Pola Kerja Yang Menyalahi Logika
Jika dicermati secara historis setidaknya
pola klasik seperti ini (tanpa disadari) kerap dipakai berulang-ulang
oleh AS dalam memuluskan berbagai kegiatan agresor luar negeri dalam
upaya menjalankan national interest nya di berbagai belahan dunia, sebut
saja keterlibatan AS di Perang Dunia Pertama, Kedua, dan Perang
Vietnam, yang jika diulas satu persatu keterlibatan AS dalam
perang-perang besar ini sangat dipaksakan dan cenderung dengan unsur
kesengajaan agar AS dapat terjun ke perang tersebut, dengan kata lain
dalam pola ini AS berupaya memperoleh legitimasi publik AS untuk terjun
ke dalam perang, salah satu cara adalah membuat kamuflase suatu
peristiwa yang seakan-akan pihak musuhlah yang pertama menyerang atau
cari gara-gara yang akan diikuti dengan serangan brutal AS ke pihak
musuh yang sebelumnya (disengaja untuk) mencari gara-gara.
Sebutlah Perang Dunia Pertama, perang dengan
hingar bingar jutaan nyawa melayang sia-sia di berbagai front tempur
Eropa, yang secara substansi bukan merupakan perangnya AS, namun atas
alasan keuntungan finansial yang akan dikeruk oleh jaringan bankir
internasional yang berada di belakang layar pemerintahan atas perang
tersebut, AS dipaksa untuk berkonfrontasi melawan pihak Jerman, namun
masalahnya situasi dalam negeri sangat tidak mendukung agar AS terlibat
dan banyak pihak yang mempertanyakan urgensi AS jika terlibat dalam
perang ini.
Dengan sebuah skenario yang diatur sedemikian
rupa yang dalam film dokumenter World Economic Ruler dimana terdapat
dokumentasi percakapan antara Colonel House penasehat Presiden Wilson
dengan Sir Edward Grey Menteri Luar Negeri Inggris saat itu tentang
bagaimana cara yang paling efektif untuk melibatkan AS dalam peperangan
ini, hingga kemudian pada 7 Mei 1915 atas saran Sir Edward Grey diambil
sebuah keputusan untuk mengirim dengan sengaja sebuah kapal penumpang
bernama Lusitania ke perairan dalam kawasan perang yang dikuasai pihak
Jerman, hasilnya berjalan dengan baik, seperti yang diharapkan kapal
selam jenis U-Boat milik Jerman menembakkan torpedo kepada Lusitania,
menenggelamkan kapal sekaligus membunuh 1200 penumpang kapal yang
merupakan warga negara AS.
Seperti yang sebelumnya diperkirakan,
gelombang emosi warga AS di seluruh negeri membuncah atas penyerangan
ini, hanya tinggal memantik setitik api pada berton bensin untuk
menggiring langsung AS ke dalam perang terbuka terhadap Jerman.
Sadar atas kekeliruan dan kesalahpahaman yang
terjadi, Jerman kemudian memasang pengumuman di harian New York Times
bahwa setiap kapal yang berlayar dalam sebuah medan laut pertempuran
akan sangat rentan untuk diserang, termasuk Lusitania yang berlayar dari
AS ke Inggris namun dengan teledor melewati area perang, namun alasan
Jerman tersebut dianggap angin lalu dan kemudian AS melenggang ke Perang
Dunia Pertama dengan dukungan penuh dari dalam negeri.
Kecenderungan yang sama juga terjadi dalam
keterlibatan AS dalam Perang Dunia Kedua dan Perang Vietnam yang
sebenarnya urgensitas AS dalam perang tersebut sangat dipertanyakan,
namun akibat suatu insiden kemudian AS dengan percaya diri seakan
mendapat legitimasi untuk masuk ke medan perang, seperti bagaimana
provokasi taktis AS terhadap Jepang di Perang Dunia Kedua, hingga
kemudian Jepang menyerang Pearl Harbour dan bagaimana AS masuk ke
Vietnam dengan dalih para pejuang Vietnam Utara menyerang kapal
Destroyer AS di Teluk Tonkin yang padahal penyerangan tersebut tidak
pernah terjadi.
Pola seperti inilah yang kerap diulang-ulang
diterapkan dalam kebijakan luar negeri AS, yang jika kita tilik lebih
dalam sesungguhnya berbagai kebijakan dengan pola aneh yang merugikan AS
sendiri sebagai suatu kesatuan tidak memberi keuntungan yang definitif
bagi kepentingan nasional AS, melainkan bagi segelintir kelompok yang
selama puluhan tahun berada di balik layar dalam menentukan arah sebuah
boneka kuat dan besar bernama AS.
Hal inilah yang penulis coba untuk cermati,
dalam kejadian serangan 11 September 2001 dimana kejadian yang kemudian
mempopulerkan sebuah istilah mengerikan bernama Terorisme yang bahkan
sampai saat ini oleh PBB belum dapat mendefinisikan istilah Terorisme
secara harfiah.
Kejadian yang kemudian oleh AS secara
eksplisit dituduhkan kepada kelompok radikal Islam Al Qaeda yang
dipimpin Osama bin Laden, yang jika dicermati perang melawan terorisme
saat ini mirip dengan perang-perang sebelumnya dengan pola yang sama
dengan hasil yang sama yaitu memberikan AS akses penuh untuk menyerang
negara, aktor atau unit yang dianggap membahayakan keamanannya.
Dengan kata lain serangan 11 September
dijadikan sebagai insiden pemantik tak ubahnya insiden Lusitania, Pearl
Harbour, dan Serangan terhadap Destroyer AS di Teluk Tonkin, yang dalam
kasus serangan 11 September AS berusaha meyakinkan Dewan Keamanan PBB
untuk merestui pentingnya sebuah perang terhadap kelompok teroris
radikal yang mengancam keamanan dunia, yang dengan spesifik dituduhkan
ke hidung kelompok Islam, sebuah konotasi menyakitkan bagi ratusan juta
muslim di seluruh dunia, konotasi dengan ketakutan semu pada frasa
Terorisme yang diciptakan oleh sebuah sistem tirani global. Hal sama
yang di propagandakan AS di masa lalu untuk meraih dukungan dalam
keikutsertaan AS dalam perang-perang sebelumnya.
Propaganda dari sebuah kebohongan yang bisa
jadi merupakan kebohongan terbesar dalam sejarah peradaban manusia,
mengenai bagaimana dengan busuknya pemerintah AS, media arus utama
global menutupi serangkaian fakta yang berceceran mengenai pembuktian
terbalik atas argumen populis yang menuduh bahwa runtuhnya menara kembar
WTC disebabkan oleh tabrakan pesawat yang dibajak oleh kelompok
ekstrimis islam. Serangkaian fakta yang mendeskripsikan 10 tahun
serangan 11 September yang penuh dengan kebohongan.
Pembuktian Fakta Terbalik
Kompas.com edisi 23/09/11 yang dikutip dari
Radio Netherland yang juga mengutip dari harian Spits Belanda menurunkan
berita mengenai teori baru runtuhnya WTC, yang menyoroti mengenai
kombinasi unsur antara aluminium dalam suhu pada pesawat dengan air yang
keluar dari sistem penyiram kebakaran otomatis yang ditengarai
bertanggung jawab dalam menimbulkan ledakan-ledakan besar yang di lihat
oleh para saksi mata, sehingga mempercepat runtuhnya menara kembar.
Sebuah teori yang secara nalar sangat lemah dan terkesan berupaya untuk
menyangkal dan membela diri atas fakta-fakta yang lebih logis yang
dipaparkan para pendukung teori yang menyatakan bahwa serangan pada
menara kembar WTC telah diskenario dan di bom dari dalam hingga runtuh,
bukan ditabrak.
Aktivis di AS menyebutnya sebagai An Inside Job. Sebuah
istilah yang mengarahkan tuduhan bahwa sebenarnya pemerintah AS
sendirilah yang merencanakan, meledakkan serta mempropagandakan serangan
menara kembar WTC.
Tuduhan ini tentunya bukan tidak berdasar,
sedikitnya terhampir hampir selusin fakta vital di lapangan yang seakan
menolak jauh mengenai tuduhan bahwa tragedi WTC benar-benar dilakukan
oleh kelompok ekstimis Islam.
Pertama, adalah mengenai argumen bahwa menara
kembar WTC runtuh akibat tabrakan pesawat Boeing 757 yang telah dibajak
oleh para teroris, namun kenyataannya oleh para saksi mata dan petugas
pemadam kebakaran yang berhasil selamat mengatakan bahwa sebelum dan
sesudah pesawat menabrak gedung, terdengar beberapa kali ledakan besar
dari dalam gedung. Hal ini seakan mematahkan argumen dari tim komisi
9/11 yang dibentuk pemerintah untuk menyelidiki peristiwa ini menyatakan
bahwa gedung WTC hancur akibat ledakan yang disebabkan oleh tabrakan
dan penyebaran avtur pesawat, namun argumen ini ditolak oleh sekitar
1.600 arsitek dan insinyur profesional AS yang tergabung dalam Architect
and Engineer For 911 Truth, kelompok arsitek ini yang kebanyakan
anggota dari Institut Arsitek Amerika menolak teori bahwa avtur dapat
melelehkan konstruksi bangunan menara WTC. Selain itu kelompok ini juga
mencurigai adanya perubuhan terkontrol dengan bahan peledak yang menjadi
penyebab runtuhnya menara 1, 2 hal ini sesuai dengan pernyataan saksi
mata dan rekaman video yang memperlihatkan bola-bola api dan asap di
gedung sebelum pesawat menabrak.
Dan yang paling aneh adalah mengenai penyebab
runtuhnya menara 7 yang sama sekali tidak ditabrak oleh pesawat, yang
oleh komisi 9/11 dikarenakan efek angin runtuhnya menara 1 dan 2, sebuah
argumen yang tidak dapat diterima logika ilmu pengetahuan, apalagi
karena menara 7 terletak cukup jauh dari kedua menara yang telah rata
dengan tanah.
Kedua, mengenai kegagalan sistem keamanan AS
yang diduga sengaja di lemahkan dari dalam, sehingga tidak ada satupun
peringatan yang keluar dari The North American Aerospace Defense Command
(NORAD) sebagai badan yang bertanggung jawab atas keamanan udara pada
serangan ini. Bahkan yang lebih mengejutkan seperti dilansir USA Today
bahwa 2 tahun sebelum kejadian 11 September 2001 NORAD melakukan latihan
dengan menggunakan pesawat penumpang sebagai senjata dan salah satu
target sasarannya adalah gedung WTC, serta sebuah operasi yang diberi
sandi Mascal pada Oktober 2000 yang mensimulasikan sebuah pesawat
terbang yang menabrak Pentagon, serangkaian simulasi yang mencurigakan.
Ketiga, mengenai para pembajak yang oleh
rilis FBI para pembajak berjumlah 19 orang berikut nama dan foto yang
semuanya adalah warga Arab, namun dalam publikasi daftar penumpang
pesawat yang dibajak tidak satu pun ditemukan penumpang dengan nama
berbau Arab, selain itu dalam kurun waktu 6 bulan pasca rilis identitas
para pembajak, terdapat 6 orang para pembajak yang ditemukan masih hidup
dan melapor ke FBI atas dugaan terorisme yang dituduhkan pada mereka,
dimana keenam orang tersebut sama sekali tidak dapat menerbangkan
pesawat dan pada saat kejadian 11 September mereka berada di rumah
masing-masing. Dan yang lebih mencengangkan bahwa diantara puing dan
reruntuhan gedung WTC yang bahkan puing pesawat dan besi baja meleleh
karena hangus tiba-tiba ditemukan sebuah paspor dari salah satu pembajak
dengan kondisi bersih yang tergeletak di puing paling atas seakan-akan
digeletakkan dengan begitu saja untuk memperkuat opini publik atas
tudingan pemerintah. Yang sampai hari ini semua kekeliruan atas nama 19
orang nama pembajak masih belum direvisi dan juga tidak ada sedikitpun
ditemukan hubungan antara 6 orang (jika benar adalah pembajak mustahil
masih hidup) dengan serangan 1 September dan jaringan Al Qaeda.
Keempat, mengenai hubungan mesra antara
keluarga Bush dengan Laden yang terangkum dalam hubungan bisnis, hal ini
jelas menjadi kontradiksi dalam memandang rentetan peristiwa ini, salah
satunya adalah mengenai perjalanan H.W Bush ke Arab Saudi pada tahun
1998 dan 2000 mengunjungi rekan bisnisnya keluarga Laden atas permintaan
perusahaan yang bernama grup Carlyle, yang bahkan pada pagi hari 11
September 2011 H.W Bush bertemu dengan kakak Osama, Shafig bin Laden
sebagai wakil dari grup Carlyle, sebagai catatan bahwa grup Carlyle
adalah kontraktor alat-alat perang terbesar di dunia yang menuai
keuntungan besar pada perang-perang pasca 11 September. Secara eksplisit
bahkan tidak ada pernyataan langsung Osama bin Laden yang dituduh
sebagai dalang dibalik serangan ini bahwa dia bertanggung jawab, kecuali
sebuah video pengakuan Osama yang dijadikan satu-satunya bukti oleh
pemerintah AS, namun video tersebut oleh banyak kalangan diragukan
keabsahannya, karena ciri fisik Osama yang asli dalam foto berbeda jauh
dengan Osama yang ada dalam rekaman.
Kelima, Keenam, Ketujuh dan Kesekian fakta
serta data lainnya yang dengan mudah dapat ditemukan dengan satu
sentuhan di Internet, dimana semua fakta yang didapat jelas-jelas
menolak teori umum yang telah berkembang selama 10 tahun terakhir atas
penyebab serangan 11 September, yang semakin membuka pemahaman dari
salah satu kebohongan terbesar sepanjang sejarah manusia.
Mengenai bagaimana pola dari salah satu
metode keagresifan politik luar negeri AS berjalan, sebagai analogi
negara AS ibarat sesosok boneka besar yang dikendalikan oleh segelintir
kelompok demi tujuan dan agenda mereka, terlepas dari sentimen isu agama
dan ras yang kerap didengung-dengungkan oleh berbagai kelompok atas
fenomena ini, namun diatasnya berdiri tegak azas kemanusiaan, toleransi,
kasih sayang, rahmat dari Allah sang pencipta alam semesta bahwa
sebenarnya yang dihadapi oleh dunia saat ini bukan merupakan krisis
ekonomi, bukan krisis energi, bukan krisis pangan, melainkan suatu
krisis yang sangat mengerikan, yaitu krisis kesadaran.
Kesadaran yang meyadarkan bahwa wujud dari
rezim tirani global itu memang ada, musuh bersama itu nyata adanya,
bahkan di negeri kita sendiri, musuh yang saat ini dengan tenang
menghabisi kita dengan tangan kita sendiri, mengkamuflasekan hasil
pemikiran kita dengan apa yang kita dengar dan kita lihat, bukan dengan
apa yang kita rasa, terutama di era dengan akses informasi tanpa batas
seperti saat ini, yang menjadikan setiap informasi yang kita terima
sangat bebas tanpa saring dan verifikasi, terutama oleh media arus utama
yang secara global kerap dijadikan corong informasi dan pembentuk opini
publik oleh segelintir kelompok ‘penguasa dunia’ dijadikan sebagai alat
untuk memuluskan setiap agendanya.
Referensi :
Craig Unger, House of Bush, House of Saud The
Secret Relationship Between the World’s Two Most Powerful Dynasties
(Dinasti Bush – Dinasti Saud), 2008
Video Dokumenter Zeitgeist Part 2 : All The World’s A Stage
Video Dokumenter World Economic Ruler
http://en.wikipedia.org/wiki/September_11_attacks
http://en.wikipedia.org/wiki/9/11_conspiracy_theories
http://www.ae911truth.org
http://www.911sharethetruth.com/
http://truther.org/
Gelora Rajagukguk
www.kompasiana.com