PETISI :
IKATAN GURU INDONESIA (IGI)
HENTIKAN PROGRAM SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL (SBI)
SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL ADALAH PROGRAM YANG SALAH KONSEP DAN 90% PASTI GAGAL
MENGAPA PROGRAM SBI HARUS DIHENTIKAN?
Jika
kita cermati ternyata program SBI ini mengandung banyak kekurangan
mencolok. Alih-alih menghasilkan kualitas bertaraf internasional
kualitas pendidikan kita justru akan terjun bebas.Mengapa?
Ada
beberapa kelemahan mendasar dari program SBI ini dan kelemahan ini
begitu mendasar sehingga program ini memang harus dievaluasi,
diredefinisi, dan perlu untuk dihentikan sampai hal-hal mendasar
tersebut ditangani.
KONSEPNYA LEMAH
*
Pertama, program ini jelas tidak didahului dengan riset yang mendalam
dan konsepnya lemah. Dengan menyatakan bahwa SBI = SNP + X, maka
sebenarnya konsep SBI ini tidak memiliki bentuk dan arah yang jelas.
Tidak jelas apa yang diperkuat, diperkaya, dikembangkan, diperdalam, dll
tersebut. Jika konsep ini secara jelas menyatakan mengadopsi atau
mengadaptasi standar pendidikan internasional seperti Cambridge IGCSE
atau IB, umpamanya, maka akan lebih jelas kemana arah dari program ini.
Dengan memasukkan TOEFL/TOEIC, ISO dan UNESCO sebagai “X” juga
menunjukkan bahwa Dikdasmen juga tidak begitu paham dengan apa yang ia
maksud dengan “X” tersebut. Sampai saat ini tak ada satu pun petunjuk
apa yang dimaksud dengan “X” tsb. Konsep “X” ini benar-benar misterius
dan dibiarkan tetap misterius.
APA ITU ‘BERTARAF INTERNASIONAL’?
Program
ini sudah SALAH KONSEP sejak dari awalnya. UU yang mencantumkan tentang
program ini harus di judicial review. Coba perhatikan UU No. 20 Tahun
2003 tentang Sisdiknas pasal 50 ayat (3) yang berbunyi, “Pemerintah
dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu
satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan, untuk dikembangkan
menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.”
Apa
sebenarnya yang dimaksud dengan satuan pendidikan yang bertaraf
internasional tersebut? Istilah ini tidak pernah dikenal sebelumnya dan
tidak jelas apa acuan, kriteria dan apalagi rujukan akademiknya. Istilah
ini muncul begitu saja dari langit dan dimasukkan ke dalam UU
Sisdiknas. Bagaimana mungkin sebuah UU memuat sebuah rumusan yang sama
sekali tidak memiliki acuan, kriteria, dan rujukan akademiknya?
APA RUJUKAN AKADEMIK ‘SNP + X’?
Apakah
sebenarnya satuan pendidikan yang bertaraf internasional itu? Apakah
kalau menggunakan bahasa Inggris, berbasis IT, berfasilitas wah, dlsbnya
maka sekolah tersebut bisa disebut satuan pendidikan yang bertaraf
internasional? Apa rujukan akademik yang digunakan ketika menyatakan
bahwa sekolah yang begini dan begitu adalah ‘bertaraf intenasional’? Apa
rujukan ilmiah yang digunakan ketika merumuskan bahwa SNP + X =
bertaraf internasional? Apakah jika standar yang kita gunakan itu sama
atau setara dengan standar yang digunakan oleh negara-negara OECD,
umpamanya, maka itu akan membuat satuan pendidikan kita menjadi
‘bertaraf internasional’? Apa sebenarnya yang ada dalam benak si pembuat
UU ketika ia memasukkan istilah ‘bertaraf internasional’ tersebut?
Rumusan “SNP + X” adalah rumusan misterius yang bahkan tidak dipahami
oleh pencetusnya.
SALAH MODEL
*
Kedua, Dikdasmen membuat rumusan 4 model pembinaan SBI tersebut yaitu :
(1) Model Sekolah Baru (Newly Developed), (2) Model Pengembangan pada
Sekolah yang Telah Ada (Existing School), (3) Model Terpadu, dan (4)
Model Kemitraan. Padahal kalau dilihat sebenarnya hanya ada dua model
yaitu Model (1) Model Sekolah Baru dan Model (2) Model Sekolah yang
Telah Ada. Dua lainnya hanyalah teknis pelaksanaannya saja. Dari dua
model tersebut Dikdasmen sebenarnya hanya melakukan satu model rintisan
yaitu Model (2) Model Pengembangan pada Sekolah yang Telah Ada (existing
School) dan tidak memiliki atau berusaha untuk membuat model (1) Model
Sekolah Baru. Anehnya, buku Panduan Penyelenggaraan Rintisan Sekolah
Bertaraf Internasional (SBI) yang dikeluarkan sebenarnya lebih mengacu
pada Model (1) padahal yang dikembangkan saat ini semua adalah Model
(2). Jelas bahwa sekolah yang ada tidak akan mungkin bisa memenuhi
kriteria untuk menjadi sekolah SBI karena acuan yang dikeluarkan
sebenarnya ditujukan bagi pendirian sekolah baru atau Model (1).
*
Sebagai contoh, jika sekolah yang ada sekarang ini diminta untuk
memiliki guru berkategori hard science seperti Matematika, Fisika,
Kimia, Biologi (dan nantinya diharapkan kategori soft science-nya juga
menyusul) menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, atau
memiliki tanah dengan luas minimal 15.000 m, dll persyaratan seperti
dalam buku Panduan, maka jelas itu tidak akan mungkin dapat dipenuhi
oleh sekolah yang ada. Ini ibarat meminta kereta api untuk berjalan di
jalan tol!
Sebagai ilustrasi, sedangkan guru
bahasa Inggris di sekolah-sekolah ‘favorit’ kita saja hanya sedikit yang
memiliki TOEFL > 500, padahal mereka adalah guru-guru bahasa Inggris
yang telah mendapat pendidikan khusus tentang pembelajaran bahasa
Inggris selama minimal 4 tahun di kampus dengan tenaga dosen mumpuni,.
Tapi toh hanya sedikit di antara mereka (para guru bahasa Inggris) yang
mampu memperoleh skor TOEFL >500. Apalagi jika itu dipersyaratkan
bagi guru-guru mata pelajaran hard science. Maka itu jelas tidak
mungkin. Ini berarti Dikdasmen tidak mampu untuk menerjemahkan model
yang ditetapkannya sendiri sehingga membuat Dikdasmen berresiko gagal
total dalam mencapai tujuannya.
SALAH ASUMSI
Ketiga,
konsep ini berangkat dari asumsi yang salah tentang penguasaan bhs
Inggris sebagai bahasa pengantar dan hubungannya dengan nilai TOEFL.
Penggagas mengasumsikan bahwa untuk dapat mengajar hard science dalam
pengantar bahasa Inggris maka guru harus memiliki TOEFL> 500. Padahal
tidak ada hubungan antara nilai TOEFL dengan kemampuan mengajar hard
science dalam bhs Inggris. Skor TOEFL yang tinggi belum menjamin
kefasihan dan kemampuan orang dalam menyampaikan gagasan dalam bahasa
Inggris. Banyak orang yang memiliki nilai TOEFL<500 yang lebih fasih
berbahasa Inggris dibandingkan orang yang memiliki nilai TOEFL > 500 .
Singkatnya, menjadikan nilai TOEFL sebagai patokan keberhasilan
pengajaran hard science bertaraf internasional adalah asumsi yang
keliru. TOEFL bahkan tidak bisa dijadikan sebagai ukuran keberhasilan
seorang GURU BAHASA INGGRIS dalam mengajarkan bahasa Inggris di kelas.
TOEFL lebih cenderung mengukur kompetensi seseorang untuk belajar di
luar negeri, padahal yang dibutuhkan guru sekolah bilingual adalah
performance- nya di kelas, dan performance ini banyak dipengaruhi
faktor-faktor non-linguistic. TOEFL bukanlah ukuran kompetensi
pedagogik. Menghubungkan nilai TOEFL dengan keberhasilan pengajaran hard
science pada program SBI adalah sebuah kesalahan asumsi yang
menyedihkan.
KETIDAKPAHAMAN
*
Keempat, penggagas ide ini nampaknya juga tidak paham bahwa tidak semua
orang (terutama guru PNS!) bisa ‘dijadikan’ fasih berbahasa Inggris
(apalagi mengajar dengan menggunakan bahasa Inggris) meskipun orang
tersebut diminta untuk tinggal dan hidup di negara yang menggunakan
bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari. Sebagai ilustrasi, bahkan
masih banyak guru-guru kita di daerah-daerah yang belum mampu
menggunakan bahasa Indonesia dengan fasih dalam mengajar! Sebagian dari
guru kita di tanah air ini masih menggunakan bahasa daerahnya dalam
mengajar meski tinggal dan hidup di lingkungan yang menggunakan bahasa
Indonesia sebagai bahasa pengantar. Hal ini menunjukkan bahwa adalah
tidak mungkin ‘menyulap’ para guru hard science agar dapat fasih
berbahasa Inggris (apalagi memperoleh nilai TOEFL>500 seperti
persyaratan dalam buku Panduan Penyelenggaran Rintisan SBI tersebut)
meski mereka dikursuskan di sekolah bahasa Inggris terbaik.
KEMUSTAHILAN
*
Berdasarkan pendapat para guru bahasa Inggris senior susah sekali untuk
menjadikan orang dewasa yang tidak berbahasa Inggris sama sekali untuk
menguasai bahasa Inggris untuk percakapan sehari-hari apalagi untuk
meminta mereka untuk mentransfer konsep pengajaran dalam bahasa Inggris.
Jadi untuk mengubah guru yang tidak berbahasa Inggris untuk mengajar
dalam bahasa Inggris dengan mengirimkan mereka ke institusi/kursus
bahasa Inggris yang terbaik sekalipun adalah HAL YANG MUSTAHIL. Ini
menyangkut teori otak juga dimana Bahasa akan mudah dipelajari oleh otak
dari usia dini 0-6 tahun. Di usia 6-12 untuk mempelajari suatu bahasa
akan memakan waktu lebih lama dan sulit, sedangkan diatas 12 tahun lebih
sulit lagi untuk menguasai suatu bahasa.
Banyak
Master dan PhD lulusan luar negeri kita yang kemampuan bahasa
Inggrisnya masih rendah dan masih terbata-bata dalam menyampaikan
pendapat. Padahal mereka telah hidup dan belajar menggunakan bahasa
Inggris selama mereka belajar di luar negeri.
KEGAGALAN DIDAKTIK
*
Kelima, dengan penekanan pada penggunaan bahasa Inggris sebagai medium
of instruction di kelas oleh guru-guru yang baik kemampuan penguasaan
materi, pedagogi, apalagi masih struggling in English jelas akan membuat
proses KBM menjadi kacau balau. Program ini jelas merupakan eksperimen
yang berresiko tinggi yang belum pernah diteliti dan dikaji secara
mendalam dampaknya tapi sudah dilakukan di ratusan sekolah yang
sebetulnya merupakan sekolah-sekolah berstandar “A”. Program ini sangat
beresiko. Ratusan sekolah-sekolah berstatus Mandiri yang diikutkan
program ini beresiko besar untuk mengalami kekacauan dalam proses
KBM-nya. Berharap target yang tinggi dari guru yang tidak kompeten (atau
kompetensinya merosot karena harus menggunakan bahasa asing) adalah
kesalahan yang sangat fatal. Resiko kegagalannya sangat besar untuk
ditanggung. Program SBI ini bakal menghancurkan best practices dalam
proses KBM yang selama ini telah dimiliki oleh sekolah-sekolah Mandiri
yang dianggap telah mencapai standar SNP tersebut.
Fakta
: Hasil Ujian Nasional baru-baru ini menunjukkan bahwa banyak
sekolah-sekolah berstatus RSBI ternyata hasil UN-nya lebih rendah
daripada sekolah-sekolah reguler lainnya. Banyak siswa RSBI yang bahkan
tidak lulus dalam Ujian nasional tahun 2010. Ini adalah fakta keras yang
menunjukkan bahwa program RSBI ini telah menghancurkan best practice
dan menurunkan mutu sekolah-sekolah terbaik yang dijadikan sekolah RSBI.
PROGRAM“SBI” TELAH GAGAL DI MALAYSIA
*
Keenam, Satu hal yang perlu diketahui oleh Kemendiknas adalah bahwa
program “SBI” semacam ini TELAH DIPRAKTEKKAN di negara-negara lain dan
ternyata GAGAL. Sudah selayaknya bahwa kita belajar dari kegagalan orang
lain dan tidak perlu harus melakukan kesalahan yang sama dan terperosok
di lobang yang sama dengan yang dilakukan oleh negara-negara lain. Baca
hasil studi Hywell Coleman dan John Clegg dari British Council tentang
penggunaan bahasa Inggris sebagai medium of instruction di negara-negara
lain dan hasil yang diperolehnya.
Negara
Malaysia telah lebih dahulu membuat program semacam ini dan program
“SBI” di Malaysia telah GAGAL. Pengalaman negara Malaysia dengan program
pengajaran sains dan matematik di sekolah-sekolah di Malaysia dengan
menggunakan bahasa pengantar bhs Inggris[disebut PPSMI] yang telah
dimulai sejak tahun 2003 dan akan dihentikan pada 2012 nanti karena
dianggap GAGAL. Dari satu hasil riset skala besar yang melibatkan pakar
dari sembilan universitas negeri di Malaysia dan lebih dari 15 ribu
siswa, PPSMI ini memang tidak menghasilkan apa yang diharapkan
pencetusnya. Yang bisa survive hanya sekolah yang berada di kota besar
dan sekolah berasrama di kota; jenis sekolah lainnya nyaris tanpa ampun
terjadi degradasi penurunan mutu. Jadi alih-alih akan meningkatkan mutu
pembelajaran Matematika dan IPA yang terjadi justru sebaliknya. Yang
terjadi adalah kemerosotan kualitas pembelajaran MIPA pada siswa. Jadi
sungguh salah besar jika kita justru akan mengulangi kesalahan yang
dilakukan oleh negara Malaysia.
KESALAHAN ASUMSI (LAGI)
*
Ketujuh, kritik paling mendasar barangkali adalah kesalahan asumsi dari
penggagas sekolah ini bahwa Sekolah BERTARAF internasional itu harus
diajarkan dalam bhs asing (Inggris khususnya) dengan menggunakan media
pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD . Padahal
negara-negara maju seperti Jepang, Perancis, Finlandia, Jerman, Korea,
Italia, dll. tidak perlu menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa
pengantar jika ingin menjadikan sekolah mereka BERTARAF
internasional.Sekolah kita pun sebenarnya tidak perlu harus mengajarkan
materi hard science dalam bhs Inggris supaya dapat dianggap bertaraf
internasional. Kurikulumnyalah yang harus bertaraf internasional atau
dalam kata lain tidak dibawah kualitas kurikulum negara lain yang sudah
maju. Jadi fokus kita adalah pada penguatan kurikulumnya. Penguatan
kemampuan berbahasa Inggris bertaraf internasional bisa dilakukan secara
simultan dengan memberi pelatihan terus menerus kepada guru-guru bhs
Inggris yang mempunyai beban untuk meningkatkan kompetensi siswa dalam
berbahasa Inggris. Selama ini siswa-siswa kita yang melanjutkan
pendidikannya di luar negeri tidak pernah diminta untuk mempunyai
persyaratan berstandar Cambridge, umpamanya. Jika mereka memiliki
tingkat penguasaan yang tinggi dalam bidang studi dan mereka mampu
memiliki kompetensi berbahasa Inggris yang baik maka mereka selalu bisa
masuk ke perti di luar negeri. Bukankah selama ini mereka tidak pernah
ditest masuk dengan menggunakan materi Matematika, Fisika, kimia,
Biologi, dll dalam bhs Inggris? Lantas mengapa mereka harus dilatih
sejak awal untuk memahami materi bidang studi tersebut dalam bhs Inggris
(oleh guru yang tidak memiliki kompetensi memadai untuk itu)?
PROSES, DAN BUKAN ALAT
*
Kedelapan, Penekanan pada penggunaan piranti media pendidikan mutakhir
dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD juga menyesatkan seolah tanpa
itu maka sebuah sekolah tidak bisa bertaraf internasional. Sebagian
besar sekolah hebat di luar negeri masih menggunakan kapur dan tidak
mensyaratkan media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD,
dan VCD sebagai prasyarat kualitas pendidikan mereka. Sekolah-sekolah di
Amerika sendiri sampai saat ini masih menggunakan papan tulis dan kapur
(bukan spidol). Program SBI ini nampaknya lebih mementingkan alat
ketimbang proses. Padahal pendidikan adalah lebih ke masalah proses
ketimbang alat.
Pendidikan yang berorientasi ke
hasil adalah paradigma lama dan telah digantikan oleh pendidikan yang
berorientasikan pada proses karena pendidikan itu sendiri adalah sebuah
proses.
PENDIDIKAN BERMUTU BUKAN HANYA UNTUK ANAK CERDAS BERBAKAT
*
Kesembilan, kesalahan mendasar lain adalah asumsi dan anggapan bahwa
Sekolah Bertaraf Internasional hanyalah bagi siswa yang memiliki standar
kecerdasan tertentu. Sekolah yang bertaraf internasional dianggap tidak
bisa diterapkan pada siswa yang memiliki tingkat kecerdasan rata-rata.
Ini juga mengasumsikan bahwa SNP (Standar Nasional Pendidikan) hanyalah
bagi mereka yang memiliki tingkat kecerdasan ‘rata-rata’. Ini adalah
asumsi yang berbahaya dan secara tidak sadar telah ‘mengkhianati’ SNP
itu sendiri karena menganggapnya sebagai ‘tidak layak’ bagi siswa-siswa
cerdas Indonesia. Lantas untuk apa Standar Nasional Pendidikan jika
dianggap belum mampu untuk memberikan kualitas yang setara dengan
standar internasional? Ini juga paham yang diskriminatif dan eksklusif
dalam pendidikan dan menganggap kecerdasan intelektual yang menonjol
merupakan segala-galanya sehingga perlu mendapat perhatian dan fasilitas
lebih daripada siswa yang tidak memilikinya.
BERTARAF INTERNASIONAL HANYA 2%?
Lagipula,
jika kita menganggap bahwa sekolah-sekolah SBI-lah sekolah yang
nantinya akan dianggap bertaraf internasional dan SETARA dengan
sekolah-sekolah di negara maju maka itu sama artinya dengan menyatakan
bahwa hanya 2% dari sekolah kita yang mutunya setara dengan
sekolah-sekolah mereka. Ini jelas ‘menghinakan’ sistem pendidikan kita
dan program SBI ini jelas merendahkan sistem pendidikan kita secara
nasional.
SBI = PEMBOHONGAN PUBLIK
Kesepuluh,
dengan program SBI ini Depdiknas memberikan persepsi yang keliru kepada
para orang tua, siswa, dan masyarakat bahwa sekolah-sekolah yang
ditunjuknya menjadi sekolah Rintisan tersebut adalah sekolah yang ‘akan’
menjadi Sekolah Bertaraf Internasional dengan berbagai kelebihannya.
Padahal kemungkinan tersebut tidak akan dapat dicapai atau bahkan akan
menghancurkan kualitas sekolah yang ada. Dan ini adalah sama dengan
menanam “bom waktu’. Masyarakat akan merasa dibohongi dengan program ini
dan pada akhirnya akan menuntut tanggungjawab pemerintah yang
mengeluarkan program ini. Saat ini sudah banyak keluhan dan gugatan akan
kualitas sekolah RSBI ini dan hal tersebut akan semakin banyak dan pada
suatu saat akan mencapai kulminasinya. Kemendiknas sebaiknya segera
mengambil langkah preventif sebelum kekecewaan masyarakat memuncak.
Terlebih lagi bahwa para orang tua siswa RSBI adalah dari kelompok
kalangan menengah ke atas yang kritis dan mampu menggalang pengaruh.
MENCIPTAKAN KESENJANGAN SOSIAL
*
Kesebelas, Program SBI ini di lapangan ternyata menciptakan kesenjangan
sosial pada siswa. Program SBI menjadikan sekolah yang mengikutinya
menjadi eksklusif dan menciptakan kastanisasi karena hanya bisa dimasuki
oleh anak-anak kalangan menengah ke atas. Tingginya pembiayaan yang
dikenakan pada orang tua siswa membuat sekolah-sekolah SBI ini tidak
dapat dimasuki oleh anak-anak dari kalangan bawah. Akibatnya terjadi
kesenjangan sosial di sekolah. Sekolah publik TIDAK boleh berprilaku
seperti sekolah swasta.
Hal ini juga akan
menimbulkan kekecewaan dan kemarahan dalam hati para orang tua kalangan
bawah yang tidak mampu masuk ke dalam sekolah eksklusif ini. Mereka akan
merasa sengaja dipinggirkan dalam sebuah sistem pendidikan yang
dianggap ‘terbaik’ dan yang akan menjamin masa depan anak-anak mereka.
Kekecewaan dan rasa frustrasi yang menumpuk akan dapat meledak jika
telah mencapai kulminasinya juga.
KOMERSIALISASI PENDIDIKAN
*
Keduabelas, Salah satu kritik terbesar dari masyarakat tentang SBI ini
adalah bahwa program ini telah memberi legitimasi kepada sekolah untuk
melakukan komersialisasi pendidikan. Pendidikan diperdagangkan justru
oleh pemerintah yang seharusnya memberikan pelayanan pendidikan kepada
rakyatnya secara gratis dan juga bermutu. Komersialisasi pendidikan ini
adalah pengkhianatan terhadap tujuan pendirian bangsa dan negara. Saat
ini sekolah-sekolah publik RSBI bahkan telah menjadi lebih swasta dari
swasta dalam memungut biaya pada masyarakat. Hampir semua sekolah RSBI
menarik dana dari masyarakat dengan biaya tinggi yang sebenarnya sungguh
tidak layak mengingat mereka adalah sekolah publik yang semestinya
dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah dan ‘haram’ sifatnya menjadi
komersial.
BERTARAF INTERNASIONAL UJIANNYA NASIONAL?
*
Ketigabelas, Sungguh ganjil jika sebuah UU Sistem Pendidikan Nasional
(UU Sisdiknas) tiba-tiba memunculkan sebuah istilah ‘bertaraf
internasional’ ! Mau dimasukkan ke mana dan dengan konstelasi bagaimana
sebuah sistem pendidikan yang ‘bertaraf internasional’ dalam sebuah
Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), apalagi dianggap sebagai standar
tertinggi?
* Selain itu, Meski menyandang nama ‘bertaraf
internasional’ tapi siswanya masih harus ikut ujian nasional. Alangkah
ganjilnya jika sebuah sekolah yang bertaraf INTERNASIONAL tapi kemudian
masih harus mengikuti sebuah UJIAN NASIONAL!
Tidak
mungkin sekolah harus mempersiapkan siswa untuk mengikuti DUA SISTEM
UJIAN yang berbeda (nasional dan internasional) karena itu SANGAT
MEMBERATKAN guru dan siswa serta tidak bermanfaat
BAGAIMANA DENGAN PROGRAM WAJIB BELAJAR 9 TAHUN?
*
Keempat belas, Pemerintah telah menetapkan Wajib Belajar 9Tahun sebagai
programnya. Maka sebagai konsekuensinya SEMUA pembiayaan pendidikan
bagi siswa mulai dari pendidikan dasar maupun menengah HARUS dipenuhinya
dan tidak boleh ada pungutan pada siswa. Pungutan pada orang tua siswa,
meski melalui komite, adalah bertentangan dengan Undang-Undang
Sisdiknas itu sendiri.
Pasal yang memuat aturan
tentang diperbolehkannya pungutan bagi siswa sekolah bertaraf
internasional HARUS DIAMANDEMEN karena bertentangan satu sama lain.
SISWA BUKAN GLADIATOR!
*
Kelimabelas, salah satu tujuan dari dicetuskannya program SBI ini
adalah agar pendidikan kita mampu menelurkan siswa-siswa yang akan mampu
mewakili dan mampu menjadi pemenang dalam berbagai olimpiade bidang
studi dan adu kecerdasan tingkat regional dan internasional. Ini jelas
bertentangan dengan tujuan pendidikan itu sendiri dan sama artinya
dengan membuat sekolah-sekolah gladiator yang akan menghasilkan para
gladiator untuk diadu ke sana kemari demi menutupi kelemahan sistem
pendidikan pemerintah secara umum.
Ini bisa
dianggap sebagai penyalahgunaan tujuan pendidikan atau education abuse.
Pendidikan berfungsi untuk menjadikan siswa sebagai manusia seutuhnya
dan bukan untuk menjadi gladiator di bidang ilmu pengetahuan.
APA GANTINYA?
*
Program SBI jelas salah konsep, tidak sesuai dengan semangat
nasionalisme, dan tidak sesuai untuk semua kalangan. Untuk itu bangsa
kita hanya memerlukan SATU standar yaitu SSN (Sekolah Standar Nasional)
yg bermutu tinggi dan GRATIS. Pemerintah perlu mengembangkan SSN menjadi
sebuah standar pendidikan yang terbaik yang bisa dicapai oleh bangsa
Indonesia. Kita tidak memerlukan LABEL ‘internasional’ untuk dapat
bersaing dengan bangsa-bangsa lain.
HENTIKAN PROGRAM SBI
*
Mari kita hentikan program SBI yang konsepnya asal-asalan ini karena
justru akan merugikan kualitas pendidikan kita. Program ini tidak akan
mungkin berhasil meski diguyur dengan dana seberapa pun dan dalam jangka
waktu berapa pun karena memang sudah SALAH DESAIN dan juga telah
TERBUKTI GAGAL di negara lain. Dalam prakteknya program SBI ini juga
mengkhianati rakyat kecil yang justru lebih membutuhkan pendanaan dan
perhatian yang lebih besar ketimbang anak-anak cerdas kita. Anak-anak
cerdas kita SELALU bisa menunjukkan kehebatan maupun kompetensinya di
mana pun dan kapan pun tanpa harus dijadikan ‘gladiator’ di sekolah.
Jakarta, 19 Juli 2010
Satria Dharma
Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI)