Komunitas pemahat patung batu di Trowulan telah lama merambah pasar dunia, namun keberadaannya kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Kreativitas yang dimiliki oleh pemahat patung merupakan bakat yang diturunkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia.
Bisa dipastikan bahwa karya pemahat patung Trowulan telah mendapat pengakuan dari pecinta seni Internasional, terbukti dengan luasnya wilayah penjualan patung yang meliputi Mancanegara. Hal ini berkaitan dengan keberadaan pemahat patung di Trowulan tetap bisa bertahan dalam fluktuasi ekonomi global. Dalam krisis moneter tahun 1998, di saat banyak tempat usaha di Indonesia gulung tikar, pemahat patung Mojokerto justru ramai melayani pembelian patung baik lokal maupun internasional.
Salah seorang pemahat patung batu di Mojokerto adalah Ribut Sumiyono. Bersama delapan anak buahnya pemahat patung batu dengan nama usaha “Selo Adji” di Desa Watesumpak, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Aktivitas Ribut bersama delapan pekerjanya memahat bongkahan batu andesit di rumah yang sekaligus dijadikan sebagai tempat usaha, menunjukkan kreativitas individu yang mampu mencukupi kebutuhan ekonomi. Bakat seni memahat batu tidak juga diturunkan dari orang tuanya, dia berguru pada dua orang tetangga yang telah lama meninggal. Ribut kecil semasa SD setiap pulang sekolah sering mangunjungi Almarhum Pak Harun dan Almarhum Pak Wagiran. Demi mendapatkan banyak pengalaman dari dua orang itu, Ribut rela disuruh melakukan apapun untuk membantu proses pemahatan patung batu. Demikian dilakukan untuk menjadi murid yang baik dan kehadirannya tidak membuat Pak Harun maupun Pak Wagiran terganggu. Mulai membuka usaha sendiri dengan bendera “Selo Adji” tahun 1986, dan ramai mendapat pesanan tahun 1990-an. Ketika Indonesia sedang mengalami krisis moneter justru pesanan patung batu mencapai puncaknya.
Sosoknya rendah hati terlihat dari interaksinya terhadap pekerja yang kebanyakan anak muda yang tinggal di dekat rumahnya. Ribut lebih menempatkan dirinya sebagai guru kesenian yang mudah memberikan pengetahuan bentuk pahatan patung ketimbang sebagai juragan. Jika diperlukan, Ribut juga bisa bertindak tegas terhadap anak buahnya. Ribut sangat terbuka terhadap persaingan bisnis, karena dia meyakini setiap detil pahatan individu menghasilkan karya yang berbeda dengan corak tersendiri.
Kehidupan komunitas pemahat patung batu ini masih tetap tekun bertahan menatah setiap ukiran seni pada bongkahan batu andesit. Yang diandalkan hanya kejelian dan bakat seni yang mengalir dalam diri setiap individu. Kelompok masyarakat yang tidak menyerah pada keterpurukan kondisi ekonomi Negara, justru sebaliknya berusaha membantu menopang kekuatan ekonomi Negara. Dengan keberanian menawarkan produk kesenian lokal dalam persaingan pasar bebas. Meski berasal dari negara yang diidentifikasi oleh dunia sebagai negara berkembang, sama sekali tidak menciutkan tekad untuk terus bersaing.
Mereka hidup di kota yang berdiri di atas kota. Trowulan, merupakan bekas Ibukota Kerajaan Majapahit. Di tempat inilah orang-orang yang gigih menjaga keterampilan yang diwariskan nenek moyang bertahan hidup. Tidak di tempat manapun, kedekatan dengan tanah air Majapahit memberikan hawa berkesenian tersendiri bagi komunitas pemahat patung batu. Bahan baku tidak didatangkan dari wilayah Mojokerto sendiri, melainkan dari Gunung Kelud, Kediri. Meski begitu, tidak terbersit niat untuk memindahkan lokasi kerjanya mendekati lokasi sumber bahan baku. Karena kesenian ini adalah mutlak warisan nenek moyang Majapahit dengan Ibukota di tanah Trowulan, Mojokerto.
Keberadaan mereka memberikan penyadaran masyarakat Indonesia bahwa potensi lokal bisa diandalkan untuk menopang kebutuhan ekonomi. Untuk menjadi manusia yang survive di tengah arus globalisasi tidak harus menjadi pegawai sebuah perusahaan bergengsi maupun aparatur sebuah institusi. Dengan memiliki kreativitas individu justru merupakan bukti eksistensi diri. Mereka adalah orang-orang yang tidak sekedar bertahan di tengah tawaran bisnis menggiurkan pasar global, melainkan juga tetap eksis melestarikan kekayaan budaya Indonesia. Sekaligus mewartakan kejayaan Kerajaan Majapahit yang berkuasa pada masa yang sama dengan Kerajaan Louvre di Paris.
Keterampilan memahat patung batu merupakan keterampilan kreatif yang dimiliki masyarakat pemahat patung batu Trowulan. Kreasi patung mereka yang diperhitungkan pasar Mancanegara mampu menopang bisnis karya seni. Komunitas yang mampu bertahan dalam kondisi ekonomi apapun. Keberadaan mereka menjadi ikon industri kreatif Indonesia khususnya Kabupaten Mojokerto.
Industri kreatif patung batu di Trowulan merupakan industri yang sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit. Kala itu, keterampilan ini sebagai prasasti maupun upaya memenuhi kebutuhan perabotan. Namun sekarang, meski di tengah maraknya barang yang diproduksi secara massal, patung batu tetap bertahan. Karya yang dihasilkan dari kejelian individu pemahat dengan nilai seni luhur, tidak dengan produksi pabrik secara massal.
Bisa dipastikan bahwa karya pemahat patung Trowulan telah mendapat pengakuan dari pecinta seni Internasional, terbukti dengan luasnya wilayah penjualan patung yang meliputi Mancanegara. Hal ini berkaitan dengan keberadaan pemahat patung di Trowulan tetap bisa bertahan dalam fluktuasi ekonomi global. Dalam krisis moneter tahun 1998, di saat banyak tempat usaha di Indonesia gulung tikar, pemahat patung Mojokerto justru ramai melayani pembelian patung baik lokal maupun internasional.
Salah seorang pemahat patung batu di Mojokerto adalah Ribut Sumiyono. Bersama delapan anak buahnya pemahat patung batu dengan nama usaha “Selo Adji” di Desa Watesumpak, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Aktivitas Ribut bersama delapan pekerjanya memahat bongkahan batu andesit di rumah yang sekaligus dijadikan sebagai tempat usaha, menunjukkan kreativitas individu yang mampu mencukupi kebutuhan ekonomi. Bakat seni memahat batu tidak juga diturunkan dari orang tuanya, dia berguru pada dua orang tetangga yang telah lama meninggal. Ribut kecil semasa SD setiap pulang sekolah sering mangunjungi Almarhum Pak Harun dan Almarhum Pak Wagiran. Demi mendapatkan banyak pengalaman dari dua orang itu, Ribut rela disuruh melakukan apapun untuk membantu proses pemahatan patung batu. Demikian dilakukan untuk menjadi murid yang baik dan kehadirannya tidak membuat Pak Harun maupun Pak Wagiran terganggu. Mulai membuka usaha sendiri dengan bendera “Selo Adji” tahun 1986, dan ramai mendapat pesanan tahun 1990-an. Ketika Indonesia sedang mengalami krisis moneter justru pesanan patung batu mencapai puncaknya.
Sosoknya rendah hati terlihat dari interaksinya terhadap pekerja yang kebanyakan anak muda yang tinggal di dekat rumahnya. Ribut lebih menempatkan dirinya sebagai guru kesenian yang mudah memberikan pengetahuan bentuk pahatan patung ketimbang sebagai juragan. Jika diperlukan, Ribut juga bisa bertindak tegas terhadap anak buahnya. Ribut sangat terbuka terhadap persaingan bisnis, karena dia meyakini setiap detil pahatan individu menghasilkan karya yang berbeda dengan corak tersendiri.
Kehidupan komunitas pemahat patung batu ini masih tetap tekun bertahan menatah setiap ukiran seni pada bongkahan batu andesit. Yang diandalkan hanya kejelian dan bakat seni yang mengalir dalam diri setiap individu. Kelompok masyarakat yang tidak menyerah pada keterpurukan kondisi ekonomi Negara, justru sebaliknya berusaha membantu menopang kekuatan ekonomi Negara. Dengan keberanian menawarkan produk kesenian lokal dalam persaingan pasar bebas. Meski berasal dari negara yang diidentifikasi oleh dunia sebagai negara berkembang, sama sekali tidak menciutkan tekad untuk terus bersaing.
Mereka hidup di kota yang berdiri di atas kota. Trowulan, merupakan bekas Ibukota Kerajaan Majapahit. Di tempat inilah orang-orang yang gigih menjaga keterampilan yang diwariskan nenek moyang bertahan hidup. Tidak di tempat manapun, kedekatan dengan tanah air Majapahit memberikan hawa berkesenian tersendiri bagi komunitas pemahat patung batu. Bahan baku tidak didatangkan dari wilayah Mojokerto sendiri, melainkan dari Gunung Kelud, Kediri. Meski begitu, tidak terbersit niat untuk memindahkan lokasi kerjanya mendekati lokasi sumber bahan baku. Karena kesenian ini adalah mutlak warisan nenek moyang Majapahit dengan Ibukota di tanah Trowulan, Mojokerto.
Keberadaan mereka memberikan penyadaran masyarakat Indonesia bahwa potensi lokal bisa diandalkan untuk menopang kebutuhan ekonomi. Untuk menjadi manusia yang survive di tengah arus globalisasi tidak harus menjadi pegawai sebuah perusahaan bergengsi maupun aparatur sebuah institusi. Dengan memiliki kreativitas individu justru merupakan bukti eksistensi diri. Mereka adalah orang-orang yang tidak sekedar bertahan di tengah tawaran bisnis menggiurkan pasar global, melainkan juga tetap eksis melestarikan kekayaan budaya Indonesia. Sekaligus mewartakan kejayaan Kerajaan Majapahit yang berkuasa pada masa yang sama dengan Kerajaan Louvre di Paris.
Keterampilan memahat patung batu merupakan keterampilan kreatif yang dimiliki masyarakat pemahat patung batu Trowulan. Kreasi patung mereka yang diperhitungkan pasar Mancanegara mampu menopang bisnis karya seni. Komunitas yang mampu bertahan dalam kondisi ekonomi apapun. Keberadaan mereka menjadi ikon industri kreatif Indonesia khususnya Kabupaten Mojokerto.
Industri kreatif patung batu di Trowulan merupakan industri yang sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit. Kala itu, keterampilan ini sebagai prasasti maupun upaya memenuhi kebutuhan perabotan. Namun sekarang, meski di tengah maraknya barang yang diproduksi secara massal, patung batu tetap bertahan. Karya yang dihasilkan dari kejelian individu pemahat dengan nilai seni luhur, tidak dengan produksi pabrik secara massal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar