Selasa, 19 Oktober 2010
Pantaskah Soeharto Mendapat Gelar Pahlawan?
Awalnya memang sebuah iklan di layar kaca. Bukan iklan biasa, memang. Akan tetapi iklan kampanye bernuansa politis Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang notabene mayoritas pendukungnya generasi muda pendukung gerakan reformasi di Indonesia. Dalam iklan yang ditayangkan di sejumlah stasiun televisi swasta nasional, menyongsong hari Pahlawan 10 November tahun lalu, gambar Soeharto disejajarkan dengan potret para pahlawan nasional seperti Bung Karno, KH Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari, M Natsir, Bung Hatta, Jenderal Sudirman, dan Bung Tomo. Tak pelak iklan tersebut mengundang banyak kecaman.
Menurut sejumlah kalangan yang berseberangan dengan rezim, ketika Soeharto selama 32 tahun mendominasi seluruh aspek kehidupan di Indonesia, jelas tayangan iklan yang menempatkan Soeharto sejajar dengan para pahlawan bangsa, dianggap melecehkan martabat para pahlawan bangsa. Mereka beranggapan bahwa Soeharto tidak pantas disandingkan sejajar dengan para syuhada yang gugur di medan laga membela bangsa dan negara. Apalagi menempatkan Soeharto sebagai guru bangsa.
Sebaliknya, para pengikut setia Soeharto, jelas mendukung dan berusaha keras agar pemerintah mengakui sang penguasa Orde Baru sebagai pahlawan bangsa. Mereka beranggapan bahwa Soeharto setidak-tidaknya telah berhasil meletakkan landasan perekonomian dan pembangunan yang merata di seluruh pelosok negeri. Dengan demikian ia layak dan pantas dianugerahi gelar sebagai pahlawan nasional.
Tampaknya PKS waktu itu hendak mem-faith a comply pemerintah, terutama ditujukan secara pribadi pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pernah dibesarkan dan dijadikan orang saat SBY meniti karier kemiliteran ketika Soeharto berkuasa, agar mengingat ajaran mikul duwur, mendem jero. Setiap orang harus selalu mengingat pada orang yang pernah berjasa dan harus selalu menghormatinya.
Secara pribadi, barangkali, SBY tak akan pernah melupakan jasa-jasa Soeharto yang pernah memberi kesempatan dalam meniti karier hingga ke tampuk pimpinan nasional ke padanya. Paling kurang, ketika SBY pernah diberi kepercayaan mendampingi Soeharto di Istana Merdeka, sebagai salah satu anggota gugus tugas pengawal keamanan kepresidenan. Akan tetapi adalah keliru bila beranggapan bahwa Presiden SBY akan terpeleset ke dalam permainan puzzle yang sedang dimainkan PKS.
Apalagi mengharapkan SBY benar-benar terseret dalam permainan politik yang sedang dimainkan Presiden PKS, melalui agenda tersembunyi dengan mengangkat Soeharto sebagai pahlawan nasional. Hal itu dengan dua tujuan yaitu: pertama, agar pamor SBY sebagai calon presiden, waktu itu, akan rontok sebelum maju dalam Pilpres; kedua, bila hitung-hitungan PKS jitu, diharapkan pamor SBY moncer ketika menempati istana yang pernah didiami Soeharto.
Tidak Menggubris
Tampaknya, Presiden SBY tahu betul hitung-hitungan politis yang dimainkan Presiden PKS. Dan sepertinya semua orang tahu persis bahwa Pak Beye tak mengikuti rancak tetabuhan gendang politik yang ditabuh Presiden PKS Tifakul Sembiring. Sebab SBY tahu persis konsekuensi politis bila hal itu dilakukannya akan menyalahi ketentuan Peraturan Presiden Nomor 33/1964.
Bisa saja usulan gelar pahlawan nasional digulirkan Presiden PKS waktu itu, dengan tujuan agar konstituen Partai Demokrat yang akan mengusung SBY menjadi Capres 2009, mengolok-oloknya sebagai antek Soeharto. Untungnya hidden agenda yang dikemas secara rapi PKS terendus tim sukses SBY ketika maju dalam Pilpres 2009. Mereka yakini bila Presiden SBY ingin melanjutkan kedudukannya untuk yang kedua kalinya, tentu usul menganugerahi gelar pahlawan kepada Soeharto jelas tidak menguntungkan kedudukannya saat itu. Dan ternyata benar. Pak Beye tidak menggubris usulan Presiden PKS Tifakul Sembiring waktu itu.
Rupa-rupanya tim sukses SBY menyadari sepenuhnya bahwa tidaklah mustahil bila kubu partai politik berbeda sedang menggulirkan black campaign melalui usulan penganugerahan gelar Soeharto sebagai pahlawan nasional. Sebab hal itu jelas bertentangan dengan Peraturan Presiden Nomor 33 tahun 1964. Dalam peraturan tersebut disebutkan yang dimaksud pahlawan antara lain yaitu pertama, warga Negara RI yang gugur dalam perjuangan membela bangsa dan Negara, kedua, warga Negara yang dalam riwayat hidup selanjutnya tidak ternoda oleh suatu perbuatan yang membuat cacat nilai perjuangannya.
Sedangkan usulan PKS agar mantan penguasa Orba yang juga sekaligus Panglima ABRI Soeharto, beserta rezim yang berada di bawah komandonya, patut diduga dan/atau setidaknya mengetahui, aksi-aksi kekerasan berdarah di Indonesia.
Peristiwa pembantaian massal 500.000 jiwa rakyat Indonesia yang dituduh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan memenjarakan ribuan tahanan politik lain ke Pulau Buru tanpa proses pengadilan, menurut Pater Dale Schott, melibatkan Soeharto dalam operasi Tumpes Kelor terhadap lawan-lawan politiknya menggantikan Soekarno sebagai presiden.
Selain itu, sejarah kelam lain yang patut diduga Soeharto mengetahui dan/atau tidak dengan segera menghentikan aksi-aksi kekerasan, tercatat kasus kerusuhan Tanjung Priuk, penembakan misterius, tragedi Lampung 27 Juli 1996, korban kekerasan DOM Aceh dan Papua, penculikan para aktivis, hingga penembakan mahasiswa Trisakti maupun Semanggi.
Dengan melihat rekam-jejak secara cermat dan jernih, diharap dapat membedakan apakah sosok Soeharto pantas disebut sebagai pahlawan nasional atau sebaliknya. Selain tentu, pencitraan terhadap iklan itulah yang mestinya perlu diwaspadai, ke arah manakah anak panah yang sedang dibentangkan dan berharap diamini kaum loyalis Soeharto.
Menjelang peringatan hari pahlawan 10 November nanti, usul Tifatul Sembiring, yang kini telah menjadi menteri itu, akankah diloloskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di akhir jabatannya sebagai presiden ke-2 nanti?
Bila hal itu dilaksanakan, bukankah rakyat yang pernah menjadi korban kekejaman sewaktu rezim tangan besi Soeharto berkuasa akan tersayat hatinya? Meski secara politis hitung-hitungan untung rugi SBY tidak akan terpengaruh dengan penganugerahan gelar pahlawan kepada Soeharto. Namun demikian, yang pantas dipertimbangkan yaitu, tak pernah sekali pun dan di negara mana pun, seorang pahlawan mencederai rakyat, bangsa dan negaranya sendiri tercatat dalam sejarah.
Sumber: harianjoglosemar.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
"Bila hal itu dilaksanakan, bukankah rakyat yang pernah menjadi korban kekejaman sewaktu rezim tangan besi Soeharto berkuasa akan tersayat hatinya?"
BalasHapusdi dalam memimpin negara,apalagi negara sebesar indonesia ini,tentulah sikap presiden tidak mungkin memuaskan semua rakyatnya...diantara sekian banyak yang suka,pasti ada satu dua yang tersakiti...akan lebih baik kalo kita semua berfkiran terbuka dan melihat secara jernih,seberapa besar kesalahan dan jasanya..
dan yang terpenting,ndak usah malu2 mengakui kalo pak harto memiliki andil yang besar terhadap perjalanan bangsa ini...
pro kontra yg terjadi adl wajar di alam demokrasi yg spt ini, yg terpenting adl adanya sikap kedewasaan kita dlm hidup berdemokrasi...
BalasHapusketokohan seseorang pun pasti ada kelebihan dan kekurangannya, krn mereka adl manusia biasa...
ada sebuah filosofi jawa, yg sangat agung yakni "mikul dhuwur mendem jero"... sebuah nilai2 yg sangat adiluhung dari leluhur kita...