Pedagang akik di tengah kota Jogja
Berjalan atau berkunjung ke kota Jogjakarta memang kurang lengkap kalau
tidak merasakan Gudeg plengkung atau belum beli oleh-oleh bakpia pathok
75. Tapi alangkah lebih tidak lengkapnya lagi bagi penulis adalah bila
belum berkunjung dimana para pedagang akik berada hehehe.
Setelah berjalan kaki
sekitar 30 menit menyusuri jalanan Malioboro yang penuh dengan para
turis domestik, akhirnya penulis menjumpai perempatan besar menuju
Alun-alun utara kota Jogja. Persis di sebelah Benteng Vredenburg kita
menjumpai deretan para pedagang akik, tepat berseberangan dengan gedung
Kantor Pos besar Jojakarta. Unik memang, dan tidak biasa para pedagang
akik memiliki tempat berjualan dipusat kota. Biasanya para pedagang akik
begini menjadi kelompok marginal yang dipinggirkan pemerintah setempat.
Tengoklah di Jakarta, Surabaya, dan kota lainnya.
Tapi
khusus di Jogja ini rupanya para pedagang akik disini dapat bernafas
lega karena mendapatkan angin segar dengan diijinkan menempati tempat di
jalan protocol dan disebelah tempat wisata tengah kota. Luar Biasa.
Hidup Sri Sultan Ngayogyakarta!!!
Kira-kira ada sekitar
10 pedagang akik disini, yang rata-rata berasal dari Madura (Bangkalan,
Sampang, Sumenep, Kamal). Tidak hanya batu Mulia dan batu Akik yang
mereka tawarkan, mereka juga menawarkan ikat (ring) akik, dan tasbeh,
serta sebagiann menawarkan benda-benda bertuah seperti keris, pring
pethuk, geliga kelapa, graham macan, dan sebagainya. Dari jenis dan
kualitas Batu Mulia atau akik yang ditawarkan memang untuk segmentasi
kelas menengah keatas. Kecenderungan sasaran pasar mereka adalah
menengah ke bawah. Hal ini disebabkan peminat batu di jogja yang datang
ke stand mereka tidak mencari batu Mulia yang harganya cukup mahal, tapi
umumnya mencari batu akik yang harganya 10 ribuan hingga 20 ribuan.
Jarang disini ditemukan Batu Mulia dengan kualitas wahid. Kalaupun ada
yang kualitasnya sekedarnya saja. Batu Mulia yang ditawarkan disini
dengan kualitas alakadarnya adalah safir burma, Topas (sintetis), Mirah
Siam, Ruby, dan lain-lain. Yang paling banyak ditawarkan adalah dari
golongan batu akik, seperti pirus, tapak jalak, sulaeman, wulung,
pancawarna, dan lainnya. Pasokan barang dagangan mereka biasanya didapat
dari pedagang martapura, atau dari Jakarta yang datang ke Jogja dengan
membawa batu borongan yang cukup banyak dan murah. Jadi mereka dipasok
tanpa harus lelah-lelah berkulak batu ke Jakarta yang terkenal padat
macet, panas, kanibal, serta macet.
Tak lelah melihat-lihat
dan berbincang dengan para pedagang, penulis dapat menyimpulkan harga
rata-rata batu yang ditawarkan adalah antara Rp 25.000 – Rp 75.000 untuk
yang masuk golongan batu Mulia (walau sebagian yang ditawarkan adalah
batu Sintetis). Tapi untuk yang batu akik kisaran harga mulai Rp 10.000 –
Rp 50.000 tanpa melihat kualitas bagus atau tidak. Dilihat dari sizing
omzet yang didapat perhari, terlihat bahwa sebenarnya mereka ini
termasuk golongan pedagang yang tetap eksis menggerakkan mikro ekonomi
dikalangan rakyat menengah ke bawah yang sebetulnya memiliki prospek
yang cukup lumayan ke depan. Tinggal saja perhatian dari pemerintah kota
sejauh mana untuk membantu mereka lebih kencang lagi berlari.
Angkringan sebagai Ikon Kota Jogja
Setelah
berjalan dan melihat-lihat dagangan batu akik, penulis berjalan balik
arah menuju salah satu sudut Malioboro yang sempat menjadi garis
demarkasi penarikan pasukan belanda saat serangan Jogja tahun 1949
(samping Hotel Garuda Malioboro). Tepat 5 meter disebelah prasasti itu
berdiri Angkringan (nama khas sebutan untuk pedagang makanan).
Angkringan di Jogja sudah bukan lagi sesuatu yang aneh atau unik.
Mungkin sejak jaman revolusi fisik sudah ada yang namanya Angkringan.
Dan ternyata konsep Angkringan ini sudah merambah sampai kekota-kota
lain seperti Jakarta, Bandung, Magelang, Klaten, dan kota lain. Entah
siapa yang mencetuskan nama atau ide konsep angkringan ini, sampai
sekarang tak satupun orang tahu.
Yang
jelas konsep ini sudah banyak membantu menggerakkan ekonomi rakyat yang
tak pernah diperhatikan oleh pemerintah. Terseok dan akhir tetap
bangkit dan berjalan walau tertetaih-tatih. Itulah Angkringan.
Disalah satu Angkringan
sudut kota ini penulis melepas lelah dan penat hidup yang menggelayut
di pundak. Sembari menikmati sebatang rokok, penulis memesan 1 gelas teh
hangat, dan mengambil 1 bungkusan nasi kecil yang biasa disebut nasi
kucing (karena ukurannya yang cukup kecil). Setelah dibuka, lauk yang
tersedia cukup 1 jenis (biasanya oseng-oseng atau kering tempe).
Menikmati indahnya
mentari sore di Malioboro sambil melihat-lihat orang-kendaraan yang
sibuk lalu lalang meramaikan suasana Malioboro, penulis mulai menikmati
nasi kucing yang sudah berada dihidangkan. Cukup 5 suapan, rupanya nasi
sebungkus telah habis hehehe namanya juga nasi kucing. Tapi jangan
salah. Bukan berari Angkringan adalah komoditi rakyat jelata…tapi banyak
juga Angkringan yang sudah lengkap dengan fasilitas Hot-Spot dengan
gratis Wi-fi. Jadi rupanya ini adalah sebagian dari upaya untuk
diversifikasi layanan untuk meraih segmentasi yang lebih tinggi. Harga
makanan yang ditawarkan di Angkringan ini sangat murah sekali, dengan
nasi sebungkus, 1 sate usus, 2 gorengan, dan segelas teh manis, penulis
cukup membayar Rp 4.000,- !!! Murah, perutpun kenyang.
Sumber: http://satrio74.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar