Ciamik Khas Semarang
Para penggemar soto tentunya tidak akan
melewatkan warung yang satu ini. Adalah warung Soto Ayam Indraprasta Mas
Met berada di Jl Indraprasta Semarang, tepatnya di depan pom bensin
Indraprasta. Jika penggemar kuliner hendak ke sini bisa meluncur dari
arah Tugumuda akan menemukan di kanan jalan, atau kalau dari arah
Banjirkanal dapat ditemukan di kiri jalan.
Meski warung tersebut sederhana, tidak
terlalu luas, jangan tanya yang jajan di tempat ini. Hampir tiap waktu
jam makan siang, warung ini dipenuhi ratusan pelanggan yang datang dari
berbagai sudut kota. Bahkan ada yang rela datang dari luar kota, hanya
untuk menyantap soto ayam racikan mas Met.
Pemiliknya adalah Slamet (64) warga Sadewa
Utara III No 212 Semarang, dibantu Parmi (63) istri dan empat anak
mereka. Perjalanan hidupnya bagaikan sebuah roda kehidupan penuh liku
perjuangan.
Diceritakan Slamet, sebelum berjualan soto, dulu dirinya
seorang tukang becak, pada tahun 70-an. Karena sulitnya ekonomi selama
lima tahun harus keliling di seputar Semarang mengayuh becak, akhirnya
Slamet banting setir.
Dengan modal nekat, Slamet mencoba
peruntungan berjualan soto, pada awal tahun 80-an. “Waktu mau jualan
soto, saat itu hanya bermodal nekat aja. Hanya karena ada kemauan, dan
dibantu pinjaman angkring untuk keliling,” ucap pak Slamet menerawang
masa lalu.
Dengan berjualan soto pikulan, mulailah
Slamet keluar masuk gang menjajakan masakan yang diracik sendiri.
Mengapa demikian, karena Slamet memasak soto secara otodidak, tidak ada
yang mengajari. “Saya belajar memasak soto secara otodidak, dan tidak
ada yang mengajari. Sebelumnya saya tidak pernah ikut orang jualan soto
atau diajari orang tua memasak soto. Untuk itu saya berusaha menciptakan
soto dengan bumbu racikan sendiri. Yang penting rasanya pas saya puas,”
jelas ayah dari Besus Sarjono, Siti Rohmanah, Sujiwati, dan Ambar Arum
Lestari.
Untuk membuat rasa pas sotonya dengan lidah
para pelanggan, Slamet tak segan-segan meminta pendapat yang suka beli,
soal kekurangan yang ada pada racikannya. Sampai akhirnya ditemukan
racikan yang pas bagi soto ayamnya ini.
Selama enam tahun Slamet berkeliling di
seputaran Indraprasta hingga Imam Bonjol. Akhirnya, Slamet menemukan
tempat mangkal yang cocok di tempatnya sekarang. Dengan berbentuk warung
sederhana Slamet berhasil menjaring banyak pelanggan.
Tahun 1985, Slamet mengembangkan tempat
usahanya dengan membuat permanen. Alhasil banyak pelanggan yang sering
jajan di warungnya, seperti dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Solo,
Jogja, dan Semarang sendiri.
Kualitas Rasa Tetap Dijaga
Untuk menarik para pelanggan agar tetap
jajan di warungnya, Slamet berusaha mempertahankan rasa dan kualitas
rasa. Semua bahan baku soto dipilih dari yang berkualitas.
“Saya berusaha mempertahankan supaya rasa
soto itu bisa pas di lidah para pelanggan. Tidak harus enak banget, yang
penting pas di lidah,” imbuhnya kemudian.
Tidak segan-segan Slamet berbelanja sendiri
keperluan warung, seperti membeli ayam kampung jago di pasar kobong.
Meski kini harganya melangit hingga Rp 90 ribu per ekor, mau tidak mau
Slamet harus membelinya. Dalam sehari ia menghabiskan 10 ekor ayam.
Untuk menambah kualitas soto, Slamet
menggunakan beras rojo lele super seharga Rp 7.500 per kilo, sebagai
nasi untuk dicampur dengan nasi sotonya. Bahkan pemilihan sledri dan
onclang juga tidak sembarangan. Selain itu, ia juga menyediakan tempe,
perkedel, sate kerang, sate puyuh, sate ayam, telur bacem, sate usus,
sate jeroan, dan masih banyak lagi.
Sumber: http://kulinerkhassemarang.wordpress.com