Yah apa lagi yang hendak di tulis? Rasanya
semua sumpahserapah telah ditujukan pada anggota dewan terhormat itu.
Tapi mereka bergeming, malah esok dan esoknya lagi membuat
lelucon-lelucon baru. Hal yang tampak paling menonjol dari prilaku
anggota dewan terhormat itu atas kritik masyarakat, mereka nampak
nyantai, merasa tak merasa bersalah atas apa yang dilakukannya. Kalaupun
mereka berbantah-bantahan tentang prilaku minor mereka sendiri,
sebenarnya itu sekadar lipstik, sekadar konsumsi untuk publik semata
isyaratkan bahwa ada loh dari kawanan badut itu yang benar-benar
merakyat. Mereka ingin mengatakan : nila setitik, rusak susu sebelanga.
Dalam sistem demokrasi seperti di Indonesia
mekanisme penyampaian suara rakyat diwakili melalui lembaga DPR. Harapan
orang banyak atas peran DPR itu sebenarnya sudah terang benderang dan
itu pun amat mudah dipahami oleh para anggota DPR itu
sendiri. Masalahnya, seperti kata para pakar, para anggota dewan yang
terhormat itu tidak benar-benar mewakili suara rakyat, tapi mewakili
partainya. Pada saat pemilu legislatif mereka mengklaim dirinya wakil
rakyat, tapi begitu telah duduk manis di DPR ia menjelma sebagai wakil partai.
Semua orang mafhum,
untuk duduk manis di kursi mahal seharga dua puluh empat juta itu, tak
sedikit tenaga dan tentu saja kocek yang harus dirogoh. Nyumbang kas
partai, biaya bikin spanduk, baliho, brosur, nyogok orang-orang tertentu
di partai agar namanya masuk “daftar jadi” dan untuk segala macam
keperluan yang jumlahnya bisa mencapai miliaran. Kalaupun calon tak
punya cukup duit untuk jadi anggota DPR, tapi calon itu dinilai
potensial, partainya akan membuat semacam perjanjian dengan calon itu
agar ini dan agar itu. Jadi sebenarnya kita termasuk bodoh jika berharap
banyak dari para anggota dewan itu. Karena awalnya sudah busuk,
membusuklah terus barang itu.
Kursi seharga 24 juta per buahnya merupakan
sedikit dari sekian banyak “lelucon” mereka. Kalau mau disebut sebagai
kawanan, mereka sejenis kawanan singa yang hidup berkelompok. Mereka
akan saling berkelahi manakala ada makanan. Setelah kenyang mereka
kembali berkawan. Tapi jangan lupa, kawanan singa tak pernah menyimpan
makanan, dan tak perlu fasilitas mewah, bahkan mereka hidup telanjang!.
Lantaran tak ada sanksi hukum (sebatas sanksi
moral masayarakat yang terbukti tak pernah membuat mereka jera) atas
semua lelucon yang mereka tampilkan, nampaknya para anggota dewan yang
terhormat itu akan terus memproduksi serial humornya. Apalagi jatah
mereka duduk di kursi seharga 24 juta itu sebentar lagi habis. Lihat
saja mereka akan makin membabi-buta.
Jika orang yang mewakili bertingkah
aneh-aneh, tentunya wajar jika orang yang diwakili bertingkah lebih
nyleneh. Silakan tertawa, menangis pun boleh menyaksikan para badut di
senayan itu yang tak pernah berhenti “melucu”. Saya meilih tertawa
hahahahahaha…menertawakan kekerdilan jiwa, ketiadaan hati seorang
manusia.
Arief Daradjati
http://birokrasi.kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar