Menurut Abdul Wahhab Khallaf, lahirnya mazhab-mazhab fiqh dipengaruhi oleh tiga factor berikut ini:
1. Perbedaan dalam penentuan sumber-sumber tasyri’
2. Perbedaan dalam pembentukan hukum
3. Perbedaan dalam sebagian prinsip-prinsip bahasa yang diterapkan dalam memahami nash-nash.
Berikut penyusun uraikan 3 faktor tersebut dengan menambahkan padanya keterangan-keterangan dari sumber-sumber lain:
A. Perbedaan dalam penentuan sumber-sumber tasyri’
Perbedaan ini terlihat dalam hal:
1. Perbedaan dalam ke-tsiqah-an terhadap suatu hadits dan perbedaan pertimbangan yang digunakan dalam men-tarjih (menguatkan) suatu riwayat atas riwayat yang lain.
Ke-tsiqah-an para ulama terhadap hadits didasarkan pada:
(a) Kepercayaan pada rawi-rawinya (periwayat hadits) dan,
(b) kepercayaan pada teknis (kaifiyat) periwayatannya.
Contoh: Mujtahid Iraq, yakni Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya, berhujjah dengan hadits-hadits mutawatir dan masyhur, serta merajihkan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh perawi-perawi terpercaya dari kalangan ahli-ahli fiqh.
Mujtahid Madinah, yakni Imam Malik dan sahabat-sahabatnya merajihkan apa yang menjadi pendapat penduduk Madinah dan meninggalkan semua hadits ahad yang berbeda dengannya.
Sementara mujtahid yang lain berhujjah dengan segala macam hadits yang diriwayatkan oleh perawi-perawi yang adil dan terpercaya, baik dari kalangan ahli fiqh atau yang lainnya.
2. Perbedaan dalam menilai fatwa-fatwa sahabat.
Abu Hanifah dan para pengikutnya berpedoman pada fatwa-fatwa sahabat tersebut secara keseluruhan. Sedangkan Asy-Syafi’i berpedoman bahwa fatwa-fatwa sahabat tersebut adalah produk ijtihad yang tidak ma’shum (terpelihara dari kekeliruan). Maka boleh mengambilnya atau berbeda dengan fatwa-fatwa mereka.
3. Perbedaan dalam masalah qiyas sebagai tasyri’. Kalangan Syi’ah dan Dhohiriyah tidak membenarkan berhujjah dengan qiyas, dan tidak mengganggap qiyas sebagai sumber tasyri’. Sedangkan mayoritas mujtahid berpendapat sebaliknya.
B. Perbedaan dalam pembentukan hukum
Para mujtahid terbagi menjadi 2 kelompok:
1. Ahli Hadits
Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah ulama-ulama Hijaz, mereka mencurahkan diri untuk menghafal hadits-hadits dan fatwa-fatwa sahabat, kemudian mengarahkan pembentukan hukum atas dasar pemahaman terhadap hadits-hadits dan fatwa-fatwa tersebut. Mereka cenderung menjauhi berijtihad dengan ‘pendapat’ dan tidak menggunakannya kecuali dalam keadaan sangat darurat.
2. Ahli Ra’yi
Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah mujtahid-mujtahid Irak. Mereka memiliki pandangan yang jauh tentang maksud-maksud syariat. Mereka tidak mau menjauhi ‘pendapat’ karena pertimbangan keluasan ijtihad, dan mereka menjadikan ‘pendapat’ sebagai lapangan luas dalam sebagian besar pembahasan-pembahasan yang berkaitan dengan pembentukan hukum.
Akan tetapi pembagian ini tidak berarti bahwa fuqaha Irak tidak menggunakan hadits dalam pembentukan hukum, dan juga tidak berarti bahwa fuqaha Hijaz tidak berijtihad dan menggunakan ra’yu. Karena kedua kelompok ini—rahimahumullah—pada dasarnya sepakat bahwa hadits adalah hujjah syar’iyyah yang menentukan dan ijtihad dengan ra’yu, yakni dengan qiyas, adalah juga hujjah syar’iyyah bagi hal-hal yang tidak ada nashnya.
Contoh perbedaan pendapat Ahli Hadits dan Ahli Ra’yi:
Kasus | Pendapat Ahli Hadits (Fuqaha Hijaz) | Pendapat Ahli Ra’yi (Fuqaha Irak) |
Zakat 40 ekor kambing adalah 1 ekor kambing | Harus membayar zakatnya dengan wujud satu ekor kambing sesuai yang diterangkan hadits dan dianggap belum memjalankan kewajiban apabila dibayar dengan harga yang senilai. | Muzaki wajib membayar zakatnya itu dengan 1 ekor kambing atau dengan harga yang senilai dengan seekor kambing. |
Zakat fitrah itu 1 sha’ tamar (kurma) atau sya’ir (gandum) | Harus membayar zakatnya dengan 1 sha’ tamar sesuai yang diterangkan hadits dan dianggap belum memjalankan kewajiban apabila dibayar dengan harga yang senilai. | Muzaki wajib membayar zakat fitrah itu dengan 1 sha’ tamar atau dengan harga yang senilai dengan 1 sha’ tamar tersebut |
Mengembalikan kambing yang terlanjur diperas air susunya, harus dikembalikan dengan denda 1 sha’ tamar | Harus menggantinya dengan membayar 1 sha tamar sesuai yang diterangkan hadits dan dianggap belum memjalankan kewajiban apabila dibayar dengan harga yang senilai. | Menggantinya dengan harga yang senilai dengan ukuran air susu yang diperas berarti telai menunaikan kewajiban. |
Dari contoh di atas kita dapat mengetahui bahwa Ahli Hadits memahami nash-nash ini menurut apa yang ditunjuk oleh ibarat-ibaratnya secara lahiri, dan mereka tidak membahas illat tasyri (sebab disyariatkan). Sedangkan Ahli Ra’yi memahami nash-nash tersebut menurut maknanya dan maksud disyariatkannya oleh Sang Pembuat Syariat, Allah SWT.
Sebab-sebab terpenting yang membawa ikhtilaf dua pengaruh kelompok tersebut, adalah:
Realita yang dihadapi Ahli Hadits | Realita yang dihadapi Ahli Ra’yi |
Memiliki kekayaan atsar-atsar (hadits dan fatwa sahabat) yang dapat digunakan dalam membentuk hukum-hukum dan dijadikan sandaran | Tidak memiliki kekayaan atsar sehingga berpegangan atas akal mereka, berijtihad untuk memahami ma’qulnya nash dan sebab-sebab pembentukan hukum. Dalam hal ini mereka mengikuti guru mereka Abdullah ibn Mas’ud ra. |
Menghadapi realita masyarakat yang cenderung homogen tanpa terjadinya hal-hal yang berpengaruh pada sumber-sumber tasyri’. | Menghadapi realita terjadinya fitnah yang membawa pada pemalsuan dan pengubahan hadits-hadits. Karenanya mereka sangat hati-hati dalam menerima riwayat hadits, mereka menetapkan bahwa hadits haruslah masyhur di kalangan fuqaha’. |
Muamalat, aturan, dan tata tertib yang ada di Hijaz sangat dipengaruhi oleh generasi-generasi Islam terdahulu yang memang tinggal di daerah tersebut. | Kekuasaan Persia banyak meninggalkan aneka ragam bentuk muamalat dan adat kebiasaan, serta aturan tata tertib, maka lapangan ijtihad menjadi demikian luas di Irak. Para ulama biasa melakukan pembahasan dan menuangkan pemikiran. |
C. Perbedaan dalam sebagian prinsip-prinsip bahasa yang diterapkan dalam memahami nash-nash.
Misalnya fuqaha berbeda pendapat tentang kata ‘quru’ dalam ayat 228 surat Al-Baqarah: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menunggu tiga kali quru’…”
Kata ‘quru’ adalah lafaz musytarak (mempunyai arti lebih dari satu) yang bisa berarti suci atau haid. Sebagian ulama Hijaz berpendapat bahwa iddahnya wanita yang ditalak adalah 3 kali suci. Sedangkan ulama-ulama Irak berpendapat bahwa iddah wanita yang ditalak adalah tiga kali haid.
Contoh lain adalah perbedaan pendapat tentang kata ‘aulaamastumunnisaa-a..’ dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 43. Sebagian ulama memahami kata itu dengan makna hakiki yaitu: ‘menyentuh wanita’. Sedangkan sebagian yang lain memahami kata itu dengan makna majazi yaitu: ‘menyetubuhi wanita’.
Perbedaan pendapat di kalangan para sahabat
Pada masa Nabi masih hidup seluruh permasalahan tasyri’ kembali pada beliau. Oleh karena itu perbedaan pendapat lebih mudah dipertemukan. Mereka memahami dan puas atas apa yang diputuskan bagi mereka. Jika ada yang kurang mereka fahami maka Nabi yang akan menjelaskannya. Sampai disana selesailah permasalahannya.
Setelah Rasulullah wafat, para sahabat tinggal berpencar di beberapa negeri yang berjauhan dan mereka menjadi panutan masyarakat setempat. Sementara itu permasalahan semakin berkembang, dan merekalah yang menjadi tumpuan pertanyaan. Mereka pun menjawab sesuai dengan hafalan dan kemampuan istinbath mereka. Seandainya jawaban mereka itu belum memenuhi harapan, maka mereka berijtihad dan berusaha mengetahui illat yang dijadikan pertimbangan Rasulullah dalam menentukan hukum melalui penelaahan beberapa hadits.
Perbedaan pendapat di kalangan sahabat timbul diantaranya disebabkan hal-hal berikut:
Seorang sahabat mendengar suatu putusan atau fatwa hukum, sedangkan yang lain tidak, sehingga mereka berijtihad.
Ijtihadnya ada beberapa kemungkinan:
1. Ijtihadnya sesuai dengan hadits
Ibnu Mas’ud pernah memutuskan perkara wanita yang ditinggal mati suaminya yang belum menentukan jumlah maharnya. Beliau memutuskan perkara itu dengan ra’yunya karena tidak mendapatkan keterangan dari hadits. Keputusannya tersebut ternyata dikuatkan oleh Ma’qil Ibn Yasr yang bersaksi bahwa Rasulullah pun pernah memutuskan hal yang sama.
2. Ijtihadnya diralat karena ditemukan hadits
Abu Hurairah pernah berpendapat bahwa orang yang junub pada pagi hari di bulan Ramadhan tidak wajib berpuasa. Pendapat itu kemudian diralatnya setelah Aisyah memberitahukan bahwa Rasulullah menyatakan hal yang sebaliknya.
3. Hadits yang ada tidak dianggap kuat, maka ijtihadnya tidak ditinggalkan
Umar bin Khattab berpendapat bahwa tayamum itu tidak mencukupi bagi orang junub yang tidak menemukan air. Disampaikan oleh Ammar kepada beliau hadits Nabi yang menyatakan bahwa tayamum sudah mencukupi. Tapi Umar tidak menerima hadits itu sebagai hujjah sampai hadits itu menjadi masyhur dari beberapa jalur sanad, lalu orang pun banyak menggunakannya.
4. Tidak ada hadits yang didengar sama sekali
Ibnu Umar menyuruh para wanita agar mandi dengan menguraikan rambutnya. Tapi Aisyah menyangkalnya.
Mereka melihat Rasulullah melakukan sesuatu, sebagian menganggapnya sebagai suatu bentuk qurbah (ibadah) sementara sebagian yang lain menganggapnya sebagai ibahah (kebolehan)
Jumhur berpendapat bahwa lari-lari kecil ketika thawaf adalah sunnah. Tapi Ibnu Abbas berpendapat bahwa tindakan tersebut adalah karena pengaruh ekstern, yaitu untuk menanggapi perkataan orang musyrikin yang mengatakan bahwa kaum muslimin terhinggapi penyakit panas Yatsrib.
Perbedaan karena salah faham
Ibnu Abbas menceritakan bahwa ketika perjalanan haji Rasulullah sampai di masjid Dzulkhulaifah, beliau shalat dua rakaat. Disitulah Allah mulai mewajibkan haji. Kemudian beliau berihram. Hal itu terdengar oleh para sahabatnya dan dihafalkannya. Setelah itu beliau naik unta, ketika unta itu bangkit dan mulai melangkah beliau kemudian bertalbiyah. Hal ini pun disaksikan oleh sebagian sahabat yang berdatangan berkelompok-kelompok, mereka kemudian mengatakan bahwa Rasulullah bertalbiyah ketika beliau beranjak ke arah tujuannya. Ketika Nabi sampai di puncak Al-Baida’ beliau masih bertalbiyah.
Hal itu diketahui sahabat lain yang kemudian mengatakan bahwa Nabi bertalbiyah ketika sampai di puncak Al-baida’.
Perbedaan karena lupa
Ibnu Umar pernah berkata bahwa Rasulullah pernah mengerjakan ibadah umrah pada bulan Rajab. Aisyah mendengar itu, lalu mengatakan bahwa Ibnu Umar lupa.
Perbedaan penalaran
Ibnu Umar pernah menyampaikan hadits Rasulullah bahwa seorang mayat disiksa oleh sebab tangis dan ratap keluarganya. Aisyah kemudian meralatnya bahwa yang dikatakan Nabi bukan bermaksud seperti itu. Menurut Aisyah Nabi bersabda: “Keluarganya menangisinya, padahal ia sedang disiksa di dalam kuburnya.” Ibnu Umar mengira bahwa siksaan tersebut disebabkan oleh tangisan keluarganya.
Perbedaan dalam memahami illat hukum
Seperti tentang berdirinya Nabi ketika ada jenazah yang lewat. Sebagian berpendapat bahwa itu karena penghormatan beliau. Sebagian lagi berpendapat bahwa itu karena tidak senang jenazah lewat di atas kepalanya. Hal ini khusus bagi mayat kafir.
Perbedaan dalam mengkompromikan dua pendapat yang berbeda
Rasulullah memberi dispensasi kawin mut’ah pada Perang Khaibar, kemudian melarangnya, dan memperbolehkannya lagi pada Perang Authas, kemudian melarangnya lagi. Ibnu Abbas berkata: “Dispensasi itu karena adanya darurat, dan larangan itu karena hilangnya darurat. Sedangkan jumhur berpendapat bahwa dispensasi itu adalah sebagai kebolehan dan larangan itu sebagai penghapusan.
Kesimpulan
Dari uraian yang ringkas di atas dapat kita simpulkan bahwa adanya perbedaan pendapat atau lahirnya mazhab-mazhab fiqh adalah sebuah keniscayaan dengan alasan berikut ini:
1. Perbedaan kapasitas intelektual dalam memahami dan menangkap kedalaman makna-makna dalil serta dalam mengambil putusan hukum.
2. Peredaan dalam hal keluasan ilmu para ulama. Maka sangat mungkin ada suatu hadits atau ilmu tertentu yang sampai kepada beberapa ulama tertentu dan belum sampai kepada ulama yang lain. Sehingga Imam Malik berkata kepada Abu Ja’far: “Sesungguhnya para sahabat Rasulullah telah mendatangi berbagai kota, dan setiap kaum itu memiliki ilmu tertentu. Maka jika seseorang ingin menggiring mereka kepada satu pendapat, niscaya upaya ituhanya akan menimbulkan kekacauan.”
3. Perbedaan lingkungan yang antara lain menyebabkan terjadinya perbedaan dalam pola penerapan hukum. Itulah sebabnya Imam Syafi’i memberikan fatwa lama (qaul qadim) di Irak, kemudian memunculkan fatwa baru (qaul jaded) ketika beliau berada di Mesir.
4. Perbedaan tingkat ketenangan hati dalam menerima suatu riwayat. Maka terkadang Anda melihat perawi tertentu dianggap tsiqah oleh Imam Fulan sementara tidak demikian menurut Imam yang lain, karena informasi tertentu yang mungkin tidak diketahui oleh yang pertama.
5. Perbedaan dalam menentukan tingkat kekuatan dalil kepada hukum tertentu. Maka mungkin ada ulama yang mendahulukan perbuatan sahabat atas khabar ahad, sementara yang lain tidak melihatnya demikian.
Maraji’:
Beda Pendapat, Bagaimana Menurut Islam?, Dr. Toha Jabir Fayyadl Al-‘Ulwani
Ikhtisar Sejarah Pembentukan Hukum Islam, Abdul Wahab Khallaf
Lahirnya Mazhab-mazhab Fiqh, Syah Waliyullah Al-Dahlawy
Risalah Pergerakan IM, Hasan Al-Banna
Fiqh Syafi’i, Musthofa Diibul Bigha
Bulughul Maram, A. Hassan
Fikih Sunnah, Sayyid Sabiq
by harakatuna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar