METROPOLITAN WELTEVREDEN
Pada 1733, Justinus Vinck membeli tanah luas Weltevreden dan membuka dua pasar besar, yakni Pasar Senen dan pasar Tanah Abang. Pada tahun 1735, ia menghubungkan kedua pasar tersebut dengan sebuah jalan, yang sekarang disebut Jl. Prapatan dan Jl. Kebon Sirih yang juga merupakan jalur penghubung timur-barat pertama di Jakarta Pusat kini.
Tak lama setelah Overstraten memutuskan untuk membangun markas militer baru, dua belas batalion Prancis tiba dari Pulau Mauritius. Para tentara ini ditempatkan di daerah antara Jl. Dr. Wahidin dan Kali Lio. Sampai beberapa tahun yang lalu, daerah bekas Jl. Siliwangi I-V masih merupakan daerah perumahan personel militer. Dan, sejak abad ke-18 selalu terdapat tangsi-tangsi di sekitar Lapangan Banteng (kini tinggal markas Korps Komando (KKO) Marinir; Brimob dan RSPAD). Sejak saat inilah Lapangan Banteng di sebut Paradeplaats, yakni lapangan untuk mengadakan parade.
Pada awal pemerintahan Daendels (1809), ia telah mulai membangun sebuah istana yang besar dan megah di lapangan banteng dan kini dipakai Departemen Keuangan. Daendels bermaksud menjadikan istana ini sebagai pusat ibukota barunya di Weltevreden. Istana dirancang oleh Kolonel J.C.Schultze. Adapun bahan bangunannya diambil dari benteng lama atau Kasteel Batavia yang mulai dirobohkan pada 1809. Namun, bangunan ini baru dapat diselesaikan pada 1826 dan 1828 oleh Insinyur Tromp atas perintah Pejabat Gubernur Jenderal Du Bus de Ghisignies. Di sebelah utara istana didirikan gedung Hoogeregtshof (Mahkamah Agung).
Untuk latihan militernya, Daendels mengalokasikannya di lapangan Buffelsveld (lapangan kerbau) yang kini menjadi Lapangan Monumen Nasional. Kala itu, mereka menyebutnya sebagai Champs de Mars. Sesudah masa kuasa sementara Inggris, lapangan itu diberi nama baru lagi (1818), yakni Koningsplein (Lapangan Raja), karena gubernur jenderal mulai tinggal di Istana Merdeka (sekarang).
Tentang Istana Merdeka ini sebetulnya masih relatif lebih muda dibanding Istana Negara yang terletak di kawasan yang sama tetapi menghadap Jl. Veteran. Gedung Istana Negara dibangun untuk J.A. van Braam pada tahun 1796 sebagai rumah peristirahatan luar kota kala itu. Kala itu, kawasan ini merupakan lokasi paling bergengsi di Batavia Baru. Selain itu, di kawasan ini juga terdapat kediaman Pieter Tency (1794).
Gedung ini sempat menjadi Hotel der Nederlanden, pada masa Raffles gedung menjadi Raffles House, kemudian menjadi Hotel Dharma Nirmala, dan kini setelah dibongkar dibangun gedung Bina Graha.
Pada tahun 1820 rumah peristirahatan van Braam ini disewa dan kemudian dibeli (1821) oleh pemerintah kolonial untuk dijadikan tempat kediaman gubernur jenderal bila berurusan di Batavia. Sebab, kediaman resminya adalah Istana Bogor. Rumah van Braam atau Istana Rijswijk (namun resminya disebut Hotel van den Gouverneur-Generaal, untuk menghindari kata Istana), dipilih untuk kepala koloni, karena istana Daendels di Lapangan Banteng belum selesai. Dan, setelah diselesaikan pun gedung itu hanya dipergunakan untuk kantor-kantor pemerintah saja.
Pada abad ke-19 dan selama bagian pertama abad-20, gubernur jenderal kebanyakan tinggal di Istana Bogor yang lebih sejuk. Tetapi, kadang-kadang harus turun ke Batavia, khususnya untuk pertemuan Dewan Hindia, yang pada abad ke-19 dan ke-20 bersidang di Istana Negara setiap hari Rabu. Dan, baru pada abad ke-19, karena Istana Rijswijk dianggap mulai terasa sesak, dibangunlah istana baru pada kaveling yang sama, khususnya untuk berbagai upacara resmi yang dihadiri banyak orang. Istana tambahan ini menghadap ke Lapangan Merdeka.
Di depan istana baru ini dalam suatu upacara yang mengharukan pada tanggal 27 Desember 1949 bendera Belanda diturunkan dan Dwikora Indonesia dinaikkan ke langit biru. Pada hari itu, ratusan ribu orang memenuhi tanah lapangan dan tangga-tangga gedung ini dengan diam mematung. Mata mereka terpaku pada tiang bendera dan tanpa malu-malu meneteskan air mata. Tetapi, ketika Sang Merah-Putih menjulang ke atas dan berkibar, meledaklah kegembiraan mereka dan terdengar teriakan: "Merdeka! Merdeka!" Oleh karena itu diputuskanlah menamai gedung ini Istana Merdeka.
Pengakuan atas Kemerdekaan Indonesia ditandatangani di gedung ini pada tahun 1949 oleh Sultan Hamengkubuwono IX dan wakil Ratu Belanda A.H.J. Lovink. Dan, dengan demikian, berakhirlah Perang Kemerdekaan (1945-1949).
Sementara itu, di seberang Mahkamah Agung, di Jl. Budi Utomo pada 1848 dibangun tempat pertemuan yang kini dipakai Kimia Farma. Tempat pertemuan ini pada 1925 dipindah ke gedung baru yang kini dipakai Bappenas di Taman Suropati. Beberapa meter lebih jauh, di pojokan Jl. Gedung Kesenian dan Jl. Pos berdiri Gedung Kesenian Jakarta. Gedung ini didirikan pada 1821.
Di sekitar Lapangan Monumen Nasional, di Jl. Medan Merdeka Barat, terdapat Museum Nasional, kerap lebih dikenal sebagai Museum Gajah. Museum ini didirikan oleh Lembaga Kesenian dan Pengetahuan Batavia (Het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen) yang sangat tersohor dan diduga merupakan lembaga ilmiah tertua di Asia.
Museum ini menyimpan tidak kurang dari 109.342 koleksi yang berasal dari berbagai kurun. Untuk koleksi zaman neolitik dipamerkan di Ruang Koleksi Pra-Sejarah. Koleksi zaman batu muda itu antara lain, kapak batu persegi yang ditemukan di Sunter dan Kebayoran (No. 2380; 2494;4290); sebuah beliung dari batu akik (No. 4180), mangkuk terakota dari India Selatan yang ditemukan di Buni dekat Babelan (abad ke-2 SM; No. 7049); sebuah ujung tombak dari masa perunggu-besi yang ditemukan di Lenteng Agung (No. 4545); dan alat-alat logam lainnya yang antara lain ditemukan di Kelapa Dua, Tanjung Barat, Pasar Minggu dan Jatinegara. Semua benda yang ditemukan pada lokasi yang sekarang menjadi bagian wilayah DKI Jakarta ini membuktikan bahwa wilayah Jakarta saat ini sudah dihuni orang pada zaman neolitikum. Masa ini berlangsung sejak abad ke 15 SM.
Benda tua lainnya yang menjadi koleksi museum ini berasal dari abad ke-5, yakni Prasasti Tugu (No. D 214) dengan pahatan huruf-huruf Palawa yang cukup jelas. Hampir semasa dengan prasasti tersebut adalah dua patung Vishnu yang dipamerkan dalam ruang dekat pintu masuk. Boleh jadi, kedua arca ini merupakan arca tertua jenis itu di seluruh Jawa.
Kedua arca ini ditemukan di Cibuaya, sebelah utara Karawang. Dari tahun-tahun terakhir zaman Hindu Sunda Kalapa (nama pertama untuk Jakarta), terdapat batu Padrao, yang berasal dari abad ke-16. Batu ini dipamerkan di sayap selatan gedung utama. Para pelaut Portugis menancapkannya untuk memperingati perjanjian persahabatan antara Kerajaan Pajajaran dan Portugal pada tahun 1522.
Salah satu bagian yang kerap membuat kita berdegup adalah koleksi perhiasan emas berlian yang dipadukan dengan bebatuan yang terkenal mahal harganya, sisa peninggalan abad ke-5 hingga ke-15 ketika bangsa-bangsa maju di Asia kala itu, terutama India dan Cina melakukan banyak perjalanan perdagangan ke negeri ini. Terdapat pula singgasana emas para raja dan berbagai perabotan milik para bangsawan. Koleksi emas berlian itu disimpan di ruang khusus yang selalu dijaga petugas keamanan.
Penjagaan ini mulai diperketat sejak koleksi Museum ini digasak oleh Kusni-Kasdut serta penggasak lainnya yang antara lain menguapkan dua puluh benda koleksi keramik Tionghoa yang nilainya sangat mahal sekali. Namun kemudian, pada sekitar tahun 1996 sejumlah lukisan berharga tinggi koleksi Museum Nasional ini diboyong ke Singapura untuk dilelang. Dan, hasil lelangnya kemana, sampai saat ini tidak ada catatan untuk hal itu.
Untuk pengembangan lingkungan permukiman, Niew Gondangdia dan Menteng adalah contoh praktek tata kota modern. Sebuah kota taman yang mulai sepenuhnya mengadopsi mobil dalam tata kota modern, suatu real estate komersial yang pertama menandai liberalisasi ekonomi dan otonomi pemerintahan kota. Ini terutama sekali berkaitan dengan Batavia yang sejak tahun 1926 mendapatkan status kotamadya. Dan Menteng, yang sebenarnya dulu terdiri dari Niew Gondangdia dan Menteng, merupakan salah satu contoh perancangan kota modern pertama di negeri ini.
Batas antara Menteng dan Niew Gondangdia adalah kanal drainase yang diapit oleh sekarang Jalan Sutan Syahrir dan Jalan M. Yamin. Rancangan rinci Menteng dilakukan Kubatz, sementara Niew Gondangdia oleh Moojen sendiri. Yang menjadikan acuan bersama kedua arsitek itu dan yang menyatukan kedua bagian kawasan baru itu adalah Jalan Teuku Umar yang membentuk aksis utara-selatan yang sangat kuat. Ketika berkunjung pada tahun 1931, Berlage, arsitek Belanda yang paling terkenal, memberi komentar: "tampillah suatu keseluruhan menyatu yang menarik".
Dua bangunan yang sangat indah dan penting sampai sekarang menandai ujung utara aksis tersebut: kantor de Bouwploeg itu sendiri, yang sekarang menjadi Masjid Cut Meutia, dan gedung kesenian Nederlans-Indische Kunstkring yang sekarang bermasalah sebagai bekas gedung imigrasi Jakarta Pusat. Jelas sekali pentingnya kedua bangunan bersejarah itu sebagai penentu ciri dan karakter keseluruhan kawasan Menteng sekarang sekalipun. Aksis ini diberi hiasan berupa bundaran berikut air mancur di tengah-tengahnya. Ujung selatannya adalah Taman Suropati yang dilengkapi dengan bangunan yang cukup besar dan mengesankan sehingga sebanding dengan kekuatan aksis itu sendiri, yaitu yang sekarang gedung Bappenas. Sepanjang aksis ini berjejer kavling dan rumah-rumah besar yang memperkuat statusnya.
Pada Gondangdia Baru, Moojen merupa-rupa pertemuan-pertemuan jalan yang tidak selalu perempatan. Ini dicapainya dengan menggariskan jalan-jalan diagonal dan melengkung yang memotong atau menghentikan jalan-jalan pararel pada arah utara-selatan. Hasilnya adalah keragaman pertemuan jalan yang luar biasa - meskipun agak membingungkan - beserta kavling-kavling sudutnya yang rupa-rupa, yang masing-masing mempunyai hadapan berlainan. Taman Lembang merupakan keharusan teknis (sebagai penampung air) yang berhasil digubah menjadi taman lingkungan yang sampai sekarang boleh dibilang paling indah dan fungsional.
Rancangan Kubatz relatif lebih "berdisiplin". Satu bulevard timur-barat (Jalan Imam Bonjol - Diponegoro sekarang) ditambahkan sebagai aksis lagi, dan memotong aksis Teuku Umar di Taman Suropati. Yang juga menonjol pada rancangan Kubatz ini adalah diperkenalkannya ruang-ruang terbuka semi-publik di tengah-tengah blok-blok besar sehingga membentuk lingkungan-lingkungan sekunder yang berbeda. Tipe baru rumah pun muncul: bangunan dua lantai. Umumnya rumah-rumah ini berbentuk bungalow atau vila yang dikelilingi halaman dan memilki teras depan. Rumah-rumah yang besar lantainya berlapis marmer dan jendelnya berkaca warna.
Ciri bungalow berhalaman keliling ini kini mulai rusak, misalnya di sepanjang Jalan Diponegoro, di mana rumah-rumah baru dibangun seperti istana besar yang tidak menyisakan ruang terbuka di samping dari bawah sampai atas.
Kebayoran Baru mengintegrasikan rumah-rumah besar dengan rumah-rumah kecil di dalam setiap blok: yang besar di luar, di tepi jalan besar, yang lebih kecil di dalam, mengelilingi taman lingkungan.
Sementara itu, di sekitar Lapangan Medan Merdeka juga terjadi pengembangan cukup menonjol, seperti dibangunnya Kantor Telpon (1909); Gedung Perhubungan Laut, dulu Kantor KPM/Koninklijke Paketvaart Maatschappij (1916); Gedung Departemen Pertahanan dan Keamanan, dulu Sekolah Tinggi Hukum (1928); Gedung Pertamina, dulu Kantor BPM/Bataafsche Petroleum Maatschappij dengan menara yang dibangun pada tahun 1938 dan lain sebagainya.
Di tengah areal Lapangan Merdeka tersebut terdapat taman, lapangan olahraga dan beberapa bangunan seperti Stasion Gambir. Salah satu lapangan di sini kemudian dipakai sebagai Pasar Gambir, yang juga dikenal sebagai Jaarmarkt atau Pasar malam yang diselenggarakan setiap tahun. Kegiatan ini sempat menghilang dan kemudian diadakan kembali pada 1968 dengan nama Jakarta Fair, di lokasi yang kurang lebih sama dan sejak 1992 dipindahkan di bekas Bandar Udara Kemayoran.
Di daerah pemukiman orang-orang Eropa dan Cina, jalan-jalan lebar diaspal dengan baik dan dinaungi pohon-pohon rindang yang secara teratur disapu serta disiram dengan air, sehingga sebagian besar kota itu setiap waktu siap untuk diperiksa kebersihannya. Rumah-rumah yang ada besar dan mewah atau kecil tetapi bersih, semua terletak jauh dari jalanan dengan halaman dan kebun. Lalu lintas kendaraan tidak merupakan masalah; ada beberapa ratus kendaraan bermotor yang akhirnya meningkat hingga beberapa ribu, cukup banyak kereta listrik dan delman yang kemudian punah, dan banyak sekali sepeda, yang kesemuanya tidak pernah menimbulkan kemacetan.
Sumber: kotatua.blogspot.com
Cukup Menarik..Untuk Di Ketahui...! Salute...!
BalasHapusExcellent information to know old Jakarta or Batavia history......
BalasHapussusunan ceritanya bagus dan menarik.terimaksih......
BalasHapus