan Hadits, barulah para ulama Mujtahid bisa melakukan ijtihad untukmencapai Ijma' Ulama (Kesepakatan ulama) yang tentunya tak boleh bertentangan dengan Al Qur'an dan Hadits. Hal ini sama dengan peraturan camat tak boleh bertentangan dengan peraturan Walikota,peraturan pemerintah, dan UUD:
"Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa," [Al Baqoroh:2]
Sebagai Muslim, kita dilarang kafir (mengingkari) perintah Allah dalam Al Qur'an:
"Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah Aku turunkan (Al Qur'an)yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa" [Al Baqoroh:41]
Kafir terhadap Al Qur'an bukan cuma berarti dia terang-terangan menyatakan kafir terhadap isi Al Qur'an, tapi juga dia berusaha menafsirkan isi Al Qur'an sehingga berbeda dengan maknanya.
Padahal Allah menegaskan bahwa dalam Al Qur'an itu ada ayat yang jelas yang wajib kita amalkan, sedang ayat yang tak jelas hanya Allah saja yang mengetahuinya.
"Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat.
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata:
"Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal." [Ali Imron:7]
Hanya orang yang sesat yang berusaha menafsirkan ayat yang tak jelas (mutasyabihat) dengan maksud menimbulkan perpecahan. Adapun ayat yang Muhkamaat (jelas), orang kebanyakan bisa langsung memahami maknanya.
Bukankah zaman dulu meski belum ada IAIN, Al Azhar atau para doktor, toh penduduk Arab yang rata-rata cuma penggembala bias memahami makna Al Qur'an yang Muhkamaat dan melaksanakannya? Coba lihat 2 ayat di bawah ini, jelas bukan maknanya?
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." [Al Maa-idah:38]
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa," [Al Baqoroh:183]
Jika kita mempelajari Al Qur'an dan Hadits, niscaya kita bias mendapatkan penjelasan yang lebih detail bagaimana pelaksanaannya, misalnya jumlah minimal curian sehingga seorang pencuri bisa dipotong tangannya.
"Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan." [An Nuur:52]
Ada baiknya dalam menafsirkan atau menjelaskan Al Qur'an itu dengan memakai ayat Al Qur'an sendiri. Jika tak ada, baru dengan hadits. Setelah itu baru dengan pikiran sendiri. Bukan sebaliknya kita malah memakai pikiran sendiri dan meninggalkan Al Qur'an dan Hadits.
Dengan memakai pikiran semata yang bertentangan denga Al Qur'an dan Hadits cuma akan menimbulkan perpecahan, karena setiap orang itu berbeda-beda pendapatnya.
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapatpetunjuk." [Ali Imron:103]
Seorang ulama sekalipun tak boleh mengharamkan apa yang dihalalkan Allah atau menghalalkan apa yang diharamkan Allah atau menafsirkan Al Qur'an dengan hawa nafsunya sendiri. Ummat Yahudi yang bertaqlid buta pada ulamanya meski ulamanya melanggar perintah Allah, disebut oleh Allah sebagai mempertuhankan para ulama.
"Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." [At Taubah:31]
Jadi jika ummat Islam konsisten berpedoman pada Al Qur'an dan Hadits serta tidak mentafsirkan ayat-ayat yang Mutasyabihat (tak jelas), niscaya tidak akan timbul perpecahan. Akan lebih baik bagi kita untuk mempelajari dan mengamalkan ayat-ayat yang Muhkamaat (jelas) serta Hadits ketimbang melakukan penafsiran seenak sendiri sehingga hasilnya hukum Islam versi mereka tak lebih seperi hokum sekuler yang dipakai di negara-negara Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar